Part 4. How Are You?
-
-
"Lain kali kalau janji harus ditepatin ya, Mas. Calon istri Mas tadi udah nunggu di sini hampir tiga jam loh. Kalau saya jadi dia, saya juga pasti bakal ngelakuin hal yang sama," terang Wellona, si pemilik butik.
Bono terkekeh pelan, tetapi langsung diperingatkan oleh Ladin. Dia meminta Bono untuk fokus kepada wawancara hari ini.
"Terima kasih sarannya," jawab Kemal makin salah tingkah.
"Ini bukan saran, ini artinya saya kesal dengan Anda," potong Wellona. "Dian, nanti tolong kamu sampaikan ke Mas ini, untuk fitting selanjutnya saya masih belum tahu pasti jadwal saya kosong di tanggal berapa. Jadi, pastiin dia selesaikan urusan pribadinya dulu sebelum ke kita. Saya enggak mau butik saya yang jadi korban."
Tawa Bono pun tidak lagi bisa dia tahan. Kikikannya bahkan terdengar ke seluruh ruangan. Buru-buru Ladin menutup mulut Bono dan meminta lelaki itu untuk diam. Apalagi raut wajah Kemal sudah memerah bak kepiting rebus.
"Bisa kita lanjutkan wawancaranya, Mbak?" tanya Wellona dengan nada tegas.
"Baik, Bu. Mungkin kita bisa lanjutkan di ruangan atas saja gimana? Yang saya dengar untuk produksi ada di lantai atas, kan? Boleh kita syuting di sana?" tanya Ladin sambil berusaha tidak mengindahkan keberadaan Kemal di sana.
"Nice idea," jawab Wellona. "Dian, pastiin begitu saya selesai wawancara, Mas ini sudah selesai sama urusannya di sini dan cek dulu satu per satu barang di sini sebelum dia pulang."
Perempuan bernama Dian itu buru-buru mengangguk kikuk. "Baik, Bu."
Ladin dan dua orang rekannya berjalan mengekori Wellona menuju lantai atas. Meskipun, ekor mata Ladin dapat melihat tatapan Kemal terus tertuju kepadanya.
"Mas, maaf kalau sudah selesai Mas boleh kembali lagi nanti begitu sudah buat janji baru dengan Ibu."
Ladin menarik napas dalam-dalam ketika suara Dian terdengar berbarengan dengan pintu depan butik yang ditutup oleh seseorang kala dia tiba di ujung tangga lantai atas. Bono menyenggol bahu Ladin.
"Mbak ngelamun? Ayo!"
Ladin mengangguk.
***
"Terima kasih dan mohon maaf ya Mbak buat yang gangguan yang tadi," kata Wellona sambil menjabat tangan satu per satu wartawan Aktual TV itu. Beberapa sisa kudapan dan minuman bergeletakan pada meja di ruangan.
Ladin, Bono, dan Fajar mengangguk maklum. Kemudian, usai membantu Bono menggulung kabel lighting, Ladin mendekati Wellona.
"Enggak apa-apa, Bu. Dalam membuat liputan kami sudah terbiasa dengan hal-hal yang di luar ekspektasi. Tim kami udah ahli kok buat potong-potong bagian yang memang enggak sesuai dengan planning."
"Syukur deh," kata Wellona terlihat lega. "Dian! Bisa tolong ke sini sambil bawa tas saya!"
"Iya, Bu," jawab Dian dari lantai bawah.
Tidak lama, sosok bawahan Wellona itu sudah berdiri di lantai atas. "Ini Bu tasnya."
"Terima kasih. Kamu bisa jaga lagi di bawah."
"Baik, Bu. Permisi Mbak," pamit Dian dengan sopan. Ladin mengangguk.
"Mbak Ladin, ini ada sedikit uang transport buat Mbak Ladin dan teman-teman. Anggap aja ini uang terima kasih saya," kata Wellona menyerahkan sebuah amplop ke tangan Ladin.
"Enggak perlu Bu. Saya --"
Bono dan Fajar saling tatap kemudian melirik Ladin ketika sedang memasukan peralatan ke dalam box.
"Saya maksa. Lagian selama ini butik saya juga terkenal karena bantuan kalian, apalagi Mas Gerry. Salam buat beliau ya," sela Wellona sambil tersenyum lebar dan pergi meninggalkan mereka bertiga. "Nanti kabari Dian kalau kalian sudah mau pulang, lima belas menit lagi saya ada meeting dengan klien. Jadi, saya permisi duluan ya. Jangan lupa kue nya dihabiskan."
"Baik, Bu. Terima kasih."
