8
Edward meminum habis gelas ketiga minumannya, minuman yang biasa Edward minum saat sedang gelisah, yang biasanya mampu memberikan ketenangan padanya di tegukan pertama. Tetapi hal itu tidak berlaku sekarang, saat Edward sangat membutuhkan ketenangan. Rasanya Ia ingin sekali menghabiskan brendi itu sekali tegukan, dan membiarkan dirinya hilang kesadaran, jika saja tidak ada rencana untuk berbicara dengan Pruistine sebentar lagi.
Edward merasa perasaannya bagitu kacau saat ini, reaksinya pada kecantikan Pruistine sangat membingungkannya. Wajar jika pria normal terpesona pada kecantikan seorang wanita, tapi keterpesonaan dirinya tadi sore saat pertama kali melihat Pruistine, bukanlah seperti keterpesonaan yang terjadi padanya saat melihat wanita-wanita cantik seperti biasanya.
Duduk di meja kerjanya, Edward memijat pelan pelipisnya yang terasa berdenyut, masa bodoh dengan pembicaraannya nanti dengan Pruistine, rasanya Ia sudah tidak mengingat hal-hal yang ingin di bahasnya.
Ketukan terdengar di pintu masuk ruang kerjanya, lalu terlihat sosok Mary yang membuka pintu itu. "My Lady sudah siap, My Lord."
"Masuklah." Sahut Edward singkat, Ia menguatkan diri untuk bertemu Pruistine, dalam hati Ia berharap semoga saja keterpesonaannya yang tidak wajar tadi hanyalah efek dari ketidaksiapannya bertemu dengan sosok Pruistine yang cantik. Sekarang dia sudah tau pasti bagaimana pesona anak perwaliannya itu, jadi pasti tidak akan ada rasa terkejut lagi.
"Baik, My Lord," jawab Mary, lalu Ia menepi dari pintu, "Silahkan, My Lady."
Terdengar suara gemerisik gaun pada setiap langkah Pruistine, saat tiba di depan pintu, Pruistine berhenti sejenak.
Di ambang masuk pintu, untuk sekali lagi Edward di buat tidak bisa berkata-kata dengan sosok Pruistine. Gadis yang dilihatnya sedang berdiri di ambang pintu saat ini terlihat tiada duanya, walau Ia memakai gaun hitam yang sangat tidak menarik, tapi aura kecantikannya begitu memikat, bahkan aura itu terasa dua kali lipat lebih memesona di banding pertemuan awal mereka tadi.
Edward mengedipkan mata, lalu Ia mengalihkan tatapan matanya dari ambang pintu, dimana sosok Pruistine sedang berdiri, "kemarilah, Pruistine." Seru Edward agar Pruistine masuk, Edward mendengar langkah kaki Pruistine yang sangat perlahan, walau tanpa melihatnya Edward bisa merasakan dua tatapan mata cemas yang mengarah kepadanya. Edward terlalu takut menatap ke arah Pruistine saat ini, ia merasakan degupan jantungnya yang tidak beraturan. Sudah lama sekali Ia tidak merasakan debaran di dadanya saat melihat seorang wanita, dan kali ini, saat ia merasakan nya lagi, wanita itu adalah anak perwaliannya sendiri.
Ia tidak boleh jatuh dalam pesona gadis itu, tekad Edward.
Sambil menunggu langkah Pruistine ke arahnya, Edward memfokuskan pandangannya ke sudut ruangan. Di sudut ruangan itu terdapat sebuah patung.
Sebuah patung? Edward merasa baru menyadarinya sekarang.
Bukankah itu patung dewi Persefone? ternyata mendiang Lord Stannage juga menyukai karya seni, batin Edward. Ia mencoba menyingkirkan pesona Pruistine dengan memikirkan tentang patung itu.
Dewi persefone, seorang dewi yang terkenal akan kecantikan nya. Kecantikan yang tiada duanya, seperti Pruistine ku,batin Edward
Pruistineku? Ada apa dengan nya ini! fikir Edward jengkel.
