Part 3. Perempuan dari Masa Lalu

-

-

Semenjak pertemuannya dengan Ladin hari itu, Kemal merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Kenangan masa SMA nya seakan-akan terus menghantui Kemal. Jam tidurnya pun menjadi berantakan. Seperti malam ini.

"La--dinda," gumam Kemal sambil bertopang dagu ketika nama itu kembali muncul di tengah-tengah aktifitasnya merapikan legal memo dan dokumen salah satu kliennya di apartemen. Bahkan, usaha pengalihannya kepada berkas-berkas milik klien di depannya itu gagal total dengan hanya menyebut nama perempuan itu.

Beragam map dan kertas yang bertebaran di permukaan meja hingga sofa apartemen bertipe one bedroom itu, sampai harus rela ditelantarkan begitu saja sedetik kemudian. Pun dengan satu gelas kopi panas di sudut meja juga pemandangan Jakarta di malam hari dari balik jendela balkon, yang gordennya sengaja dibuka lebar-lebar.

Kemal kemudian mengusap wajahnya gelisah. Andai saja hari itu dia tidak sedang bersama klien. Dia pasti sudah menarik perempuan itu untuk sekadar mentraktirnya sembari menanyakan kabar. Mengingat kondisi terakhir mereka hampir sepuluh tahun lalu yang tidak baik-baik saja.

Terutama Ladin. Perempuan tomboy berambut pendek yang identik dengan jaket bertudung hitam melekat di tubuhnya. Perempuan misterius yang diam-diam menyimpan lukanya seorang diri.

Tiba-tiba Kemal berdiri tegak. Ada satu orang lagi yang harus dia beri tahu soal ini. Sahabat sekaligus mantan rivalnya saat SMA dulu. Kemal yakin orang itu pasti akan terkejut bila dia menceritakan soal pertemuannya tempo hari dengan Ladin.

Sambil bergerak mondar-mandir di apartemennya, Kemal mencari nomor lelaki itu pada kontak di ponselnya.

"Sial!"

Kemal mengumpat. Dia lupa bila nomor lelaki itu ada di ponselnya yang lama dan ponsel itu sudah hilang saat dia masuk universitas. Tidak kehilangan akal, Kemal membuka Instagramnya dan mencari-cari nama orang itu.

Senyum mengembang di bibir Kemal ketika sebuah akun langsung membawanya kepada bocah sok pintar itu. Kekehan lega bahkan menggema dari ruangan apartemennya ketika dia mengamati satu per satu foto-foto di galeri instagram bocah itu.

Bukan hanya karena sahabatnya itu sudah berhasil menjadi kurator seni terkenal di luar negeri, tetapi Kemal lega karena bocah itu juga sudah bertransformasi menjadi versi yang lebih baik. Kemudian tanpa membuang waktu, Kemal membuka fitur DM dan menuliskan sesuatu di sana.

Hai, bro. Ini gue Kemal. Gimana kabar lo?

(Sent)

Lo masih ingat Ladin, kan? Gue_

Jari Kemal berhenti sesaat ketika akan mengirimkan baris kedua pesannya. Sekilas kenangan saat malam pentas seni muncul di kepalanya. Ladin, Naka, dan ungkapan perasaan lelaki itu di ruang kelas diam-diam memunculkan perasaan tidak nyaman dari masa lalu di hatinya.

Apalagi dinginnya sosok Ladin yang Kemal temui tempo hari, agaknya justru malah membuat pesan itu menjadi sia-sia. Perempuan itu seperti tidak mengenalnya kemarin. Seperti orang asing. Kemal sangsi wajahnya yang kelewat glow up yang membuat Ladin tidak mengenalinya.

Kemal berdecak. Segera, dia menghapus baris kedua pesannya dari ponsel dan mengurungkan niat untuk mengirimkan informasi terkait Ladin kepada sahabatnya itu. Dia lalu melemparkan ponsel ke sofa berbarengan dengan tubuhnya yang dia biarkan ambruk di sebelah benda itu.

