6
"Aada pperlu apa, My Lord?" ucap Pruistine dengan tergagap. Ia benar-benar terkejut atas kehadiran Edward di kamarnya.
Keheningan terjadi, itu membuat Pruistine menyadari, saat ini tangannya yang sedang memegang buku gemetaran, Pruistine akhirnya meletakkan buku yang sesaat lalu sedang di bacanya itu di meja. Ia tidak ingin tampak terlihat gemetar di depan Edward. Sungguh rasa takut yang tidak beralasan, karna Edward adalah walinya.
"Tenanglah, Pruistine," ujar Edward menenangkan, "aku hanya ingin berbicara kepadamu," ujar Edward. "Aku merasa sudah saat nya kita bisa lebih saling terbuka, Pruistine."
Pruistine beringsut semakin menjauh dari Edward, "saling terbuka, My Lord?" tanya Pruistine.
"Iya, saling terbuka," Edward berkata dengan serius. "Maksudku, kumohon jangan terus menerus bersembunyi dariku, Pruistine, My dear." Edward menghela nafas, "Dua minggu ini waktu yang cukup bagimu untuk menilaiku," lanjut Edward, "apakah kau merasa aku seseorang yang akan menyakitimu hingga kau terus menerus bersembunyi?"
Pruistine tampak semakin gelisah, kegelisahan aneh yang muncul tanpa Pruistine tahu apa penyebabnya, semacam kenangan lama yang terperangkap dalam memorinya, tapi Ia tidak bisa menggapai ingatan tersebut. Sejujurnya Ia tidak takut kepada Edward, bahkan jauh di dalam hatinya, Ia sudah sangat mempercayai Edward.
Satu-satunya alasan yang bisa Pruistine yakini sebagai akibat kegelisahannya ini adalah larangan mendiang ayahnya yang selalu menekankan agar dia tidak menunjukkan sosoknya kepada orang lain, atau hal buruk akan terjadi. Tetapi bukankah alasan itu pun tidak kuat? Edward walinya, maka dia bukanlah orang lain, fikir Pruistine.
Apakah dia akan selalu merasa gelisah seperti ini setiap kali bertemu dengan orang lain? tanya Pruistine di dalam hatinya.
"My dear, kumohon jawab aku," Edward berkata dengan sangat lembut, seakan-akan berusaha menenangkan seorang anak kecil.
Pruistine memfokuskan lagi dirinya, "Tidak My Lord, aku yakin kau tidak akan menyakitiku." jawab Pruistine lirih. "Aku hanya terbiasa mengurung diriku sendiri, dan aku tidak bisa terus bersama seseorang, atau hal buruk akan terjadi," lanjut Pruistine, tampak kesedihan dan kesepian dari nada bicaranya. "Kumohon, pergilah."
Dengan sangat perlahan Edward melangkah ke arah Pruistine, Ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengejutkan gadis itu. "Hal buruk apa, Pruistine? kenapa kau berkata seperti itu?" tanya Edward dengan sangat lembut.
"Tidak tahu, ayah selalu berkata seperti itu," jawab Pruistine lemah, "kumohon keluarlah, biarkan aku tetap sendiri di sini." Pruistine membalikkan badannya membelakangi Edward.
Edward tidak menghiraukan permintaan Pruistine, Ia terus melangkah ke arah Pruistine, sampai jarak mereka hanya sejengkal.
Pruistine merasakan kehadiran Edward di belakangnya, dan Ia pun terkesiap kaget, Ia membalikkan badannya dan tanpa sengaja langsung menabrak dada Edward.
"My Lord," pekik Pruistine, Ia hampir terjatuh karna menabrak dada Edward. Dengan refleks Edward segera memegang pundak Pruistine, menahannya agar tidak terjatuh. Bagi Edward reaksi Pruistine tepat seperti yang di harapkannya dan berhasil memuluskan rencana nya untuk memegang gadis. Menangkapnya, gadis yang selalu menyembunyikan diri dan menghindar darinya.
Refleks Pruistine berusaha menghindar dari sentuhan Edward, dia mencoba mendorong tubuh Edward, tapi Edward tidak membiarkan hal itu terjadi. "Lepaskan aku, My Lord, lepaskan...kumohon." Pinta Pruistine dengan panik.
