10. I Got A Job

Pagi-pagi sekali Alexa mendatangi kafe yang dimaksud Ava. Sedikitpun tidak mau terlewati kesempatan. Kalau hari ini ditolak, dia akan berusaha sampai mendapatkan pekerjaan. Meskipun udara masih terasa dingin, dia tidak peduli. Dengan syal terbelit di leher, dia menyembunyikan setengah wajahnya dari balik syal.

Sepasang earphones menggantung di telinga. Lagu This Love dari Maroon 5 menggema di telinganya. Sesekali bibirnya ikut bernyanyi sambil mondar-mandir di depan kafe. Tiga menit berlalu, lagu berganti ke She Will be Love dari penyanyi yang sama.

Di waktu yang sama, Ava terbangun. Dengan pandangan yang masih kabur, dia mencari sosok Alexa. Gadis itu beranjak dari tempat tidur dengan nyawa belum terkumpul seratus persen dan mendapati James pun tidak ada. Dia duduk sejenak di sofa sambil berpikir ke mana hilangnya mereka. Dia menyambar ponsel yang tergeletak di meja makan lalu menekan nomor Alexa. "Kau di mana?" tanyanya saat terdengar suara di seberang sana.

"Di depan kafe," jawab Alexa seraya membenarkan syal.

"Kenapa tidak menungguku dulu? Bisa aku temani."

"Aku tidak mau mengganggu tidurmu yang nyenyak."

"Ya sudah, kau tunggu di sana! Aku ke sana sekarang." Tanpa menggosok gigi dan cuci muka, Ava menyambar mantel yang digantung di stand hanger lalu mengantongi dompet dan kunci. Gadis itu mempercepat langkah setelah mengunci pintu apartemen. "Kau benar-benar Alexa!" sewotnya saat bertemu Alexa yang berdiri di depan kafe. "Masih pagi mereka belum buka," lanjutnya seraya merapatkan mantel.

"Aku tunggu."

Ava menggeleng. "Di luar dingin, Alexa. Kau bisa sakit. Nanti kita mampir lagi sebelum ke kampus. Sekarang kita kembali dulu ke kamar," ajak Ava.

"Aku tidak mau kehilangan kesempatan. Kalau nanti ada yang melamar dan diterima, aku kalah cepat," sanggah Alexa.

Ava menggeleng lagi. Dia tidak mengerti dengan jalan pikiran temannya. "Baiklah, aku temani." Dia hanya bisa pasrah dan menemani sekuatnya. Kalau tubuhnya sudah tidak kuat, dia akan mengangkat bendera putih.

Orang hilir mudik melewati mereka. Suara ketukan sepatu menjadi teman keheningan mereka berdua. Udara dingin mulai terasa hangat saat matahari mulai menyinari Kota Boston. Meskipun angin yang masuk di balik mantel dan syal masih terasa dingin, setidaknya sinar mentari dapat langsung menghangatkan tubuh mereka.

Alexa membagi sebelah earphone kepada Ava. "Biar kau tidak kesal sendiri."

Ava menerima pemberian Alexa dan langsung menempelkannya di telinga. Lagu Breakaway dari Kelly Clarkson masuk ke dalam rongga telinga Ava. Dia bersenandung pelan mengikuti nada lagu tersebut. Sesekali pun ikut bernyanyi bersamaan dengan Alexa.

I'll spread my wings, and I'll learn how to fly
I'll do what it takes till I touch the sky
And I'll make a wish
Take a chance
Make a change
And breakaway
Out of the darkness and into the sun
But I won't forget all the ones that I love
I'll take a risk
Take a chance
Make a change
And breakaway

Ava tidak mengetahui tentang masalah yang dihadapi Alexa. Dia hanya tahu temannya membutuhkan pekerjaan hanya karena ingin mengisi waktu luang, bukan karena pelarian dari masalah. Alexa pun tidak mau menceritakan soal keluarganya ke sembarang orang. Apalagi mengenal Ava masih hitungan minggu. Dia tidak bisa percaya begitu saja kepada orang yang baru dikenal.

Lirik lagu yang dinyanyikannya benar-benar menggambarkan dirinya saat ini. Setelah berpikir panjang, dia siap untuk mengambil keputusan dan mengambil resiko demi menginginkan perubahan, setidaknya untuk diri sendiri. Dia merasa bahwa kebahagiaan harus dicari sendiri. Mengandalkan kebahagiaan kepada orang lain hanya bisa mematahkan hatinya berkali-kali. Alexa sudah muak dengan itu.

