Part 9. Love You Too
-
-
"Sini," tekan Ladin hendak menyambar kartu identitas di tangan Kemal. Namun, dia kalah gesit, tangan Kemal terulur ke atas membuat Ladin sulit menggapai kartu identitas miliknya. "Jangan bercanda, udah tahu kan hukumnya nyuri kartu pers milik wartawan."
Kemal berdecak kemudian menyimpan kartu identitas Ladin ke dalam saku kemejanya. "Kita perlu ngomong. Ada yang mau saya tanyain."
"Soal?" tanya Ladin.
Bola mata Kemal melirik Bono yang sedari tadi mengamati dirinya dengan pandangan tidak suka. "Cuma berdua."
Ladin bersidekap kemudian melirik Bono dan dirinya bergantian. "Berdua, kan?"
"Berdua," koreksi Kemal sebal dengan tangan menunjuk dadanya dan Ladin.
Ladin tetap bergeming. Di sisi lain, Bono sudah meletakan kameranya ke bawah, lantas berkacak pinggang sambil memasang wajah pongah di hadapan Ladin.
"Oke. Kalau gitu saya balik," ujar Kemal dengan cuek membalikan badannya dan melenggang pergi.
"Bon, lo duluan ke atas. Titip buat Tara," ujar Ladin sembari melempar kartu pers milik Tara ke dada Bono. Beruntung, Bono sigap menangkap benda tipis itu.
"Mbak mau ke mana?" sahut Bono panik.
"Mau samperin pengacara gila," dengkus Ladin berjalan cepat mendekati Kemal.
"Mbak! Mbak Ladin!"
Tanpa mengindahkan panggilan Bono, Ladin terus membawa langkahnya mendekati Kemal. "Berhenti! Woy! Kamu denger suara saya kan? Woy! Kemal!"
Langkah Kemal berhenti mendadak. Ladin menggeram ketika tubuhnya hampir saja menabrak Kemal.
"Saya punya nama," protes Kemal sembari membalikan badannya di hadapan Ladin.
"Terserah," jawab Ladin lelah. Dia lantas berjalan ke area samping lobi. "Ayo! Mau ngomong, kan?"
"Kita mau ke mana?"
Ladin menoleh. "Saya mau bayar hutang."
Senyum lebar muncul di bibir Kemal. "Berarti saya ditraktir nih?"
Kepala Ladin mengangguk. Dia pun melanjutkan langkahnya dan keluar melewati pintu di belakang tower. Sebuah kantin karyawan menyambut mereka tidak lama kemudian.
"Enggak ada yang lebih sepi?" gumam Kemal di sebelah Ladin.
"Emang kamu mau ngomongin apa sih?!" decak Ladin melirik jengkel.
Kemal melirik ke kanan dan kirinya, sementara wajahnya terlihat sangat serius. "Drajat."
Alis Ladin menyatu rapat. Dia terkekeh sinis. "Pengacara Drajat, mau diskusi soal Drajat, dengan wartawan yang jelas-jelas di blacklist sama perusahaan Drajat. Kok agak aneh ya."
"Jujur saya penasaran dengan kasus-kasus Drajat sebelumnya."
"Ada Google kan? Kenapa enggak cari aja?"
"Menurut kamu semua data bisa dicari sekadar searching lewat Google? Saya bukan anak SMA yang sedang cari referensi," jawab Kemal yang wajahnya mulai gusar. "Dan asal kamu tahu. Buat prinsip, saya enggak pernah berubah dari sepuluh tahun yang lalu sampai sekarang."
Ladin terdiam sesaat. Air mukanya terlihat menimbang-nimbang dengan bola mata mengamati hilir-mudik manusia di sekitar mereka. "Saya tahu tempat yang sepi."
Bak kerbau yang dicucuk hidungnya, Kemal mengekori Ladin ke salah satu pintu di sebelah kanan mereka. Wajahnya terlihat bingung ketika menemukan tangga darurat dari balik pintu.
