13. I'm late
Derap langkah Alexa dipercepat ketika tiba di gerbang kampus. Jika lima menit lagi belum tiba di kelas, dia bisa terlambat masuk. Sebenarnya bisa saja gadis itu datang tepat waktu kalau tadi tidak harus membantu Will karena pria itu datang terlambat. Karena menunggu pria itu, Alexa kehilangan sepuluh menitnya.
Alexa melirik jam tangan, sudah menunjukkan jam dua kurang tiga menit. Dia harus mempercepat langkahnya lagi karena lokasi kelas berada di gedung sebelah, berbeda dari posisinya saat ini. Bisa saja gadis itu berlari, namun kakinya terasa lemas dan pegal setelah lembur hingga dini hari dan lanjut masuk pagi.
Di sisi lain, Marcus menunggu seseorang yang sudah janjian untuk bertemu sebelum jam dua di taman kampus-belakang kelas gadis itu. Hingga saat ini, gadis itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. Marcus melirik jam tangannya. Rasanya, gadis itu memang tidak akan datang karena mengingat tiga menit lagi menunjukkan jam dua siang. Dengan lesu pria itu kembali ke ruang jurusan dan mengambil tas. Dia meninggalkan ruang jurusan dengan lemas.
Usai kelas, Alexa meluruskan kaki sebentar sebelum keluar kelas. Kali ini tidak bersama Ava, mengingat gadis itu masih demam. Hari ini, Alexa masih ada kelas lagi dua jam berikutnya. Dia bingung mengisi waktu menunggu kelas berikutnya. Setelah mahasiswa sudah keluar semua, Alexa bangkit dari kursi dan menyelempangkan tas di bahu. Ketika melintasi taman, dia baru ingat akan janjinya dengan seseorang. "Astaga, aku lupa." Gadis itu menutup mulut dengan tangan. Dirogohnya saku celana untuk meraih ponsel, namun terhenti. "Untuk apa aku telepon? Nanti juga ketemu di kafe. Hampir setiap hari dia datang ke kafe," ucapnya sebelum melanjutkan langkahnya.
Di tengah jalan, Alexa berpikir untuk menunggu jam berikutnya di perpustakaan. Saat menuju perpustakaan, matanya menangkap suatu keributan yang terjadi tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sebenarnya, Alexa malas untuk mendekati kerumunan orang, apalagi mencampuri urusan orang lain. Namun, hari itu entah kenapa kakinya menuju ke kerumunan orang tersebut. Kedua matanya membesar saat melihat seorang wanita menjadi korban pembulian oleh sekelompok lelaki. Kalau dilihat dari pakaiannya, sepertinya wanita itu seorang mahasiswi dan sekelompok lelaki merupakan dikenal dengan sebutan pembuat onar di kampus. Mereka anak dari keluarga kaya.
Sejenak Alexa menonton hal memalukan itu, karena tidak ingin ikut campur masalah orang lain sebab masalahnya sudah berat. Namun, saat sekelompok lelaki menarik hijab wanita itu, batin Alexa berteriak. Dia teringat keenam sahabatnya di Indonesia. "Hentikan!" teriak Alexa. Seketika seluruh mata memandang ke arahnya. Mau tak mau dia harus maju dan menghadapi sekelompok anak sok kaya. "Kalian tidak bisa memperlakukan orang lain seperti itu," ujarnya baik-baik.
Seorang lelaki dari mereka mendekati Alexa dan bicara di depan matanya. "Kau muslim? Kau satu golongan dengannya?" tanyanya sambil menunjuk wanita yang tengah membetulkan hijab yang sudah memperlihatkan setengah rambutnya.
"Bukan," jawab Alexa singkat.
"Untuk apa kau membela dia?" Lelaki itu melontarkan muka geram.
Saat itu islamophobia masih sangat terasa di negeri Paman Sam pasca serangan WTC, sebelas September 2001. Masih meninggalkan luka di benak masyarakat Amerika. Padahal dari ribuan korban meninggal dunia, tidak luput orang muslim yang tidak tahu apa-apa di dalamnya. Salah satunya adalah kakak dari wanita hijab itu. Wanita itu sudah diperingati oleh ibunya untuk melepaskan hijab sementara sampai suasana benar-benar tenang, namun dia tetap bersikukuh untuk mengenakan hijab ke kampus.
"Aku punya banyak teman muslim. Mereka tidak sejahat yang kau bayangkan." Alexa bersuara.
Lelaki itu tertawa. "Tidak sejahat yang kubayangkan kau bilang? Ayahku korban kejahatan mereka!" pekiknya di depan muka Alexa.
"Aku ikut berduka. Kalaupun kau marah, tidak sepantasnya berbuat seperti itu kepada wanita. Kau kasar sekali," balas Alexa tenang.
"Masih untung aku tidak membunuhnya." Wajah lelaki itu memerah.
"Asal kau tahu, kakakku juga korban dari serangan itu. Kami juga korban." Wanita itu ikut bersuara. "Sungguh, agama kami tidak mengajarkan membunuh. Jangan salahkan agama kami." Suaranya parau.
Alexa memandang wanita itu dengan rasa iba. Dia melewati sekelompok lelaki itu lalu menarik tangan wanita berhijab menjauh dari mereka. Ketika sekiranya aman, Alexa memberikannya tisu. "Aku sarankan, kau lebih berhati-hati."
Wanita itu memeluk Alexa tanpa kata. Saat itu Alexa merasa dipeluk oleh keenam sahabatnya di Jakarta. "Aku Yasmin." Wanita itu melepaskan pelukan lalu menjulurkan tangan untuk memperkenalkan diri. "Mau berteman denganku? Kau orang baik."