Melamun, Edward teringat kisah Dewi Persefone, yang terkenal akan kecantikan dan pesonanya, dan membuat banyak dewa-dewa seperti Hermes, Apollo, Ares dan Hefaistos menaruh hati kepadanya, akan tetapi Demeter, ibu dari Persefone, menolak semua pemberian dan hadiah mereka. Hal itulah yang akhirnya membuat Demeter menyembunyikan putrinya, menjauhkan hidup putrinya dari para dewa, untuk melindunginya. Sehingga persefone bisa hidup dalam kedamaian untuk beberapa saat. Sebelum kejadian penculikan yang di lakukan Hades, dewa dunia bawah yang jatuh hati kepada Persefone dan nekat melakukan segala cara untuk memilikinya.
Persefone yang malang, batin Edward.
Sesuatu seperti memukul kepalanya saat itu juga, kenapa Ia merasa ada keterikatan tentang Persefone pada diri Pruistine? Apakah tindakan mendiang Lord Stannage di dasari pada ketakutan seperti ketakutan yang dimiliki Demeter? Yang takut Persefone diperebutkan dewa-dewa hingga akhirnya memutuskan mengasingkan Persefone dari dunia dewa? Seperti yang terjadi kepada Pruistine, dia diasingkan dari dunia pergaulan bangsawan.
Ketakutan dari orang tua yang dikaruniai putri cantik jelita.
Dan ketakutan terbesar mendiang Lord Stannage pastilah jika Hades muncul dan menculik Persefone nya... yaitu 'Pruistine'.
Edward memahami ketakutan mendiang Lord Stannage sekarang.
Saat Pruistine sampai di samping nya, Edward mengalihkan tatapan matanya kearah Pruistine, mencoba sebisa mungkin untuk tidak tampak seperti pria bodoh yang hanya bisa diam di depan seorang wanita yang baru ditemuinya.
"Terimakasih kau bersedia menemuiku di sini, Pruistine," ucap Edward membuka percakapan. Edward berdiri dari kursi kerjanya, "Mari duduk di sofa di dekat jendela itu saja, My dear," lanjut Edward mengarahkan Pruistine ke arah yang di sebutkannya, "di sana lebih nyaman."
Pruistine tersenyum, "Ya, My Lord."
Saat melangkah ke dalam ruang kerja ini, awalnya pruistine merasa sedikit cemas, seperti biasanya, kecemasan yang tidak ia ketahui alasannya.
Lalu entah bagaimana selangkah demi selangkah tapak kakinya menyentuh lantai, membawanya semakin dekat dengan Edward, perlahan dia merasa mendapatkan kenyaman hanya dengan melihat Edward. Pruistine teringat akan kecupan lembut Edward di kepalanya sore tadi, kecupan yang terasa sangat menenangkan bagi Pruistine. Persis kecupan yang biasa Ia dapatkan dari mendiang ayahnya. Ia merasakan kehadiran jiwa ayahnya pada diri Edward.
"Kau bisa undur diri, Mary," perintah Edward tiba-tiba kepada Mary, yang saat ini tengah berdiri dalam diam di sisi pintu, "akan lebih baik jika waktumu digunakan untuk membantu koki menyiapkan makan malam yang spesial ini, kujamin walau hanya berdua saja denganku, Pruistine seaman seperti Ia bersama ayahnya" Lanjut Edward dengan santainya, sambil tetap menuntun Pruistin ke tempat yang ia tuju. Ia benar-benar membutuhkan berbicara berdua saja dengan Pruistine.
"Baik, My Lord," terdengar jawaban Mary, tak berselang lama Mary meninggalkan ruang kerja Edward.
Saat hanya berdua saja dengan Edward, Pruistine menatap ke arah Edward, walau tanpa mengucapkan sepatah katapun, sorot mata Pruistine begitu menggambarkan pertanyaan apa yang saat ini sedang ia fikirkan, dalam hati Pruistine bertanya-tanya, makan malam spesial?
dan Edward menangkap pertanyaan tak terucap itu.
Edward hanya tersenyum, saat mereka sampai disofa yang dituju, Edward mempersilahkan Pruistine duduk. Mereka duduk berdampingan di sebuah sofa panjang yg di letakkan persis di depan jendela.
"Aku tau apa yang sedang perputar dalam kepalamu sayang," ujar Edward sambil mengedipkan sebelah matanya. "Makan malam spesial yang ku maksud itu adalah makan malam ku yang ditemani seorang wanita cantik, tidak lagi bersama bayangan hitam." Lanjut Edward, semampunya menyelipkan sedikit nada humor.