Harapan memang kadang kala memunculkan gairah berlebih yang menomorduakan logika, padahal realitanya sudah jelas hanya akan berujung kecewa.

Layar ponsel Kemal tiba-tiba menyala. Bukan jawaban pesan dari instagram, melainkan sebuah pop up notifikasi whatsapp yang muncul. Segera, Kemal membaca pesan itu.

Agni :

Mas, jangan lupa Sabtu kita ada janji fititing baju di butik Miss Wellona.

Asistennya bilang weekend ini Wellona ada interview sama media, jadi kita cuma bisa sampai makan siang.

Jadi, jangan sampai kesiangan lagi.

Air muka Kemal terlihat gamang kala membaca pesan di sana. Sambil merebahkan kepalanya ke sandaran sofa, Kemal mengangkat tangan kirinya dan mengamati benda kecil yang melingkar di jari manis lekat-lekat. Kemal menghela napasnya dalam-dalam sebelum menutup mata.

***

Esoknya, serupa dengan hari-hari kerja biasa, Kemal masih berkutat dengan berkas-berkas klien di dalam kantornya, Mahesa & partners. Sebuah firma hukum yang menangani beragam kasus, dari mulai pidana sampai perdata. Entah itu sebagai corporate legal maupun sekadar konsultan hukum.

Kemal menguap lebar. Jam sudah hampir menunjukan pukul dua belas malam. Akan tetapi, semangatnya seakan ingin terus membuat tubuhnya terjaga. Padahal di kantor itu hanya tinggal dirinya dan Mahesa, atasannya sekaligus founder dari firma hukum itu. Bahkan Office Boy pun sudah pulang sejak jam sepuluh tadi. Lampu-lampu di ruangan juga sudah dipadamkan, tersisa ruangannya dan Mahesa yang masih terang benderang.

Kemal kembali kedapatan menguap untuk kedua kalinya. Dia pun menyerah dan merebahkan kepalanya ke permukaan meja dengan tangan sebagai bantalan. Padahal dua gelas kopi sudah dia konsumsi malam itu, tetapi sepertinya masih belum cukup.

"Belum balik, Mal?"

Kemal mendongak ketika suara Mahesa terdengar. Kemal menggeleng dan tersenyum masam menyapa atasan sekaligus calon Om nya itu yang berdiri di ambang pintu ruangan. Mahesa lantas mendekat. Mimiknya terlihat penasaran dengan pekerjaan Kemal malam itu.

"Sori ya. Saya masih harus ngerepotin kamu. Padahal kamu pasti lagi sibuk ngurusin rencana pernikahan kamu sama Agni," ujar Mahesa kala membaca berkas bertuliskan PT. Textama di tangan Kemal.

"Enggak apa-apa, Pak. Udah kewajiban saya. Lagian buat kasus perusahaan Pak Drajat saya masih enggak yakin advokat lain bisa handle," jelas Kemal. "Karena yang familiar dengan pajak cuma saya di sini."

Mahesa mengangguk-anggukan kepalanya. "Saya setuju. Terus gimana? Udah berapa persen persiapan pernikahan kamu?"

Kemal mengembuskan napasnya. "Masih 60%. Ternyata nyiapin pernikahan enggak semudah bayangan saya."

Gelak tawa Mahesa muncul ketika bawahannya itu terlihat lebih pusing memikirkan persiapan pernikahannya sendiri ketimbang kasus milik klien. "Saya tahu rasanya. Kalau butuh bantuan apapun, bilang aja ke saya. Nanti saya bantu."

"Enggak usah, Pak. Saya sama Agni masih bisa handle semuanya. Bunda sama Tante Mutia juga selalu standby kalau kita butuh tukar pikiran," jawab Kemal.

"Mama, Mal. Mutia pasti kesal kalau kamu masih panggil dia Tante."

Kemal menggaruk tengkuknya canggung, kemudian mengiyakan ucapan Mahesa.

"Saya balik duluan, Mal. Udah malam. Kamu juga cepat balik, jangan sampai kamu malah tepar pas hari H," goda Mahesa sebelum membawa langkahnya pergi meninggalkan Kemal.

