Part 6. Mahesa & Partners

-

-

Pajero sport hitam milik Kemal berhenti di basement sebuah ruko di area Menteng. Ruko mewah bercat putih dengan papan nama bertuliskan Mahesa & Partners, bergaya victoria, dan terdiri dari tiga lantai itu terlihat senyap dilihat dari luar, tetapi bila masuk ke dalam basement beberapa mobil mewah sudah berjejer rapi sebelum pukul sembilan pagi. Dua orang petugas keamanan juga selalu standby menjaga di depan gerbang dan di pintu masuk basement. Seakan-akan menandakan bila mayoritas penghuni kantor itu bukan orang sembarangan.

Kemeja cokelat muda dan celana chino hitam membalut sempurna tubuh tinggi Kemal. Sementara sepasang sepatu loafers terpasang di kakinya yang melangkah menuju area resepsionis di depan kantor. Senyumnya terpatri ketika seorang satpam menyapanya dari pintu masuk basement sebelum Kemal masuk ke dalam kantor.

Rani, resepsionis Mahesa and partners, menyambut Kemal dari meja resepsionis. "Pak Kemal, trainee associate yang nanti bakal jadi asisten Pak Kemal udah datang. Udah saya arahkan ke Mbak Mita. Mungkin lagi dikasih arahan di ruangan HRD."

"Rekomendasi Pak Mahesa kemarin ya? Oke, Thanks Ran," ucap Kemal sembari merapikan jas yang tersampir di lengannya.

"Sama-sama, Pak. Untuk dokumen dan surat-surat atas nama Pak Kemal sudah saya taruh di meja ya."

Kemal mengangguk, lantas menekan tombol lift untuk membawanya ke lantai tiga. Sesampainya di lantai tiga, dua buah meja milik paralegal yang dipenuhi berkas dan sebuah komputer desktop menyambut Kemal. Dua orang paralegal yang ada di sana menyapanya begitu dia keluar dari dalam lift.

"Pak Kemal, sebentar. Saya mau reminder," kata Jia, salah seorang paralegal, sambil menghampiri Kemal. "Untuk sidang kasus PT. Aerofly, Bapak nanti pergi sendiri atau gimana? Karena hari ini saya ada janji konsultasi mendadak dengan klien. Jadi, kayaknya saya enggak bisa ikut pengadilan siang nanti. Saya juga udah tanya urgensi saya ikut sama Pak Mahesa, menurut beliau prioritaskan konsultasi dulu aja."

"Saya pergi sendiri aja, Bu Jia enggak perlu ikut. Lagi pula tadi Rani bilang ada anak magang baru. Jadi, bisa sekalian saya arahin buat jadi asisten," terang Kemal.

"Baik Pak. Kalau gitu saya konfirmasi dulu ke Pak Mahesa ya," pamit Jia.

Kemal mengangguk. Dia lantas masuk ke dalam ruangannya. Ruangan berukuran sedang itu terlihat jauh lebih simpel ketimbang ruangan senior associate lain di kantor ini yang kebanyakan bernuansa kayu dan antik. Sebagai senior associate paling muda, ruangan Kemal hanya diisi oleh dua buah rak buku yang isinya melebihi kapasitas, satu set sofa dengan meja kecil di tengahnya, dan sebuah meja kerja, yang semuanya bergaya minimalis.

Kemal lantas duduk di depan meja kerjanya, lalu menyalakan komputer. Meja kerja bersejarah yang selama tiga tahun ini selalu menemani Kemal menganalisis kasus klien, mendeskripsikan kronologis kasus, membuat daftar prediksi pertanyaan juri di pengadilan, sampai menjadi tempat tidur paling nyaman setelah sofa bila kepalanya terlanjur penat. Meja kerja yang selalu dipenuhi oleh berkas dan alat tulis berantakan.

"Selamat pagi, Pak. Boleh saya masuk?"

Kemal menoleh. Dia yang baru saja akan mulai membuka-buka berkas klien, melemparkan tatapannya ke arah pintu ruangan. Seorang perempuan muda dengan kemeja dan rok hitam dilicin rapi berdiri di ambang pintu.

"Masuk. Kamu yang hari ini mulai magang di sini, kan?" tanya Kemal.

Perempuan itu mengangguk dan berdiri di hadapan Kemal.

"Boleh saya lihat CV nya?" tanya Kemal melirik dokumen CV yang sekilas dia lihat dipelukan perempuan itu. Perempuan berambut panjang bergelombang itu pun mengangguk dan menyerahkan CV nya kepada Kemal. "Jadi nama kamu Chika?"

Lagi, anak magang itu mengangguk malu-malu.

