Part 2. Nama Saya Ladin. Bukan Dinda
-
-
"Siang guys. Makan siang aja pada serius banget sih? Pada makan apa?"
Ladin yang sedang menyantap satenya di kantin kantornya langsung mendongak. Senyum Tara, seorang reporter Showbiz sekaligus satu-satunya rekan kerja yang cukup dekat dengan Ladin, tersenyum lebar kepadanya. Tanpa permisi, perempuan berkaca mata minus itu duduk di sebelah Ladin. Dia kemudian memandangi Bono yang tampak serius membenahi alat-alat kameranya.
"Mas Bayu beneran resign?" tanya Tara kepada Ladin.
Ladin mengangguk. "Udah dari minggu kemarin. Ini penggantinya. Namanya Bono."
Mendengar namanya disebut, kepala Bono yang semula menunduk langsung menengadah. Dia lalu tersenyum canggung menyapa Tara.
"Tara," kata Tara mengangsurkan tangannya.
"Bono," jawab Bono singkat sambil menyambut uluran tangan Tara.
"Gue kayaknya enggak pernah lihat lo sebelumnya di divisi news? Lo anak baru ya?" tanya Tara penasaran. Pasalnya dari mulai program berita reguler, showbiz, sampai metropolitan Tara baru kali ini melihat wajah Bono.
Lagi-lagi Bono mengiyakan. "Baru setahun di sini."
"Langsung masuk metropolitan?" seru Tara melirik Ladin. Rekan kerjanya itu mengangguk. "Dia enggak langsung minta resign di hari pertama, kan?"
"Hampir," jawab Ladin menatap Bono dengan wajah usil.
"Pantas. Kelihatan sih," gumam Tara. Dia kemudian mendekatkan tubuhnya kepada Ladin dan membisikan sesuatu. "By the way, dia berondong dong."
"Kenapa? Lo mau?" sahut Ladin melirik Tara sambil menumpuk piring bekas makannya bersama Bono ke tengah meja. Tara langsung menggeleng cepat.
"Ya kali. Gue emang lagi patah hati gara-gara Mas Langit, tapi enggak berondong juga kali," gumam Tara dengan suara amat pelan.
"Udah kelar, kan? Balik ke dalam yuk! Mbak Fero pasti udah nungguin hasil liputan kita," ajak Ladin mengajak Bono, yang terlihat bingung mengamati dua orang seniornya yang heboh berbisik-bisik sedari tadi.
"Lo mau ke mana? Gue baru pesan soto loh," kata Tara dengan wajah sebal.
"Kita udah ditunggu di atas, makan sendiri bisa, kan?" sahut Ladin membuat wajah Tara makin ditekuk dalam. "Ayo, Bon. Udah setting kameranya di atas aja."
Bono mengangguk dan merapikan barang-barangnya dengan terburu-buru. "Duluan, Mbak."
Tara mengangkat tangannya dan meminta Bono untuk segera pergi menyusul Ladin. Kadang-kadang temannya satu itu memang sangat menyebalkan bila sudah menyangkut pekerjaan. Susah dinegoisasi, terlalu kaku, dan perfeksionis.
***
"Tapi Mbak, video gue yang kemarin beneran udah aman, kan?" tanya Bono begitu tubuh mereka sudah masuk ke dalam Tower Tiga Aktual TV, tempat mereka bekerja.
Areal gedung yang terdiri dari tiga tower dan satu ballroom itu terlihat sibuk. Beberapa karyawan dengan seragam hitam dan garis abu-abu di bagian lengan terlihat hilir mudik. Ada yang berjalan cepat keluar lobi sambil menenteng kamera lapangan, ada yang berkerumun dan berisik di dekat resepsionis sambil mendiskusikan skrip program, atau sekadar ngopi pada coffee shop di area lobi.
"Aman. Tadi Mbak Fero udah whatsaap gue," jawab Ladin sambil menempelkan id card nya pada pintu otomatis setinggi pinggul di dekat resepsionis agar dapat masuk ke dalam kantor. Memang tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam, hanya orang yang memiliki access card dan id card karyawan.
"Serius?" tanya Bono lagi dengan wajah memelas.
"Santai aja kali. Enggak usah dibuat pusing. Namanya juga lo anak baru. Kalau pun jelek, Mbak Fero juga enggak mungkin sampai maki-maki...," terang Ladin sembari menyuruh Bono masuk ke dalam lift. "Belum."