Pintu kafe terbuka bersamaan dengan lagu breakaway habis. Ava yang pertama kali menyadari pintu kafe terbuka. Dia menanggalkan earphone dari telinga dan menepuk bahu Alexa. "Sudah buka. Ayo!" ajaknya.

Mereka mendekati kafe dan disambut oleh seorang lelaki yang dikenal oleh Ava.

"Maaf belum buka. Mesin kopinya baru nyala. Silakan duduk dulu," sambut lelaki itu.

Ava mendekati lelaki itu dan mengatakan maksud. "Temanku mau melamar kerja di sini. Masih terima?"

Kening lelaki itu mengerut sejenak. Dia seperti mengenali wanita di hadapannya. Matanya terbelalak saat mengingat siapa gadis di depannya. "Kau itu Americano?" Americano adalah kopi kesukaan Ava dan sering dipesan di kafe ini setiap sebelum ke kampus.

"Bung, aku tidak memesan kopimu sekarang. Aku ingin melamar pekerjaan," sanggah Ava seraya menepuk bahu lelaki itu seolah-olah sudah akrab.

Lelaki itu melirik tangan Ava di bahunya dengan wajah bingung. "Kalau mau melamar, kau harus bertemu dengan bosku dulu."

Ava terdiam mendengar ucapan lelaki itu. "Jadi, bukan kau pemilik kafe ini?"

Lelaki itu menggeleng. "Bukan. Aku hanya barista yang dipercaya untuk mengelola kafe ini. Kebetulan bosku datang hari ini. Kau bisa bicara dengannya dan bawa lamaran pekerjaan," jelasnya. Dia menoleh ke Alexa lalu kembali ke Ava. "Kalau kau tidak memesan kopi, aku mau melanjutkan pekerjaan dulu. Oh ya, lebih baik kau sikat gigi dulu sebelum bicara dengan orang lain." Lelaki itu berbalik badan dan pergi begitu saja.

Ava mematung bukan karena ditinggal barista itu melainkan karena baru kali ini ada lelaki yang protes dengan aroma mulutnya. Dia melepaskan udara dari mulut ke telapak tangan dan mengenduskan udara yang keluar. Aroma semerbak itu menusuk rongga penciumannya sendiri. Dia mengernyit. "Pantas saja dia bilang begitu," lirihnya seraya meninggalkan kafe diikuti Alexa dari belakang.

Baru saja beberapa langkah dari kafe, mereka bertemu James dengan pakai yang berbeda. "James, kau dari mana? Aku kira kau kembali ke New York tanpa memberitahuku dulu." Ava bersuara lantang sambil mendekati lelaki itu. Ada rasa kesal. Nampaknya efek dari dipermalukan oleh barista tadi.

James memandangi kedua gadis itu dengan senyuman secerah mentari. "Aku ada urusan tadi. Kau mau minum kopi?" tanyanya.

"Kau mau minum kopi di mana?" tanya Ava.

"Kafe itu." James menunjuk kafe barusan.

Ava merapatkan mantel. "Belum buka. Aku baru saja dari sana. Malah aku dipermalukan oleh baristanya," kesal Ava.

Air muka James berubah. "Kau dipermalukan? Siapa yang berani mempermalukan wanitaku? Dia tidak tahu siapa kau ini, huh?" James meninggalkan mereka dan mengarah ke kafe.

Ava terkesiap melihat sepupunya berjalan ke arah kafe dengan langkah mantap. Padahal dia tidak bermaksud untuk membuat orang ribut sepagi ini. Ava mengejar James dan berusaha menghentikan langkahnya. "James!" serunya. "James, bukan begitu maksudku. Kau tidak perlu ribut karena aku. Tolong James jangan buat keributan." Ava memohon, namun James tidak mengindahkannya.

Ava menghalangi James saat mereka tiba di depan pintu kafe. Dia merentangkan kedua tangan dan berusaha menghalau sepupunya.

"Hai, Bos!" sapa barista kepada James seraya mengangkat tangan.

Seruan itu membuat Ava dan Alexa mematung. James menyambut sapaan barista itu lalu memandang sepupunya yang masih menghalau pintu. "Ava! Kau jangan mematung di depan pintu."

"Bos?" Ava menatap James dengan tajam seolah membutuhkan penjelasan.