"Oke. Tadi udah dijelaskan sama Mbak Mita kan tugas kamu apa aja?" tanya Kemal tanpa basa-basi sembari meletakan CV perempuan itu ke atas meja. "Saya ingatkan aja, buat sekarang kamu akan jadi asisten saya. Kamu akan belajar tugas pengacara itu apa saja dan kamu bisa pelajari itu dari saya. Jadi, saya mau kamu catat apapun yang kamu dengar saat kamu sedang bersama saya. Saat meeting dengan klien, di persidangan, ataupun saat kamu ada di ruangan saya. Ngerti, kan?"

Chika mengangguk tanpa berani melirik Kemal. Kontan saja, Kemal merasa aneh, dia takut arahannya tadi sedikit keras sampai membuat Chika bertingkah seperti itu.

"Itu aja, arahan dari saya. Ruangan kamu ada di sebelah bersama anak magang yang lain. Nanti kamu belajar aja dari mereka," tegas Kemal sambil menunjuk ruangan di sebelahnya. "Boleh saya minta nomor kamu?"

Kedua mata Chika memelotot kaget. Mukanya memerah. "Ba--Bapak minta nomor saya?"

Kemal mengangguk. "Iya, buat kordinasi. Kan enggak mungkin saya harus bolak-balik keluar ruangan buat diskusi sama kamu."

"Oh," gumam Chika dengan wajah kecewa.

"Dan satu lagi. Jam dua saya ada trial di Pengadilan Jakarta Timur. Saya mau kamu ikut," kata Kemal sambil mulai mengetikan sesuatu di komputernya.

"Saya ikut trial, Pak? Serius?" sahut Chika terlihat kaget.

Kemal memandangi Chika bingung. "Iya. Sebagai asisten saya. Kenapa?"

"Oke! Saya siap," seru Chika sambil mencatat sesuatu di buku catatannya.

"Satu lagi, nanti kamu bantu saya buat persiapkan beberapa dokumen untuk di persidangan. Saya mau semuanya beres sebelum makan siang," terang Kemal.

"Siap, Pak. Ada lagi?" tanya Chika dengan mata berapi-api.

"Sebentar," sahut Kemal ketika telepon kantornya berbunyi dari atas meja. "Halo, Ran."

Kedua alis Kemal menyatu ketika Rani memberitahukan bila ada telepon masuk untuknya. Wajah Kemal perlahan berubah iseng ketika mendengar bila ada seorang perempuan yang memaksa ingin berbicara dengan dirinya. Menurut Rani, nada suara perempun itu terdengar menyebalkan dan sedikit memaksa. Jelas, Kemal tahu siapa itu.

"Sambungkan aja ke saya, Ran. Oke, thanks ya," perintah Kemal kemudian berdeham untuk menjernihkan suaranya. "Halo. Ada yang bisa dibantu?"

"Id Card saya ada di kamu, kan?"

Kemal sontak menjauhkan telinganya dari gagang telepon ketika suara seorang perempuan hampir membuat jantungnya copot mendadak. Sambil menahan tawa, dia lantas mengintip isi tasnya dan mengamati lanyard dengan kartu pers atas nama Ladinda di antara kertas-kertas di sana.

"Kok diam? Jawab."

"Sebentar. Ini siapa ya?" tanya Kemal iseng.

"Ladin."

"Oh, wartawan Aktual TV kemarin. Sori Mbak saya enggak ngenalin suara Mbak. Soalnya kita kan baru ketemu dua kali."

"Jangan bercanda. Saya tanya id card saya ada di kamu?"

"Saya enggak bercanda. Bukannya kamu yang bilang kemarin kalau kita cuma orang asing. Jadi, enggak salah dong kalau saya lupa kamu siapa," kelakar Kemal iseng. "Dan soal id card kamu—"

Tut!

Kemal menatap gagang teleponnya bingung ketika telepon itu diputus secara tiba-tiba. Sepertinya perempuan di seberang telepon murka kepadanya.

"Baru mau dijawab. Sensi amat sih," decak Kemal.

"Maaf, Pak. Yang tadi saya catat juga?"

Kemal terkesiap ketika mendengar suara Chika di depannya. "Kamu masih di sini?"

"Tadi kan Bapak yang minta saya tunggu sebentar," sahut Chika dengan polosnya.

"Kamu boleh balik ke ruangan sekarang."

"Tapi, Pak. Obrolan yang tadi perlu dicatat?" balas Chika lagi.

"Obrolan apa?" gumam Kemal bingung.

"Soal lanyard, wartawan Aktual TV, dan soal--" Chika menjeda ucapannya sesaat. "Saya dan kamu beda?"