Bola mata Bono melirik Ladin kaget. Lelaki yang tingginya jauh melebihi Ladin itu terlihat panik, sampai-sampai membuat Ladin susah payah menahan tawa.
"Mbak Fero tadi minta gue ke ruangannya, nanti gue sekalian tanya ke dia ya. Udah enggak usah galau gitu, ganteng lo entar luntur lagi," cibir Ladin.
Bibir Bono yang semula muram diam-diam tersenyum. Tingkahnya langsung salah tingkah di sebelah Ladin.
"Kalau gitu gue balik ke meja ya, Mbak. Kabarin aja kalau ada yang perlu gue edit," pamit Bono ketika keduanya sudah berada di lantai lima.
Ladin mengacungkan jempolnya. Dia lalu berbelok ke arah lorong di kanannya untuk menuju ruangan pemimpin redaksi mereka, Fero. Sebuah ruangan kaca yang tertutup gorden menyambutnya ujung lorong. Sebuah stiker bertuliskan Pemimpin Redaksi tampak di depan pintu ruangan itu.
Setelah mengetuk pintu kaca itu tiga kali, suara Fero yang memintanya masuk terdengar. Ladin pun membuka pintu ruangan dan masuk ke dalam.
"Mbak minta saya masuk kenapa?"
"Kamu liputan ke Cempaka putih sekarang! Kamu ajak si anak baru kek atau siapa, terserah."
"Sekarang banget?" tanya Ladin kebingungan. "Emang kita kudu ngeliput siapa?"
"Drajat," jawab Fero. "Lo masih inget dia, kan?"
"Lagi?" sahut Ladin spontan.
Drajat Suseno. Direktur utama PT. Textama. Sebuah perusahaan tekstil yang cabang pabriknya hampir berada di seluruh Indonesia. Orang yang paling dibenci oleh banyak komunitas pecinta lingkungan, apalagi Ladin. Sebab semenjak dia mengenal bobroknya sosok Drajat tiga tahun yang lalu, Ladin seakan sudah sangat gerah ingin melihat orang itu mendapatkan hukuman yang tepat. Sebab walaupun perusahaan Drajat kerap kali tersandung kasus pencemaran lingkungan, anehnya selalu lolos dari vonis pengadilan pidana.
"Sekarang soal manipulasi pajak, karyawannya yang bocorin. Gue enggak paham sama otak dari perusahaannya Drajat. Kok bisa ya kultur busuk kayak gini malah dipertahanin di tempat mereka," gerutu Fero kesal. Perempuan di akhir tiga puluhan itu terlihat penuh dendam saat membaca informasi dari laptopnya. "Bahkan gue dengar dari salah satu narsum gue kalau dia udah hire tim pengacara dari lawfirm ternama buat bantu dia di persidangan. Gila kan?!"
Ladin mendengkus dengan wajah jijik. Saking emosinya, Ladin sampai lupa untuk duduk pada kursi di depan meja Fero.
"Jam tiga tim pengacara itu bakal meeting di kantor Drajat yang di Cempaka Putih, gue minta lo standby di sana."
"Tapi di grup reporter enggak yang berisik soal kabar ini. Mbak yakin?"
Fero mengangguk mantap. "Belum ada yang tahu soal berita itu. Gue yakin sebentar lagi yang lain bakal tahu dan langsung rame. Mending lo siap-siap aja tunggu di sana."
"Kalau gue sampai diusir lagi sama satpam di sana gimana?" sahut Ladin sebab sebagai musuh bebuyutan, semua yang berbau Aktual TV sangat sensitif bagi PT. Textama. Beberapa kali Aktual TV bahkan tidak mendapat undangan pers conference tiap kali perusahaan itu mengeluarkan produk atau kebijakan baru.
Fero menggeleng. "Enggak akan. Atau lo tunggu dulu aja di luar lobi, jauh-jauh dari keamanan di sana, kalau lihat ada karyawan Drajat keluar bareng orang-orang dari kantor hukum itu, lo langsung cegat dan minta keterangan. Gue mau dengar alasan apalagi yang dipakai Drajat."
Ladin mengangguk. "Kalau gitu gue cabut sekarang deh. Mobil kantor ada yang nganggur, kan?"
"Pakai mobil gue, belum apa-apa lo pasti bakal diusir kalau pakai mobil kantor," decak Fero melempar kunci mobilnya. "Awas jangan sampai lecet."
"Oke," jawab Ladin menangkap kunci mobil Fero.
"Kalau sampai lecet, gue bakal lapor finance buat motong gaji lo."
"Siap," ucap Ladin membuka pintu ruangan Fero dan keluar dari sana.