"Itu apa Mbak?" tanya Bono kepada Ladin sambil membawa ransel yang berisi peralatan liputan mereka dan mengunyah sisa makanan di mulutnya.
"Biasa," sahut Fajar memunculkan tanya di wajah Bono. "Jale."
"Buat lo sama Fajar," imbuh Ladin menyerahkan amplop itu kepada Bono begitu mereka tiba di anak tangga terakhir. Jelas, makin membuat Bono bingung.
"Serius buat kita semua, Mbak?" celetuk Fajar menyambut amplop dari tangan Ladin. Namun, mimik Fajar langsung beringsut menemukan ekspresi datar Ladin kepadanya. "Oke, thanks ya, Mbak."
Ladin mengangguk. Dia lantas melangkah ke arah Dian yang sudah menunggu mereka di tengah ruangan. Sementara dua orang rekannya berdiri di ujung tangga.
"Enggak usah bingung. Ini namanya uang jale, anggap aja uang capek. Nanti kita bagi dua."
"Mbak Ladin?"
"Dia emang enggak biasa nerima uang kayak gini. Anak buah Mas Gerry beda."
Ladin mendengkus ketika dia menyadari bila Fajar dan Bono masih tertinggal jauh di belakangnya. Dia bersidekap dengan tatapan melirik tajam. "Buruan! Lo berdua ditunggu sama Mas Gerry."
Bono yang kedapatan tersenyum lebar sambil memandangi Ladin, buru-buru mendekat disusul Fajar. "Mbak enggak ikut balik ke kantor?"
Ladin menggeleng kemudian berdiri di depan Dian yang sudah menunggu mereka di dekat pintu keluar. "Mbak, kami permisi dulu ya. Tadi Bu Wellona sudah bilang ke kami untuk langsung pulang bila memang sudah selesai. Terima kasih juga buat minumannya."
Dian mengangguk. "Sama-sama, Mbak."
Usai pamit kepada Dian, Ladin segera mendorong punggung Bono dan memanggil Fajar untuk segera keluar dari butik.
"Mbak, serius enggak ikut kita ke kantor?" tanya Bono lagi.
"Hari ini sebenarnya day-off gue. Gue juga udah ada janji sama orang jam lima. Makanya gue enggak bisa ikut ke kantor. Nanti gue yang bilang ke Mas Gerry deh," jawab Ladin.
"Gitu ya," gumam Bono lesu, selagi Fajar berjalan lebih dulu untuk mengambil mobil mereka. "Oke, kalau gitu kami duluan ya, Mbak. Bye."
"Bye," kata Ladin mengangkat tangan kanannya.
Ladin mengembuskan napasnya lelah ke udara. Mata kecilnya mengamati gurat jingga keemasan di atas langit. Senyum masam terbit di bibirnya ketika secara tiba-tiba Ladin merasakan perutnya terasa perih. Liputan dadakan memang sering kali terjadi dalam dunia broadcasting. Sebagai seorang wartawan Ladin jelas sudah terbiasa dengan itu, walaupun lelah di tubuhnya tetap tidak pernah bisa ditutupi.
Beruntung, hari ini Ladin masih bisa menepati janjinya dengan Rai untuk pergi berdua. Bila tidak, mungkin kekasihnya itu akan mendiamkannya seharian. Ladin terkekeh.
Sebuah ponsel Ladin keluarkan dari sakunya untuk menghubungi Rai, sementara kakinya melangkah menuju sebuah kafe kecil tepat di sebelah butik. Sebab bila menunggu makan malam nanti, Ladin khawatir dia akan terkapar sebelum sampai di tempat.
"Halo, Ay. Iya, aku udah selesai kok. Kita ketemu di tempat biasa aja. Kalau kamu jemput ke kosan takutnya aku kena macet, malah makin lama," kata Ladin yang matanya sudah bergerak mengamati daftar menu di atas etalase. "Enggak usah, Cawang ke Kebon Jeruk jauh loh. Inget ini malam minggu. Ketemu di tempat janjian aja ya. Iya. Bye, Ay."
"Pesan apa, Mbak?"
Seorang pelayan perempuan muncul dari balik meja kasir. Ladin merenung sejenak sambil membaca deretan daftar menu di sana. Setelah meninmbang beberapa saat, Ladin pun menunjuk sebuah menu paket.
"Paket B satu ya, Mbak. Dine in."
"Paket B. Croffle tiramisu dan americano satu, dine in ya. Ada lagi?" tanya pelayan itu dengan ramah.
Ladin menggeleng. "Itu aja."
"Oke, totalnya 45.000 ya, Mbak. Atas nama Mbak siapa?"
"Ladin. Sebentar saya cari uang saya dulu," jawab Ladin seraya merogoh kantung celananya.
