12. She Ain't Alone
Sejak kejadian di perpustakaan dan coffee shop beberapa hari lalu, Marcus jadi sering datang ke coffee shop. Beberapa kali bertemu Alexa di sana, namun gadis itu bersikap biasa saja. Selain karena ingin fokus bekerja, juga sudah menganggap Marcus telah memiliki kekasih dan tidak mau menjadi perusak hubungan orang lain.
Lain hal dengan Ava. Gadis itu masih merasa bahwa wanita yang bersama Marcus beberapa waktu lalu bukanlah kekasihnya. Ava berusaha untuk meyakinkan temannya, meski percuma. Dia jadi heran sendiri, kenapa dirinya yang paling bersemangat mendekatkan kedua manusia ini?
Sedangkan, James sebisa mungkin menaklukan hati Alexa. Setelah beberapa minggu mereka bekerja bersama, James memutuskan untuk mendekati gadis itu, meskipun belum berkonsultasi dengan Ava. Bagi pria itu, berkonsultasi dengan sepupunya hanya membuang-buang waktu, yang ada Ava akan melarangnya untuk mendekati Alexa, karena Ava tidak percaya terhadapnya. Sepupunya itu tahu betul dengan masa lalu James. Memang, pria ini memiliki masa lalu sebagai lelaki playboy, tapi makna kata itu menurut James adalah pria yang gemar meniduri dan menciumi wanita-wanita, sedangkan dirinya tidak. Dia hanya populer di kalangan wanita. Hanya dua kali saja berpacaran. Selebihnya, hanya berbuat baik kepada wanita-wanita yang mengejarnya. James tidak mau bersikap buruk kepada wanita, karena dia teringat ibunya.
Selama ini James mencari gadis yang pekerja keras dan tidak matrealistis. Menurut sepenglihatan James, semua itu ada di dalam diri Alexa. Meskipun begitu, sedikit pun Alexa tidak pernah membicarakan soal keluarga kepada James. Obrolan mereka sekadar seputaran kerjaan dan kuliah. James pernah menanyakan soal keluarga kepada Alexa saat pulang larut karena ada reservasi, namun Alexa mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Sejak itu dia tidak mau menanyakan hal itu lagi.
"Good morning, ladies!" sapa James saat tiba di Boston Roasted Coffee, coffee shop miliknya.
"Morning!" sahut Alexa seraya mengelap meja.
James menyapu pandangan kafe saat melihat Alexa kerja sendirian. Biasanya dia kerja bersama Ava. "Where's Ava?"
"Kau belum diberi tahu?" Alexa berhenti sejenak dan berbalik badan menghadap James.
"Belum."
"Dia sakit," jawab Will seraya memanaskan mesin kopi.
"Sakit?" James meraih ponsel dari saku celana dan menekan nomor Ava. "Kau sakit tidak memberitahuku? Yang benar saja, Ava. Jangan seenaknya saja kau kerja." James meracau.
'Aku sakit, James. Aku terkenal flu. Kau tidak percaya?' jawab Ava lemas di seberang sana.
"Ucapanmu sulit untuk dipercaya."
'Apa perlu aku ke sana dan bersin di depan wajahmu? Biar pelangganmu tertular.' Ava mulai kesal.
James berdiri di depan bar menatap Will sejenak. "Kau sudah makan? Aku bawakan sarapan dan obat untukmu." Suara James merendah.
'Tidak perlu. Tadi kau marah padaku, sekarang berbaik hati padaku. Aku curiga kau berniat meracuniku.' Ava menutup teleponnya sepihak.
James mematung. Mungkin, orang yang tidak mengenal mereka berdua akan menganggap mereka sedang bertengkar. Begitulah cara mereka menyalurkan kasih sayang dan kepedulian satu sama lain. "Aku ke Ava dulu." James beranjak dari kursi dan keluar coffee shop.
"Mereka sudah seperti pacaran." Suara Will samar oleh desisan mesin kopi.
James mengetuk pintu apartemen Ava sambil berteriak. Di tangan kirinya menggantung kantong berisikan sandwich dan obat-obatan. "Ava aku bawakan sarapan untukmu!"
Dengan malas Ava beranjak dari tempat tidur dengan rambut berantakan. "Aku sudah bilang tidak usah. Kau juga tidak percaya denganku," ujarnya malas sambil membukakan pintu lalu kembali ke tempat tidur.
"Aku hanya bercanda." James menutup kembali pintu apartemen. "Ini sarapan dulu!" Dia menyodorkan bungkusan sandwich. "Tidak usah takut, tidak aku racuni. Kali ini aku lagi baik." Dia menyeringai.
"Ava menyambar bungkusan itu dan membuka sandwich. Dia melahapnya. Kebetulan perutnya memang sudah lapar.
