18. Bye Ava! Please James! Forgive Me, Emma

Jika boleh jujur, lebih baik aku tak punya ayah. Dia memalukan.

Ava mulai lelah menunggu Alexa. Dia tertidur di mobil, sedangkan James tengah menelepon Will untuk menutup kafe tanpa harus menunggunya kembali.

Malam semakin larut. Alexa belum juga kembali. James memberanikan diri untuk mengirim pesan ke nomor Alexa untuk menanyakan kepastiannya.

--------------------------------------
Alexa
--------------------------------------

Kau akan menginap atau pulang? Kalau menginap, aku jemput kau besok pagi, karena pesawat Ava besok pagi.

--------------------------------------

James menunggu balasan meski tak kunjung datang. Saat dia mulai frustasi dalam menunggu, James menyalakan mobilnya. Dia memutuskan untuk pulang. Satu sisi, tak tega melihat sepupunya sudah terlelap. Ketika hendak melajukan mobil, pintu rumah terbuka. Seorang wanita yang lain — tak setua wanita sebelumnya — mengantarkan Alexa keluar. Dia memeluk Alexa lama, lalu berbicara dengan mata berkaca-kaca. Sorot cahaya lampu rumah itu membuatnya jelas. Alexa melambaikan tangan kepadanya, lalu berjalan ke mobil James. Alexa melambaikan tangan lagi hingga matanya tak lagi mampu melihat wanita itu. Wanita itu hilang dari pandangan saat James melajukan mobil semakin jauh.

Alexa tak bicara banyak selama perjalanan. James sesekali mengecek kondisi gadis itu dari kaca dashboard. "Kau ikut antar Ava ke bandara besok pagi?" pertanyaan James memecahkan kesunyian di mobil itu.

Alexa mengangkat wajahnya dan menatap James dari belakang. James mendapati mata sembabnya. Sepertinya Alexa banyak menangis hari ini. "Iya," jawab Alexa singkat.

James mulai mati kutu harus berbuat apa. Ingin rasanya meringankan beban masalah gadis ini, tetapi dia tak cukup berani untuk bertanya. Dia takut. Alexa adalah tipe orang yang tak suka diusik kehidupannya. "Lex." James mengumpulkan kebernian. Fokusnya terbagi. Meski jantungnya berdegup cepat, tetap harus fokus menyetir. "Kalau kau ingin cerita padaku, cerita saja. Kau butuh aku tengah malam pun, aku akan datang." James tak berani melihat Alexa. Matanya menatap lurus ke jalanan yang mulai sepi.

Alexa tersenyum dan mengangguk meskipun James tak melihat. "I will, James."

Mendengar jawaban Alexa, membuat James sedikit lega. Namun, degup jantungnya semakin cepat.

Keesokan paginya, ketiga anak muda itu sudah beraada di Bandara Logan. Alexa memandangi barang bawaan Ava yang hendak dimasukkan ke bagasi. Dia berpikir apa yang akan dilakukan tanpa Ava di sini.  Selama ini Ava lah yang selalu menolongnya. Meski Ava memperbolehkan dirinya untuk tinggal di apartemen, tetap ada perasaan tidak enak. Tampaknya Ava menyadari lamunan temannya.

"Sudah! Tidak perlu dipikirkan soal apartemen. Kau boleh tinggal di sana semaumu. Kupercaya padamu. Asalkan, jangan ajak James tidur denganmu di apartemen itu!" Goda Ava sambil melirik sepupunya yang tengah sibuk memindahkan kopernya.

Alexa mengernyit bingung. "Aku dan James tidur berdua di apartemenmu? Tidak akan pernah terjadi." Alexa meyakinkan sahabatnya bahwa itu hanya imajinasi liar Ava semata.

Ava merangkulnya, "Entah kenapa aku masih berharap kau dan James pacaran. Kalian sangat cocok sekali."

"Maafkan aku, Ava. Kupastikan itu tidak akan pernah terjadi. Pria seperti itu ..." Alexa melirik pria itu, "bukan tipeku," lanjutnya.

Ava mengangguk-angguk, seakan terpaksa mengiyakan sanggahaan temannya itu.

Seluruh koper sudah masuk ke bagasi, meninggalkan tas punggung yang ada di tangan Ava. Mereka berpelukan, karena Ava harus masuk ke ruang tunggu. Gate penerbangannya sebentar lagi dibuka. "Kau itu hanya ke New York, bukan ke Afrika. Tidak perlu berlebihan." James kesal melihat drama dua wanita ini yang terharu dengan perpisahan. "Kau bisa ke Boston sesukamu," lanjutnya.

Ava jengkel dengan ledekan sepupunya. "Aku pergi dulu. James, tolong jaga Alexa untukku!" Ava berpamitan dengan James. Dia memeluk pria itu dan berbisik di telinganya, "Jangan kau bermain dengan perasaannya. Kalau kau membuat dia menangis, kau berurusan denganku. Mengerti?" Ava memasang mata tajam kepada James.

"Kau seperti harimau yang siap menerkam. Mengerikan." James menganggap ucapan Ava hanya gurauan.

"Aku serius, James," tegasnya.

James mengangguk paham. "Sudah sana masuk!" James mendorong Ava pelan.

