2. Dyer Family
Alexa kembali ke tengah-tengah keluarga Emma dengan keranjang kosong. Dia berhenti di taman belakang dan merenung. Lelaki tadi datang tiba-tiba dan menyambar ucapannya begitu saja.
Emma mendekati Alexa. Matanya tertuju pada keranjang kosong. "Where's the orange?" Dia berdiri di ambang pintu.
Alexa menoleh ke arah Emma lalu beralih ke keranjang yang digenggamnya. "Oh, my God," lirihnya. Dia menyeringai ke arah Emma.
Ketika gadis keturunan Amerika asli itu hendak berbalik badan, Alexa menghentikan langkah tiba-tiba dengan pertanyaan. "Emma, who's that guy?" tanyanya sambil mengarahkan telunjuk ke belakang.
Emma menyapu pandangan ke lapangan kosong sesuai arah telunjuk sahabatnya. Dia tidak mendapati apapun di sana. Keningnya berkerut heran. "Who?"
"That guy." Alexa berbalik dan memelankan suaranya ketika tidak mendapati lelaki tadi. "He's gone."
Emma melipat kedua tangan di depan perut. "You're slightly jet-lagged, I guess. Take a rest, Lex. Don't force yourself!" Dia berbalik badan kembali ke keluarganya.
Alexa mengejar Emma dan berusaha menjelaskan bahwa dirinya tidak seperti yang dia pikirkan. "I'm serious that there was a guy over there. He told me about ...."
Emma mengangkat tangan untuk menghentikan ucapan Alexa. "Please, Alexa! Don't say anything about your strange story. You know, I don't like that kind of story." Wajah Emma berubah sebal.
Kini bergantian, Alexa yang tidak mengerti dengan maksud Emma. Dia mencoba memahami maksud gadis itu. Dia tidak mengerti kenapa ceritanya dianggap aneh oleh Emma? Beberapa detik kemudian, Alexa menyadari kesalahpahaman antara mereka. "Oh my God, Emma. Did you think I tell you about scary story? About ghost?" Alexa terkekeh geli.
Wajah Emma berubah seketika. "Why?"
Alexa melambaikan tangan dan meninggalkan Emma. Dia mendekati Sofia yang tengah mengupas jeruk. Gadis itu membantunya.
Hari itu adalah hari pertama Alexa dan Emma bertemu lagi. Mereka sering bertemu di hari berikutnya dan menghabiskan waktu bersama sebelum perkuliahan tiba dengan ke kafe, belanja sampai menonton film. Emma juga mengajak gadis itu untuk berkenalan dengan kekasih gondrongnya. Dia juga mengajak untuk bernostalgia ke tempat masa kecil.
Emma tidak berkuliah di Boston. Dia berkuliah di Universitas Stanford yang terletak di California. Hanya musim libur dia pulang ke Boston. Kadang, tidak pulang, tergantung dengan kesibukan di sana. Meskipun usia mereka sama, dalam pendidikan, Emma setahun di atas Alexa. Kini Emma sudah menginjak tahun pertama di Stanford. Emma pula yang membantu Alexa dalam memilih kampus yang akan dituju, karena dia tahu betul proses dan karkater pendidikan di negeri Paman Sam itu.
Alasan Alexa kembali ke Amerika karena permintaan Anne, ibunya. Pertengkaran dengan Nelson, suaminya yang terjadi selama beberapa tahun ini membuat wanita itu menyerah menghadapinya sendiri. Sikap tempramental Nelson membuat wanita itu sempat berpikir untuk mengakhiri rumah tangga. Untunglah, dia memiliki dua anak yang pengertian meskipun saling tinggal berjauhan.
Nelson adalah seorang tentara angkatan udara Amerika Serikat yang sering ditugaskan pindah-pindah. Hal itu mewajibkan Anne untuk ikut pindah bersama suaminya. Namun, dia tidak ingin kedua anaknya hidup berpindah-pindah seperti itu. Karena hal itulah dia memutuskan untuk menitipkan kedua anaknya kepada orangtua dan adiknya.
Saat Alexa berusia sepuluh tahun, Anne dengan berat hati harus melepas anak gadis satu-satunya pergi ke Jakarta bersama Pamela, adik dari Anne yang menikah dengan orang Indonesia dan sudah tinggal lama di Jakarta. Sedangkan, Sean, anak lelakinya dititipkan kepada orangtua Anne yang tinggal di Jerman. Usia Sean hanya terpaut satu tahun dengan Alexa.
"Lex, aku akan kembali ke California saat libur habis. Kau tidak masalah?" tanya Emma sesaat mereka menempati kursi kosong di Subway.
"Tidak masalah. Pertanyaanmu itu seperti aku berada di negeri antahberantah saja. Tinggal di Jakarta yang panasnya luar biasa saja, aku bisa. Masa di tempat kecilku tidak bisa. Pertanyaan macam apa itu?" Dia terkekeh sambil membenarkan lilitan syal di leher.
Emma menyeringai. Dia jadi malu sendiri. Dia menyilangkan kaki. "Masih ingat tetanggaku yang berladang brokoli dan budidaya Ladybug?"
Alexa mengangguk. Dia mengangkat sebelah alis.
"Mereka adalah keluarga dari Inggris. Dulu, rumah itu milik Mr. Roger. Dia sangat baik dan ramah. Meskipun sudah tua, aku sering melihatnya berolahraga setiap pagi. Aku saja kalah. Setelah dia meninggal, rumahnya dialihkan ke adiknya paling kecil. Kalau tidak salah ingat, namanya Mr. Dyer.
