Part 8. Judicatum*

-

-

Kemal termangu di depan cermin ruang ganti lapangan golf sembari mengetatkan sarung tangan, sementara stik kesayangan dan tas golf nya terbengkalai di dinding dekat westafel. Ucapan Ladin beberapa hari yang lalu terus menghantui kepalanya. Padahal Kemal tipe orang yang tidak begitu percaya ucapan wartawan, baginya wartawan tidak lebih dari orang-orang yang tengah mencari bahan berita. Kemudian mereka racik dengan sudut pandang yang mereka dan pasar inginkan.

Namun, ini Ladin. Kemal menarik napasnya dalam-dalam sembari memandangi pantulan dirinya di depan cermin.

"Hei, malah ngelamun! Calon pengantin enggak boleh kebanyakan bengong," kekeh Hendri, salah satu senior associate di kantor Kemal. Pria di akhir tiga puluhan itu berdiri di sebelah Kemal sembari merapikan topinya.

"Datang juga, Pak? Tumben," sapa Kemal berbasa-basi.

"Pak Wibowo tadi whatsapp saya buat ikut hari ini. Wajib katanya. Lagian sekali-kali hari minggu di luar, enggak di rumah terus," ujar Hendri.

Kemal tercenung. "Pak Wibowo juga ikut? Saya pikir cuma junior dan Pak Mahesa aja yang ikut."

Hendri mengedik. "Wah, saya juga kurang tahu. Mending kita ke lounge aja gimana? Yang lain kayaknya udah nunggu di sana."

"Pak Hendri duluan aja," sahut Kemal.

"Oke, saya duluan ya."

Sepeninggalan Hendri, Kemal merapikan pakaiannya dan beranjak keluar ruang ganti. Di luar, terik matahari menyambut matanya. Warna hijau dari bentangan lapangan golf di area lantai bawah terlihat segar dipandang mata. Apalagi ditambah bukit-bukit kecil dan biru langit di atas sana.

Sejujurnya Kemal kurang begitu suka bermain golf. Selain karena olahraga ini kurang menguras keringat, alasan utamanya adalah sering kali bukan olahraga yang ditonjolkan dalam permainan ini bila sedang bermain bersama kenalannya, tetapi bisnis ataupun mendiskusikan soal pekerjaan yang Kemal kurang nyaman. Golf lebih seperti olahraga basa-basi menurut Kemal.

Sambil membawa tas golf nya, Kemal mendekati gerombolan orang-orang pada lounge di lantai dua yang tepat menghadap ke arah lapangan golf itu. Tawa para pria di sana terdengar sampai ke telinga Kemal. Akan tetapi, konsentrasi Kemal teralihkan ketika matanya menemukan ada tiga orang lain yang jelas-jelas bukan karyawan kantornya, apalagi junior associate dari delapan orang pria di sana.

"Nah, ini dia Pak Kemal. Mal, ayo sini," panggil Wibowo sambil menggerakan tangan kanannya.

Agak canggung, Kemal tersenyum tipis di depan orang-orang itu ketika Mahesa juga memintanya mendekat.

"Siang, Pak Kemal," sapa Jaka menjabat tangan Kemal, lantas menatap pria berkaus polo gelap di sebelahnya. "Pak, ini senior associate yang bantu mengumpulkan data keuangan kita di kasus yang kemarin."

Pria paruh baya yang rambutnya sebagian sudah memutih itu bangkit dari duduk. Dia lantas berdiri menghadap Kemal.

"Jadi, ini yang namanya Pak Kemal?" kelakar pria itu. "Masih muda ya. Saya pikir lebih tua dari Pak Hendri. Kayaknya yang muda-muda sekarang emang lebih jago ya ketimbang yang tua-tua kayak kita. Masih fresh."

Lagi-lagi Kemal hanya mengulum senyum selagi orang-orang di sana terkekeh mendengar kelakar pria itu, Drajat. Setelah beberapa bulan membantu kasus PT. Textama baru kali ini Kemal bisa bertemu secara tatap muka dengan Drajat Suseno seorang pebisnis. Pasalnya, sejak pertama kali terlibat dalam kasus, Wibowo dan Mahesa yang lebih banyak mengatur meeting dan pertemuan mereka selama ini.