Tanpa Edward sangka, Pruistine menanggapi ucapan Edward dengan tawa kecilnya yang terdengar seperti dentingan suara harpa. Saat Edward mengamati wajah Pruistine, dia melihat rona merah samar di pipi gadis itu. Desiran hangat mengalir di tubuhnya, rasanya akan terasa sangat benar jika ia mengecup pipi kemerahan itu dengan lembut. Edward segera menendang jauh fikiran kotornya itu. Ingat! dia anak perwalianmu, rutuk Edward kepada dirinya sendiri.
Edward segera melanjutkan percakapan mereka guna menghindari fikiran dan reaksi alami tubuhnya yang aneh.
"Kau merona, Sweet Heart, apakah kau malu?" ucap Edward.
Pruistine mengangguk. "Kau orang pertama yang mengatakan aku cantik, Edward," sahut Pruistine, "kecuali kedua orang tuaku, mereka selalu mengatakan dan memuji aku cantik."
Edward mengernyit sebentar, lalu saat Ia mulai mencerna perkataan Pruistine, Edward tertawa terbahak-bahak. Pruistine memberenggut mendengarnya, "Kenapa tertawa? aku serius kau orang pertama selain kedua orang tuaku yg memujiku cantik," jawab Pruistine.
"Ya Tuhan, My dear, kau lucu sekali," ucap Edward di sela-sela tawanya. Edward berusaha sebisa mungkin menghentikan tawanya, iya berdeham. "Senang rasanya aku menjadi orang pertama yang memujimu cantik, itu berarti kau harus selalu mengingat kenangan pertamamu itu," ucap Edward, dia berhasil mengucapkan nya dengan nada serius, "untuk kedepan nya, aku yakin kau akan jenuh dengan pujian itu sayang, semua orang yang bertemu denganmu pasti akan memuji kecantikanmu."
Pruistine menaikkan alisnya, "benarkah?" tanyanya.
Edward mengangguk.
"Kau sangat cantik sayang," Edward berkata dengan tulusnya. Tiba-tiba Edward tersenyum geli, "dan alasan kenapa aku menjadi orang pertama yang memujimu cantik, My dear, bukankah itu karna kau selalu mengenakan tudung dan jubah-jubahmu itu, hingga tidak ada orang yang pernah mempunyai kesempatan melihatmu?" Edward tersenyum semakin lebar, dan Ia mengedipkan matanya lagi ke arah Pruistine.
Mata Pruistine terbelalak seakan baru menyadari kebodohan ucapannya, lalu Ia tertawa lepas, yang di ikuti dengan tawa Edward. Untuk beberapa saat derai tawa terdengar di ruangan itu. Saat mereka berdua lelah tertawa, keduanya terdiam dan saling menatap mata dengan penuh kegembiraan, tetapi perlahan-lahan ekspresi bahagia di wajah Pruistine hilang dan di gantikan dengan ekspresi sendu, Ia memutuskan kontak mata dengan Edward dan menundukan pandangannya.
Edward segera bereaksi melihat sikap Pruistine yang berubah drastis, Ia menggenggam tangan Pruistine, meremasnya.
"Katakan, apa yang membuatmu tiba-tiba bersedih, Sweet Heart?" pinta Edward, "anggap aku ayahmu, atau minimal anggap aku sebagai teman berbagi suka dan dukamu, Pruistine."
Pruistine menaikan lagi pandangan matanya, Ia menatap lurus ke arah mata Edward.
"My Lord... " ucap Pruistine, mengawali curahan hatinya kepada Edward, dan dengan perlahan ribuan rangkaian kata keluar dari mulut Pruistine, Ia berbicara seakan menumpahkan segala hal yang Ia pendam. Edward diam menyimaknya, Ia benar-benar berusaha berperan sebagai pendengar yang baik.
Tak terasa perbincangan mereka telah memakan waktu berjam-jam. Selama perbincangan itu, ekspresi wajah Pruistine berubah-ubah, sesuai dengan hal yang Ia bicarakan dengan Edward. Ekpresi sedih, lucu, cemberut, dan gembira saling bergantian hadir di wajahnya, dan itu membuat Edward menyadari sebuah perasaan yang baru pertama kali ini Ia rasakan. Hanya dengan dua kali pertemuan, pertemuan dengan sosok Pruistine yang sebenarnya, bukan dengan bayangan hitam kaku yang selama dua minggu ini Ia temui di ruang makan.