"Siap Pak."

Ditinggal seorang diri, Kemal merenung. Pernikahannya dengan Agni hanya tinggal enam bulan lagi. Seharusnya Kemal bahagia, tetapi mendekati hari itu dia justru merasakan dadanya semakin tidak tenang. Apalagi ditambah semenjak pertemuannya dengan perempuan itu.

"Fokus, Mal. Fokus," gerutu Kemal kemudian mengambil gelas kopinya yang sudah kosong dan melangkah menuju pantry.

Sambil menyeduh segelas kopi, Kemal mengintip suasana jalanan dari balik gorden jendela. Alih-alih tenang, kondisi jalanan yang mulai lengang di luar sana, justru semakin mengingatkannya akan sebuah janji sepuluh tahun yang lalu. Janji bersama dua orang itu.

Kemal terkesiap. Sebuah ide tiba-tiba muncul. Dia ingat bila hari itu akan datang beberapa bulan lagi. Sepertinya Kemal masih memiliki alasan untuk bisa membuka topik dengan perempuan itu. Setidaknya, untuk sekali lagi.

Untuk yang terakhir kali.

***

Dering ponsel Kemal berbunyi nyaring sejak dua jam yang lalu dari permukaan meja. Suara dering itu sampai terdengar keluar ruangan Kemal dan menggema ke seluruh sudut kantor yang masih sepi hari itu. Maklum, bila sedang tidak ada deadline kasus yang harus diselesaikan, kantor hukum itu akan sepi di akhir pekan. Namun, si empunya ponsel malah enggan bergerak dari sofa. Dengkurannya bahkan saling bersahut-sahutan dengan suara ponsel itu.

Sampai tubuh tinggi Kemal mendadak oleng ke kanan dan terjatuh ke lantai. Kedua bola matanya mengerjap cepat. Rambut ikalnya kelihatan semrawut. Kemal buru-buru menegakan tubuhnya dan duduk melantai. Mimiknya jelas menunjukan bila dia belum sadar seratus persen.

Lagi-lagi dering ponsel yang kali ini dibarengi notifikasi pesan masuk terdengar dari ponsel Kemal. Setengah hati, Kemal bangkit dan mengecek si biang berisik pagi itu. Matanya sontak membuka lebar ketika melihat 78 misscall dan puluhan pesan masuk ke ponselnya dari Agni. Wajah Kemal pucat pasi, terlebih ketika melihat jam sudah menunjukan pukul sepuluh pagi.

Segera, Kemal menyambar kunci mobil di bawah tumpukan berkas, mengenakan sepatunya secepat kilat, dan berlari keluar kantor. Dia sampai lupa merapikan kemejanya yang acak-acakan begitupun wajahnya yang mungkin masih terlihat suntuk. Sapaan satpam di depan  meja resepsionis pun sama sekali tidak dia gubris.

Sesampainya di butik, Kemal disambut tatapan murka milik Agni. Perempuan bertubuh mungil dengan rambut keriting di atas bahu itu memberengut di depan Kemal. Sama sekali dia tidak mengindahkan napas kembang kempis Kemal ataupun keringat yang membanjiri kemeja kusutnya.

"Sori aku lembur semalam dan ketiduran di kantor," terang Kemal di depan Agni.

Sambil bersidekap, Agni memandangi Kemal dengan kesan kecewa yang kental. "Lagi? Mas bisa enggak sih serius sama pernikahan kita? Selama ini aku lihat, Mas cuma fokus ke kerjaan di kantor. Selama ini aku loh yang ngurusin semuanya. Aku cuma minta kamu dateng buat fitting baju aja telat. Aku curiga Mas sebenarnya terpaksa buat setujuin perjodohan ini karena Om Mahesa."

Kemal terdiam. Bukan hanya karena rentetan kalimat yang keluar dari mulut Agni, tetapi juga tenggorokannya mendadak kering akibat berlari kencang dari tempat parkir umum menuju butik yang jaraknya cukup jauh.

