[1] Musim Dingin

Mustika, atau biasa dipanggil Mus, mencuci mukanya cepat-cepat. Hampir empat tahun menghadapi musim dingin di Sapporo, dia tak kunjung terbiasa. Sekujur tubuhnya menggigil seiring dia membasuh muka dengan air. Pemanas sialan, mengapa lambat sekali untuk menaikkan suhu airnya?! Mus mengucek wajah lagi dengan tergesa. Sudah pukul tujuh. Satu jam kemudian dia harus hadir untuk wawancara kerja.

"Berfungsilah!" begitulah mantera yang Mus rapalkan pada dirinya sendiri di hadapan cermin wastafel.

Kedua mata Mus yang sembab lekas terbuka lebar. Hidungnya mengeluarkan cairan, kedinginan. Mus membasuh mukanya lagi; kali ini air dari keran telah berubah sedikit hangat. Lantas dia mengelap wajah, menggosok gigi, mengganti piyama dengan setelan formal, mengenakan pelembap dan tabir surya secara asal-asalan, memakai mantel, meraih tas, mengenakan sepatu, kemudian keluar dari apartemen dan mengunci pintunya. Sepanjang jalan menuju stasiun, dia mengenakan lipen--hanya agar wajahnya tak terlihat pucat--lalu menyisir rambut sekenanya. Sambil berusaha menahan nyeri pada telapak kaki kanannya, wanita itu pun mempercepat langkah. Sekali waktu Mus terpeleset salju di trotoar; jatuh dengan posisi berlutut. Walaupun sudah menjalani enam kali musim dingin di kota tersebut, dia masihlah belum cukup ahli meloloskan diri dari licinnya salju yang mengeras. Selama enam kali musim dingin pula, tidak ada orang sekitar yang membantunya berdiri. Yang terbaik yang bisa Mus terima hanya tatapan iba, atau pertanyaan, "Are you okay?" dari sesama warga negara asing lainnya.

Mus cepat-cepat beranjak sambil mengecek ponsel. Jam delapan lewat dua puluh tiga menit. Kereta pukul delapan lewat tiga puluh menit masih terkejar. Lanjut berjalan cepat hingga tiba di depan stasiun, Mus mengulurkan kartu commuter pass dari saku jas, mengetukkannya pada mesin pembaca di gerbang stasiun sekilas, lalu memasuki lobi. Barulah di sana Mus berhenti, sekadar untuk mengatur napas serta meneguk air dari botol minum di dalam tas.

Bersamaan dengan itu, Mus memergoki sepasang pria dan wanita sedang berpelukan di depan gerbang stasiun. Barangkali mereka berdua berusia dua puluhan tahun akhir atau tiga puluhan tahun awal seperti dirinya. Setelah beberapa saat berpelukan, Mus mengamati si wanita tersenyum kecut seraya mengetukkan commuter pass ke mesin pemindai, sementara si pria tak sedetik pun melepaskan pandangan pada wanitanya tersebut. Si wanita pun tak langsung menuju peron, melainkan berhenti di lobi lalu menoleh ke arah si pria yang setia menunggu di luar gerbang. Mereka berdua bertatapan lama. Pipi memerah di balik syal masing-masing. Bertukar senyum hangat sembari saling melambaikan tangan. Seperti tidak ada hari esok bagi mereka. Seakan-akan detik ini adalah kali terakhir mereka bertemu serta meresapi kehadiran satu sama lain.

Di hari-hari sebelum ini, Mus takkan memedulikan pemandangan tersebut barang sedetik pun. Namun sekarang, dia mendapati kedua tangannya gemetaran. Kaki kanannya terasa lebih sakit dari biasa. Napasnya menyesak hingga tangisnya tiba-tiba pecah. Semua hanya karena dua orang yang bahkan tidak Mus ketahui identitasnya.

Mus tak pernah menaiki kereta di hari itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top