Lagu Kematian [3]

"Yanza, elo kenapa sih?!"

"Dia kurang ajar sama elo."

Andhira menarik lengan Yanza dan menjauhkannya dari pria itu.

"Apanya yang kurang ajar sih? Dia Cuma berbisik di telinga gue, elonya aja yang kurang ajar." Andira mendengus kesal dan berbalik meningalkan Yanza. Andhira membantu pria itu bangkit dan berjalan mengantarkan pria tersebut ke ujung gang rumahnya.

Wajah Andhira sunguh tidak enak dilihat, tidak ada senyum manis tersungging di bibirnya, pandangannya lurus ke depan. Ia melewatiku dan Yanza begitu saja. Aku berharap Yanza pun segera pergi meninggalkan kediaman gadis angkuh itu, dia tidak sadar bahwa Yanza menunggunya berjam-jam dan khawatir. Tapi, apa mau dikata, Andhira Asha gadis yang menyebalkan.

Pandanganku terhadap gadis itu tetap sama, meski di detik berikutnya aku hampir tersentuh akan kehangatannya.

Andhira masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi sembari memangku kedua tangannya. Ia mengembuskan napasnya lalu menatap Yanza yang bersandar di ambang pintu.

Getaran tubuhnya begitu terasa, detak jantung dan keringat membasahi telapak tangan yang masih menggenggamku erat.

"Andhira, maaf aku tidak bermaksud seperti itu." Yanza menghela napas, menelan salivanya berat. "Maafkan aku," ucapnya lagi dengan lirih.

Andhira menghela napas dan kedua mata bulat nan besar itu berubah sayu, ia menunduk lalu kembali menengadah, pandangannya pun kembali berubah, kedua alisnya hampir menyatu tat kala keningnya berkerut. Andhira bangkit dari duduknya dan ia berjalan menuju kamarnya. Tiak lama setelah itu dia kembali dengan kotak P3K, ia meraih tangan Yanza lalu menuntunnya agar duduk di kursi.

Tak ada kata terucap dari keduanya, mungkin jika aku bisa bicara, hanya aku yang akan bersuara untuk memecah keheningan dan mengganggu mereka berdua. Namun, sebelum semuanya terjadi, aku mendengar suara Yanza yang membuat Andhira berhenti membersihkan darah dari tangan Yanza.

"Aw!" ringisnya.

"Hentikan, Andhira."

"Kenapa aku harus berhenti, Yanza?" Andhira diam sejenak, setelah itu, dia mulai coba melepaskan jaket yang membalut tubuh Yanza.

"Tolong, jangan lakukan sekarang, Andhira."

"Lalu? Kapan? Menunggu sampai lukamu semakin parah, hah?"

"Kamu tidak marah padaku?"

"Tadi aku marah dan sekarang akan marah lagi jika kamu tidak mau menurutiku," jawabnya dengan nada bicara datar juga dingin.

Sungguh, aku tidak mengerti dengan pembicaraan mereka, Andhira ingin melepaskan jaket Yanza, padahal di luar mulai turun hujan dan suhu dingin begitu terasa. Saat itu aku berfikir bahwa Andira gadis paling kejam yang pernah ada. Namun, kenyataanya lebih dari itu. Andhira membuat Yanza menangis.

Cairan kental berwarna merah itu kembali terlihat dari sumbernya. Bekas luka yang kembali menganga membuat rasa perih melanda si pemilik luka. Yanza, tak berani menatap Andhira meski gadis itu berada di hadapannya yang masih fokus mengobati luka itu. Tapi, Yanza malah melihatku dengan air mata yang mengalir.

Tak kusangka, pria di sampingku ini begitu rapuh. Ingin rasanya aku memeluk dan mengusap air matanya. Namun sayang seribu kali sayang, aku tak mampu melakukannya.

Dan di sinilah sekarang aku berada, diantara mereka berdua, di atas papan kayu dekat jendela kaca tetapi terasa jauh dari mereka, hanya bisa mengamati dan mendengar layaknya manusia.

Aku baru ingat, mengapa tangan Yanza berdarah, kurasa Yanza memang sudah memiliki luka, dan luka itu kembali mengeluakan darah karena cengkraman pria jangkung yang dipukulnya. Sudut bibir pria itu dan jari yanza juga berdarah, tetapi yang membuat Andhira marah ternyata tidak hanya kejadian singkat itu. Namun, ada banyak hal yang baru aku ketahui saat itu.

"Yanza, kenapa sih kamu itu nggak pernah sayang sama diri kamu? Kenapa kamu ...."

Belum selesai Andhira mengucapkan pertanyaannya, Yanza menarik tangannya yang baru saja selesai dibalut perban oleh tangan mungil gadis itu. "Diam dan dengarkan!" titahnya.

Yanza meraih aerophone yang terletak di sisi sebelah kirinya dan memakaikannya pada Andhira, tak lupa ia menyambungkannya dengan ponsel dan mulai memutar sebuah lagu, entah apa yang tengah Andhira dengarkan. Yang pasti, apapun itu membuat Andhira berubah seketika.

