7. Awkward Situation
Dinning hall dipadati oleh mahasiswa pada saat jam makan siang ditemani sayup-sayup alunan lagu dari Backstreet Boy. Antrian untuk mendapatkan makanan mengular panjang. Di antara mereka ada yang mengantre untuk mendapatkan makanan sesuai keinginan masing-masing. Bagi yang vegetarian tidak perlu takut, karena di sini menyediakan pelbagai menu yang tidak mengandung daging. Dinning service juga menyediakan menu low carbo untuk yang sedang diet. Pelbagai jenis makanan tersedia lengkap.
Di antara riuhnya mahasiswa yang tengah memenuhi kebutuhan perut, Alexa melamun sendiri dengan segelas jus detoks yang dipesannya beberapa menit yang lalu. Dia tidak nafsu makan hari ini. Kepalanya terasa mumet dari pagi. Lamunannya membuat gadis itu tidak peduli dengan sekitar. Bahkan, keributan kecil yang terjadi di tempat itu pun terabaikan begitu saja.
"Hai! Jangan melamun!" Ava muncul tiba-tiba di depan wajahnya sambil menarik kursi. Derit kursi menyadarkan Alexa dari lamunan.
Alexa hanya merespon dengan senyuman sambil menyeruput jus detoks yang memiliki warna hijau dan sama sekali tidak menarik.
"Jus detoks lagi?" Ava melirik minuman Alexa dengan kening berkerut. Entah sudah keberapa kali dia melihat gadis di depannya mengonsumsi minuman ini setiap jam makan siang. "Aku rasa tubuh kau itu sudah tidak butuh detoks lagi. Seharusnya yang kau bersihkan itu adalah pikiranmu biar terbebas dari stres. Aku perhatikan kau sering sekali melamun." Ava menarik minuman Alexa dan menyicipinya sedikit. Wajahnya mengerut saat indra pengecapnya mendapatkan rasa pahit yang tidak sesuai dengan seleranya. "Aku bingung dengan seleramu. Jus ini tidak enak sama sekali, tetapi kau mengonsumsi setiap hari. Pantasan hidupmu pahit, Alexa," cibirnya.
Alexa merampas minumannya tanpa protes. Garis bibirnya tertarik sehingga terbentuk lengkungan di wajahnya. "Tidak ada yang menyuruhmu untuk minum ini. Selera orang berbeda. Jangan samakan seleramu yang payah dengan seleraku.
Ava mencibir lagi. "Sial." Dia terkekeh sendiri. "Serius aku penasaran, kenapa kau melamun? Mau cerita?" Ava menaikkan sebelah alis dan menunggu Alexa untuk bercerita. Meskipun tidak mudah untuk memancing gadis itu menceritakan masalahnya, Ava tidak pernah memaksa teman barunya itu untuk bercerita. Seringkali Alexa mengalihkan pembicaraan ketika dia tidak ingin bercerita dan Ava menghargai itu.
"Aku ingin tinggal sendiri."
Mata Ava membesar, bukan karena perkataan Alexa melainkan temannya itu mau bercerita. Biasanya Alexa enggan untuk bercerita. "Kenapa? Bukannya rumahmu dekat?"
Alexa menyapu pandangan. "Ingin mandiri saja. Aku juga mau cari pekerjaan part time," jawabnya.
"Ah, aku juga mau cari pekerjaan part time. Tetapi kita masih mahasiswa baru. Apa tidak masalah jika kita cari pekerjaan? Aku takut kuliah kita malah terganggu." Ava menopang dagu.
"Kalau kau ragu, jangan berani untuk mencoba. Nanti sekolahmu berantakan. Lagi pula orangtuamu punya uang yang cukup. Mereka masih bisa menyekolahkanmu sampai lulus." Alexa bersandar ke kursi.
"Memang orang tuamu kenapa?" Pernyataan Alexa membuat Ava bertanya-tanya tentang keluarga teman barunya itu. Beberapa kali Ava bertanya soal keluarganya Alexa namun tidak pernah sekalipun dijawab. Hal ini yang membuat rasa ingin tahu Ava membuncah. Sebenarnya bukan karena sekedar ingin tahu tetapi dia memiliki perasaan bahwa temannya ini sedang memiliki masalah besar dan membutuhkan bantuan.
Alexa tidak menjawab, hanya melontarkan senyuman.
Senyuman lagi. Baiklah tidak mau menjawab sepertinya, pikir Ava. "Seingatku, coffee shop dekat apartemenku membutuhkan pekerja part time." Ava memiringkan kepala.
"Serius?" tanya Alexa bersemangat.
Ava mengangguk. "Nanti aku cek lagi lowongannya. Siapa tahu mereka sudah mendapatkannya. Kalau belum, aku kabarimu secepatnya."
Betapa senang Alexa mendengar jawaban Ava. Meskipun mereka berteman masih seumur jagung, Alexa merasakan ketulusan Ava kepadanya. Sedikitpun tidak pernah dia merasa sikap Ava yang buruk terhadapnya. Gadis itu selalu baik terhadapnya. Bahkan beberapa kali sempat membayarkan makan siang, meskipun Alexa selalu menolak. Dia beruntung mendapatkan teman sebaik Ava. "Aku tunggu." Alexa seringkali merenung soal kehidupannya. Memang, keluarganya tidak serukun keluarga orang lain yang mana hubungan orangtuanya baik-baik saja. Justru orangtua Alexa memiliki hubungan nyaris hancur. Keluarganya terpecah dan berjauhan. Meskipun begitu, dia selalu dikelilingi sahabat dan teman yang baik. Setidaknya ada yang patut dia syukuri.
