Part 7. Cover Both Side
-
-
"Lapar banget lagi," desah Kemal sembari melangkah lesu keluar dari mobil.
Perut Kemal baru diisi beberapa suap sasimi, jelas masih belum memenuhi kebutuhan gizinya siang ini. Dia bahkan merasakan perutnya berteriak protes ketika membuka pintu depan kantor. Mungkin dia harus meminta Chika untuk menyiapkannya makan siang sebelum berangkat nanti.
"Saya udah bilang Pak Kemal lagi makan siang sama Pak Mahesa."
Suara kesal Rani yang tengah berdebat dengan seorang perempuan menyambut Kemal begitu dia masuk ke dalam kantor. Kemal termangu lalu menonton adu mulut dua orang perempuan di dekat meja resepsionis.
"Jangan bohong. Jam makan siang udah selesai sepuluh menit yang lalu. Kemal pasti sengaja enggak mau ketemu saya, kan?"
"Mbak kalau enggak percaya ya udah. Tunggu sebentar aja di sini," decak Rani sambil menahan gondok. "Dikasih tahu kok ngeyel. Heran saya."
Mendengar namanya terus disebut, Kemal mendekat penasaran. Langkahnya pun melambat, ketika melihat seragam dan rambut lurus panjang milik perempuan di depan Rani itu.
"Nah, itu dia Pak kemal."
"Ada apa?" tanya Kemal dengan wajah pura-pura bingung.
"Ini Pak ada wartawan cari Bapak. Saya tanya udah buat janji atau belum, dia bilang enggak perlu. Dipikir ini pasar yang bisa main ketemu kapan aja," sindir Rani menatap sinis Ladin. "Mana saya udah bilang kalau Bapak lagi makan siang, tapi dia enggak percaya."
"Enggak apa-apa, Ran. Dia memang kenalan saya. Terima kasih ya," kata Kemal kemudian meminta Ladin untuk mengikuti dirinya ke teras kantor.
"Ada yang bisa saya bantu? Ibu wartawan... dari Aktual TV?" tanya Kemal begitu mereka sudah berada di luar.
Ladin mendengkus sembari mengangsurkan tangannya ke depan. "Enggak usah bercanda. Id card saya mana?"
Alis Kemal menyatu, raut wajahnya pura-pura berpikir dalam. "Berhubung tenggorokan saya kering dan saya juga enggak sempat makan siang. Kayaknya kalau kita ngopi sambil makan cemilan sebentar, saya mungkin bisa jawab pertanyaan kamu."
Ladin mendecih sambil berkacak pinggang.
"Ayo. Di sebelah kantor ada kafe enak. Saya yang traktir," ajak Kemal sambil menghentikan langkahnya untuk menunggu Ladin. "Kok diam? Kamu ke sini mau ketemu saya, kan?"
Ladin berdecak lantas terpaksa mengekori Kemal.
***
Ladin bersidekap sambil terus mengamati Kemal yang tengah memesan menu di depan kasir. Sudah lebih dari lima menit sejak mereka tiba di coffee shop, lelaki itu masih menggerundel sendiri sambil membaca deretan menu di atas etalase. Ladin bahkan dianggap seperti pajangan hidup di sudut kafe sekarang. Tak kasat mata.
"Pak Kemal, saya--"
"Panggil Kemal, saya bukan Bapak-bapak," potong Kemal sementara tangannya mengusap-usap dagunya yang dipenuhi rambut tipis dengan tatapan masih kepada daftar menu. "Sebentar lagi kudu cabut, sandwich tuna lumayan sih. Tapi kayaknya enggak terlalu kenyang. Apa pesan fish and chips aja ya."
Ladin berkacak pinggang dengan dada menahan kesal. "Oke. Kemal. Saya ke sini."
"Kamu mau pesan apa? Di sini selain pastanya, dessert nya juga enak. Ada americano juga. Kamu mau?" sela Kemal lagi sembari melempar tatapannya kepada Ladin.
Ladin menggeram. "Kemal!"
Dengan wajah tanpa dosa, Kemal menengok ke kanan dan kiri ketika beberapa orang mengamati mereka. Sedangkan Ladin menutup wajahnya malu bercampur gondok.
"Jangan berisik, kamu enggak mau kan kita diusir dari sini," bisik Kemal memajukan tubuhnya ke arah Ladin.
Kedua bola mata Ladin menatap tajam ke arah Kemal. Dia pun menurunkan volume suaranya. "Saya ke sini bukan buat makan. Tapi saya mau tanya soal--"
"Ada yang bisa saya bantu?" sambut seorang pelayan lelaki yang tiba-tiba muncul dari balik meja.
"Saya pesan sandwich tuna satu, americano dua. Terus kamu mau makan apa, Din?"
"Terserah," ucap Ladin sudah lelah karena ucapannya selalu dipotong.