"Kenapa? Kamu mau yang sepi kan?" kata Ladin lantas mengeluarkan ponselnya.
Kemal melongokan kepalanya ke atas pagar pembatas dan mengamati jalur tangga darurat itu sampai ke atas. "Sepi sih sepi tapi enggak ada tempat yang lebih nyaman? Katanya tadi ada yang mau traktir."
"Jangan banyak protes. Kamu penasaran kan sama sosok Drajat?"
Kemal mengangguk. Mimiknya makin bingung menemukan Ladin sudah menodongkan ponsel di depannya. "Ini buat apa?"
"Saya enggak mau ambil resiko. Kamu masih pengacara Drajat, siapa tahu kalau sebenarnya kamu sedang jebak saya."
Kemal menggaruk tengkuknya ketika dia sadar bila Ladin sedang merekam pembicaraan mereka dengan ponselnya.
"Oke, apa yang mau kamu tahu?" todong Ladin. Kemal menarik napasnya dalam-dalam. Sementara bola matanya yang gelap saling bertaut dengan tatapan Ladin.
"Menurut kamu, seberapa busuk Drajat? Kamu mau kan bantu saya buktiin itu?"
***
Malam baru tiba satu jam yang lalu. Pekatnya langit di atas gedung apartemen semakin kentara jelas, meskipun Jakarta tetaplah Jakarta. Tetap sibuk sepanjang hari tanpa kenal lelah. Serupa dengan Ladin yang malam itu tampak kerepotan memasukan kartu debitnya sembari membawa satu plastik besar bahan makanan saat keluar dari minimarket di dekat apartemen Rai.
Sebuah kartu nama teejatuh dari kantung celananya. Ladin termangu ketika mengambil kartu nama itu dari lantai dan membaca nama seseorang di sana.
Kemal Nalapraya, S.H, L.lm.
Senior Associate
Segera, Ladin meremas kartu nama itu dan hendak membuangnya ke dalam tempat sampah. Namun, urung dia lakukan ketika ucapan Kemal mengenai Drajat mengusik kepalanya. Masih ingat di kepala Ladin ketika dia dan timnya diusir paksa saat akan melakukan liputan pembukaan cabang baru perusahaan Drajat, belum lagi saat dia dengan tanpa daya melihat orang-orang yang terkena dampak kecurangan PT. Textama. Tawaran Kemal jelas menguntungkan dirinya.
Ladin mengembuskan napasnya. Kartu nama yang bentuknya sudah mirip permen karet bekas itu, dia masukan ke dalam kantung kecil ransel. Dia kemudian melanjutkan lagi langkahnya menuju unit apartemen Rai.
Tak lama, Ladin sudah berdiri di depan pintu apartemen kekasihnya. Segera dia mengetuk pintu kayu itu. Wajah suntuk Rai, ruangan berantakan, suara musik hip-hop, dan bau asap rokok menyambut Ladin ketika pintu itu terbuka.
"Kamu ngapain di sini?"
"Emang enggak boleh aku main ke sini. Aku bawa makan malam buat kamu, makan bareng yuk!" ajak Ladin sambil mengecup bibir Rai lantas masuk ke dalam apartemen.
Air muka Ladin makin kaget begitu mendapati ruangan itu lebih kacau dari bayangannya. meja panjang penuh properti foto, sementara dua buah oktagon softbox dan kamera berlensa makro berdiri kokoh di depan backdrop putih dengan serum kecantikan sebagai objeknya.
"Apartemen kamu berantakan banget, Ay."
Rai menggaruk rambutnya sembari menutup pintu. "Aku lagi ngerjain proyek aset foto produk. Makanya agak berantakan."
Ladin mengangguk maklum. Kakinya terus melangkah ke arah meja dengan tumpukan kain linen di atasnya, hendak menaruh makan malam mereka di sana.