"Umur saya sudah hampir tiga puluh, Pak. Udah enggak muda lagi," ujar Kemal.

"Jangan salah Pak Kemal. Justru ada yang bilang, kehidupan yang sebenarnya baru dimulai di umur tiga puluh tahun," balas Drajat.

"Saya setuju sama Bapak. Saya dengar Pak Drajat juga dulu mulai bisnis di umur tiga puluh, kan?" sahut Wibowo yang duduk di sebelah Mahesa sambil menyesap minumannya.

"Jangan ditiru. Saya kasih info kalau mulai bisnis itu harusnya dimulai di umur dua puluhan. Karena saat gagal, kita masih punya banyak waktu buat belajar. Saya aja nyesal enggak mulai dari awal," lanjut Drajat meminta asistennya membawakan peralatan golfnya. "Ya udah lah. Kita enggak usah kebanyakan ngobrol, langsung main aja gimana? Saya mau tahu sejago apa kalian ngelawan saya."

"Kebetulan kalau di kantor kami memang Pak Drajat ini paling jago dibanding yang muda-muda kalau soal golf, Pak. Makanya beliau seneng banget waktu diajak main hari ini sama Pak Wibowo," sahut Jaka dibarengi tawa renyah milik Drajat.

"Wah... boleh kalau gitu. Kita langsung ke bawah aja,  gimana, Pak? Kalau di kantor kita itu Pak Hendri lho jagonya," sahut Wibowo merangkul Hendri dan mengajak semua orang di sana untuk berjalan ke lapangan.

"Junior enggak ada yang ikut, Pak?" bisik Kemal kepada Mahesa yang berjalan di barisan belakang bersama dirinya.

Mahesa mengedik, seakan dia paham ada maksud lain dari pertanyaan Kemal. "Pak Wibowo yang atur semuanya. Nikmatin aja ya, Mal."

Sambil mengangkut tas golfnya, Kemal mengangguk dengan tatapan terus tertuju kepada Drajat yang masih tergelak dan bertukar celoteh dengan Wibowo. Sampai bahunya berjengit ketika Drajat tiba-tiba menoleh ke arahnya. Tatapan mata orang tua itu seperti menyimpan sesuatu ketika mengamati Kemal.

"Saya lihat golf kit kamu cukup lengkap, Pak Kemal. Kayaknya saya bakal banyak pesaing nih hari ini," komentar Drajat.

Kemal menggeleng. "Saya justru yang paling payah dibanding yang lain, Pak. Lagi pula soal kelengkapan golf kit, bukannya memang sudah etika golf seperti itu? Masing-masing stick punya fungsi nya sendiri. Seperti wood stick untuk tee-shot, atau mungkin iron buat jarak menengah."

"Etika ya?" gumam Drajat tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menatap jauh ke lapangan terik di depannya. "Menurut kamu lebih penting etika atau skill, Mal?"

"Etika. Karena skill bisa dipelajari dengan latihan. Tapi etika meskipun latihan beberapa kali, tetap susah kalau niatnya sudah lain," jawab Kemal lugas. "Bukannya dalam bisnis juga seperti itu, Pak? Ada peraturan yang tetap harus ditaati dan ada hukum yang jadi pengawas."

Bola mata Drajat melirik Kemal dan menatapnya lekat. Begitupun Wibowo, Hendri, dan manusia-manusia lain di sana. Sesaat, suasana di salah satu sudut area golf itu pun terasa senyap. Mahesa tersenyum tipis diam-diam.

"Saya suka dengan anak muda yang pegang idealisme kayak kamu. Semoga lima tahun ke depan masih sama ya," sahut Drajat kemudian terkekeh pelan. Kekehan yang membungkam mulut Kemal.

"Kalau gitu kita mulai main saja gimana? Saya juga udah pesan beberapa caddy buat bantu kita. Ayo, Pak!" ajak Wibowo mencairkan suasana yang mendadak canggung itu.

"Oke," jawab Drajat penuh semangat sembari melanjutkan langkahnya.

