Part 5. Silent Killer Lawyer
-
-
Sudah hampir tengah malam ketika Ladin berjalan bergandengan bersama Rai menuju pintu depan depan rumah kostan Ladin. Senyum tidak habis-habisnya luntur dari wajah sepasang kekasih itu. Terlalu lama menjalin hubungan jarak jauh membuat keduanya tidak dapat menahan bahagia ketika Rai akhirnya bisa kembali ke Jakarta, setelah kontrak kerja kekasihnya di Jepang berakhir. Saking kangennya, Ladin bahkan beberapa kali kedapatan memandangi wajah sang kekasih lekat-lekat.
"Gimana? Udah dapat kabar dari proyek pemotretan buat runway?" tanya Ladin di depan pintu pagar kosan.
Rai tersenyum kecut. "Gagal. Perwakilan perusahaan itu bilang, harga kita enggak masuk ke budget mereka."
"Sabar ya," hibur Ladin sambil mengusap lembut pipi Rai.
"Tapi tenang aja, minggu depan rencananya aku sama yang lain bakal pitching ke perusahaan fashion. Karena kebetulan mereka lagi butuh tim fotografer buat produk mereka. Doain lolos ya," terang Rai sambil menyelipkan anak rambut Ladin ke telinga. Lengkungan lebar dengan sorot mata teduh milik Rai memunculkan hangat di dada Ladin.
"Pasti. Aku pasti bakal dukung apapun rencana kamu," jawab Ladin lalu menggenggam erat tangan kanan Rai.
"Tunggu sebentar lagi. Setelah ini aku yakin semua pasti balik kayak dulu lagi. Dan mungkin aku bisa ajak kamu ketemu orang tua aku."
Ladin mengangguk dan merangsekan tubuhnya ke pelukan Rai. Semenjak kontrak kerja Rai selesai sebagai asisten salah satu fotografer profesional di Jepang berakhir, lelakinya ini memang cukup kesulitan beradaptasi di Indonesia. Selain sulitnya mendapatkan proyek baru, banyak hal di luar ekspektasi yang membuat Rai terpaksa bekerja lebih keras. Apalagi hubungan Rai dengan keluarganya tidak begitu dekat. Beruntung, beberapa hari yang lalu akhirnya Rai bisa mencoba berbisnis dibantu oleh beberapa kenalannya.
"Aku percaya sama kamu. Tapi kamu juga harus tetap semangat ya dan jaga kesehatan. Jangan diforsir," nasehat Ladin tulus. "Istirahat kalau capek."
"Iya. Kalau gitu aku balik dulu. Love you, Ay," pamit Rai lalu melepaskan pelukannya, menggusak rambut Ladin dan mengecup lembut bibir kekasihnya itu.
Ladin menyambut gerakan Rai dengan antusias, sebelum dia menahan tubuh Rai untuk melakukan yang lebih jauh. Sebab dia takut bila ada penghuni kost yang akan memergoki kelakuan mereka malam ini.
"Ay... Aku takut ada penghuni yang lain lihat. Sana balik," usir Ladin pura-pura marah.
"Aku mau balik sih. Cuma kok gitu doang?" protes Rai tiba-tiba.
Ladin melipat bibirnya sambil menahan senyum. "Apanya?"
"Tadi aku bilang apa?" tanya Rai menggenggam kedua tangan Ladin.
Ladi menaikan kedua alisnya. "Kamu mau balik."
"Setelah itu?" decak Rai.
"Love you?" tebak Ladin.
Rai melepaskan genggamannya dari Ladin, lalu bersidekap. Tubuhnya yang tinggi dan berisi mengamati Ladin sambil memberengut sebal. "Terus?"
"Jadi, minta dijawab ceritanya," kekeh Ladin tidak bisa lagi menahan senyum. Dia lalu mengecup pipi kiri Rai. "Love you too. Udah kan? Masih ngambek?"
"Lagian iseng banget sih," gerutu Rai sambil mencubit gemas pipi Ladin.
"Kapan lagi aku bisa isengin kamu," kekeh Ladin.
"Dasar. Aku balik deh sebelum kamu isengin lagi. Malam, Ay," pamit Rai sembari mengangkat tangan kanannya dan berjalan keluar pagar.
"Malam. Kabarin kalau udah sampai."
Setelah Rai menghilang keluar pagar, Ladin lalu membuka pintu kosannya. Kondisi kosannya malam itu terlihat sepi. Sepertinya, mayoritas penghuni sudah terlelap malam ini. Mungkin hanya dirinya yang masih terjaga. Ladin kemudian membuka kunci kamar kosannya dan segera masuk ke dalam.