Saat Pruistine memberontak semakin panik, Edward mendekapnya ke dalam pelukannya, berharap hal itu bisa menghentikan perlawanan Pruistine.
Edward benar-benar tidak menyangka pada reaksi Pruistine, tidak hanya takut menunjukan diri pada seseorang, ternyata Ia juga menyimpan ketakukan pada sentuhan orang lain. Edward memeluk Pruistine makin erat, entah kenapa Ia bisa merasakan perasaan panik dan kebingungan dari gadis ini, saat perlahan-lahan Ia merasakan perlawanan Pruistine makin berkurang di dalam dekapannya, akhirnya Edward berani menghembuskan nafasnya, yang sedari tadi di tahannya.
"Tenanglah sayang," ujar Edward menenangkan, "kumohon, percayalah kepadaku."
"Kau tahu, dulu aku mempunyai ketakutan akan ketinggian, Pruistine, My dear," Edward berusaha menceritakan hal yang mungkin bisa mendorong Pruistine untuk terbuka padanya. "Pada suatu ketika, ayahku memaksaku menghadapi ketakutanku, dan kau tau apa yang terjadi?aku berhasil Pruistine," bisik Edward dengan lembut. "Aku berhasil mengalahkan ketakutanku," sambil bercerita, Edward dengan lembut mengusap-usap punggung Pruistine, berusaha memberikan kenyamanan pada gadis itu.
Keheningan terjadi di ruangan itu, dan Edward membiarkannya, ia memberi waktu pada Pruistine untuk meresponnya.
"Ayahku selalu berkata aku tidak boleh menunjukan diri pada orang lain," bisik Pruistine yang akhirnya merespon Edward. "Aku tidak tahu sebenarnya apa yang membuat ayah bersikap seperti itu, tapi aku tahu ayah pasti menginginkan yang terbaik bagiku." Helaan nafas yang berat terdengar sangat jelas di telinga Edward. "Karna terbiasa sendiri, sulit bagiku untuk menemuimu dan berusaha membuka diri kepadamu, My Lord."
"Aku tidak tau secara jelas apa ketakutanku, yang ku tahu aku takut akan terjadi hal-hal buruk jika aku dekat kepada orang selain kedua orang tuaku," lanjut Pruistin menjelaskan dengan begitu panjang lebar.
Edward diam saja dan menyimak gadis itu berbicara.
"Aku takut, My Lord," ucap Pruistine.
"Kalau begitu, marilah kita bersama-sama menghadapi ketakutan itu, Pruistine," ujar Edward. Edward merasakan Pruistine menggelengkan kepala di pelukannya. "Jika ayahmu masih hidup, beliau juga suatu saat pasti akan memberikan ijin kepadamu untuk menikmati dunia luar, hanya saja ayahmu meninggal lebih cepat dari yang kita semua harapkan," bisik Edward dengan manisnya, "dan ayahmu kehilangan kesempatan untuk melepasmu ke dunia luar, My dear," Edward mengarang perkataannya.
"Aku di sini menggantikan ayahmu, aku mengijinkanmu melihat ke dunia luar, Pruistine, nikmatilah kebebasanmu, keluarlah dari menara ini dan jangan lagi menyembunyikan diri," kali ini Edward berkata dengan sungguh-sungguh. "Aku hanya ingin melakukan hal yang seharusnya di lakukan ayahmu, Pruistine." Tanpa Edward sadari, Ia mencium puncak kepala Pruistine, " Aku mewakilinya sayang."
Pruistine sedikit terenyuh, Edward benar-benar memperlakukanku layaknya seorang ayah, dia bahkan mencium kepalaku, seperti yang biasa ayah lakukan, batinnya.
"Dan aku berjanji akan membantumu sayangku." Terdengar suara Edward yang begitu manis di indra pendengaran Pruistine.
Edward terus berbicara segala hal, dia berharap Pruistine mau mendengarkannya. "Kita hadapi bersama ketakutan itu, seperti dulu aku dan ayahku menghadapi ketakutanku bersama, kau setuju sayang?"