Kemal menaikan bahunya. "Oke samakan aja, Mas. Sandwich tuna dua dan americano dua."
"Baik, totalnya seratus dua puluh ribu, Mas. Ada lagi?" tanya lelaki muda itu kepada Kemal.
"Itu dulu aja. Terima kasih, Mas." ucap Kemal kemudian menyerahkan kartu kreditnya kepada pelayan itu. Dia mengintip Ladin, wajahnya terlihat masih jengkel sambil mengamati pengunjung yang lain. Kedua sudut bibir Kemal pun terangkat naik. Dia menepuk bahu Ladin. "Ayo duduk! Enggak mungkin kan kita makan sambil berdiri?"
Dengan langkah terpaksa Ladin mengikuti Kemal. Lelaki itu memilih sebuah meja di tengah ruangan. Setelah duduk, Kemal menunjuk kursi di hadapannya dan meminta Ladin untuk duduk.
"Jadi gimana? Mau ngomong apa?" tanya Kemal dengan mimik masih tanpa dosa.
"Sekarang udah boleh ngomong?" sinis Ladin sambil bersidekap.
"Memang siapa yang bilang kamu dilarang ngomong. Negara kita kan negara demokratis, kalau sampai pendapat seseorang dibungkam, tentunya saya sebagai pengacara enggak taat hukum dong," balas Kemal enteng lantas menyilangkan kaki kanannya. Kontan saja, membuat Ladin meringis jijik.
"Oke, terserah," tekan Ladin sudah kehabisan stok sabar. Apalagi gaya Kemal duduk dengan wajah congkak membuat darah Ladin mendidih. "Saya cuma mau jemput kartu pers dan id card saya. Ada di kamu, kan?"
"Sebentar," sela Kemal mengangkat jari telunjuknya di depan wajah Ladin. Lelaki itu kemudian mengeluarkan ponsel dari kantong celananya. "Atasan saya telepon."
Ladin mengusap wajahnya dengan kedua tangan dan mengumpat kesal. Dia lalu melempar pandangannya ke arah kafe bergaya industrialis itu dan mengamati satu per satu pengunjung di sana. Mimiknya tampak muak bukan main.
"Halo, Pak Mahesa," sapa Kemal kepada seseorang diseberang telepon. "Saya belum berangkat, masih beli kopi dulu. Kenapa Pak?"
Dari arah belakang, seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka. Kemal dengan tangannya memberikan isyarat untuk meletakan pesanan mereka ke atas meja. Dia kemudian menatap Ladin dan meminta perempuan itu untuk makan lebih dulu.
Ladin mencibir. Kemudian dengan kesal, mengambil salah satu sandwich tuna di atas meja dan menyantapnya rakus.
"PT. Textama?"
Ucapan Kemal barusan menyedot perhatian Ladin. Gurat jengkel di wajahnya berangsur hilang. Kunyahan di mulut Ladin yang semula bar-bar mulai bergerak perlahan, selagi matanya mencuri pandang ke arah Kemal.
Kemal sadar akan perubahan perempuan itu, dia pun mengamati Ladin diam-diam sambil menautkan alisnya. "Iya, saya udah ngobrol dengan bagian legal Pak Drajat. Saya pastiin semuanya sudah aman, karena ternyata data yang dibawa oleh mantan karyawan PT. Textama kurang valid. Saya udah dapat data yang sebenarnya dari mereka."
"Oke, selesai dari pengadilan saya akan atur meeting di luar dengan Pak Jaka buat langkah selanjutnya. Baik. Terima kasih Pak," jawab Kemal memutus sambungan teleponnya. Dengan mata memandangi sosok Ladin, Kemal menjemput gelas kopinya dan menyesapnya nikmat. "Kalau penasaran enggak usah nguping, tanya aja."
"Tanya aja? Bukannya waktu itu ada yang secara tegas nolak wawancara dan pergi gitu aja? Lagian malas banget saya tanya sama tim hukum Drajat. Ujung-ujungnya pasti ada yang ditutupin," sindir Ladin sembari menghabiskan sandwich di piringnya lantas balik menatap tajam Kemal seakan ingin menantang lelaki itu. "Sama aja kayak ngomong sama tembok."
Senyum tipis perlahan muncul di bibir Kemal. Apalagi air muka Ladin yang sudah semakin garang. Sementara pendingin ruangan kafe sepertinya tidak bekerja dengan baik lantaran aura panas mulai menyengat di sekitar meja mereka.
"Lagian kalian para wartawan, kenapa sih masih aja penasaran sama kasus yang jelas-jelas udah kelar dan jelas-jelas cuma salah paham?" ujar Kemal menggelengkan kepalanya. "Justru gara-gara kamu, saya jadi semakin yakin kalau kalian justru yang sengaja buat cari-cari berita. Bukannya sensasi yang buat berita kalian laris?"