***
Ladin menghela napasnya lelah, selagi dia mengamati jam digital pada dinding kafe di gedung PT. Textama. Sudah lebih dari dua jam dia menunggu di salah satu coffee shop sebuah perkantoran di daerah Cempaka Putih. Wajahnya terlihat tegang sambil mengamati lift di dekat resepsionis.
"Mbak, Hei! Serius banget sih," panggil Bono mengagetkan Ladin.
"Harus serius. Soalnya orang ini udah terkenal sering banget kena kasus. Cuma beruntung aja selalu bisa ngelak. Gue penasaran kok ada ya lawfirm yang mau bantuin orang freak kayak dia."
Bono mengangguk paham.
"Jangan cuma ngangguk. Tapi juga siapin kamera sekarang. Soalnya kita enggak pernah tahu kapan timing tepatnya mereka keluar. Bisa kapan aja."
"Siap, Mbak."
Ladin kembali memusatkan pandangannya ke arah lift yang terbuka dan menutup hampir setiap menit itu. Sementara itu, grup whatsapp di ponsel Ladin, yang berisi kumpulan reporter dari berbagai stasiun televisi, sudah mulai ramai membicarakan kasus Drajat dan beberapa dari mereka sedang menuju ke sini.
Sampai tiba-tiba mata Ladin menangkap sosok Jaka, PR (public relation) dari perusahaan Drajat. Pria itu melangkah keluar lift bersama lima orang berkemeja rapi. Melihat sekilas penampilan mereka saja, sudah bisa ditebak bila mereka pasti dari kantor hukum yang disebut-sebut oleh Fero. Ladin seketika bangkit dan menyambar ranselnya.
"Bon, berdiri! Kita tunggu di depan lobi, siapin kamera!" seru Ladin setengah berlari keluar lobi. Sementara rombongan orang-orang itu berjalan menuju resepsionis untuk menukar kartu akses mereka.
Di depan pintu lobi, Ladin mempersiapkan peralatannya bergitupun Bono. Tiba-tiba Ladin melihat dua buah mobil BMW berjalan dari arah basement dan berhenti tepat di depan lobi. Dia yakin itu pasti kendaraan orang-orang di dalam. Senyum tipis muncul di bibir Ladin. Dia lalu menarik lengan Bono dan meminta lelaki itu berdiri di samping mobil itu. Sementara matanya mengawasi petugas keamanan yang terlihat lengah di dalam lobi.
"Terima kasih atas bantuannya ya, Pak. Nanti saya hubungi lagi terkait meeting kita selanjutnya," kata Jaka mengantarkan lima orang dari kantor hukum itu menuju mobil mereka.
"Sama-sama. Kami pasti akan membantu semaksimal kami."
Suara-suara dari arah pintu lobi menarik perhatian Ladin. Segera, Ladin berlari sambil menodongkan micrphone ke arah rombongan itu begitu jarak mereka hanya tersisa kurang dari satu meter.
"Selamat siang, Pak. Saya Ladin dari Aktual TV. Boleh saya minta waktunya sebentar," sapa Ladin menyela obrolan mereka sambil menunjukan identitas persnya.
"Kalian lagi," decak Jaka seakan sudah lelah menghadapi kejaran wartawan dari Aktual TV. "Maaf kami sedang tidak bisa memberikan keterangan. Kalau kalian mau keterangan dari kami, nanti kami akan berikan di press conference."
"Sebentar saja," potong Ladin tanpa memedulikan tatapan kesal Jaka ataupun tatapan penasaran salah seorang pengacara muda yang berdiri di barisan belakang. Fokusnya masih tertuju kepada seorang pria paruh baya yang Ladin ingat merupakan pemilik dari biro hukum ini, Mahesa and partner. "Saya ingin meminta keterangan dari Bapak... boleh saya tahu nama Bapak?"
Pria itu berdecak. Sementara Jaka meminta pria itu agar tidak menggubris ucapan Ladin. "Mahesa."
"Iya, Pak Mahesa. Saya penasaran kenapa Bapak mau membantu perusahaan ini, padahal saksi dan bukti sudah jelas kalau perusahaan ini memanipulasi pajak dan merugikan negara?" tanya Ladin lugas.
Pria tua bernama Mahesa itu terkekeh. "Sebagai pengacara saya mungkin akan mengingatkan saudara, karena setahu saya kita semua sama di mata hukum dan negara. Lantas, selama semua bukti dan saksinya masih dalam proses pemeriksaan, maka semua tuduhan yang ada belum tentu benar. Dan menurut saya bukti-bukti yang ada sekarang masih belum bisa membuktikan apa-apa."
