Lagu Kematian [2]
Sore itu, aku benar-benar menjadi milik Yanza. Dia membawaku dengan harga yang tak pernah kusangka. Seberharga itukah diriku untuknya? Sampai dia rela menghabiskan semua uang di sakunya hanya untuk diriku. Dan aku mendapatkan jawabannya ketika malam hari tiba.
Dengan sengaja aku mendengarnya berbicara seorang diri di kamar itu, kamar berwarna cat dinding biru langit lengkap dengan warna putih membentuk awan di langit-langit kamar tersebut. Di sisi tembok sebelah kiri samping lemari ada beberapa lukisan pemandangan gunung juga pantai. Sedangkan di sisi sebelah kanan samping jendela kaca ada potret Yanza, Andhira dan satu pria yang belum aku ketahui siapa dia saat itu. Tampaknya mereka sangat bahagia. Bahkan Andhira saja terlihat manis dengan senyum kecil di bibirnya, akan tetapi masih terlihat wajah angkuhnya.
"Satu minggu lagi, aku akan memenangkan hatimu dan membuatmu kembali seperti dulu, Andhira Asha."
Seketika hatiku hancur begitu saja saat aku mendengar Yanza mengatakan kalimat itu. Jadi, untuk apa dia membawaku dengan harga yang begitu menggoda kaum wanita? Ternyata dia akan memberikanku pada Andhira Asha, sahabat wanitanya yang akan dia jadikan kekasihnya. Dan aku, ya, diriku hanya jadi yang kedua dan pelampiasan saja. Itu menyakitkan Yanza.
Yanza berbalik dan meninggalkan potret bisu gadis itu. Dia melangkahkan kakinya dan berjalan ke arahku. Dia menyentuhku, dan berkata. "Sebelum kau bernyanyi untuknya, bernyanyilah untukku, Sayang!"
Rasanya aku ingin menangis mendengar perintahnya. Aku tak ingin pergi kemanapun dan hidup bersama siapapun selain dirimu Yanza. Andai aku bisa berbicara seperti itu padamu, mengatakan semua keinginanku dan penolakannku. Tapi aku tak bisa, aku hanya bisa menerima, bukan meminta. Dengan sangat terpaksa, aku mulai mengalunkan nada penyejuk jiwa pengantar tidurnya.
Bulir bening keluar dari pelupuk pandang yang terpejam. Tarikan dan embusan napasnya terasa berat. Yanza tertidur lelap tapi seperti tengah sekarat.
Aku menatapnya lekat-lekat, dia benar-benar menangis. Dia seolah tahu bahwa aku menatapnya, Yanza berbalik membelakangi tubuhku dan menyembunyikan tangisnya dariku. Meski begitu, aku tetap bisa mendengar isakan dan rasa sesaknya.
Aku melihat jam dinding terus berdetak mengiringi malam panjang yang begitu menyiksa Yanza, sampai tiba sang fajar membangunkannya ketika ia baru terlelap sekejap.
Ia bangkit dari tidurnya, duduk dan menoleh ke arah jendela kaca yang tidak tertutup gorden membuat cahaya kemerahan itu terlihat begitu indah. Rambut hitamnya menutupi mata sembab dengan lingkaran hitam menghiasinya. Wajah tampan dan senyum menawan itu tak terlihat di pagi ini. Padahal, aku menantikan pagi yang indah ketika melihatnya bangun dari tidur panjang di ranjang bersamaku. Namun, nyatanya fakta berbeda dari apa yang aku sangka.
Gadis yang pertama ia sapa adalah Andhira Asha. Melalui benda itu dia berbicara padanya. Dengan suara parau khas baru bangun tidur tentunya.
"Selamat pagi Andhira," sapanya.
Senyumnya mengembang dan kembali berbicara. "Semangat ya kerjanya, jangan lupa, satu minggu lagi elo harus nemenin gue."
Setelah itu, Yanza menutup sambungan telponnya dan melemparkan ponsel itu ke arahku.
Yanza bergegas keluar kamar, tak lama setelah itu ia kembali dengan membawa kotak kecil berwarna cokelat. Matanya yang sayu dan sembab itu menyipit lalu senyumnya kembali terukir di wajah pucat itu, ia membelaiku juga mendaratkan kecupan singkat di tubuhku. Setelahnya, aku tak tahu apa yang terjadi, gelap dan sesak rasanya. Hanya suara-suara yang kudengar tidak terlalu jelas tetapi suara itu begitu menyiksa batinku.