Di dalam kamar, Ladin mendudukan bokong ke atas kursi di depan meja kerjanya. Kemudian mengeluarkan buku catatan dari dalam tas untuk merapikan pekerjaannya hari ini. Namun, gerakannya tertahan ketika bungkus kosong croffle jatuh bersamaan sekotak rokok miliknya dari dalam ransel. Terburu-buru pergi menemui Rai, membuat Ladin tidak dapat menemukan tempat sampah untuk membuang benda itu sore tadi.
Ladin memungut sampah itu dan memandanginya dalam diam. Bungkus kosong croffle di genggaman Ladin kembali membuatnya teringat akan lelaki itu.
Kemal.
Ladin merebahkan tubuhnya ke sandaran kursi. Bola matanya lalu berpindah ke arah laci paling dasar dari meja kerjanya. Tempat dia menyimpan kotak itu.
Sebuah kotak kardus usang berukuran sedang tampak ketika Ladin membuka laci itu. Dia pun mengeluarkan kotak itu dan memandangi satu per satu benda yang ada di dalam kardus, sembari menyalakan sebatang rokok.
Asap tipis memenuhi kamar Ladin selagi tangannya yang lain meraba barang-barang di dalam sana. Sebuah ponsel keluaran lama, boneka beruang kumal, tiket pentas seni sebuah SMA di Jakarta, buku catatan lawas, foto-foto masa SMA nya, dan pigura yang berisi fotonya dengan seorang pria paruh baya yang seperti sengaja dirusak menggunakan cutter.
Ekspresi Ladin terlihat datar seakan-akan beragam jenis emosi tengah bergumul di dadanya sekarang membuat perasaannya kebas seketika. Dia segera menutup kardus itu rapat-rapat.
Kepala Ladin kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri seperti mencari sesuatu. Setelah menemukan tempat yang tepat, Ladin bangkit dari duduk dan berjalan ke arah laci nakas yang tidak pernah dia gunakan, untuk menyimpan kardus itu.
Setelah Ladin yakin kardus itu sudah terkunci rapat di dalam laci, dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Sambil menghabiskan sisa rokok di tangannya, Ladin termenung memandangi langit-langit kamarnya yang gelap. Ladin pun membiarkan dirinya tenggelam di dalam dunianya.
***
Seninnya, Ladin kelimpungan di depan pintu otomatis lobi tower B. Kartu persnya menghilang dari dalam ransel. Padahal seingat Ladin dia selalu menyimpan benda itu di dalam ransel atau pun dia kalungkan di lehernya. Tidak pernah sekali pun dia keluarkan atau pindahkan.
"Morning. Tumben lo masih di sini?" sapa seseorang di belakang Ladin.
"Kartu pers sama id card gue hilang," jawab Ladin ketika menyadari ada Tara di belakangnya.
"Kok bisa?" balas Tara bingung. "Emang lo taruh mana?"
Kedua alis Ladin menyatu. Otaknya berputar mengingat-ingat kejadian akhir pekan kemarin. Seingatnya dia selalu membawa kartu pers itu setiap kali liputan dan selalu dia simpan kembali ke dalam tas setelah bekerja, termasuk saat wawancara di butik Wellona.
Ladin tercenung lantas mengoceh sendiri. "Gue pakai enggak ya waktu liputan hari Sabtu. Kayaknya gue pakai deh, atau enggak?"
"Masih muda udah pikun lo. Udah tuker ID aja di resepsionis, nanti lo tinggal ke HRD deh buat laporan," usul Tara sembari menempelkan tanda pengenalnya dan masuk ke dalam.
"Bisa kena denda dong gue," jawab Ladin sebal.
"Terus? Dari pada lo enggak bisa liputan di luar? Pilih mana? Kena denda atau kena damprat Mas Gerry sama Mbak Fero?" sahut Tara.
"Iya juga sih. Gue pinjam punya lo deh, gimana? Hari ini lo enggak ke mana-mana, kan?"
Dari seberang pintu otomatis, Tara mencebik sambil bersidekap. "Ogah. Kalau mendadak gue disuruh keluar gimana? Gue yang kena damprat. Udah buruan, lima menit lagi kita telat loh kalau enggak cepetan."
Ladin berdecak. Dia menyeret langkahnya menuju meja resepsionis, meskipun isi kepala Ladin masih memikirkan nasib id card-nya sekarang.
"Apa jatuh di jalan ya?" gumam Ladin sebal.