Kemal memijat pelipisnya yang terasa pening. Rasa malu bercampur kesal sudah sampai ke ubun-ubun. "Enggak perlu."

"Serius, Pak? Tapi kan Bapak yang bilang kalau semuanya harus saya catat."

Mata Kemal memelotot. "Kamu balik ke ruangan kamu sekarang. Nanti saya kirim file apa aja yang harus kamu siapin. Oke. Balik. SE-KA-RANG."

Chika buru-buru mengangguk. Kemudian dengan panik berbalik dan keluar dari ruangan Kemal. Lelaki itu pun menggeram di mejanya untuk menyalurkan rasa keki bercampur gondok akibat tingkah Chika tadi. Gara-gara Ladin, dia jadi lupa diri.

"Perempuan tadi siapa, Mal? Kayaknya kamu pusing banget nanggepin dia?"

Kemal spontan mendongak ketika suara Mahesa muncul di depannya. "Pagi, Pak. Anak magang yang baru."

"I see, yang kemarin interview ketemu saya ya. Saya lupa," ujar Mahesa yang pagi ini terlihat kurang ramah di depan Kemal. "Makan siang nanti kamu udah ada rencana?"

Mendengar nada bicara Mahesa, Kemal mengerutkan keningnya. Sudah lama rasanya, Mahesa mengobrol dengan nada formal seperti ini. Kemal tebak, ini pasti ada sangkut pautnya dengan masalahnya dan Agni minggu kemarin.

"Belum," jawab Kemal singkat.

"Kita makan siang bareng bisa, kan? Ada yang mau saya bicarakan," kata Mahesa sambil mengamati pekerjaan Kemal di atas meja.

"Bicara tentang apa, Pak?"

"Bukan tentang pekerjaan," tekan Mahesa sambil menatap tajam kepada Kemal.

Kemal spontan menelan ludahnya kasar. Tenggorokannya mendadak tercekat kala tanpa sengaja bertemu pandang dengan tatapan tajam Mahesa.

"Bisa, Pak."

"Oke, sampai ketemu nanti siang," pamit Mahesa. Tanpa basa-basi dia keluar dari ruangan Kemal.

Kemal yang ditinggal sendiri mendesah penat. Dia pikir dua hari mendengar omelan panjang orang tuanya mengenai pernikahannya yang ditunda dan ngambeknya Agni sudah cukup membuat kepalanya mau pecah. Lantas sekarang, atasannya pun sepertinya akan mulai membahas ini lagi. Kemal menjatuhkan keningnya ke permukaan meja.

***

Sepaket nigiri dan sashimi terhidang di atas meja Kemal, saat dia dan Mahesa memutuskan untuk makan siang di sebuah restoran Jepang di sekitar area kantor mereka. Namun, sudah hampir lima menit tidak ada satu pun yang Kemal sentuh, lantaran Mahesa masih sibuk menghubungi kliennya di telepon. Kemal hanya bisa mengamati sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya.

"Kok enggak dimakan?"

Kemal segera meletakan ponselnya ke permukaan meja, ketika akhirnya Mahesa menyelesaikan obrolannya di telepon.

"Saya masih belum terlalu lapar dan kayaknya kurang etis kalau saya makan lebih dulu," bohong Kemal.

Bola mata Mahesa melirik Kemal, sebelum mengambil sebuah sushi dan menyantapnya nikmat. "Ayo makan."

Kemal mengiyakan. Dia mengambil sashimi dan mengunyahnya penuh antisipasi.

"Kamu putus sama Agni? Lagi?" tanya Mahesa tanpa tedeng aling-aling.

"Uhuk!"

Seberapa pun kerasnya Kemal mengantisipasi tetap saja makanan itu tersangkut di tenggorokannya. Segera, dia menenggak ocha dingin yang sudah tersaji di atas meja.

"Kamu kaget kalau saya udah tahu soal ini? Agni cerita ke saya," terang Mahesa dengan gaya bak investigator.

"Agni yang putusin saya."

Salah satu alis Mahesa terangkat tinggi. "Alasannya?"

"Saya telat datang waktu fitting baju weekend kemarin. Saya ketiduran di kantor," terang Kemal masih belum berani menatap Mahesa. "Begitu saya sampai, Agni marah-marah dan enggak mau dengar alasan saya. Dia tiba-tiba minta putus."

Tiba-tiba Mahesa meletakan sumpitnya dan terkekeh. Sontak saja Kemal menatap atasannya itu dengan wajah bingung. "Udah saya duga kalau alasannya cuma karena salah paham."

