Part 14. Pengacara Prik
-
-
Pagi-pagi sekali Kemal sudah merapikan beberapa dokumen di dalam ruangan kantornya. Sebuah koper besar berdiri di sisi meja, sementara backpack berwarna gelap sudah siap dia bawa di punggung.
"Udah mau berangkat sekarang, Mal?"
Kemal berbalik ketika suara Mahesa mengagetkan dirinya. Dokumen milik Drajat dan laporan Chika di genggamannya buru-buru dia simpan ke belakang.
"Iya, Pak. Karena pihak WO nya minta meeting untuk diskusi soal konsep fotonya lebih awal. Makanya saya berangkat lebih awal."
"Enggak bareng Agni?" tanya Mahesa penasaran.
"Agni terlanjur ambil cuti tiga hari lagi, makanya dia enggak bisa ikut," jawab Kemal beralasan.
"I see. Oh iya Mal, mulai hari ini saya mau kamu fokus ke kasus PT. Aerofly ya. Untuk PT. Textama biar saya, Pak Hendri dan tim lain yang urus."
Kemal melirik Mahesa penuh tanya. Samar-samar lengkungan tipis muncul di bibir Kemal kala sadar bila ucapan Chika ternyata benar adanya. "Tapi untuk kasus manipulasi pajak kemarin gimana, Pak? Boleh saya tahu alasannya kenapa saya dikeluarkan jadi tim kuasa hukum PT. Textama."
Tawa canggung milik Mahesa terdengar. "Bukan dikeluarkan, Mal. Tapi soal manipulasi pajak, putusannya kan udah keluar dan semua udah clear. Terkait gugatan yang kita ajukan untuk si pelapor, Pak Hendri aja kayaknya udah cukup. Jadi kayaknya kontribusi kamu sudah cukup di kasus ini."
Kemal mengangguk.
"Lagian hari pernikahan kamu juga udah makin dekat. Saya mau kamu fokus ke Agni," perintah Mahesa kemudian berjalan keluar ruangan Kemal. "Kamu enggak mau kan Agni ngambek lagi karena kamu terlalu sibuk."
"Terima kasih, Pak," ucap Kemal cepat.
"Satu lagi. Jangan lupa dokumen PT. Textama kamu serahkan ke Pak Hendri ya," lanjut Mahesa.
Kemal mengangguk. "Siap Pak."
"Semoga lancar buat acara kamu sama Agni di Bali. Salam buat dia," pamit Mahesa dengan senyum terpatri di bibirnya.
"Pasti, akan saya sampaikan salam Bapak ke Agni."
Sepeninggal Mahesa, Kemal memasukan berkas milik PT. Textama ke backpack nya. Tidak lupa membawa tiket pesawat menuju Samarinda dengan jadwal penerbangan jam sepuluh.
***
Di bandara Soekarno-Hatta, Ladin dengan ransel kesayangannya dan tas travel sudah bersiap di depan pintu keberangkatan. Sementara Bono terlihat kerepotan membawa barang pribadinya, dan peralatan liputan di tangan kanan juga kirinya.
"Kita enggak tunggu di dalam aja, Mbak? Biar gue bisa check in dan taruh barang dulu ke bagasi," gerutu Bono sebal.
"Bentar. Kita masih nunggu satu orang lagi," jawab Ladin beberapa kali mengintip layar ponselnya.
"Siapa?"
Ladin menatap Bono. "Nanti juga lo tahu."
Selang beberapa menit sebuah taksi berhenti tepat di lobi bandara. Seorang pria dengan jaket bomber gelap dan kacamata hitam keluar dari salah satu pintu. Sebentara dari pintu yang lain, seorang perempuan muda tampak tergopoh-gopoh membantu supir taksi mengeluarkan koper-koper mereka.
Mata Bono membulat lebar. Bukan karena melihat wanita muda dengan celana denim dan kemeja ketat yang susah payah membawa koper besarnya. Namun, dia terkejut dengan keberadaan lelaki yang berjalan mendekati mereka sambil membawa koper dengan mimik cuek itu.
"Itu Pak Kemal pengacaranya Drajat kan, Mbak? Kok dia ada di sini?"
"Dia yang bakal ikut kita ke Samarinda," bisik Ladin kala dia ingat betul debat berkepanjangan mereka ketika Kemal memaksa ingin ikut ke Samarinda.
"Hai. Kita belum telat, kan?" sapa Kemal tersenyum lebar di hadapan Bono dan Ladin.
"Dia siapa?" tunjuk Ladin kepada Chika yang terlihat kerepotan membawa kopernya sendiri.
"Asisten saya."
"Chika," sapa Chika dengan senyum semringah menyalami tangan Ladin dan Bono.
"Bono."
"Ladin," ujar Ladin, lantas menarik tangan Kemal menjauh dari keramaian. Lirikannya terlihat sebal kepada Kemal. "Kamu tahu kan kita ke sana bukan buat liburan? Ngapain sampai bawa asisten segala?"