"Buruan!" teriak Tara.
"Iya," sahut Ladin memelotot kesal kepada Tara sembari membawa langkahnya ke resepsionis.
Sesampainya dalam ruangan, Ladin disambut dengan enam orang rekan kerjanya yang berkerumun di depan desktop meja kerja Bono. Meja Ladin yang berada tidak jauh dari Bono, terpaksa dijajah untuk menjadi area ghibah para wartawan yang tengah rehat sejenak dari liputan lapangan itu.
"Terus katanya gimana? Kok bisa ditangguhkan sih?"
"Main apa lagi si Drajat. Yang liputan ke sana siapa? Gue telepon deh. Penasaran banget gue."
Mendengar nama Drajat terus disebut, Ladin yang baru saja meletakan tasnya ke atas meja ikut penasaran. Dia diam-diam melangkah dan berdiri di belakang Bono. Tara pun ikut menempel ke kerumunan.
"Kenapa bisa ditangguhkan? Padahal buktinya kan udah lengkap," timpal Ladin penasaran.
Para wartawan yang sedang berkerumun itu sontak menoleh ketika suara Ladin timbul di tengah-tengah mereka.
"Pagi Mbak," sapa Bono tampak semringah. "Tumben baru dateng jam segini."
"Itu kenapa?" sahut Ladin tidak menggubris sapaan Bono.
"Oh ini. Berdasarkan pemeriksaan, enggak ada pajak yang dimanipulasi. Semua buktinya enggak valid dan karyawan yang jadi whistle blower* gosipnya langsung dipecat dengan tidak hormat," terang Bono.
"Cerita lama," celetuk Tara ikut menimbrung di belakang Bono.
Semua orang di ruangan itu spontan mengangguk hampir bersamaan. Beberapa terlihat menatap miris headline berita online di layar desktop Bono.
"Tim pengacara Drajat yang berhasil nemuin celah dan buktinya kemarin. Terus pagi ini mereka bahkan ke kepolisian buat nuntut balik karyawan yang udah ngelaporin. Gila kan?" terang Wira, wartawan berita desk ekonomi yang malah paling update bila ada berita-berita terkait pelanggaran hukum. Wira kemudian memperbesar foto saat tim hukum PT. Textama dimintai keterangan di depan kepolisian oleh beberapa wartawan.
"Pantas aja mereka lolos lagi. Yang nanganin kali ini Mahesa and Partner ternyata," celetuk teman wartawan Ladin yang lain.
"Sebentar. Memang kenapa sama Mahesa and partner? Sebegitu bagusnyakah?" tanya Tara penasaran. "Eh, lo berdua sempet ke sana kan waktu awal berita ini booming. Gimana hasilnya?"
"Minggu kemarin kita emang sempat ngeliput waktu mereka kelar meeting sih cuma enggak dapat apa-apa," cerita Bono.
Wira bersidekap sambil memandangi layar komputer. "Setahu gue, kantor hukum mereka memang lagi naik daun. Tahun kemarin mereka baru dapat Platinum Awards karena sejak dua tahun yang lalu delapan puluh persen perkaranya selalu menang di pengadilan."
"Oh iya?" sahut Tara lagi.
"Gue juga pernah denger sih," sahut Ladin yang tatapannya malah teralihkan kepada sosok Kemal di foto itu.
"Apalagi sekarang, ada dia," celetuk Wira.
"Dia?" tanya Ladin.
"Silent Killer Lawyer. Kemal Nalapraya. Lulusan Magister hukum dari UC Berkeley dan sempat jadi The Most Eligible Bachelor tahun kemarin di majalah Forbes Indonesia," imbuh Wira seketika membuat para wartawan di sana berdecak kagum. Sementara Ladin memilih bungkam, dan pura-pura tidak antusias mendengar obrolan mereka. "Terus sejak dia gabung ke kantor hukum Mahesa tiga tahun lalu sebagai senior associate, Mahesa and partner jarang kalah di persidangan. Dia terkenal teliti banget, sampai detail kecil aja dia bisa temuin. Makanya dijulukin silent killer."
"Tapi kok bisa dia mau jadi tim legalnya Drajat. Padahal Drajat kan udah terkenal banget busuknya," sahut Bono penasaran.
"Mungkin karena duit. Toh, mana ada sih orang yang nolak cuan jaman sekarang?" timpal Tara.
"Kayaknya enggak mungkin deh kalau Kemal lakuin itu karena duit," cetus Ladin. Teman-temannya yang lain langsung diam. Mereka mengamati Ladin dengan mimik penasaran.