Ladin tersentak. Alisnya menyatu ketika hanya menemukan pecahan uang lima ribu saja di dalam kantung. Dia pun merogoh ranselnya untuk mencari uang cash. Namun, nihil.
"Bisa pakai debit?" tanya Ladin.
"Mohon maaf, Mbak. Untuk debit kita lagi offline. Kita cuma bisa melayani pembayaran tunai untuk saat ini," jawab pelayan itu.
Ladin berdecak. Dia melirik daftar menu, tetapi tidak ada makanan juga minuman yang sesuai dengan budgetnya sore ini. Bahkan sebotol air mineral pun dibanderol dengan harga sepuluh ribu rupiah. Ladin mendengkus sebal.
"Kalau gitu saya cancel saja deh, Mbak. Kebetulan saya enggak bawa uang cash," kata Ladin sambil menahan malu. Pelayan perempuan itu tersenyum tipis, meskipun Ladin paham bila ada kesal yang sebenarnya dia tahan.
"Biar saya aja yang bayar. Tapi saya pesan paket B nya satu lagi ya, Mbak."
Ladin sontak menoleh ke samping. Wajahnya terlihat kaget ketika menemukan ada Kemal berdiri di sebelahnya sambil mengangsurkan uang seratus ribu kepada pelayan perempuan itu. Untuk sesaat, pelayan itu terlihat kebingungan memandangi Kemal dan Ladin bergantian.
"Dia teman saya, biar saya yang bayar. Kebetulan saya memang udah lama enggak ketemu dia," jelas Kemal melirik Ladin. Sementara perempuan itu membuang wajahnya ke arah lain.
"Baik, totalnya jadi 90.000 ya, Mas," kata pelayan itu menerima uang dari Kemal.
"Terima kasih," ucap Kemal. Namun, baru saja Kemal akan menyapa Ladin, perempuan itu malah hendak melangkah pergi. "Din! Lo tahu kan gue enggak mungkin ngabisin semuanya sendirian?"
Ladin mengembuskan napasnya dan menoleh. "Siapa yang mau pergi? Saya mau cari tempat duduk. Kita enggak mungkin kan makan sambil berdiri?"
Kemal mengangguk canggung.
Selang lima belas menit, pelayan perempuan tadi memanggil nama Ladin dari balik meja etalase. Ladin yang sengaja menyibukan diri dengan buku catatannya melirik Kemal yang masih setia menunggu pesanan mereka di dekat kasir. Lelaki itu lantas dengan sigap menjemput pesanan mereka dan membawanya ke meja.
"Ini punya lo, dan ini punya gue," kata Kemal sambil menyerahkan sebuah croffle dan americano kepada Ladin.
Ladin menengadah. Rasanya aneh mendengar panggilan itu lagi dari mulut Kemal. Apalagi sosok Kemal sekarang sangat jauh berbeda dengan dulu. Kemal bukan lagi seorang atlet pencak silat SMA dengan gaya urakan, tetapi sudah berubah menjadi seorang Mas-mas berkemeja slim fit. Atau lebih tepatnya seorang pengacara. Salah satu pekerjaan yang sangat Ladin benci.
"Kenapa?" tanya Kemal yang sudah mengunyah makanannya. "Enggak apa-apa kan gue pakai lo-gue? Lagian kerasa aneh aja kalau ngobrol sama lo terlalu formal. Terus gimana sekarang kabar lo? Gue enggak nyangka kita bisa ketemu lagi kayak gini."
"Tapi saya lebih suka pakai bahasa formal dengan kamu," jawab Ladin cuek lantas meletakan lanyard di lehernya ke permukaan meja agar dia lebih leluasa mengunyah makanan.
Kemal melirik Ladin. "Oke. Terus gimana kabar kamu sekarang?"
"Baik. Sangat baik," jawab Ladin cepat.
"Kalau Ayah kamu. Apa kabar?"
"Bisa enggak ngomongin masa lalu?" potong Ladin terlihat kurang suka mendengar ucapan Kemal.
Kemal menghentikan kunyahannya dan menatap Ladin bingung.
"Pak Kemal. Saya enggak tahu sedekat apa kita dulu di mata kamu, karena bagi saya enggak ada hal yang perlu diingat lagi dari masa lalu. Apalagi dulu, saya enggak pernah berada di satu tempat dalam waktu yang lama. Saya sendiri lupa berapa orang yang udah saya temui selama itu. Sebelumnya saya terima kasih karena kamu masih ngenalin saya," terang Ladin sambil meletakan sisa croffle ke atas meja lantas memasukan buku catatannya ke ransel. "Jadi, bisa berhenti sok kenal?"
