Teman sekilas


Tak pernah terbayang rasa sakit selain terbangun di tengah malam akibat mimpi terburuk datang menghampiri, singgah tampa bicara sebelumnya, menaruh efek ribuan virus hingga tidur tidak lagi dengan nafas teratur, alih alih menenangkan fikiran kini seriwet kecemasan sehari kedepan sudah terstock dengan rapih.

Dulu aku pernah berpapasan dengan sang akhir segalanya, kematian. Ia begitu gelap, begitu senyap, begitu tidak di mengerti, tidak ada yang mengetahuinya apa di dalamnya, apa setelahnya, dan sedalam apa kehampaan itu berlangsung?

Kala itu aku sama sekali tidak sadar, bertemu dengan sang akhir memiliki biaya yang sangat mahal untuk di keluarkan, seminggu dengan rasa sakit melebihi apapun, hingga tahap setiap bernafas rasanya seperti mempunyai tubuh yang baru di lemparkan dari atas jurang. Badanku menjai serapuh ini, sakit sekali tak terbayangkan, terlebih ketika dalam tidur aku harus tebangun karena nyeri kepala yang maha dahyat membuat hidungku mengeluarkan cairan merah darah.

Aku tak tahan, tapi aku tidak tahu cara untuk memberhentikan ini. Ketika rasa sakit itu semakin memuncak dan nafasku semakin berat, tubuhku seperti di non aktifkan secara memdadak karena tubuhku tidak punya tenaga lagi untuk bertahan, aku hilang kesadaran dan tergantikan jeritan jeritan orang sekitarku. Lain waktu aku baru sadar, hal ini adalah aku kejang busa, cara tubuhku menyelesaikan dirinya dari sumber sakit kepala yang maha dashyat, mengambil kesadaranku.

Mau tahu hal yang lebih mengenaskan? Semua itu terjadi ketika aku berumur 10 tahun. Seminggu aku lalui dalam ruang icu sendirian dengan perawat yang di biarkan masuk memaniku dengan prosedur prosedur seakan aku ini bahan kimia berbahaya. Menjerit menangispun tidak ada guna, tubuhku tidak kuat untuk bangun dan kabur mencari keluargaku.

Tidakah itu begitu mengerikan? sangat, tapi bertemu dengan kematian jauh lebih mengerikan.

Dalam deretan deretan mimpi menakutkan itu, ada sebuah mimpi yang selalu menampilkan diriku berdiri disana secara berulang ulang, sebuah ruang putih kotak sempurna, sebanyak empat kali aku selalu berdiri disana sambil menatap bolak balik dua loronh yang berada berlawanan arah.

Lorong di sebelah kanan maupun kiri sama sama gelap. Yang kiri mengeluarkan suara berisik, aku tebak seperti suara mobil suara burung suara bisik bisik manusia yang campur tumpanh tindih. sedangkan lorong kanan senyap, samar samar aku melihat seperti putih putih mengkilap berterbarangan seperti kunang kunang di ujung lorongnya.

Hal yang aku lakukan sama pada dua mimpi itu, hanya sibuk bolak balik memperhatikan dua lorong itu. Tubuhku tidak bisa di gerakan, begitu juga lidahku, seperti es yang membeku.

Pada minpi lima aku di bawa kembali ke situasi serupa, aku tidak sendirian lagi. Sebuah kepulan asap keluar dari lorong kanan, asapnya mengunpal mencoba mendekatiku. Saat hendak menghindar, kini aku bisa bergerak, kakiku bisa di gerakan, aku bisa berlari dengan ringan dan berbicara dengan lantang ( dengan aku menjerit saat asap putih mengumpal itu mendekatiku) dan rasanya bernafas sangat melegakan.

Kala itu, sang asap bergumpal kembali di depan lorong asal masuknya. Diam tidak mengejarku. Kakiku malah mencoba mendekatinya karena hey aku baru sadar bahwa asap tidak terlihat jahat.

Hal lainya muncul ketika aku condong mulai mendekati lorong kanan, suara suara serius dari beberapa manusia menggema di ruangan kotak polis persegi.

"Adekk? Adek sini yu balik"

"ayo berjuang sendikit lagi"

"sayang itu ditunguin keluarganya? Gak mau pulaangg nihh??"

suaranya asing, tapi begitu tulus dan di diliputi kekhawatiran sehingga suaranya benar benar bergetar. karena masih bingung atas semua ini, aku memilih terdiam sambil memperhatikan lorong di sebelah kiriku, apakah ada sesuatu di dalam sana?

Suara lainya muncul lagi samar samar,

"Adek Diandraaaa? Ituu loh adek jae nangis, ayo kita lihat bersama sama yuu? Kta kasih permen biar gak nangis"

kepalaku kini menoleh pada sang kepulan asap, seolah bertanya itu benar?

sang kepulan asap bergerak mengambang naik turun perlahan, lengang tidak ada suara apa apa lagi selain itu, senyap menjadi paling senyap.

Aku begitu bingung dan tidak mengerti, jadi kuputuskan untuk duduk memeluk lututku di bawah kepulan asap itu mengambang. Bibirku cemberut, mataku menatap jari jari kakiku yang aku sengaja gerakan.

Sambil memainkan jari kaki, terlintas di pikiranku gagasan aku ingin pulang.

Dalam rembatan suara di sekitar sana, tampa suara yang jelas bagaimana, sebuah jawaban masuk dalam kepalaku.

Pulang kemana?