Pruistine diam saja, selang beberapa saat akhirnya Pruistine menganggukkan kepalanya. "Iya, setuju."
Akhirnya, Edward merasa sangat lega sekali, "bagus, My dear, aku yakin kau sangat pemberani." Ia mengucapkan itu sambil melepaskan pelukannya pada Pruistine, dan Ia meletakkan kedua tangannya menggenggam pundak Pruistine, sedikit mengguncangnya, sebagai tanda kebanggaan dan memberi semangat.
Edward mengamati sekitar ruangan, di dekat perapian ada sebuah tempat duduk yang terlihat nyaman, lalu Ia merangkulkan satu tangannya ke pundak Pruistine, menuntun langkahnya ke arah kursi tersebut.
Ia mendudukkan Pruistine di sana, lalu Edward berlutut di depan Pruistine sambil menggenggam tangannya. Ia meraih tangan itu, yang tersembunyi di balik jubahnya.
Edward tidak peduli walau Pruistine menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik jubah, Ia pasti akan segera menyingkirkan jubah itu dari tubuh Pruistine, agar gadis itu berpenampilan normal seperti semua orang, dan berani menunjukan diri, berani percaya diri, seburuk apapun wajahnya.
Dan tentang hal buruk yang akan terjadi jika Pruistine menampakkan dirinya, Edward yakin itu hanyalah omong kosong. "Aku senang kau setuju denganku my dear," Edward menampilkan senyum terbaiknya kepada Pruistine.
"Ya My Lord"
"Ssttttt... Edward, sayang, sudah ku katakan panggil saja aku Edward."
"Ya," jawab pruistine.
"Kalau begitu, apa kau berjanji akan menuruti permintaanku?" tanya Edward.
"Iya, Edward." Hanya itu jawaban dari Pruistine.
Edward tetap tersenyum walau hanya mendapatkan jawaban-jawaban singkat dari Pruistine, "Bagus, yang pertama kali harus kau lakukan untuk menghadapi ketakutan itu adalah kau harus berani membuka tudung wajah itu di depanku," Edward diam sejenak, memberi Pruistine waktu untuk mencerna perkataannya. "Apa kau bisa sayang?"
Pruistine hanya terdiam.
"Bagaimana jika hal-hal buruk itu terjadi, Edward?" tanya Pruistine, dan terdengar sedikit getaran pada suara merdu itu.
"Aku yang akan menghadapinya untuk mu, aku janji," ujar Edward dengan begitu menyakinkan. "Hal buruk itu akan takut begitu melihat diriku, percayalah," seru Edward dengan nada humor di dalamnya.
Pruistine tersenyum, "Terimakasih, Edward."
Edward mengangguk, dan ia mengeratkan pegangan tangannya, memberikan dukungan pada Pruistine. "Kita mulai sekarang, kau siap?"
"Ya," jawab Pruistine ragu, "kurasa aku siap, Edward."
"Kalau begitu, ijinkan aku melihatmu Pruistine."
"Berjanjilah kau tidak akan takut?" tanya Pruistine seperti anak kecil yang meminta ayahnya untuk berjanji kepadanya.
"Ya, aku berjanji." Ucap Edward.
Perlahan Pruistine melepaskan genggaman tangan Edward, Ia merasakan tangan Edward menyentuh kedua lututnya dan ia mengabaikannya, jujur saja ia sudah merasa nyaman dengan sentuhan-sentuhan Edward.
Pruistine memejamkan mata, dalam hati dia menguatkan diri untuk membuka tudung wajah nya. Pertama kalinya dalam 13 tahun hidupnya, Ia akan menunjukan diri lagi di depan orang lain.
"Tuhan, kuatkan aku." Batin Pruistine.
Perlahan-lahan tudung hitam itu terangkat, jatuh kebelakang kepalanya. Saat tudung rambut itu sudah tidak lagi menutupi wajah Pruistine, tampak sebuah maha karya Tuhan di wajah itu, wajah dengan guratan paling pas dan indah dengan kombinasi rambut berwarna pirang platinum paling cerah, hampir berwarna putih, rambut yang terlihat sama indahnya dengan wajah sempurna yang dimiliki Pruistine.