"Dont touch! Astaga Ay, kamu bisa hati-hati enggak sih," seru Rai panik. Dia segera menarik kasar bungkusan nasi padang mereka dari tangan Ladin.
"Sori," ucap Ladin dengan mimik bersalah.
"Properti ini aku beli mahal loh. Sementara proyeknya aja belum beres," gerutu Rai sembari mengambil piring bersih yang tersisa dalam rak dan meletakan makan malam mereka di atas kulkas. "Mending kamu duduk di sana. Diam."
Ladin mencebik. Dia menurut dan menubrukan tubuhnya ke atas sofa. Sambil menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya pelan, dia mengamati sosok Rai dari belakang. Sementara itu, Rai kembali sibuk memotret.
"Reza enggak bantu kamu?" tanya Ladin dengan tatapan miris ke arah asbak di atas meja yang penuh puntung bekas.
"Aku udah enggak kerja sama bareng dia."
Sontak, tatapan Ladin terarah kepada Rai. "Serius? Baru dua minggu yang lalu loh kamu cerita ke aku kalau Reza bakal bantu kamu?"
Rai menghentikan kegiatannya dan mendengkus kesal. "Bisa kita enggak obrolin itu sekarang?"
Ladin mengedik. "Oke."
Suasana di ruangan apartemen itu pun kembali tenang. Hanya ada suara shutter kamera Rai, sayup-sayup lagu hip-hop dari speaker bluetooth, dan gesekan kaki Rai ketika dia bergerak menata properti foto.
Diam-diam Ladin mengamati punggung Rai sambil bertopang dagu. Senyum tipis terbit di bibir tipisnya. Seperti baru kemarin Ladin mengenal seorang Rai Batara ketika dia meliput di galeri pameran fotografi sebuah komunitas. Kala itu, Ladin langsung terpukau pada sebuah foto pria yang tengah tersenyum lebar sembari memberikan permen kepada gadis kecil di tengah hiruk-pikuk pasar, foto yang sekarang terpasang cantik di salah satu dinding apartemen Rai.
Apalagi ketika Ladin mendengar penjelasan dari foto itu langsung dari fotografernya. Gaya Rai tiap kali mengutarakan isi kepalanya seketika membuat Ladin jatuh cinta. Meskipun menjalani hubungan bersama Rai selama empat tahun ini tidak mudah, tetapi memilik Rai di sisinya membuat Ladin sangat bersyukur.
"Kamu bawa apa?" tanya Rai tiba-tiba mendekati Ladin.
Ladin terkesiap lantas meletakan rokoknya yang tinggal setengah ke atas asbak. "Nasi padang. Aku tahu kamu pasti belum makan."
"Itu?" tunjuk Rai pada plastik besar di samping kaki Ladin.
"Itu bahan makanan buat kamu," jawab Ladin bangkit dari duduk, lalu mengangkut plastik itu ke dapur kecil di sudut ruangan apartemen. "Aku lihat waktu kita video call kemarin kulkas kamu kosong. Makanya aku inisiatif buat beliin kamu makanan. Seenggaknya biar kamu enggak beli di luar terus."
"Aku kan bisa belanja sendiri, Ay," decak Rai mendekati Ladin.
"Aku tahu. Tapi kan kamu baru pindah, kamu juga pasti banyak kerjaan dan enggak sempat belanja. Jadi, biarin aku bantu kamu ya," terang Ladin sambil menata bahan makanan itu ke dalam kulkas dan lemari dapur.
Rai membisu. Dia kemudian mengambil plastik di tangan Ladin dan membantu kekasihnya itu menata sisa telur, sayuran, dan buah ke dalam kulkas.
"Jangan marah dong," rayu Ladin ketika ekspresi wajah Rai semakin ditekuk dalam.
"Aku enggak marah. Aku cuma enggak mau repotin kamu."
"Aku enggak ngerasa direpotin kok. Kan tadi aku jalan ke sini sekalian lewatin minimarket bawah," sahut Ladin sambil memamerkan senyumnya di depan Rai. "Kita makan sekarang ya."