"Siapa tadi yang mau melamar pekerjaan?" Barista menghampiri mereka. "Ada yang mau melamar pekerjaan Bos."

"Siapa?"

"Aku." Alexa menyahut dari belakang dan membuat James berbalik badan.

"Kau?"

"Ya, aku."

Kini bukan hanya Ava yang mematung, James pun. "Tetapi kau kuliah."

"Paruh waktu. Bisa?" Alexa menatap James dengan penuh harap. Jemarinya disilangkan menunggu jawaban. Dia memang tidak membuat lamaran, hanya berbekal harapan dan kemauan tinggi untuk kerja keras.

"Oke. Aku terima. Kau bisa bekerja paruh waktu di sini," jawab James tanpa pikir panjang. "Kau bisa mulai masuk besok," lanjutnya.

Mata Alexa berbinar. Dia tidak menyangka akan semudah ini mendapatkan pekerjaan. Dia tidak peduli siapa bosnya, yang dia pedulikan adalah bekerja dan berusaha sebaik mungkin. Alexa melemparkan senyuman kepada James. "Terima kasih."

Baru kali ini James melihat senyuman gadis yang tulus dan penuh harapan. Biasanya, dia hanya melihat perempuan manja dan malas untuk bekerja paruh waktu. Besar bersama dua adik perempuan membuatnya memiliki pikiran seperti itu. Dia melihat adik perempuannya yang terus tergantung dengan harta orang tua, dan Ava yang masih menikmati fasilitas orangtua juga. Dia merasa Alexa gadis yang unik dan berbeda. Pandangan James tidak berpindah dari wajah Alexa. Namun, pandangan manis itu berubah menakutkan saat wajah Ava mengejutkannya dengan muncul tiba-tiba di depan matanya.

"Ada yang aku tidak tahu?" tanya Ava dengan ekspresi curiga.

James terkekeh. "Ayo Alexa kita minum kopi dulu!" ajaknya seraya merangkul Ava dan menariknya masuk ke kafe. "Jangan mengomel dulu!" pintanya kepada Ava yang masih membara. "Aku buatkan kopi dulu." James mendekati mesin kopi dan mulai beraksi dengan passion-nya.

Melihat kelihaian James, kekesalan Ava mereda. Baru kali ini dia melihat sepupunya begitu bahagia melakukan sesuatu dengan bahagia. Tidak seperti yang dilihat terakhir kali waktu di Perancis. Saat itu James diminta meracik parfum oleh ayahnya, tetapi James melakukannya dengan terpaksa. Meskipun sama-sama meracik, racikan dengan cinta akan terasa oleh siapapun yang melihatnya, apalagi jika dirasa.

James meletakkan secangkir Long black dan cappuccino kepada kedua gadis itu. "Aku ke sini memang untuk mengelola kafe ini sendiri. Selama ini Will yang mengelola." Dia menyeruput Espresso. "Aku buat perjanjian dengan Papa. Aku bisa melakukan apa saja sesuai dengan passion-ku asal aku belajar mengelola perusahaan parfum Papa selama enam bulan. Kafe ini baru berdiri enam bulan sejak aku membuat perjanjian dengan Papa. Aku minta Will untuk mengelola sementara." James menyeruput minumannya lagi. Will adalah barista tadi.

Ava menyilangkan kaki dan melipat kedua tangan di depan perut. "Pantasan Dad memilih apartemen ini untukku. Ternyata ada maksud terselubung."

"Maksud apa?" James tidak mengerti.

"Agar kau bisa memantauku." Ava memicingkan mata kepada James.

James mengulum senyum. "Tenang, aku tidak akan melaporkan apapun kepada ayahmu selama aku bisa menanganimu sendiri."

Alexa semakin kagum dengan hubungan James dan Ava. Dia merasa diberkahi bisa bertemu dengan manusia seperti mereka yang baik dan murah hati. Alexa ikut tertawa melihat kedua manusia di depannya tertawa. Dia berjanji pada diri sendiri, tidak akan mengecewakan James dan akan bekerja keras. Andaikan Anne bisa diajak kerja sama, dia ingin berlari pulang dan mengatakan kepada Anne bahwa dia sudah mendapat pekerjaan dan ingin mengajaknya untuk meninggalkan pria brengsek itu, Nelson. Namun, itu tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin.

------
Terima kasih sudah membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top