Jaka yang berdiri di belakang Drajat mendekati Wibowo dan membisikan sesuatu. "Pak Wibowo maaf soal kasus yang—"

"Kita ngobrol lain waktu aja ya, Pak. Kita nikmatin dulu aja mainnya. Jangan kerjaan terus," potong Wibowo dengan mata melirik Kemal. Sebab tatapan bawahannya itu terus tertuju kepadanya sedari tadi.

"Mal, ayo!" ajak Mahesa sambil menepuk bahu Kemal.

Sepanjang permainan golf, isi kepala Kemal tidak pernah bisa diam di tempat. Pikirannya selalu terfokus kepada Drajat. Dia merasa ada yang ganjil dengan pria itu. Kali ini bukan hanya karena ucapan Ladin. Namun, cara pria itu berbicara mengenai kasusnya selama permainan mereka, Kemal merasakan ada detail yang terlewat di sana. Entah apa.

***

Kemal masih betah membisu di mejanya siang itu. Bahkan keberadaan Chika di sofa ruangannya seakan-akan seperti tak kasat mata bagi Kemal. Lelaki itu hanya terdiam mengamati barisan padat tulisan di komputer sambil sesekali melirik layar laptopnya. Video siaran ulang program berita yang menayangkan liputan seorang wartawan perempuan di Youtube.

"Sekian liputan dari saya Ladinda dari tempat kejadian. Saya kembalikan ke studio."

"Pak, untuk berkas milik Pak Anton saya masukan ke map yang mana? Biru atau kuning? Terus email putusan dari pengadilan kemarin saya kirim ke mana?" tanya Chika menoleh ke arah Kemal. Namun, lelaki itu tetap bergeming. "Pak. Pak Kemal."

"Chika, bisa bantu saya buat cari data dari kasus PT Textama yang di Samarinda?" kata Kemal tiba-tiba selagi pandangannya masih fokus menatap layar laptop.

Chika terkesiap. Mimiknya berubah bingung. "Sekarang? Saya-- harus cari di mana, Pak?"

"Di--Ah, sial," umpat Kemal menjatuhkan keningnya ke atas meja, membuat Chika terkejut.

Kemal berdecak ketika menyadari bila data-data yang ada padanya hanya seputar pajak dan laporan keuangan PT. Textama. Meminta kepada atasannya jelas mustahil, apalagi menghubungi karyawan Drajat langsung.

Kemal menggumam. Pikirannya terus berputar mencari celah. Sampai Kemal terpaku saat melihat kartu pers Ladin dan video yang sudah dia jeda di layar laptop. Kemal seketika bangkit.

"Kamu coba cari detail apapun dari semua berkas milik PT. Textama yang menyebut-nyebut cabangnya di Samarinda. Semua laporan keuangannya ada di berkas itu," tunjuk Kemal ke arah map setinggi hampir satu meter di dekat rak buku, kemudian dengan segera dia mematikan komputer dan laptopnya.

"Semuanya Pak?" gumam Chika dengan wajah kaget.

Kemal melirik sebal sembari mengambil kunci mobilnya. "Menurut kamu?"

"Versi digital enggak ada, Pak? Biar saya bisa search langsung, gitu...," gumam Chika yang air mukanya mulai merana sambil menatap tumpukan map itu.

Kemal berdiri tegak di tengah ruangan dengan tatapan datar ke arah Chika.  Takut-takut, Chika pun mengangguk.

"O--oke, Pak. Terus Bapak mau ke mana sekarang?" sahut Chika ketika Kemal akan keluar dari ruangan.

"Saya ada meeting dengan klien," jawab Kemal asal.

"Tapi saya lihat enggak ada meeting di jadwal Bapak hari ini? Terus saya harus ikut, Pak? Bukannya Bapak yang bilang kalau saya harus selalu ikut tiap meeting?"

Dari ambang pintu, Kemal menoleh. "Kelarin tugas kamu dulu. Sekarang. Saya tunggu laporannya maksimal jam lima sore, oke."

"Tapi, Pak. Buat kasus Pak Anton gimana?" sahut Chika lagi.

"Jangan banyak tanya, SE-KA-RANG!"

Chika mengangguk cepat dan melangkah ke arah tumpukan map milik PT. Textama. "Siap, Pak."