Edward terkejut , lelucon macam apa kabar burung selama ini yang mengatakan gadis ini buruk rupa?
Diusianya sekarang yang sudah mencapai umur 35 tahun, Ia sudah bertemu dengan banyak sekali wanita cantik, tapi saat ini, dibandingkan dengan Pruistine, kecantikan mereka pasti akan redup, di kalahkan oleh pesona gadis ini.
Pruistine merasakan keterkejutan Edward, perlahan Ia membuka mata, tampak sorot mata hijau yang begitu jernih dari mata almond milik Pruistine.
Edward merasa seperti kehabisan nafas, dia hanya bisa mematung dengan ekspresi terkejut yang tampak jelas tergurat di wajahnya.
Saat Pruistine dengan seksama mengamati Edward, dia melihat ekspresi itu, ekspresi keterkejutan dan ketidakpercayaan di wajah Edward, dan entah mengapa ia begitu sedih melihat ekspresi itu. Sangat berbeda dengan ekspresi kedua orang tua nya yang terlihat lembut dan penuh kasih saat menatapnya.
Ternyata benar kata Ayah, tidak seharusnya aku menunjukkan diri, semua orang pasti tidak ingin melihatku, batin Pruistine. Dada Pruistine terasa sesak, matanya berkaca-kaca menahan tangis. "Kau takut kepadaku, My Lord?" terdengar kesedihan di suara Pruistine, hal itu menyadarkan Edward.
Edward hanya bisa menjawab pertanyaan Pruistine dengan gelengan kepala. Ia terlalu terkejut dengan segala hal tentang Pruistine. Rambut platinum, wajah sempurna, dan mata hijau yang indah, bagaimana bisa tuhan menciptakan sebuah kesempurnaan itu hanya pada seorang gadis, batin Edward berkali-kali.
Saat melihat Edward hanya menjawabnya dengan anggukan, dan Ia kembali termenung, Pruistine memutuskan untuk menutupi lagi wajahnya dengan tudung.
Edward menyadari maksud Pruistine, ia segera menghentikan tangannya dan menggelengkan kepala. Ia mencoba keluar dari keterpukauannya akan sosok anak perwaliannya ini.
Edward mencoba memperbaiki kesalahannya agar Pruistine tidak lagi menarik diri. "Tidak lagi Pruistine," ucap Edward. "Jangan lagi memakai jubah dan tudung rambut ini, biarkan orang mengenal dirimu, apa adanya dirimu."
Kini keduanya saling menatap dalam keheningan. Tatapan mata abu-abu yang bersorot penuh dengan keterpukauan dan mata hijau lembut dengan sorot kepolosan, kesedihan dan sedikit rasa takut.
Sebuah getaran perlahan-lahan Edward rasakan, getaran yg sama seperti saat pertama kali Ia mendengar suara Pruistine.
Apa ini? Perasaan macam apa yang ku rasakan, dorongan untuk merengkuh Pruistine datang dari tubuhnya. Nafas Edward tercekat, perasaan mengerikan apa yang ia rasakan saat ini, jelas sekali ini bukan gairah, tapi apa ini? batin Edward bertanya-tanya.
Edward sangat bingung, dia tidak bisa menjabarkan perasaannya saat ini kepada Pruistine.
Ketukan di pintu berhasil memutuskan kontak mata keduanya dan membuyarkan perasaan aneh yang baru saja Edward rasakan.
Syukurlah, batinnya.
Edward mengalihkan tatapan matanya ke arah pintu, saat pintu terbuka, masuklah Mary, pelayan Pruistine.
Saat tatapan mata Mary menangkap sosok Lady nya yang sedang duduk, tanpa mengenakan tudung rambut, dan di depannya Lord Stannage sedang bersimpuh, Mary mematung seketika.
"My Lady..."ucap Mary, dia tidak tau harus berkata apa.
"Kau datang tepat waktu,Mary," kemarilah." Edward yang menjawab ucapan Mary.
Segera setelah mendengar perintah Edward, Mary bergegas menghampiri Lord dan Lady nya.
"Ya, My Lord," ujar Mary sesampainya di dekat Edward.
Edward melirik sekilas ke arah Pruistine, yg saat ini hanya terdiam di tempatnya duduk.