James menanggalkan jaket dan duduk di sofa. "Bagaimana menurutmu kalau aku pacaran dengan Alexa?" James ragu-ragu mengatakan ini sekarang tetapi harus dikatakan. Setelah dipikir-pikir, dia harus berkonsultasi hal ini dengan Ava sebagai sahabatnya Alexa.
Ava tersedak mendengar pertanyaan James. Dia bergegas mengambil minum. "Jangan bercanda, James." Ava masih tidak percaya. Pasalnya, selama ini dia melihat sikap sepupunya itu biasa saja kepada Alexa. Pria itu tidak pernah menunjukkan rasa suka kepada sahabatnya.
"Kenapa kau selalu menganggap ucapanku hanya sekadar candaan?" James beranjak dari sofa dan mendekati Ava di meja makan. "Aku serius, Ava." Dia duduk di depan sepupunya.
"Sorry, James. Ini benar-benar mengejutkan buatku." Ava melanjutkan sarapannya.
"Is she still alone?" tanya James.
Ava terdiam dulu sambil mengunyah. Jika dia mengatakan bahwa Alexa masih sendiri, bagaimana dengan Marcus. Selama ini dia berharap dosen muda itu berpacaran dengan sahabatnya. Namun, setelah diperhatikan, Alexa mulai cuek dengan Marcus. Jika sahabatnya pacaran dengan James, bagaimana dengan perasaan Marcus. Gila! Kenapa aku memikirkan perasaan Marcus bukan James? pikirnya.
"Is she still alone?" James mengulang pertanyaanya lagi.
Ava memajukan badannya sedikit. "Are you serious?"
"Yes," jawab James mantap.
"No."
"What do you mean?"
"She ain't alone. She has a boyfriend."
"Who?"
"A man." Ava tidak ingin melanjutkan pembicaraan konyol ini. Dia beranjak dari kursi dan menarik James ke arah pintu. "Aku mau istirahat. Kau kembalilah bekerja. Jadilah boss yang baik." Ava menyodorkan jaket James yang tergeletak di sofa.
"Ava, dengarkan aku dulu!" Suara James terhenti dengan dentuman pintu tertutup. Nampaknya kabar ini memang tidak baik dibicarakan kepada Ava. Dengan langkah lunglai, dia kembali ke coffee shop.
Sesampainya di sana, James melihat Alexa tengah mengobrol asik dengan seorang pria di depan bar. Alexa tersenyum, tertawa. Dia nampak bahagia. Will menyadari kehadiran James. Sebagai sesama pria dan mengenalnya lebih lama, Will mencoba mengerti perasaan James.
James berdeham sehingga menyadarkan Alexa dan teman prianya. Pria itu pamit kepada Alexa dan pergi dengan segelas kopi panas. Alexa pun melanjutkan pekerjaan.
James menarik kursi tinggi dan duduk di depan bar. "Mukamu kusut sekali, bos." Will mencoba mencairkan suasana. Tidak ada jawaban dari James. "Mau aku buatkan Espresso?" tanya Will.
James menjawab dengan anggukan. Meskipun masa lalu lelaki itu dikelilingi oleh wanita, untuk urusan mendekati wanita yang disukainya, termasuk payah. Dia tidak memiliki keberanian untuk mengutarakan langsung. Hal itu karena takut ditolak dan patah hati, meskipun selama ini tidak pernah ditolak. Namun entah kenapa dia memperkirakan bahwa Alexa akan menolaknya. James memandang Alexa yang tengah melayani pengunjung di sebuah meja dekat jendela.
Tak lama gadis itu berjalan ke arah bar. "Espresso satu, Will." Dia menaruh sendok, tisu dan gula di atas tray. Sambil menunggu Will membuat kopi, Alexa menanyakan soal Ava kepada James. "Ava baik-baik saja?"
"Ya. Tidak separah yang dia ucapkan. Kadang dia memang berlebihan. Menyebalkan."
Ucapan James sukses membuat Alexa tertawa. Dia memang senang melihat James dan Ava saling menjatuhkan karena terlihat lucu. Meski pada kenyataanya ucapan mereka itu bukanlah maksud sebenarnya.
Pria yang duduk dekat jendela memandangi keakraban James dan Alexa. "She ain't alone."
Alexa mengantarkan pesanan ke meja dekat jendela. "Espresso, silakan!" Alexa menaruh secangkir pesanan pria itu.
Pria itu menahan tangan Alexa. "Ada yang mau saya bicarakan."
"Aku lagi kerja."
"Jam berapa ada kuliah?"
"Jam dua siang."
"Kita bicara di kampus sebelum kelas."
"Oke." Alexa meninggalkan pria itu dengan wajah berkerut. Dia tidak mengerti maksud Marcus. Kenapa tiba-tiba ingin membicarakan sesuatu? Sedangkan, pria itu sudah tidak mengajar di kelasnya lagi.
------
Ada yang rindu mereka?
Terima kasih sudah membaca
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top