"Yanza, mana uang untuk adikmu dan obat bapakmu?!" tanya seorang wanita dengan nada tinggi yang tidak aku ketahui rupanya.
"Maaf, uangnya sudah aku pakai," jawab Yanza dengan suara yang hampir tidak bisa aku dengar.
"Dasar, anak tidak berguna."
Suara langkah kaki terdengar diikuti suara benturan serta benda berjatuhan membuatku was-was. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Yanza dan wanita itu? Siapa sebenarnya yang berbicara dengan Yanza? Langkah kaki itu terdengar lagi dan semakin jelas mendekat ke arahku. Dan tiba-tiba tubuhku terguncang, seperti ada dorongan kuat yang menghantam tubuhku. Rasanya aku ingin teriak dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Namun, apalah dayaku yang hanya benda mati seperti tengah terkurung dalam peti berjeruji besi.
Entah berapa kali aku mendengar hal yang sama di setiap harinya, benturan, suara-suara dengan nada tinggi dan amarah terus terjadi di pagi hari. Dan, hal yang selalu membuatku ingin menjerit adalah ketika malam hari tiba, rintihan dan jeritan dari tangis yang tertahan selalu membuatku terjaga di setiap malam yang gelap.
Saat itu, aku benar-benar lelah dengan Yanza. Dia berhari-hari menelantarkanku begitu saja. Dia menyiksaku dengan suara-suara itu. Rasanya, aku ingin menampar wajah pucatnya hingga berubah warna kemerahan di pipinya dan mencubit hidung mancungnya agar dia tahu bahwa hari-hari yang kulalui terasa sesak, aku tak bisa bernapas dengan bebas. Meski, pada dasarnya memang aku tidak bisa bernapas, tetapi, setidaknya aku berharap Yanza mengerti prihal keadaanku saat itu.
Menunggu, hanya itulah yang kulakukan saat itu. Hingga pada akhirnya aku merasakan hal yang berbeda. Ada rasa hangat dan suara berbeda seperti beberapa hari lalu.
Aku mendengar pintu diketuk beberapa kali. Namun, sepertinya tak ada jawaban dari seorang yang Yanza ingin temui.
Suara desahan kekesalan terdengar begitu jelas. Terlebih diikuti gumamnya. "Andhira, kamu kemana sih? Apa kamu lupa dengan janjimu."
Antara bahagia dan kecewa mulai menyelimuti jiwa, aku dapat melihat wajah Yanza yang tetap tampan meski tengah menyimpan rasa kesalnya pada gadis itu. Namun, aku kembali kecewa karena yang nyatanya ingin ia temui adalah Andhira Asha, bukan diriku yang selama ini menemaninya di setiap malam serta siangnya yang penuh dengan teriakan dan penderitaan.
Ingin rasanya aku menggenggam tangan Yanza dan berkata. "Ayo Yanza, pergilah bersamaku dan tinggalkan rumah gadis itu. Dia tak mengingatmu, dia tidak akan menepati janjinya padamu."
Seketika aku bungkam dan diam seribu Bahasa ketika Yanza menyangkal perkataanku. "Tidak, aku tidak akan pergi sebelum bertemu denganya. Dia pasti sibuk dengan pekerjaannya hingga terlambat pulang. Aku akan tetap menunggunya di sini."
Berulang kali aku mendengar kalimat yang sama dari mulut Yanza. Bibir tipis yang mulai terlihat pucat itu seketika terkatup begitu saja. Sejenak senyumnya terukir. Namun, tak bertahan lama. Gadis yang ditunggunya telah tiba bersama pria bertubuh jangkung dengan setelan kemeja putih yang dibalut jas hitam serta dasi melingkar di lehernya. Sungguh, kuakui, pria itu tampan. Tapi, bagiku hanya Yanza yang paling tampan dan menawan, terlebih Yanza itu ada manis-manisnya seperti kemasan air mineral.
Andhira sepertinya sudah menyadari bahwa Yanza tengah menunggunya di depan pintu, senyum gadis itu terukir dan dibalas dengan senyuman singkat dari Yanza. Terlihat Andhira Nampak berpamitan dengan pria jangkung itu dan pemandangan menyakitkan jelas membuat Yanza dan aku hancur.
Tangan Yanza mengepal, matanya mulai memanas, ia menggenggamku begitu erat, kakinya mulai melangkah mendekati Andhira dan pria itu.
Brug!!
Cairan kental berwarna merah membuatku dan Andhira menjerit secara tiba-tiba.
"Aaa!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top