Edward menghela nafas, "kuperintahkan kepadamu untuk menyingkirkan semua jubah dan tudung rambut Lady Astley, tidak boleh ada satu pun yang tersisa di ruangan ini." Dua sorot mata terkejut memandangnya sekarang. "Kalian berdua percayalah kepadaku, aku melakukan ini untuk kebaikan Lady Astley."
Saat tidak ada jawaban dari keduanya, Edward memutuskan bahwa jawaban mereka adalah "ya, My Lord."
Tanpa menunggu jawaban dari kedua wanita itu, Edward berkata lagi, "Setelah merapikan semuanya, aku harap kau membantu Lady Astley untuk merapikan diri, aku akan menunggunya di ruang kerja," perintah Edward. "Ingat! dengan berpakaian normal, tanpa jubah dan tudung rambut itu, kau mengerti Mary?"
"Ya, My Lord."
Edward menghadap Pruistine, "Aku menunggumu di ruang kerjaku, sweet heart, kita harus berbicara sebentar di sana, sambil menunggu makan malam."
Pruistine mengangguk.
Setelah dirasa cukup, Edward bangkit berdiri dari posisi nya, segera setelah itu, Ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar Pruistine.
Kejutan demi kejutan yang di dapatkan Edward pada pertemuan tadi benar-benar mengguncangnya. Ia begitu terkejut dengan Pruistine.
Sikapnya yang takut pada sentuhan orang lain, kesedihannya karna kesendiriannya di menara selama bertahun-tahun, dan terakhir, sosok Pruistine yang berbeda 180 derajat dari gosip yang beredar.
Buruk rupa? sialan orang yang menyebarkan gosip itu. Membuatnya merasa sangat idiot selama ini, terus menerus menyiapkan diri bertemu sosok buruk rupa, sampai lupa untuk mempersiapkan diri jika ternyata bertemu sosok kebalikannya.
Akhirnya Edward memutuskan perbincangannya dengan Pruistine di tunda sejenak, Ia butuh menenangkan dirinya sendiri.
Sambil menunggu Pruistine menemuinya di ruang kerja.
Saat udara sore hari menerpanya di luar menara Pruistine, perlahan Edward menemukan lagi ketenangan dirinya, dengan langkah tegap Ia berjalan ke arah kastil utama
Langkah Edward terhenti di tengah halaman belakang, ia mengagumi pemandangan di depannya. Pemandangan kastil utama yg terkena cahaya matahari yg mulai terbenam.
Indah, sangat indah, batin Edward.
Tempat ini benar-benar indah dan memiliki kekayaan yang tak ternilai.
Kekayaan yang tak ternilai?
Edward teringat Pruistine kembali. Pruistine, anak perwaliannya, dengan harta peninggalan ayahnya, menjadikannya salah satu ahli waris terkaya yang ada di Inggris saat ini, dan dengan penampilannya yang ternyata sangat memesona, bukankah tugasnya untuk mencarikan suami bagi Pruistine akan sangat mudah Ia jalani? batin Edward.
Begitu Ia menggiring Pruistine ke gerombolan pria-pria lajang yang baik ataupun yang berengsek sepertinya, mereka pasti akan berebut bahkan saling menjegal hanya untuk mendapatkan Pruistine.
Bukankah seharusnya Ia merasa lega? tapi ada apa dengan nya? Ia tidak merasakan perasaan lega itu, yg Ia rasakan hanyalah sebuah perasaan yang aneh...
Tidak bisa Edward mengerti...
Tbc.
------------------------------------------------------
Publish lebih awal krn besok ada hal lain yg musti di kerjakan...
Semoga kelanjutan cerita ini dapat di nikmati dan disukai yaaa manteman... ^^
seperti biasa, jangan sungkan untuk koreksi dan masukan-masukan nya yaaa <3 <3
Salam sayang darikuhh.. Soetba
Muachhh,muachh,muachhh
Noted: next update diusahakan 2 hari lagi, coret-coret aja di komen yahh maunya dakuh update 1 atawa 2 part??? Spt hari ini yg karna keberuntungan bisa updte 2 part :D ,hehheeee
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top