"Mas cinta enggak sih sama aku?" tekan Agni.

Pertanyaan keramat dari seorang perempuan itu berhasil membuat Kemal mati kutu.

"Jawab!" teriak Agni dengan emosi. Sampai-sampai beberapa orang di dalam butik mengamati mereka.

"Jelas aku sayang sama kamu, Ni," jawab Kemal dengan napas terputus-putus.

Sambil menahan air yang keluar tanpa jeda dari matanya, Agni tersenyum miris. "Aku tanya. Apa Mas cinta sama aku?"

Kemal mengangguk.

"Bullshit!" bentak Agni sembari melepaskan cincin tunangan mereka dan melemparnya tepat di wajah Kemal.

Spontan, Kemal bergerak untuk menangkap cincin tunangan yang harganya hampir menghabiskan tiga bulan gajinya kemarin.

"Aku mau kita putus!" tekan Agni seraya menghapus air matanya dan pergi meninggalkan Kemal.

"Agni!" panggil Kemal. Dia terburu-buru mengejar Agni ke arah pintu keluar, setelah berhasil menangkap cincin tunangan mereka. "Kamu kenapa sih? Kamu enggak bisa mutusin semuanya tiba-tiba kayak gini. Gimana nanti perasaan keluarga kamu? Om Mahesa?"

Agni menarik napas kesal dan berbalik di ambang pintu keluar. "Perasaan keluarga aku? Kalau perasaan kamu gimana?"

Kemal terpaku. Ucapan Agni seperti mantra yang membuat mulut Kemal terkunci rapat.

"Lupain aja. Biar aku yang bilang ke mereka," kata Agni sinis. Dengan emosi, dia membuka pintu butik dan menutupnya kasar di depan hidung Kemal.

Kemal menggeram kesal. Wajahnya pun tampak jengkel. Kemal sontak menendang barisan manekin tanpa dosa di depan butik sambil mengumpat kesal untuk menyalurkan emosinya.

"Maaf Mas, kalau sampai rusak nanti Mas bisa saya tuntut loh."

Amarah Kemal langsung surut seketika. Sambil menahan malu, Kemal melirik ke belakang tubuhnya. Seperti diguyur air es, Kemal merasakan tubuhnya menggigil panas dingin. Dia baru tersadar bila di ruangan itu ada beberapa orang tengah mengamati dramanya dengan Agni, termasuk pemilik butik ini yang sudah memelotot tidak suka kepada Kemal.

"Sori. Saya enggak bermaksud buat ngerusak tempat ini. Saya cuma--"

Ucapan Kemal tercekat di tenggorokan. Bukan karena ada tiga orang reporter yang sedang meliput wawancara dengan pemilik butik. Juga bukan karena kamera wartawan itu yang secara kebetulan sedang terarah dan merekam dirinya. Namun, tatapan datar seorang perempuan yang berdiri di sebelah pemilik butik dengan buku catatan di tangan penyebabnya.

Ladinda.

"Adegan yang tadi langsung dihapus aja, kita ambil footage yang lebih less drama," bisik Ladin kepada Bono yang sepertinya masih terbawa suasana dengan drama sinetron di depan mereka.

"I--Iya, Mbak," jawab Bono dengan cepat mengarahkan kameranya ke arah lain.

Samar-samar Kemal dapat mendengar obrolan Ladin dengan timnya pada ruangan butik yang memang tidak sebegitu luas itu. Jelas, Kemal semakin keki dibuatnya.

***

TBC

Acuy's Note :

Gimana part terbaru ini? Mulai penasaran nasib Ladin dan Kemal bakal kayak gimana?

Dan... ada yang udah tahu Kemal ini siapa?

Padahal ciri-ciri karakternya lumayan lho udah menjurus ke perpaduan dua tokoh novel sebelumnya, wkwkkwkwk. Rambut ikal, pinter, sayangnya emosian dan enggak sabaran.

Cuuuss komen buat yang masih inget! Sampai jumpa hari Rabu guys... Luv u all~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top