Kemal tercenung. Bola matanya menatap Ladin lekat-lekat seakan masih tidak percaya dengan kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya itu. "Tapi kamu masih ingat kan dengan janji kita bertiga sepuluh tahun yang lalu?"
Ladin menggenggam erat gelas americano di tangannya. Saking eratnya, tangan itu terlihat bergetar. "Enggak."
Kemal tersenyum tipis, sementara tatapannya masih betah menyelami mata gelap perempuan itu dan mencari jawabannya sendiri. "Yakin?"
"Yakin," jawab Ladin mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
Salah satu sudut bibir Kemal terangkat naik. Beberapa tahun menjadi pengacara Kemal seakan sudah dapat membaca gerak-gerik seseorang.
"Sudah hampir jam empat. Saya ada janji di tempat lain. Permisi." Dengan cepat, Ladin membawa croffel yang tinggal setengah dan americano nya, kemudian beranjak pergi dengan ransel di bahunya.
"Boleh saya tanya satu hal ke kamu?"
Langkah Ladin terhenti di tempat. Dia menoleh dan mendapati Kemal berdiri kemudian berjalan mendekati dirinya.
"Apa kamu masih merasa kalah sama hidup?" tanya Kemal berdiri tepat di depan Ladin. Tinggi keduanya yang terpaut cukup jauh, membuat Ladin harus mendongak untuk dapat memandang wajah Kemal.
Hembusan napas dalam terdengar arah Ladin. Pertahanannya hampir lolos, ketika Ladin merasakan dadanya sesak dan tangannya yang menggenggam bungkus sisa croffle kembali gemetar. "Nope. Seorang kekasih dan sebuah pekerjaan tetap sesuai passion, apalagi yang buat saya enggak bersyukur dengan kehidupan saya."
Kemal mengangguk. Senyum lega muncul di bibirnya. "Saya seneng dengarnya. Jujur, lihat kamu yang sekarang saya ikut bahagia."
"Jadi, saya boleh pergi sekarang, kan? Karena sebenarnya sebentar lagi saya ada dinner dengan pacar saya," kata Ladin menunjuk jam tangannya.
Kemal mengangguk dan mempersilakan Ladin untuk pergi menggunakan tangannya. "Silakan. See you, Din."
"Bye," sahut Ladin kemudian melangkah lebar keluar kafe, tanpa pernah menoleh ke belakang.
"Bye."
Sesampainya di luar, Ladin menarik napas dalam-dalam. Wajahnya terlihat memerah seperti menahan rasa yang mendadak berkumpul menjadi satu sampai-sampai membuat dadanya sesak. Sekilas, dia melirik ke belakang. Dia melihat Kemal masih berdiri di tempatnya dan menatapnya dari balik jendela. Segera, Ladin membuang muka dan pergi dari sana.
Sementara itu di dalam kafe, Kemal termangu sambil memandangi sahabat yang hampir sepuluh tahun selalu membayangi dirinya. Seorang perempuan penuh luka yang selalu membuatnya terus khawatir.
Ralat, kini Ladin sudah bertransformasi menjadi seorang wartawan sukses dari Aktual TV yang sama sekali berbeda dengan sosok Ladin yang Kemal kenal dulu. Meskipun cara berbicara perempuan itu masih saja sama.
Kemal melangkah gontai kembali ke mejanya. Meskipun ada gurat kecewa bercampur rindu di wajah Kemal, setidaknya dia merasa lega karena Ladin sudah bahagia. Dengan semua pengalaman perempuan itu dulu, Ladin memang pantas bahagia.
Akan tetapi, baru saja Kemal akan menyantap sisa croffle nya, sebuah lanyard dengan id card pers di dalamnya menyita perhatian. Dia pun menoleh kembali ke luar jendela, tetapi sosok Ladin sudah menghilang. Kemal menarik lanyard itu dan mengamati foto dan nama perempuan itu di sana.
"Dasar ceroboh," gumam Kemal.
***
TBC
Acuy's Note :
Gimana part terbaru ini? Mulai penasaran nasib Ladin dan Kemal bakal kayak gimana? Kira-kira Ladinda bakal sama si lelaki patah hati enggak ya? Hm...
Buat yang udah jawab bener di bab sebelumnya soal sosok Kemal, selamat anda benar! Kemal itu anak pertamanya Awan dan Mbak Sri dari cerita Madam Sri.
Buat yang penasaran sama ceritanya bisa beli di Gramedia terdekat, online, atau beli ebook digitalnya ya, tapi harus yang legal. Jangan bajakan! OKE!
Jangan lupa vote, komen, dan share nya. Sampai jumpa hari Minggu guys... Luv u all~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top