Andhira melompat dari kursi dan berhambur ke pelukan Yanza. "Makasih Yanza, ini lagu yang aku mau dari dulu.

"Iya, sama-sama."

Andhira mulai menikmati lagu yang terngiang di telinganya, anggukan kepala dan hentakan kakinya terlihat seirama. Sesekali ia menatap ke jendela kaca yang memperlihatkan tontonan klasik dengan gemericik air hujan yang terlihat cantik.

Sementara itu, Yanza bangkit dari duduknya dan diikuti oleh Andhira.

"Happy birthday, Andhira Asha," ucapnya seraya menyunggingkan seulas senyum. "Maaf, kadonya nggak dibungkus kado, itu di sana." Yanza menunjuk ke arahku. kedua sudut bibirnya terangkat dan membentuk senyuman di sana. "Untukmu." ucapnya lagi.

Andhira melepaskan earophone yang sebelumnya terpasang di telinganya. Ia memeluk Yanza dan berbisik. "Terima kasih, dan jaga dirimu, jangan sampai kau terluka hanya untuk melindungiku atau orang di sekitarmu."

Yanza melepaskan tubuhnya dari dekapan gadis itu. "Bukankah sudah selayaknya seorang sahabat itu saling melindungi satu sama lain?"

"Iya, tetapi bukan berarti kamu harus mengorbankan dirimu sendiri. Ingat Yanza, dulu semasa kita SMA kamu membela seorang yang kamu anggap sahabat, nyatanya dia menusukmu dari belakang. Dan kamu? Apa? Setelah kamu terjebak, kamu kalah dan menyerah pada keadaan." Nada bicara Andhira mulai naik.

"Za, aku mau kamu hidup lebih baik, kita belajar bersama, kerja sama-sama, dan meraih kesuksesan bersama."

"Iya, aku juga maunya gitu, Ra. Tapi, ya mau gimana lagi? Kalau kamu memang tidak suka memiliki teman sepertiku, yasudah. Aku akan pergi dan tidak akan menganggumu lagi."

Andhira memejamkan matanya sejenak dan menghela napas. "Apaan sih Za, Aku nggak mau kamu pergi, siapa juga yang merasa terganggu. Yaudah nggak papa kalau kamu nggak bisa ikutin saranku. Tapi, tetap berada di sampingku, jadilah saksi perjalananku, sampai tiba saatnya nanti aku menyebut namamu di panggung megah dan membawamu naik ke panggung tersebut, bahwa kamulah sahabat terbaikku yang menemaniku dari masa ke masa hingga pada akhirnya semua mimpi kugapai dan kugenggam dalam tangan ini."

Seperti ada api membara dari setiap kata yang terucap, Andhira sang pemimpi sedang bermain drama. Pandanganku tetap sama padanya. Apalagi ketika aku melihat Yanza pun menahan tawanya saat melihat gadis itu mengepal tangannya dan mengangkatnya lebih tinggi.

Satu kecupan singkat mendarat di pipinya, "Happy birthday, and see you."

Yanza membuat Andhira terdiam beberapa detik sampai ia tak sadar bahwa Yanza telah menghilang dari hadapannya. Kesadarannya kembali ketika nada dering dari ponselnya terus berbunyi.

"Aih, Yanza jauh-jauh ke sini tapi dia nggak ngasih kado," gumamnya seraya bergegas meraih ponsel tersebut dan berbicara dengan seseorang yang entah, aku tidak mengetahinya. Satu hal yang pasti, Yanza meninggalkanku bersamanya, gadis menyebalkan dan mulai pikun tentunya.

Entah siapa yang berbicara dengan Andhira di ujung telepon sana, yang pasti orang tersebut lebih penting dari Yanza. Tidak sampai lima menit berbicara dengannya, Andhira dengan mudahnya melupakan aku dan Yanza. Setelah menutup sambungan telponnya, ia segera menutup pintu dan memutar musik dari ponselnya. Dia benar-benar tidak melihatku, padahal sedari tadi Yanza meninggalkanku di tempat yang sama, tidak jauh dari meja dan jendela kaca-tempat sebelumnya ia singgahi.

Detik-demi detik aku lalui tetapi tak berkutik walau sedetik. Aku masih setia berada di tempat yang sama, meski waktunya yang berbeda. Kupikir saat itu hanya sebentar saja Yanza meninggalkanku. Kenyataannya, dia benar-benar tak kembali. Dan aku? Ya, aku hanya jadi saksi bisu tingkah laku seorang gadis penuh ambisi yang menggebu-gebu.

Jauh berbeda dengan kehidupan dan tempat tinggal Yanza, hari demi hari aku lalui bersama gadis itu, aku selalu memperhatikannya, meski dia tidak pernah memperhatikanku sama sekali. Jangan kan memperhatikan, melirik walau sedetik saja kurasa tidak pernah. Andhira selalu sibuk dengan pekerjaannya, impiannya, dan kenyamanannya.