Rai mengangguk. Dia mengambil bungkusan plastik di atas kulkas dan mendudukan bokongnya pada kursi mini bar.
Masih betah membisu, Rai membuka nasi padangnya dan menyantap makan malam dari Ladin tanpa suara. Begitupun, Ladin. Dia mengambil jatah miliknya walaupun pandangan perempuan itu tidak pernah mau lepas dari sosok Rai. Bila sedang mode serius mengerjakan proyek pemotretan, Rai memang bisa jadi sangat sensitif seperti ini. Kedatangan Ladin sepertinya memang salah timing.
"Id card kamu udah ketemu?" tanya Rai menunjuk kartu pers dan id card stasiun tv di atas tas Ladin.
Dengan mulut penuh, Ladin melirik kartu persnya. "Udah. Ternyata disimpan orang."
"Terus kartu baru kamu?"
"Udah terlanjur ngajuin. Jadi sementara aku pakai yang ini sambil nunggu yang baru selesai."
"Makanya jangan buru-buru, dicek dulu. Kebiasaan," komentar Rai dengan sambil mengunyah makanannya.
"Sebenarnya bukan salah aku seratus persen sih. Dia aja yang emang iseng," gerutu Ladin menggigit dengan ganas ayam pop di tangannya.
Rai mendongak. "Dia?"
"Orang yang temuin kartu aku."
"Siapa? Teman kantor kamu?"
"Cuma kenalan. Enggak penting," jawab Ladin sambil mengedik malas.
Rai mengangguk kemudian melanjutkan makan malamnya.
"Kok kamu bisa mutusin kerja sama kamu sama Reza? Kenapa?"
"Dia kurang konsisten dan enggak bisa dedikasi," dengkus Rai sebal. "Dia sering banget susah dihubungi dan banyak alasan kalau aku ajak meeting. Padahal kan seharusnya Reza bisa lebih fokus kayak aku, kamu lihat aku kan? Hampir dua puluh empat jam lho aku ngerjain semuanya sendiri. Sen-di-ri."
"Menurut aku wajar sih, Ay. Istrinya Reza kan lagi hamil muda, dia pasti butuh Reza banget. Belum lagi, Reza juga masih terikat kontrak di perusahaan lain. Jadi, emang enggak bisa kalau dia sefokus kamu buat saat ini."
"Kamu? Selama ini kamu enggak pernah protes cara kerja aku. Ya kan?" balas Rai tidak mau kalah. "Lagian kalau emang dia mau fokus, harusnya dia tahu mana prioritas dia. Hah... pusing kepala aku ngadepin cara kerja dia."
"Beda dong Ay. Aku kan pacar kamu, apalagi kadang aku juga sibuk kerja ngeliput sana-sini. Mungkin kalau kita udah nikah, aku juga bakal sering protes sama kamu."
Rai tersenyum sinis. "Tetap aja, harusnya dia profesional dong."
"Kan kemarin kamu yang bilang kalau dia cuma bantu proyek kamu sesuai kapasitas dia, mungkin emang cuma segitu yang bisa dia bantu. Lagian dia kan yang bantu kamu dapetin proyek ini kemarin," sahut Ladin menunjuk studio dadakan di ruangan apartemen Rai. "Aku yakin kok kalau kamu bisa komunikasiin masalah ini baik-baik, Reza pasti bisa bantu kamu hari ini."
Dengkusan jengkel keluar dari Rai. Sorot mata Rai yang biasanya teduh, mendadak berubah tajam kepada Ladin. Nasi padang yang tersisa setengah di piringnya, dia abaikan. "Kamu kok kesannya jadi belain dia?"
"Bukan belain," potong Ladin mulai kesal. "Aku cuma enggak mau kamu capek sendiri. Atur properti, lighting, belum lagi harus meeting sana-sini. Aku enggak masalah selama kamu di Jakarta kita cuma bisa jalan satu kali. Tapi aku cuma enggak mau kamu sakit."