"Saya tahu. Tapi selain saya mau buktiin secara langsung cerita kamu kalau kasus di Samarinda semua kesalahan PT. Textama, saya juga ada urusan lain. Makanya saya butuh dia," jawab Kemal melirik Chika.
Alis Ladin menyatu. "Urusan lain? Apa?"
"Nanti juga kamu tahu. Ayo check in! Bentar lagi boarding," ujar Kemal dengan cueknya menarik koper dan melangkah lebih dahulu. "Chika. Ayo!"
"Siap Pak. Permisi," pamit Chika kepada Bono dan berjalan cepat mengekori Kemal.
"Pak. Bapak serius mau nyelidikin perusahaan Pak Drajat sampai bawa-bawa wartawan segala? Kalau karyawan kantor tahu gimana?" bisik Chika mendekati Kemal.
"Tenang aja. Saya enggak seceroboh itu," jelas Kemal melengkungkan bibirnya.
Chika mengedik. Sementara matanya melirik Ladin dan Bono yang menyusul mereka di belakang. Bibirnya mengerucut sebal, ketika tatapan jutek Bono terus tertuju ke punggung Kemal. Chika pun menggeser langkahnya untuk menghalangi pandangan Bono dari punggung Kemal, lantas menoleh dan menyipit sinis kepada Bono.
"Dasar cewek prik," gumam Bono sebal.
***
Setelah menempuh perjalanan selama dua jam lebih, pesawat mereka pun mendarat di bandara Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, Samarinda. Kemal, Ladin, Chika, dan Bono berdiri di depan bandara sambil menunggu mobil jemputan mereka. Kemal mengernyit ketika panasnya udara menyambut wajahnya, sementara Chika mulai gelisah sambil mengipasi wajahnya dengan tangan.
"Supirnya udah di mana?" tanya Kemal melirik Ladin dari kacamata hitamnya.
"Harusnya sih udah di sini. Mungkin sebentar lagi. Dia kenalan Mas Gerry, dan dia juga yang udah atur hotel kita di sini," jelas Ladin melongokan kepalanya mencari mobil dengan plat nomor yang sesuai dengan pesan di ponsel. "Nah, itu dia."
Mobil Avanza silver berhenti di depan mereka. Segera keempat orang itu masuk ke dalam usai menata barang-barang ke dalam bagasi mobil.
"Maaf ya Mbak saya enggak ngelihat tadi," sapa seorang pria kurus berkulit gelap di balik kemudi.
Ladin mengangguk sembari duduk di sebelah pengemudi. "Enggak apa-apa, Pak."
"Kalau gitu kita berangkat sekarang ya, Mas dan Mbak," kata supir bernama Amar itu lantas menoleh ke bangku belakang. Tawa kecil keluar dari bibirnya ketika tiga orang penumpang di belakangnya duduk saling berhimpitan sembari saling sikut-menyikut mencari posisi. "Maaf ya Mas dan Mbak. Saya kira penumpangnya tadi tiga orang doang dan barangnya enggak sebanyak itu."
"Iya enggak apa-apa, Pak," jawab Kemal melirik bingung ke arah Bono yang menatapnya sini sedari tadi sebelah kanannya.
"Lagian pada bawa apaan sih koper gede-gede banget," gumam Bono. "Dikira mau liburan kali."
"Dih, suka-suka kita bawa apaan. Lagian kita juga bisa kok sebenarnya pesan hotel sendiri ya kan, Pak? Cuma biar kordinasi lebih cepet aja, kita terpaksa pesan hotel yang sama," sindir Chika tidak mau kalah ketika ucapan Bono sampai ke telinganya.
Kemal memijit pelipisnya pening mendengar debat dua anak TK berwujud orang dewasa di kanan dan kirinya. Kedua tangan Kemal sampai harus dia letakan di telinga kala debat keduanya makin keluar konteks.
"Dasar cewek prik."
"Kamu bilang apa?! Dasar kameramen gila!"
"Stop stop stop! Kalian bisa diam enggak? Kalian emang enggak mau cepet-cepet istirahat," bentak Kemal kesal.
Ladin melarikan tatapannya keluar jendela dan membungkam mulutnya agar tidak terbahak.
Mulut Chika dan Bono seketika terkunci rapat. Bola mata keduanya kini saling adu pandang, seakan debat tak berfaedah tadi tetap berlangsung hanya berubah media.
"Jalan sekarang aja, Pak," perintah Ladin masih terkikik di bangkunya.
Di lain sisi, Chika dan Bono masih membisu dengan mimik jengkel, seakan masih menaruh dendam sepanjang perjalanan menuju hotel. Tidak ada satu pun yang berani beradu mulut, karena Kemal terus mengawasi keduanya.
"Kata Pak Gerry Mbak mau ngeliput ke PT. Textama ya?" tanya Amar kepada Ladin begitu mereka sudah tiba di depan resepsionis hotel.