Sering kali aku dengar ia berbicara di telepon dan mengatakan bahwa ia tengah sibuk mengerjakan banyak hal. Namun kenyataan yang kulihat dia masih bisa tertidur lelap dalam gelap, dia masih bisa tersenyum ketika bingung, bahkan dia masih bisa menyantap sarapan paginya meski sembari berlari kesana kemari setiap hari.

Untuk pertama kalinya, entah hari ke berapa aku tinggal di rumah Andhira. Dia pulang agak larut, dia berjalan gontai menuju kamarnya, tak lama setelah itu dia kembali. Melihatku dengan tatapan kosong. Namun, hanya sekilas saja. Setelahnya, ia memutar musik dengan melodi menyayat hati dari ponselnya. Andhira duduk di kursi kayu itu sembari menutup wajah dengan kedua tangannya.

Isakan tertahan mulai terdengar, Andhira menangis. Tapi, aku tak tahu apa yang membuatnya menangis saat itu. Yang kutau dia seorang gadis dengan sejuta rahasia dan selalu menyimpan luka seorang diri saja.
Kurasa tidak jauh berbeda dengan Yanza, tetapi sepertinya gadis ini lebih kuat dan hebat dibandingkan Yanza.

Mungkin orang di luar sana menilai Andhira sosok gadis menyebalkan dan kejam. Tapi, nyatayanya aku melihatnya berbeda. Mungkin, seribu tahun saja tak cukup untuk memahami gadis ini. Pada intinya, dia tidak seperti apa yang aku lihat sebelumnya.

Dari malam itu aku sadar, kita tak bisa menilai seseorang ketika kita melihatnya sekilas atau sekali pertemuan saja. Karena apa? Aku saja yang berhari-hari mengetahui gerak geriknya masih sering salah memahami apa yang ada dalam pikiran dan hatinya. Apalagi Yanza atau yang lainnya. Sering kali aku dengar Yanza mengeluh dan sebal pada Andhira yang seolah tidak memiliki waktu untuk bertemu atau sekadar bermain bersama. Tanpa Yanza sadari, kehidupan mereka jauh berbeda. Pemikiran Andhira begitu luas dan jauh. Tidak seperti Yanza yang hanya menginginkan kehidupan sederhana tanpa usaha lebih keras seperti Andhira.

Tak terasa, sepertinya sudah hitungan bulan aku berada di rumah Andhira. Entah berapa bulan, aku tidak begitu mengingatnya. Yang pasti, aku dengar dari Andhira, bulan Februari Yanza ulang tahun. Semoga saja aku bisa hadir dan melihat Yanza di hari ulang tahunnya nanti, sama seperti saat aku melihat Andhira. Ya, meski keadaanya tidak terlalu nyaman saat itu.

Pagi itu, aku melihat Andhira membawa kotak kecil berwarna hitam dan satu gulungan kertas kado di tangannya. Dengan sangat hati-hati dia membungkus kotak tersebut hingga pada akhirnya terbalut cantik dan begitu menarik. Aku sedikit penasaran apa yang ada dalam kotak kecil itu. Kurasa bukan seperti diriku. Namun, harganya lebih mahal daripada harga diriku.

Ponsel Andhira berdering. Ia pun segera meraih ponsel tersebut dan senyumnya mengembang ketika melihat nama di layar ponsel tersebut.

"Yanza!"

Seketika senyumnya memudar ternyata panggilannya terputus sebelum ia mendengar suara Yanza.

Andhira kembali meletakan ponselnya. Namun, tak lama setelah itu ponselnya kembali berdering. Wajah muram itu kembali tersenyum dan segera menjawab panggilan telepon tersebut.

"Tidak mungkin," gumamnya dengan suara hampir tak terdengar olehku.

Bulir bening dari pelupuk pandangnya mengalir secara tiba-tiba tanpa aba-aba sebelumnya. Entah kabar apa yang ia terima sampai membuatnya begitu mudah mengeluarkan air mata yang tidak berdosa itu.

Secepat tetesan pertama sang air mata menyentuh lantai tak bersua, secepat itu pula kakinya melangkah mengambil jaket serta kunci motor dari meja samping jendela kaca di dekat aku berada. Dia berlari meninggalkanku begitu saja.

Sunyi.

Ya, detik demi detik suasana begitu membuatku terasa mati. Aku tak tahu apa yang terjadi di luar sana. Andhira dan Yanza membuatku tak berdaya.

Dan pada akhirnya jantungku berdetak hebat layaknya manusia. Meski pada dasarnya aku tak memiliki jantung seperti manusia. Tapi, suara pintu di ketuk beberapa kali dan tanpa menunggu aku menjawab panggilan suara dari luar yang memanggil nama Andhira. Seseorang memaksa membuka pintu dan masuk ke dalam.

Andai Andhira ada di dalam. Mungkin aku sudah memanggilnya dan berteriak padanya. Namun sayang, aku tak dapat melakukannya. Semuanya gelap, aku tak dapat melihat dan mendengar apapun ketika itu.

...
...
...
...
Hening, dingin, lembab, dan bau amis mulai tercium.

Brug ....!

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top