"Jadi kamu juga enggak suka kalau aku terlalu sibuk sama kerjaan aku?" ketus Rai.
Ladin mengembuskan napasnya panjang. Nafsu makannya mendadak hilang. "Kenapa jadi ke situ sih, Ay. Aku cuma enggak mau kamu kenapa-kenapa. Udah itu aja. Lagian kita tadi lagi ngomongin Reza kenapa jadi malah merembet kemana-mana sih?"
Rai menatap Ladin sekilas, lantas bangkit dan membuang nasi padang yang masih tersisa banyak ke tempat sampah. Suara kencang piring yang diadu dengan dasar kitchen sink mengagetkan Ladin. Dengan cuek, Rai mencuci tangan dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Kalau udah selesai mending kamu langsung balik. Aku masih banyak kerjaan."
Ladin termenung seorang diri. Ada perih dan kecewa yang diam-diam muncul di dadanya. Namun, semua memang salahnya. Ladin menyadari bila sedari awal Rai memang sedang tak ingin diganggu.
Tanpa kata, Ladin menghentikan suapan, merapikan sisa makanannya, dan mendekati tempat cuci piring di dapur Rai. Dia kemudian mencuci semua alat makan kotor di sana. Setelah kondisi dapur itu kembali bersih, Ladin duduk di sofa sembari mengamati Rai dari belakang.
Detik demi detik berlalu, Rai tetap sibuk dengan kegiatannya tanpa sedikit pun menghargai keberadaan Ladin. Sementara Ladin tetap setia menemani Rai dalam diam. Jam sudah hampir menunjukan pukul sebelas malam. Sudah satu jam lebih Ladin dan Rai saling diam seperti itu.
Akhirnya, Ladin berdiri sembari mengemasi barang-barangnya. Dia lalu berjalan dan berhenti di sisi Rai. "Maaf kalau timing aku buat samperin kamu enggak tepat malam ini. Harusnya aku hubungin kamu dulu sebelum ke sini. Aku pulang ya. Telepon aku kalau kerjaan kamu udah beres."
Rai tetap bergeming tanpa sedikitpun melirik Ladin. Ladin mengulas senyum tipis ke arah Rai dan melangkah pergi.
"Ay."
Kaki Ladin berhenti melangkah ketika suara berat Rai memanggilnya.
"Kamu tahu kan aku udah bertahun-tahun terbiasa buat lakuin semuanya sendiri."
Ladin menoleh. "Aku cuma enggak mau kamu capek."
Rai menghentikan kegiatannya sejenak untuk memandangi Ladin. "Kamu enggak usah khawatir, aku enggak sebego itu. Kalau emang aku butuh tim, aku pasti bakal cari. Oke."
Ladin mengangguk. "Oke."
"Nanti malam aku telepon kamu," kata Rai kembali fokus dengan kameranya tanpa berniat mengantarkan Ladin pulang, ataupun sekadar membukakan pintu untuk Ladin. "Love you, Ay."
"Love you too," sahut Ladin datar kemudian keluar dari apartemen Rai.
Di luar, tatapan Ladin terlihat kosong sambil menatap dinding gelap apartemen di depan pintu. Sementara tangannya menggenggam erat tali ransel. Seketika, senyum lebar Ladin paksa hadir di wajahnya, sebelum dia memutuskan pergi dari sana.
***
TBC
Acuy's Note :
Duh... bikin part ini kok rasanya nano-nano ya. Kayak pengen ketawa di awal kok, sesek gitu di akhir. Moga yang terbaik deh buat Mbak Ladin.
Kalau kalian gimana rasanya baca part ini? Coba komentar di sini! Kira-kira part depan bakalan ngapain ya.... hehehhehehe
Sampai ketemu di hari Rabu. Luv u all~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top