"Kita cuma asal cari-cari berita? Yakin? Saya curiga kamu enggak ngecek lebih jauh gimana busuknya perusahaan Drajat." tantang Ladin sambil melipat kedua tangannya ke dada. "Tiga tahun yang lalu, hampir seperempat sungai di Samarinda terkena pencemaran air akibat limbah yang dibuang asal tanpa proses penetralan oleh cabang pabrik dari PT. Textama. Tapi anehnya kabar itu hilang begitu aja tanpa adanya kelanjutan di pengadilan."
Kemal tersenyum sinis. "Bukan tanpa ada kelanjutan. Sebagai informasi, PT. Textama dibantu LSM setempat sepakat buat selesaikan sengketa secara alternative dispute resolution atau non litigasi dengan masyarakat sekitar. Dan semua udah clear."
"Clear?" kekeh Ladin terlihat makin muak. "Di tahun pertama Textama membangun pabrik di Jakarta Utara, dengan tanpa dosa mereka ngebangun pabrik di atas tanah milik warga. Enggak hanya satu tapi lima orang kepala keluarga yang menjadi korban."
"Pertama, PT. Textama memang memiliki tanah sebelumnya di sekitar area tersebut. Kedua, keluarga besar Pak Drajat sudah membeli tanah sengketa itu sepuluh tahun yang lalu dari pemilik yang sah. Asal kamu tahu, Pak Drajat sudah punya lengkap semua surat akta jual belinya. Jadi, menurut kamu masih kesalahan PT. Textama?" tekan Kemal tidak mau kalah.
Ladin membisu. Matanya dan Kemal masih betah saling tatap dengan tubuh berhadapan, seakan-akan tidak ada yang ingin mengalah dan merasa sudut pandang mereka paling benar. Sesaat bahkan ada jeda cukup panjang, membuat lagu Ekspektasi dari Kunto Aji yang diputar di dalam kafe terdengar lebih jelas di antara mereka.
Sampai Ladin mendengkus, kemudian tergelak tiba-tiba. Tatapan beberapa pengunjung pun mengarah kepada mereka dengan penasaran. Kemal tercenung, sorot matanya tampak bertanya-tanya ke arah Ladin.
"Tadinya saya pikir kamu memang enggak tahu apa-apa soal latar belakang perusahaan Drajat. Tapi nyatanya enggak, perkiraan saya salah. Cuma sayang banget kamu ternyata enggak sekompeten yang orang-orang bilang. Silent Killer yang katanya detail pakai banget. Kamu memang cukup detail, tapi kamu cuma lihat dari satu sisi aja," sindir Ladin telak. "Oh iya, saya lupa. Seharusnya saya enggak pakai sudut pandang saya sebagai wartawan yang harus cover both side dan netral, jelas beda dengan pengacara kayak kamu. Sesuai request klien, kan?"
"Maksud kamu apa?" sahut Kemal tersinggung dengan ucapan Ladin.
"Kalau kamu benar-benar Kemal yang sepuluh tahun lalu saya kenal, kamu pasti tahu apa maksud saya. Saya permisi, terima kasih traktirannya. Masukin ke daftar hutang saya aja, sekalian dengan croffle kemarin. Saya enggak mau makan dari uang Drajat," tukas Ladin kemudian menyabet ranselnya dan membawa langkahnya lebar-lebar keluar kafe.
Kemal jelas tidak terima. Dia bersidekap sembari mendengkus di kursinya dengan ekspresi berang dan wajah memerah. Egonya merasa dihina karena ucapan Ladin tadi. Dia pun menoleh ke kanan dan menatap kepergian Ladin dari posisinya.
Alis Kemal menyatu rapat ketika menemukan Ladin juga tengah menatap ke arahnya dari teras kafe. Berbeda dengan semenit lalu, air muka Ladin tidak lagi terlihat muak. Rasa kecewa dan patah hati yang dapat Kemal rasakan di sana. Keduanya baru melepaskan tatapan mereka ketika mobil Aktual TV berhenti di depan Ladin.
Seorang lelaki yang Kemal tahu sebagai kameramen Aktual TV keluar dari dalam mobil dan menyambut Ladin. Ladin berteriak meminta lelaki itu minggir dan dengan kesal menutup pintu mobil di depannya. Sambil bergerak kikuk, kameramen itu terpaksa duduk di kursi depan mobil.
Kemal mengembalikan tatapannya ke arah gelas kopi Ladin yang tinggal setengah. Perasaaannya mendadak tidak tenang. Selama hampir enam tahun dia menjadi pengacara, Kemal memang memiliki prinsip untuk sebisa mungkin selalu berada di pihak yang benar. Namun, ucapan Ladin diam-diam membuat dia tidak yakin bila kali ini dia berada di pihak yang tepat.
***
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top