"Meninggal karena apa?" Sebelum dia pindah ke Jakarta, Alexa sering melihat tetangga yang dimaksud Emma setiap menginap di rumah gadis itu. Beberapa kali dia bertemu dengan Mr. Roger. Dia mengakui bahwa lelaki itu ramah kepada keluarga Emma. Sayang sekali Alexa tidak mengenal dekat. Tiba-tiba dia teringat lelaki yang berdebat dengannya waktu itu.
"Mr. Roger punya penyakit jantung. Padahal, dia tidak pernah menunjukkan penyakitnya. Setiap hari berolahraga. Aku pikir dia sehat." Emma mengusap dagu. Dia teringat kenangan bersama lelaki tua itu. "Sejak istrinya Mr. Roger meninggal karena kecelakaan pesawat, dia selalu murung dan menyendiri. Keluargaku berinisiatif untuk selalu mengajaknya di setiap acara. Setidaknya, dia merasa bahwa masih memiliki keluarga yang menyayanginya," jelas Emma. "Aku rindu Mr. Roger," lanjutnya sambil menyilangkan jemari.
"Kalian memang keluarga penuh cinta." Alexa mengerti perasaan sahabatnya. Dia juga pernah berada di posisi lelaki tua itu.
"Mrs. Dyer rajin bercocok tanam. Hasil tanam dari kehebatan tangannya selalu berhasil, termasuk brokoli." Emma melanjutkan cerita.
Alexa masih tidak mengerti tujuan Emma menceritakan kisah orang lain kepada dirinya. Dia hanya mengangguk dan menyimak.
"Anaknya dua. Sepasang seperti kalian, tapi terbalik. Paling tua anak laki-laki."
Alexa jadi teringat Sean. Sudah beberapa bulan tidak pernah meneleponnya.
"Anak perempuannya itu yang budidaya kumbang koksi. Entah kenapa, aku geli melihat kumbang koksi terlalu banyak. Benar-benar seperti pengganggu (bug)." Emma bergidik geli.
Jangan-jangan lelaki waktu itu adalah anak lulusan pertanian yang diceritakan Emma. Pikir Alexa. Dia ingin sekali menanyakan soal lelaki yang ditemuinya beberapa hari lalu, tetapi takut Emma salah paham.
"Anak tertuanya itu pintar. Dia masuk universitas saat usia lima belas tahun. Usia segitu kita masih main." Emma terkekeh sendiri.
Alexa diam sejenak membayangkan seberapa pintarnya lelaki yang diceritakan Emma. Di Indonesia pun ada orang pintar semacam itu. Dia pernah mendengar dari Nare bahwa sepupunya ada yang sudah berkuliah di usia lima belas tahun, mendapatkan beasiswa dan berkuliah di Oxford. Alexa menggeleng. Dia tidak mengerti dengan kerja otak orang secerdas itu. Mungkin, bagi mereka belajar adalah salah satu passion. Dia jadi semakin penasaran dengan lelaki kemarin. Who's that guy?
Karena tidak ada tanggapan, Emma menepuk paha Alexa dengan keras sehingga membuat gadis itu terkejut sambil mengucapkan 'who's that guy?' lalu mengerang sakit di area paha. "Did you hear me?"
Alexa mengusap pahanya sambil meringis. Dia memicingkan mata sinis ke arah Emma. "Yes, I did."
"Wait. Who's that guy? Who?" Emma menyadari apa yang Alexa pikirkan. Kini dia yang menyipitkan mata ke arahnya.
"Guy? I didn't. Who's guy?" Alexa mencoba berkilah.
"No, you did, Alexa. Have you a secret from me, Alexa?" Emma mengubah posisi duduk menghadap sahabatnya. Wajahnya menunggu pengakuan dari Alexa.
Alexa memikirkan cara untuk berkilah lagi, namun tatapan tajam Emma membuatnya salah tingkah dan sulit berpikir. Dia memandang pemandangan yang seakan terlihat ikut berlari mengejar Subway. "Well. I don't know who's that guy. I told you about it when we've just finished take some orange in your home. Remember?" jelas Alexa.
Emma berusaha mengingat kembali kejadian itu. Dia ingat bahwa Alexa tidak memetik satu pun buah jeruk kemudian dia teringat sesuatu. "Aaa, gotcha. Is guy on your strange story, huh?"
Alexa memutar kedua bola matanya. "Yeah," tanggapannya malas.
Emma meluruskan duduknya. Dia mengangguk. "I got it. So, it wasn't strange story, right?" Dia mengulum senyum.
Alexa menjawab dengan berdeham.
"Bisa jadi lelaki yang kau maksud itu adalah anak Mr. Dyer." Emma memiringkan kepala. "Tapi, aku tidak tahu namanya. Dia jarang sekali terlihat. Kata Grandma, dia tampan. Tidak tahu juga. Siapa tahu selera Grandma aneh." Emma membayangkan kategori tampan menurut selera Sofia.
Alexa memukul pelan paha sahabatnya. Subway yang mereka tumpangi sudah tiba di stasiun Universitas Boston. Mereka akan berkeliling kampus agar Alexa bisa menyesuaikan diri dengan dunia baru. Minggu depan mereka akan mulai berkuliah kembali. Dua hari lagi Emma akan kembali ke California.
-----
Maaf, ya, update-nya lama karena sibuk sekali. Dipastikan up setiap minggu tapi tidak menutup kemungkinan kurang dari seminggu. Sesempatnya saja.
Terima kasih sudah membaca.
Salam,
Author
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top