Ava berjalan masuk dan meninggalkan Alexa dan James. Mereka memandangi punggung Ava yang semakin lama, semakin menjauh, hingga tak terlihat lagi. James memandangi Alexa dari samping. Tatapan gadis itu terlihat kosong. "Mau sampai kapan kau di sini?" Pertanyaan James membuyarkan pikiran Alexa.

Gadis itu menoleh ke arah James. "What?"

"Mau sampai kapan kau di sini?" James mengulang pertanyaannya.

Alexa tak menjawab.

"Hah, women. So dramatic. Everything." Pria itu memutar bola matanya, lalu berjalan keluar dengan tangan di kantong celana Jeans yang sudah kumal. Beberapa detik kemudian, Alexa mengikutinya dari belakang. "Kau lapar?" Pertanyaan pertama yang James utarakan sesaat berada di dalam mobil. Tak ada tujuan yang berarti, hanya pertanyaan memecahkan kecanggungan dan keheningan semata.

Tak ada jawaban. Alexa masih terdiam dan sibuk dengan pikirannya yang rumit. James menyalakan mesin mobil dan melajukannya meninggalkan bandara yang ramai. Dia memutarkan lagu Under The Bridge dari Red Hot Chilli Papper. Pria itu menikmati lagu dan terus memutarkan lagu band favoritnya itu.

Seketika tiba di depan kafe, Alexa mendapat telepon dari keluarga Emma. Sesuatu hal yang buruk terjadi kepada Emma. "Emma kenapa?"

James yang berada di sampingnya, ikut bertanya-tanya. Dia mengikuti ekspresi Alexa selama berbicara di telepon, menunggu penjelasan dari Alexa.

"James, kau lihat perempuan yang aku kunjungi rumahnya tadi malam?" Alexa menunduk memandangi ponselnya. Ia meremas kuat.

"Yup."

"Dia sahabat kecilku. Emma. Manusia biadab itu hampir membunuhnya." Alexa menjelaskan setelah menutup telepon. "Andai saja aku lebih dulu membunuhnya, mungkin ini tidak terjadi padanya," lanjut Alexa.

James masih terdiam, bingung, mendengarkan tanpa berbicara sedikit pun. Dia pun tak tahu harus bereaksi apa. Meski banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan, ini bukan waktu yang tepat untuk mendapatkan jawaban.

"Manusia iblis itu pantas mati. Lihat saja, jika aku bertemunya, akan kuhabisi nyawanya dengan tanganku sendiri." Mendengar gadis yang disukainya berkata mengerikan layaknya seorang psikopat, membuat James melihat sisi lain seorang Alexa. Kehidupannya begitu berat. "Bisa tolong antarkan aku ke kantor polisi?" pinta Alexa.

Tanpa bertanya, James menyalakan mobil dan melajukannya sesuai petunjuk Alexa. Sepanjang perjalanan, dia mendengar racauan amarah Alexa. Dia tak pernah melihat Alexa semarah ini. Pasti ada sesuatu yang dia tak tahu dan tak berani mencari tahu. Alih-alih mendengarkan Alexa, pikiran James pun sibuk mencerna semua puzzel yang terberai. Dia yakin, dengan menyatukan semua puzzel-puzzel ini dapat memberikan satu fakta baru tentang gadis ini yang eggan dia tanyakan. Lebih tepatnya, tidak berani.

"Kau tunggu saja di sini!" perintah Alexa sesaat mobil terparkir di kantor polisi.

"Tidak mungkin aku duduk di sini menunggu, sementara aku tak tahu apa yang akan kau lakukan di dalam," tolak James.

"Tolong, James" Alexa memohon.

"Aku tidak mau, Alexa." James melepaskan seatbelt, "Ayo!" Dia keluar dari mobil.

Alexa terdiam melihat James tak mengdengar ucapannya. Bukan karena teman, melainkan tak mau memasukkan James ke masalah ini. Dia bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Dia sudah banyak merepotkan pria itu. Alexa keluar dari mobil dan menahan tangan James. "James, please! Go back to the car!" pinta Alexa dengan sedikit memohon.

"I won't." James melipat kedua tangan di depan perutnya yang rata, menunggu reaksi gadis itu. "So? What do you waiting for? Let's go!" Dia berjalan tanpa menunggu persetujuan Alexa.

Alexa pasrah. Dia menyerah dengan perlindungan dirinya. Entah apa yang akan terjadi dan menimpa James ke depan. Yang jelas, manusia biadab itu tidak akan melepaskan siapa pun yang ikut campur. Langkahnya diiringi dengan kekahawatiran. Bukan mengkhawatirkan dirinya, melainkan James.

______________________________

Entah sudah berapa lama cerita ini hiatus. Akhirnya, bisa dilanjutkan lagi. Sejujurnya, perasaan dan vibe awal saat buat plot cerita ini sudah samar. Saya mencoba membangkitkan perasaan itu lagi, seperti waktu nulis awal-awal. Maaf jika ada perbedaan rasa yang kalian rasakan saat baca bab ini. Saya tidak mau membiarkan cerita Alexa ini berdebu semakin lama. Semoga suka, ya.
Terima kasih sudah berkenan membacanya. Ditunggu bab berikutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top