Kemal mendengkus. Dia kemudian berjalan cepat keluar kantor sambil menggenggam erat kartu pers Ladin di tangannya. Dia bahkan tidak memedulikan beberapa pasang mata karyawan yang menatapnya kebingungan.

***

Sementara itu sebuah mobil berhenti di depan stasiun TV di daerah Jakarta Barat. Seorang perempuan berambut panjang yang diikat tinggi keluar dibarengi kameramen berseragam sama. Air mukanya terlihat serius mengobrol dengan sang atasan di ponsel.

"Oke Mas. Iya gue baru aja sampai sama si Bono. Sip," jawab Ladin lalu menutup panggilan itu.

"Mbak," panggil Bono yang tatapannya terlihat takut-takut ke arah lanyard di leher Ladin.

"Kenapa?"

"Tadi Mbak Tara whatsapp gue buat cepetan balikin id dia, dia mau cabut soalnya."

"Bawel banget sih dia. Ini juga gue langsung ke atas," decak Ladin sebal sembari membawa langkahnya masuk ke dalam gedung.

Kartu pers atau yang sering dikenal dengan kartu sakti wartawan memang tanda pengenal penting. Sebuah kartu yang membuat wartawan diperbolehkan meliput sebuah kejadian atau acara dengan hanya menunjukan kartu identitas tersebut. Tidak hanya itu, dalam demonstrasi atau peristiwa konflik kartu pers bisa menjadi identitas apabila tanpa sengaja wartawan menjadi sasaran. Maka, kehilangan kartu pers ini jelas membuat Ladin tidak bisa meliput dengan leluasa.

Beruntung, masih ada Tara dan beberapa teman wartawannya yang mau meminjamkan kartu mereka. Sebab membutuhkan waktu lama dan proses yang cukup ribet untuk Ladin bisa mendapatkan kartu pers baru.

"Ya sori. Gue kan cuma sampein pesan Mbak Tara doang," gumam Bono serba salah.

"Ladinda!"

Sontak Ladin dan Bono menoleh bersamaan. Seorang lelaki berkemeja dan rambut di pomade rapi mendekati mereka. Mata Bono memelotot kaget. Dia menatap senior di sebelahnya dan lelaki itu bergantian.

"Itu pengacaranya Drajat, kan? Mbak ada masalah apa sama dia?" bisik Bono penasaran. Tiba-tiba mimiknya berubah panik. "Atau jangan-jangan waktu Mbak ke kantor hukum kemarin karena Mbak lagi ada masalah sama mereka? Serius Mbak?"

Ladin tetap membisu sembari menatap Kemal datar. Kemudian dia berjalan menghindari Kemal ketika jarak keduanya semakin dekat.

"Jalan sekarang. Cuekin aja," jawab Ladin cepat. Bono pun mengekori Ladin.

"Pers. Ladinda. Aktual TV. 14956–"

Decitan sepatu kets Ladin terdengar kala dia menghentikan langkahnya. Ladin mendengkus dan melirik Kemal. Mimiknya langsung berang melihat benda kecil di tangan pengacara itu. Tanpa pikir panjang, dia lantas mendekat. Sampai-sampai Bono di sebelahnya terkesiap kaget. Lelaki itu lantas berjalan cepat mengejar Ladin.

"Hai," sapa Kemal tersenyum lebar kepada Ladin tepat di hadapannya.

***

TBC

*Judicatum : Keputusan.


Acuy's Note :

Mal... Mal suka-suka lu dah... jadi cowok ngeselin amat. Dicaplok Ladin tahu rasa lu Mal. Kelakuan. Inget... Ladin udah ada pawang loh.... Inget Agni juga... mau kawin kan lu #CuyGemesBinGedek

Siapa yang udah enggak sabar tunggu part selanjutnya. Coba komen di sini dong....

Sama aku mau tanya, kalau... aku share cerita Ladinda dan Rumah Kata-kata di Wattpad gimana? Tapi.... Berhubung udah ada yang bayar di platform sebelah, mungkin cuma setengah aja. Ada yang mau?

Sampai ketemu hari Minggu. Luv ya~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top