Ketika mereka tengah berbincang, seseorang menghampiri mereka dan meminta izin untuk duduk satu meja bersama mereka. "Boleh bergabung?" tanya orang itu. Matanya berpindah antara Alexa dan Ava.
Alexa menyapu pandangan mencari meja yang masih kosong karena dia malas sekali satu meja bersama orang itu. Sayangnya, tidak satupun meja kosong yang tertangkap oleh kedua matanya.
Berbeda dengan Ava yang mengizinkan orang itu untuk bergabung tanpa pikir panjang lagi. Malahan, gadis itu sangat senang bisa satu meja dengannya. "Tentu. Kursi ini juga tidak ada yang menempati," jawab Ava dengan mata yang berbinar. Dia begitu bersemangat menyambut orang itu.
Alexa kikuk ketika orang itu duduk di sampingnya. Dia menjadi salah tingkah dan membuang pandangan ke manapun agar terlihat sibuk. Dia tidak ingin orang itu mengajaknya mengobrol.
"Kalau Anda tidak nyaman, saya bisa pindah ke tempat lain," ucap orang itu ketika melihat gerak tubuh Alexa yang seolah tidak mengizinkan.
Alexa menoleh secepat kilat. "Ah, tidak. Boleh. Kursi di sini bisa diduduki oleh siapapun," sanggahnya kikuk.
Ava memperhatikan mereka bergantian sambil mengulum senyum. "Do you like sushi, Mr. Dyer?" tanya Ava menyudahi kecanggungan antara mereka berdua.
"Ya, lumayan, tetapi tidak begitu. Kalau lagi mau saja," jawabnya sambil menawari Ava dengan menggeser piringnya sedikit.
Ava menggeleng. "Aku tidak suka sushi," jawabnya disertai seringai. "Alergi makanan mentah," lanjutnya.
Marcus membulatkan mulut. "Vegetarian?" Sebuah sushi mendarat di mulutnya.
"Bukan. Aku masih suka ayam dan steak." Ava melirik Alexa yang sedari tadi memainkan minuman dengan sedotan. "Oh, ya. Aku dengar, Mr. Dyer punya kebun brokoli di rumah?"
"Iya, tetapi tidak begitu besar. Itu milik orang tua saya. Saya mengajarkan mereka cara urban farming. Bercocok tanam sangat sehat untuk seumur mereka," jelas Marcus sesekali menoleh ke gadis di sampingnya yang sesekali masih membuang muka.
"Oh." Ava melirik Alexa lagi, berharap temannya ikut membuka obrolan agar dia tidak kehabisan topik. "Kalau di apartemen bisa? Aku juga ingin menanam selada untuk dikonsumsi sendiri."
"Sangat bisa. Bukannya kalian mendapatkan materi tentang itu? Pelajari dulu ilmunya." Marcus memasukkan sushi terakhir ke dalam mulut.
Ava mengangguk sambil melirik Alexa. Dia sudah kehabisan topik pembicaraan. Tiba-tiba dia mendapat ide. "Boleh kami melihat kebun brokolinya?"
Pertanyaan Ava membuat Alexa menoleh dan terkesiap. Menurut Alexa ini adalah ide konyol. Dia tidak habis pikir Ava bisa memiliki ide ini. Apa jadinya jika lelaki di sampingnya mengizinkan permintaan Ava? Situasi canggung akan terus berlanjut.
"Boleh. Kapan-kapan datanglah ke kebun kami," ajak Marcus disertai senyuman.
Mata Alexa membesar dan menoleh ke arah Marcus. Saat itu mata mereka beradu sehingga dengan secepat kilat Alexa membuang pandangan kemudian berhenti di wajah Ava. Dia menghujam mata Ava.
Melihat tingkah Alexa, Marcus beranjak dari kursi. "Terima kasih kursinya. Silakan lanjut makan siangnya." Marcus meninggalkan kedua gadis itu.
Sepeninggalnya Marcus, Ava menyeringai seolah meminta maaf kepada Ava sudah mengatakan hal yang membuatnya tidak nyaman. "Tapi Alexa, datang ke kebun brokolinya bisa menjadi riset studi kita. Sekalian berkenalan dengan keluarganya. Siapa tahu aku diterima sama keluarganya." Ava menyeringai. Dia tidak serius dengan perkataannya. Ini hanya membuat Alexa panas, sekaligus memancing gadis itu untuk mengakui perasaanya. Ava sangat yakin bahwa temannya ini memiliki perasaan terhadap asisten dosen tadi.
Alexa memutar kedua bola matanya, kemudian menghabiskan minuman sebelum meninggalkan dinning hall. Tanpa mengajak Ava, gadis itu pergi begitu saja.
Dengan sigap Ava mengejar Alexa dan meninggalkan minumannya yang baru diminum setengah. "Tunggu Alexa!" Dia sedikit berlari. "Aku bingung kenapa kau selalu bersikap aneh setiap dekat dengan Mr. Dyer?" Ava mengimbangi langkah Alexa. "Jangan bilang kau menyukai lelaki itu."
Alexa memicingkan mata ke arah Ava. "Jangan bicara seenaknya."
Ava terkekeh melihat tingkah temannya. Andaikan ponselnya tidak mati, ingin rasanya memotret ekspresi Alexa saat ini. Sangat menggemaskan.
------
Terima kasih sudah membaca kisah Alexa dan Marcus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top