Edward merasakan hatinya sudah tertawan oleh gadis itu, ingin rasanya Ia memiliki dan mengklaim gadis ini sebagai miliknya, tidak hanya itu, Ia juga ingin melindunginya, menjaganya, mengutamakan segala kebutuhannya di banding dengan kebutuhan diri Edward sendiri. Bahkan jika ia bukanlah wali dari gadis ini, Ia yakin akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya, seperti Hades yang rela melakukan segala cara untuk mendapatkan Persefone.
Ia tidak boleh menjadi Hades, Ia wali dari gadis ini, Ia harus melindunginya, bukan malah memanfaatkan posisinya untuk keuntungan pribadinya, batin Edward dengan perasaan campur-aduk.
Persefone...
Edward teringat lagi akan dewi itu. Edward melihat senyum manis Pruistine kepadanya saat ini, menuruti naluri hatinya Ia mengulurkan tangannya membelai pipi Pruistine, "Persefone... " bisik Edward dengan tidak sadar.
Pruistine berhenti tersenyum, matanya terbelalak kaget, "kau memanggilku apa?" tanya Pruistine, "Persefone?"
Edward mengangguk
Mata Pruistine berkaca-kaca, "Kau mirip sekali dengan ayahku," ujar Pruistine. "Apakah ada jiwa ayahku di dalam dirimu, Edward?" tanya pruistine, Ia memajukan tubuhnya, dan menempelkan kedua telapak tangannya di dada Edward, merasakan dekat jantungnya. Debaran hati Edward semakin tidak beraturan karna sentuhan Pruistine.
"Apa kau tau, Edward? ayahku sering sekali memanggiku Persefone," ucap Pruistine, dua butir air mata bergulur turun di pipinya.
Edward menyeka air mata itu, dan membiarkan kedua tangan nya memegang pipi Pruistine sesudahnya.
"Boleh aku memelukmu, Edward? tanya Pruistine, "aku merindukan ayah, dan aku ingin merasakan kehadiran jiwanya di ragamu." Tatap mata Pruistine kepadanya dengan penuh harapan.
Edward mengangguk, Ia merentangkan kedua tangannya dan langsung di sambut oleh Pruistine, mereka saling merengkuh tubuh masing-masing.
Untuk beberapa saat keduanya terlarut dalam pelukan itu, Pruistine dengan wajah penuh syukur, sedangkan Edward dengan wajah penuh ekspresi yang bercampur jadi satu.
"Kurasa sudah saatnya waktu makan malam, My dear," dengan terpaksa Edward mengingatkan akan hal itu, padahal dalam hati Ia ingin terus berpelukan seperti ini sampai pagi, merasakan kedamaian baru di dalam hidupnya. Yang baru sekali ini Ia rasakan.
Pruistine mendongak mendengar ucapan Edward, lalu tatapan mata mereka terkunci, detik demi detik yang berlalu seakan menghantarkan kehangatan dari kedua tatapan mata itu, masuk ke dalam hati, dan dalam diamnya mereka menciptakan sebuah ikatan hati yang lebih dalam dan penuh kepercayaan dari kedua insan itu.
"Kau benar, Edward," desah Pruistine, terdengar seakan Ia juga tidak ingin melepaskan pelukan itu.
Edward tersenyum mendengarnya, " anak pintar."
Lalu keduanya berjalan beriringan menuju keruang makan.
Tbc.
------------------------------------------------------
Olaaaa..olaaa..... update lagi hari ini, cussss semoga kemajuan alurnya semakin disukai yaaa...
oh iya, di awal cerita ada karakter 3 teman Edward, dan dua orang masih bujangan sama spt Edward ^^ ,menurut kalian cerita ini serunya di bikin cerita segi tiga atau segi empat???
Ayoooo kasih pendapatnya di koment yaaaa.... *.*
seperti biasa, terimakasih kepada yang mendukung dan yang meluangkan waktu membaca ceritaku ini... jangan lupa vote dan koment nya yaa say....
Dan juga jangan sungkan sampaikan koreksi dan saran nya ya sista... <3
Salam sayang darikuhhh... Soetba ^^
Noted: update lagi hari senin yaa, sabtu-minggu besok pengen nge refresh otak, hehheeeee :D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top