"Memang Agni bilang apa ke Bapak?" sahut Kemal penasaran.

"Dia bilang kamu enggak peduli sama dia. Kamu terlalu sibuk kerja dan enggak niat buat nikah sama dia," jawab Mahesa kembali tertawa mengingat curhatan keponakan perempuan satu-satunya itu. "Dia juga curiga kamu sebenarnya selingkuh dari dia."

Kemal tersenyum kecut. "Kecuali soal selingkuh, apa yang diomongin Agni memang enggak seratus persen salah. Saya juga yang terlalu sibuk kerja belakangan ini. Mungkin itu juga yang bikin Agni marah."

Mahesa menggeleng. "Kalau kamu sampai sibuk kerja itu tandanya saya sebagai atasan kamu juga salah karena udah kasih beban kerja kamu melebihi jam kerja kamu. Nanti saya coba bantu bilang ke dia."

"Terima kasih, Pak," ucap Kemal sambil menghembuskan napasnya. Tegang yang semula melingkupi dirinya berangsur hilang.

"Saya kira kamu selingkuh beneran. Tahu-tahunya cuma gara-gara lembur kemarin," decak Mahesa. "Kamu banyak-banyak sabar ya, Mal. Agni itu anak perempuan satu-satunya, anak bungsu lagi. Jadi, manjanya kadang suka kumat. Apalagi dia kan baru lulus kuliah setahun lalu. Soal kerjaan aja kadang dia masih suka ngeluh." 

Kemal ikut mengangguk, menanggapi, dan mengulas senyum ketika Mahesa menceritakan soal Agni. Pusing yang mendera kepalanya beberapa hari ini mereda. Setidaknya, pernikahan dia dan Agni masih bisa dilanjutkan, sehingga keluarga tidak lagi berisik mengganggunya.

"Makan berdua aja nih."

Kemal dan Mahesa spontan menoleh ke kiri ketika Wibowo, Managing Partner perusahaan mereka, berdiri di samping meja bersama dua orang pria dengan pakaian rapi. Sebagai sebuah firma hukum yang memiliki sistem partnership, Wibowo merupakan salah satu partner yang membantu Mahesa dalam mengembangkan kantor Mahesa & partners.

Kemal sendiri tidak begitu mengenal Wibowo. Selain karena Wibowo selalu disibukan dengan kasus di luar kantor, Wibowo tipe pemimpin yang kurang begitu membaur dengan seluruh karyawan di kantor. Kemal hanya mengetahui bila Wibowo merupakan corporate lawyer yang sudah melanglang buana puluhan tahun di bidang hukum. Dia juga pernah masuk ke dalam Top 10 Asia Business Law Journal.

"Silakan duduk, Pak. Kursinya masih kosong kok," ajak Kemal menunjuk dua kursi kosong di meja mereka.

"Terima kasih," kata Wibowo kemudian melirik Mahesa. "Hes, ini klien yang saya infokan ke kamu. Kebetulan kamu ada di sini, kita bisa ngobrol-ngobrol sebentar, kan?"

"Boleh," jawab Mahesa sembari menyapa dua orang asing itu. "Silakan duduk, Pak."

"Ngomong-ngomong kursinya cuma dua, kita kan bertiga mungkin—" kata Wibowo melirik Kemal.

"Kalau gitu, saya permisi balik duluan, Pak. Jam dua saya juga harus ke pengadilan Jakarta Timur. Terima kasih buat makan siangnya," pamit Kemal sambil berdiri.

"Sorry ya, Mal. Karena mumpung bertemu di sini. Jadi, biar bisa sekalian kita diskusi," ujar Wibowo menepuk bahu Kemal.

"It's okay, Pak. Permisi," pamit Kemal berjalan meninggalkan meja mereka.

Namun, sebelum benar-benar pergi, Kemal sempat menoleh dan mengamati orang-orang tadi. Kemal yakin pernah melihat dua orang itu sebelumnya, hanya saja dia lupa bertemu di mana. Walaupun yang pasti, dua orang itu bukan orang sembarangan dengan melihat gaya berpakaian dan sebuah jam tangan seharga sebuah rumah mewah di daerah Tebet.

***

TBC

Acuy's Note :

Selamat hari Rabu, Hari Raya Rindu... wkwkkwwk gimana part ini? Moga suka ya. Jangan lupa share, vote, dan komennya (berasa Youtuber) 🤣🤣

Sampai ketemu di hari Minggu. Luv u all~

Btw Kemal kok HAWT BGT ya. Yang nulis aja ter-Kemal-kemal loh... didikan Ibu Sri sama Bapak Awan emang gak maen-maen nih. 😍😍😍😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top