Ladin tersenyum sinis mendengar jawaban diplomatis Mahesa. Sementara itu, seorang petugas keamanan dari dalam gedung tergopoh-gopoh keluar setelah dipanggil oleh Jaka.
Beruntung, tiga buah mobil yang berisi wartawan dari stasiun TV lain berdatangan dari luar pagar dan berhenti di depan lobi. Mereka pun segera berkerumun dan meminta keterangan. Petugas keamanan itu akhirnya tidak dapat berbuat banyak selain kerepotan menghalau para wartawan untuk mendekat dan mendesak tim pengacara itu memberikan keterangan.
Ladin tersenyum lebar. Namun, saat dirinya akan kembali mengajukan pertanyaan, konsentrasi Ladin sedikit terganggu kala ekor matanya menyadari kehadiran seseorang yang sedari tadi menatap dirinya. Spontan, Ladin menoleh ke kanan.
Tenggorokan Ladin tercekat. Suara sahut-sahutan para wartawan di sekitar Ladin menghilang seketika. Dunianya pun mendadak kosong. Hanya ada dia dan tatapan lelat-lekat milik lelaki itu. Tanpa sadar, Ladin memundurkan langkahnya menjauh. Permintaan tolong dari Boni yang memanggil namanya ketika terhimpit di tengah-tengah kerumunan tidak Ladin gubris.
Bukan hanya Ladin, lelaki itu pun seperti terkejut melihat Ladin. Dia hanya dapat mematung sambil memandangi Ladin, seakan-akan baru saja menemukan barang berharga yang selama ini menghilang tanpa jejak.
"Oke, kalau gitu. Kita lanjut nanti ya, kita pasti bakal bikin presscon-nya segera," teriak Jaka meminta para wartawan itu untuk tenang. "Sekarang kalian minggir karena klien saya akan ada meeting lagi di luar."
"Minggir! Saya bilang minggir atau saya terpaksa dorong kalian," ancam petugas keamanan berperut buncit sambil membuka jalan untuk rombongan itu memasuki mobilnya. Akan tetapi, desakan yang sudah kadung menghimpit rombongan itu, membuat petugas keamanan terpaksa mendorong mereka untuk mundur.
Ladin yang masih termangu di posisinya tanpa sengaja terdorong dan jatuh terduduk. Beruntung, sebuah tangan menariknya dan membantu Ladin untuk berdiri. Sehingga tubuh Ladin tidak terinjak oleh kerumunan di sana.
"Terima kasih," ucap Ladin sambil membersihkan celananya dari debu dengan tangannya yang bebas.
"Sama-sama, Dinda."
Suara berat dari pemilik tangan itu membuka lebar mata Ladin. Rasa bersalah yang aneh menggeliat tiba-tiba di dadanya. Segera, Ladin melepaskan tangannya dari genggaman lelaki itu.
"Sori. Nama saya Ladin. Bukan Dinda," tegas Ladin tanpa berani menatap wajah lelaki itu. "Dan saya enggak suka ada orang sok kenal panggil asal nama saya seperti Anda."
Senyum di bibir lelaki itu menghilang ketika mendapatkan respons kurang bersahabat dari Ladin.
"Kemal!"
Lelaki bernama Kemal itu menoleh ketika Mahesa memanggilnya dari dalam mobil. Kemal mengangguk. Sebelum benar-benar pergi, Kemal kembali mengamati Ladin seakan takut bila dia tidak bisa bertemu dengan perempuan itu lagi nantinya.
"Gue yakin kita pasti bakal ketemu lagi setelah ini. See you, Ladin."
Ladin menghembuskan napasnya. Matanya baru berani menatap Kemal ketika lelaki itu sudah masuk ke dalam mobil. Ladin merasakan dadanya dipenuhi beragam perasaan aneh yang membuat kepalanya pening seketika.
"Mbak enggak apa-apa?" tanya Bono yang entah dari mana sudah berdiri di sisi Ladin. Ladin mengangguk. Baru kali ini dia merasa tidak berminat untuk melanjutkan sisa pekerjaannya hari ini.
***
TBC
Acuy's Note :
Gimana part 2 nya? Udah mulai paham kan siapa aja tokoh yang ada di sini?
Siapa yang masih inget Mahesa?
Atau Kemal?
Cuuuss komen buat yang masih inget! See you Sunday guys... Luv u all~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top