Alexa menyambut tangan itu. "Alexa. Dengan senang hati." Mereka bersalaman. "Aku punya enam sahabat muslim di Indonesia, makanya aku tahu bahwa Islam tidak seperti yang diberitakan media." Alexa tersenyum.
"Terima kasih sudah berpikir positif kepada agama kami." Yasmin memeluknya lagi.
"Sudah seharusnya sesama manusia saling menolong, bukan? Aku mau ke perpustakaan. Kau mau ikut?"
Yasmin menggeleng. "Aku ada kelas sekarang. Mungkin lain waktu."
"Oke." Mereka berpisah. Alexa melanjutkan langkahnya ke perpustakaan.
Tidak sampai di sana. Pembulian yang terjadi saat itu berlanjut ke esokan harinya. Kali ini menyerang Alexa dan tidak hanya diserang oleh sekelompok pria kemarin saja. Kelompok mereka bertambah dua orang wanita yang kemungkinan anak dari kalangan yang sama. Alexa yang tengah makan siang di dinning hall, mereka menumpahkan minuman bersoda di atas makanan Alexa tiba-tiba, sehingga membuat gadis itu mematung beberapa saat.
Saat salah satu dari mereka hendak menyiram Alexa dengan minuman soda lainnya, untung saja dia berhasil menangkisnya sehingga minuman tersebut berbalik arah dan mengotori baju mereka. Pembelaan Alexa berhasil membuat mereka semakin geram.
"Kalian ada masalah denganku?" tanya Alexa santai.
"Kau yang cari masalah dengan kami," jawab salah satu dari mereka.
"Kau membelanya," timpal yang lain.
Alexa berpikir sejenak. "Apa ini masih masalah kemarin?"
"Tidak usah berpura-pura. Kau anak pengguna beasiswa penuh, bukan?" tanya ketua dari mereka.
"Benar."
"Jangan macam-macam dengan kami kalau kau masih ingin sekolah di sini," lanjut lelaki itu.
Alexa tidak merespon. Dia tidak tahu siapa mereka ini.
"Beasiswamu bisa dihentikan dan kau terancam berhenti sekolah!" lanjut wanita yang bersama mereka.
Alexa terdiam karena mereka menyinggung beasiswanya. Benar juga, seharusnya dia tidak ikut campur urusan orang lain. Seharusnya dia tida usah peduli dengan orang lain. Pemikiran tersebut bergumul di dalam kepala gadis itu.
Mereka meninggalkan Alexa setelah menyiram Alexa dengan air minum di botolnya, sehingga membuat pakaian gadis itu kuyup. Alexa mematung dan terduduk lemas setelah mereka menjauh. Dia merenungi apa yang sudah diperbuat. Membantu seseorang tidak berbanding lurus dengan apa yang didapatnya kini.
Dari kejauhan, Marcus menonton keributan di dinning hall tersebut. Hatinya perih melihat Alexa diperlakukan semena-mena, namun Marcus tahu diri untuk tidak ikut campur karena dia bukan pengajar tetap di sana. Dia hanya pengajar pengganti yang berstatus magang sambil menunggu esainya di setujui.
Alexa meninggalkan dinning hall dengan perasaan kesal dan amarah tertahan. Dia menuju toilet untuk membersihkan diri. Gadis itu mengelap bajunya dengan tisu dan membasuh rambut yang lengket terkena minuman bersoda. Rasanya ingin menangis namun tidak ada air mata yang keluar.
Dia keluar dari toilet lalu duduk di taman sambil menjemur pakaiannya yang sebagian basah. Dia menunduk sambil merenung. Tiba-tiba dari samping seseorang menaruh jaket di pangkuannya. Alexa menoleh. "Sir."
Marcus duduk di samping Alexa. Mereka tidak bicara beberapa saat sampai pria itu memberanikan diri mengajak bicara. "Kemarin kau tidak datang."
"Maaf, saya terlambat dan lupa. Baru ingat setelah kelas selesai. Saya mencari Anda tetapi sepertinya Anda sudah pulang," jawab Alexa sopan.
"Benar. Saya sudah pulang." Marcus menjeda ucapannya. "Saya mau bilang ...."
Tiba-tiba ponsel Alexa berdering. Sebuah pesan masuk dari Will meminta Alexa untuk segera kembali ke kafe karena tidak ada yang membantunya bekerja. "Saya harus kerja," ucap Alexa tanpa ada yang bertanya. "Tadi mau bilang apa?"
Marcus menggeleng. "Tidak penting. Kau kembalilah segera. Semangat!"
Alexa melontarkan senyum kepada pria itu. "Terima kasih. Saya pergi dulu. Permisi." Alexa meninggalkan Marcus sendiri di taman, memandangi punggung gadis itu.
"Jangan pernah menyerah, my Ladybird. Terbanglah dan lindungi dunia ini dengan hatimu. Makan semua hama dengan kekuatanmu. Kau diciptakan untuk itu," lirih Marcus saat Alexa sudah mulai menjauh. Pria itu bangkit dari duduknya dan meninggalkan taman yang masih dihangatkan mentari.
-------
Maaf telat update. Nulis Ladybird banyak yang harus diriset, mengingat setting di Boston dan tahun 2006-2008an dan waktu risetnya itu kadang nggak ada.
Bantu saya untuk raih 1K reads, ya, folks! 🙏 Biar saya tambah semangat untuk menulis kisah ini. ❤️
Terima kasih sudah membaca, mate. 😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top