"Sobat kental banget lo kayaknya sama dia?" kekeh Tara menggoda Ladin. Ladin sontak menggeleng kikuk.
"Maksud gue, lihat latar belakang keluarganya yang old money kayaknya enggak mungkin dia lakuin itu karena duit. Orang tuanya pemilik start up teknologi, udah IPO lagi bertahun-tahun lalu sebelum perusahan teknologi di Indonesia bahkan jarang yang dilirik investor luar negeri. Terlalu aneh sih kalau dia lakuin ini karena duit," terang Ladin semakin serius mengamati wajah Kemal di layar komputer. Wartawan lain sampai-sampai ikut membisu dan mengangguk bersamaan dengan ambil memandangi Ladin.
"Oh iya? Gue udah tahu kalau keluarganya kebanyakan businessman, setahu gue adiknya juga tahun kemarin baru bangun bisnis digital. Tapi gue baru tahu kalau bisnis orang tuanya berawal dari start up," sahut Wira penasaran. "Lo tahu dari mana?"
Ladin mengedik dan memasang wajah tanpa dosa. "Google."
"Bohong banget," koor teman-temannya yang lain.
"Apa sih yang enggak diketahui sama dedicated reporter kayak Ladinda?" sela Tara melirik Ladin iseng. "Mahesa mungkin punya silent killer lawyer atau apapun itu namanya, kita juga punya kok, silent stalker reporter. Au!"
Ladin menatap kesal kepada Tara sambil mencubit Tara. "Enggak usah muji kalau ujung-ujungnya jatuhin gue."
"Sakit Lad," cebik Tara.
"Lagi pada ngapain ngumpul kayak gini? Enggak pada berangkat liputan?" seru Gerry, kordinator liputan mereka, dengan pelototan mautnya langsung membuat kerumunan wartawan itu seketika bubar. Ada yang bergegas pergi keluar, ada yang mengemasi ranselnya, ada pula yang pura-pura sibuk di meja kerjanya.
"Lad, tim lo nanti langsung cabut aja. Daftar liputannya udah gue share ke whatsapp," kata Gerry. "Langsung dikejar ya."
"Siap, Mas," jawab Ladin dengan mimik gelisah.
Bono mendekat begitu Gerry sudah menghilang kembali ke ruangan kontrol. "Mbak kenapa?"
"Kartu persnya hilang," sela Tara sambil berkacak pinggang di antara Ladin dan Bono.
"Kok bisa? Sabtu kemarin gue masih lihat kok," ujar Bono sambil mengemasi barang-barangnya.
Mata Ladin membelalak. "Lo lihat?! Di mana?"
"Waktu interview sama Bu Wellona," jawab Bono.
Ladin termenung. "Setelah itu?"
"Enggak tahu. Kan gue langsung balik ke kantor sama Fajar."
Kedua alis Ladin terangkat tiba-tiba. "Kafe."
Bono dan Tara saling tatap ketika Ladin berjalan cepat menuju mejanya dan mengobrak-abrik tas untuk mencari ponsel.
"Udah inget?" tanya Tara mendekat.
Ladin mengedik sambil mencari nomor telepon kafe kemarin dari pencarian Google. Setelah menemukan kontak yang dicari, segera dia menghindar ke pantry untuk mengurangi bisingnya ruang redaksi dan menghubungi nomor itu.
Selang beberapa menit, telepon Ladin diangkat oleh seseorang. "Halo, Mbak. Perkenalkan saya Ladin. Sabtu kemarin saya ke kafe dan dine in di sana. Kira-kira ada lanyard dengan id card tertinggal enggak ya di sana?"
"Iya, hari Sabtu. Meja dekat jendela kedua dari pintu keluar," jawab Ladin dengan tangan mengetuk-ngetuk meja pantry, tidak pernah bisa diam.
"Enggak ada? Mbak yakin?" seru Ladin lemas.
"Oke terima kasih, Mbak."
Ladin melipat kedua tangannya di dada sambil memutar otak mengingat kembali kronologi hari itu. Namun, selalu berujung ke kafe itu. Sampai tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Kemal," decak Ladin kesal.
***
TBC
*Whistle Blower : orang yang memberitahukan informasi kepada penegak hukum. Bahasa kerennya mah cepu.
Acuy's Note :
Selamat pagi dan selamat hari Minggu. Gimana part ini?
Kira-kira gimana ya part selanjutnya? Ada yang bisa tebak? Hehehehe
Sampai ketemu hari Rabu ya... luv u all~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top