:: Lima

Tidak ada pembicaraan selama perjalanan mereka ke sekolah. Hening, yang terdengar hanyalah lalu lalang kendaraan yang ramai. Tepat jam berangkat kantor dan anak-anak berangkat sekolah, membuat jalanan begitu ramai. Ya, meskipun tidak sampai macet, sih. Tapi tetap saja terasa sangat ramai.

Meskipun begitu entah mengapa Lana malah menyukainya. Ia suka suara ramai yang ditimbulkan oleh kendaraan-kendaraan itu. Ia suka karena merasa ia tidak sendirian dan orang-orang itu yang nantinya akan menemaninya sampai ke tempat tujuan. Lana tidak suka sepi. Ia suka suara ramai. Dengan begitu, kepalanya tidak lagi terasa ramai dan hatinya perlahan terisi.

Maka dari itu Lana menyukai musik. Saat sendiri, ia harus menyetel musik keras-keras atau melalui earphone yang hampir selalu bertengger di telinganya. Lana menyukainya, ia suka musik dan suara ramai yang ditimbulkannya. Sayang meskipun begitu Lana masih belum bisa datang ke konser musik mana pun. Ayahnya selalu melarang, padahal ia sangat ingin.

Jalanan yang begitu ramai akhirnya menimbulkan macet. Baik Lana maupun Ghi pasti hafal daerah ini memang daerah yang sering macet di jam-jam berangkat dan pulang kantor. Ya, meskipun daerahnya sempit tapi pusat industri berada di daerah ini.

"Kamu suka musik dari kapan?" Ghi tiba-tiba menyeletuk pelan. Lana sebenarnya tidak begitu mendengar Ghi mengatakan apa, karena suara di sekitar jelas begitu ramai dibanding suara yang Ghi keluarkan.

"Hah?"

"Kamu suka musik dari kapan?" Ghi akhirnya mengeluarkan suaranya lebih keras.

"Dari SD, Kak. Tapi dibolehin masuk ekskul musik dari SMP. Orang tua saya nggak begitu suka musik. Tapi mereka tetep dukung, kok," jawab Lana dengan suara yang juga cukup keras.

"Kamu udah ada gitar? Katanya pengen jadi gitaris, kan? Belajar gitar nggak gampang, lho."

"Belum, Kak. Pas SMP cuma belajar kunci dasar aja. Baru belajar satu lagi full. Tapi diusahakan tahun ini saya beli, soalnya kata temen-temen, ikut ekskul musik setidaknya harus punya alat musiknya."

"Iya, bener. Belajar musik apalagi gitar nggak bisa cuma mengandalkan pertemuan ekskul dua kali seminggu di sekolah. Kalau kamu emang bener-bener pengen tampil dipanggung, harus belajar yang keras. Belajar gitar nggak gampang dan jadi gitaris pun nggak gampang. Mau beli gitarnya bareng nggak? Saya punya kenalan yang punya toko alat musik. Nanti sekalian saya ajarin."

"Hah?"

***

Ghi tidak mengerti apa yang terjadi dalam dirinya sendiri. Begitu bertemu gadis itu kemarin, ia merasa tertarik. Tidak, bukan tertarik karena suka. Ghi merasa seperti ada sesuatu yang terus menarik dirinya dan gadis itu untuk berdekatan. Katakanlah Ghi memang lebay. Tapi ia juga tidak habis pikir kenapa bisa dengan gamblang mengajak gadis itu untuk membeli gitar bersama dan mengajarinya. Padahal pengumuman penerimaan anggota ekskul musik yang baru saja belum.

Sebenernya Ghi suka pada Lana yang punya impian dan ia ingin membantu gadis itu untuk mewujudkannya. Bukan apa-apa, melihat dari sekian banyak peserta tes yang ia wawancara kemarin, kebanyakan ikut hanya ingin sok keren saja. Hanya ingin dinilai sebagai anak ekskul musik yang bisa memainkan musik. Mereka tidak punya mimpi, tujuan mereka hanya untuk terlihat keren dan hebat di mata orang lain. Berbeda dari Lana.

Ghi memang bukan cenayang. Namun mendengar jawaban gadis itu kalau sejak dulu ia bermimpi untuk berada di atas panggung, menghibur orang-orang dengan musik yang ia bawakan sebagaimana ia juga terhibur dengan musik-musik yang ia dengar. Sejak saat itu Ghi tahu, gadis itu punya mimpi yang besar. Dan kebetulan yang membawa mereka kembali bertemu sebagai tetangga baru membuat Ghi tertarik untuk mengenal gadis itu lebih jauh.

Ingat, Ghi tidak menyukainya.

Lebih tepatnya sih belum.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top