Feelingku ini si asap yang menjawabnya, sebab ia mulai mengambang naik turun.

karena sebal di tanya seperti itu, aku menjawab ketus, ya kerumah, yang ada jae nya. Yang pagernya warna merah maroon, yang ada pohon peletekanya.

Sang kepulan asap kian memudar, lalu sebuah kunang kunang berlampu putih menembus bagian gumpalan asap dengan cepat menuju lorong kiri, dengan bergerak begitu saja kakiku melangkah mengikuti kunang kunang itu melintasi lorong kiri, ruang yang begitu senyap kini mulai terdengar suara macam macam, suara kota yang berisik, lalu suara gesekan gesekan besi.

Sebelum aku benar benar mencapai ujungnya, mimpi pun berakhir.

berakhirnya juga masa koma ku selama 7 jam, serta panjang waktu durasi operasi 5 jam. 13 jam tampa kepastian, hanya berasa 10 menit untuku.




_______




"Pernah ada penyesalan?"

Selepas aku menyudahi cerita kelam waktu dahulu, ayah yogi langsung melempariku pertanyaan yang cukup membuatku diam beberapa saat.

Yogi masih memandangiku dengan mata binar sedihnya, sedari aku memulai bercerita pria ini terus memandangiku, mengunci matanya dan mendengarkan ceritaku dengan sungguh.

Hadin juga sudah sedikit sadar, anak setan itu duduk di tempatnya sambil mengumpulkan nyawa nya.

Berbeda dengan yogi yang baru ku ceritakan, Cezka sudah tahu lebih dahulu, perempuan ini hanya tersenyum sambil menunduk, mengaduk gelas alkoholnya. Ia adalah saksi dari segalanya, saat aku mulai kejang kejang, dan orang pertama yang sadar atas penyakitku.

Menjawab pertanyaan calon mertuaku, aku menghela nafas untuk terlihat meyakinkan, bahwa itu sudah ku sembuhi. "Menyesal pernah, tapi selalu yakin lagi"

aku melanjutkan dengan menoleh pada yogi sekilas, tertawa atas gagasan ideku untuk kalimat selanjutnya. "Kayaknya di biarin hidup soalnya tau pacar aku di masa depan seganteng yogi."

Seluruhnya tertawa, atmosphere yang turun menjadj minus akhirnya bisa di kendalikan dengan cepat.

Ayah yogi menuangkan segelas sake lagi ke dalam gelasnya. "ya. Kalau begitu cepat cepat menikah saja, gausah di tunda tunda toh emang udah orang yang tepat." Lalu beliau meneguk segelas sake nya dengan sekali tegukan.

Mendengar hal itu, aku dan yogi sama sama mengeluarkan tinta merah muda dalam pipi kami.

beliau melanjutkan, "susah mengurus ahli waris jika di lahirkan di luar pernikahaan, ayah udah bilang kan, Gi? Ini juga berlaku buat Hadin. Dengerin Hadinata, sulit untuk mengurus data data ahli waris kalau ada fakta anak yang di tunjuk di lahirkan di luar nikah, ada banyak kerabat jahat yang bakal menuntut sah. Lebih baik di usahakan anak dalam pernikahaan. Ayah serius soal ini."

Tuh kan...

Ini semua karena yogi remaja yang gila, dengan rasa percaya diri ia bilang seperti itu membuat orang tuanya watir saja.

Tapi lucu juga sih kalau di dengar dengar,

hal lucunya adalah bukan mencemaskan soal sosial atau hal lainya, keluarga ini malah mencemaskan ahli waris. Bastoro memang berbeda...

Hadin menunjuk dirinya sendiri dengan ekpresi bingung, mungkin ia membantin seperti ini : aku? Aku kan masih kecil? Kok aku juga harus tau hal ini?

yogi menganguk dengan malu. Pembicaraan dewasa masih tampak terlalu dewasa untuk yogi yang terlihat polos.

Ayah yogi juga menunjuk aku dan cezka, "ah! Kalian berdua juga, karena sudah masuk dalam keluarga tolong pelajari lebih banyak soal tradisi dan lingkungan disini ya. Tanya tanya saja pada bunda, jangan sungkan."

sejujurnya aku ingin tersanjung di akui seperti ini, tapi melihat ekpresi cezka aku benar benar ingin tertawa. MENGAPA JUGA IA TERLIHAT SAMA BINGUNGNYA DENGAN HADIN?

Hadin dan Yogi adalah tipe pria yang terlihat polos di depan, seperti anak kucing yang di besarkan dalam rumah agama dekat tuhan.

Aku mengalihkan pandangan dari cezka menuju ayah yogi yang terlihat kembali meneguk sake langsung dari botol di hadapanya, mungkin malam ini beliau memilih mabuk tidak sadarkan diri.

"Mulai sekarang, Seluruhnya bakal di serahkan ke kalian-kalian ini. Mulai dari tanah, perusahaan, bisnis bisnis lainya. Ayah gak banyak berharap, yang penting kalian bisa menjalani dengan biasanya saja. Ayah jalani bisnis ini untuk kalian kalian, anak ayah. Sudah cukup waktu untuk menikmatinya, sekarang waktunya kalian berlari memegang estafet kepemimpinan Bastoro, lakukan dengan baik ya, untuk generasi selanjutnya."

Pembicaraan malam ini...

begitu berat...

terlebih untuk yogi, mungkin juga aku.

meneguk gelas selanjutnya, aku memutuskan untuk mabuk untuk malam ini mengikuti ayah yogi dan hadin yang sudah mabuk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top