"Memang benar ya Pak kalau perusahaan itu lagi bermasalah?" tanya Ladin dengan tatapan mengamati rekan-rekannya di depan meja resepsionis.
Kemal diam-diam mendekat ketika tanpa sengaja mendengar obrolan itu, membiarkan Chika dan Bono yang mengurus proses check in mereka.
"Kalau saya dengar sih gitu Mbak. Banyak warga yang belum dapat ganti rugi akibat masalah limbah dua tahun lalu," cerita Amar. "Udah gitu, janjinya kan kemarin mau mempekerjakan warga di sekitar PT, tapi cuma jadi wacana. Makanya warga di sini merasa dibohongin sama perusahaan itu."
"Sudah ada pihak yang menengahi, Pak?" timpal Kemal.
"Sebenarnya udah. Tapi kayaknya pihak perusahaan masih suka semena-mena. Apalagi LSM yang jadi penengah di kasus kemarin juga diam aja."
Kemal saling beradu pandang dengan Ladin. Ladin mengedik, seakan ingin menunjukan ucapannya selama ini memang benar. Kemal pun termenung.
"Ini Mbak kuncinya," kata Bono menyerahkan satu kunci kepada Ladin. "Yuk, langsung ke kamar."
"Sebentar," tahan Kemal tiba-tiba. "Kalian berdua satu kamar?"
"Kenapa? Biasanya juga gitu kalau harus liputan keluar kota," sahut Bono dengan mimik sombong.
"Mendingan kamu pakai kamar saya, biar saya yang satu kamar sama dia," usul Kemal kepada Ladin.
Ladin sesaat termenung. Dia pun mengangguk. "Oke. Better kayak gitu."
"Terserah Mbak aja," jawab Bono.
Chika mendekati Kemal. "Tapi Pak, kamar mereka—"
"Enggak apa-apa, lagian kita cuma dua malam kan di sini," potong Kemal.
"Kalau gitu saya pulang duluan ya, Mbak. Dan ini kunci mobilnya. Mas Gerry titip ini juga buat Mbak sama Masnya," kata Amar menyerahkan kunci mobil. "Kalau ada apa-apa Mbak hubungi saya aja."
"Baik. Terima kasih ya Pak."
Amar mengangguk dan meninggalkan mereka berempat di lobi hotel. Keempatnya langsung berjalan menuju lift dan naik ke lantai atas. Sampai akhirnya mereka berpisah di persimpangan lantai 5. Bono dengan sangat terpaksa berjalan bersama Kemal ke salah satu kamar, sedangkan para perempuan berbelok ke arah yang berlawanan.
Awalnya, Kemal tidak begitu mengambil pusing tidur satu kamar dengan Bono. Akan tetapi, mimiknya seketika kaget melihat hanya ada satu kasur berukuran queen bed di dalam kamar.
"Jadi gara-gara ini kamu ngotot sekamar sama Ladin?" tanya Kemal melirik Bono galak. "Kamu tahu kan saya pengacara."
Bono terkesiap. Ekspresinya tidak kalah kaget menemukan hanya ada satu kasur di dalam kamar. "Sa— saya juga enggak tahu kalau kamar ini cuma ada satu kasur. Korlip yang atur semuanya."
Kemal bersidekap dengan mata menyimpan curiga kepada Bono.
"Sumpah deh. Tanya aja Mbak Ladin. Lagian kalau pun satu kamar, saya juga biasanya tidur di sofa atau mungkin sewa extra bed," cerocos Bono sembari memasukan peralatan liputannya ke dalam kamar.
Seketika lengkungan tinggi terbit di bibir Kemal. "Oke. Kalau gitu saya yang tidur di kasur. Lagian kamu emang udah ada rencana buat tidur di sofa, kan? Thanks ya."
Bola mata Bono membulat. Bibirnya menggerutu kesal. Lebih-lebih Kemal dengan cueknya menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur.
"Pantes asistennya begitu. Enggak jauh beda. Sama-sama prik," gerutu Bono sambil memasukan sisa barangnya ke dalam kamar.
"Saya denger loh, Bon," sahut Kemal menguap lebar dan memiringkan tubuhnya menghadap dinding. Sedangkan Bono menggeram kesal dari ambang pintu kamar.
***
TBC
Acuy's Note
Sori tadi kepencet ya dear. Maklum lagi di jalan mau balik. Wkwkwkwk Padahal niatnya mau kasih surprise update besok pagi.
Yowes deh... ku update aja hari ini. Semoga suka ya.
Nah, kira-kira part depan bakal ada yang konyol lagi enggak ya antara para junior recehnya Ladin sama Kemal. Ahahahah kok mereka malah lucu ya diamprokin berdua. Gemes gimanaaaa gitu.
Yuk yuk yang LaMa... yang LaMa... bersiap happy happy dua part ke depan ya. Ingat semua cerita happy ending menurut yang nulis. 😎😎😎😎
Sampai jumpa di part depan. Luv u all~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top