Part 1. Si Ambisius
-
-
Bau apak jalanan, barisan jemuran basah pada tambang plastik hampir putus, dan lumut sepanjang tembok lapuk yang berlubang di sana-sini terendus kuat ke dalam hidung kerumunan wartawan Metropolitan sore itu pada sebuah gang kecil di Jakarta. Namun, seakan tidak terganggu dengan baunya, sekelompok wartawan dan tim penyidik dari kepolisian tetap fokus pada olah tempat kejadian perkara sebuah kasus pembunuhan seorang tukang ojek pangkalan kemarin malam.
Salah seorang wartawan perempuan berambut panjang yang diikat tinggi terlihat paling bersemangat mengamati tiap detail kronologis yang diperagakan oleh pelaku, saksi, dan korban, yang diperankan oleh tim dari kepolisian. Sementara satu rekannya yang membawa kamera kerepotan mencari celah di antara kerumunan para wartawan lain dan warga yang penasaran dengan kasus pembunuhan itu.
Sebuah id card pada lanyard lusuh yang bertuliskan pers sudah basah oleh keringat di sekitar kulit leher perempuan itu, tetapi tidak menyurutkan semangatnya sama sekali. Dia bahkan dengan lincah berpindah-pindah posisi mengambil beberapa foto dengan kamera ponselnya sembari menuliskan sesuatu pada buku catatan kecil yang selalu ada bersamanya.
"No. Bono! Sini! Malah ngelamun," teriak perempuan bernama Ladin itu kepada kameramennya. Bibir kameramen itu mengerucut sebal dan berjalan malas mendekati Ladin. "Jangan ngelamun! Cekatan dikit kek. Rekam sebelah sini, lebih oke."
"Iya," jawab kameramen itu pasrah.
Ladin melirik tajam kepada kameramen itu sekilas dan kembali mengamati TKP. "Hari ini lo masih mending loh ikut gue, kalau lo ikut timnya Mas Sahal udah pasti kena maki enggak fokus kayak gitu."
"Maaf, Mbak," ucap Bono cepat.
"Fokus," tekan Ladin lagi sembari mengarahkan kamera di tangan kameramen itu ke posisi yang tepat.
Ladin melengkungkan bibirnya puas, sebelum kembali fokus ke depan dan mencatat semua informasi yang perlu dia catat di dalam bukunya. Hingga akhirnya matahari yang semula terik mulai turun dan tenggelam. Udara panas hari itu pun berubah dingin. Sementara langit sudah menggelap di atas kepala mereka.
Olah tempat kejadian perkara hari itu pun usai. Warga pulang ke rumah masing-masing, wartawan dan para penyidik bubar kembali ke tempat mereka, sementara tempat kejadian perkara pun kembali disegel, menyisakan sebuah rumah petakan kosong yang kini terlihat suram.
"Berarti besok kita mulai start di pengadilan, gimana?" kata Ladin sambil menenggak air mineral dingin dari permukaan meja. Semangkuk mie ayam yang tersisa kuah dia pinggirkan ke sudut meja. Ladin dan Bono memang tengah mengisi perut terlebih dahulu pada sebuah warung mie ayam pinggir jalan sebelum pulang ke rumah.
Kameramen Aktual TV yang bernama Bono itu menghentikan kunyahannya. Ekspresi Bono terlihat bingung, selagi kedua bola matanya memandangi mangkuk kosong milik Ladin. Seakan-akan takjub akan kecepatan makan seniornya itu.
"Jam berapa?"
"Jam enam kita ketemu di tempat biasa, nanti gue kasih tahu Fajar buat standby dan jemput kita di sana, " kata Ladin lagi tanpa memindahkan fokusnya pada buku catatan.
"Pagi banget, Mbak?" protes Bono.
"Sidangnya mulai jam sembilan. Perjalanan bisa dua jam ke sana. Lo tahu sendiri Jakarta. Siang dikit, kita bisa stuck di jalan kena macet," jawab Ladin kemudian mengeluarkan kotak rokok dari dalam tas dan menyalakan satu batang. "Mau?"
Bono menggeleng. Sebab kepalanya kini dipenuhi keputusan Ladin untuk melakukan liputan pagi-pagi buta esok hari. Padahal bila boleh jujur seharian ini tenaganya sudah terkuras habis, dia cukup kagum melihat seniornya ini yang masih saja bersemangat untuk mencari berita.
Suara dering ponsel milik Ladin tiba-tiba terdengar. Bono melihat Ladin merogoh ransel dan mengeluarkan ponsel dari sana. Setelah membaca nama di layar, Ladin segera mengangkat ponsel itu.
"Halo, Ay," kata Ladin sembari mengangkat telepon dari sang kekasih, Rai. Asap putih tipis membumbung ketika dia mengembuskannya ke udara. Tatapan Ladin kemudian bergerak ke arah Bono ketika juniornya itu hampir tersedak kaget mendengar sebutannya kepada sang kekasih. Ladin berdecak kemudian bangkit menjauhi meja untuk menghindari tatapan Bono.
"Aku? Aku lagi makan mie ayam, baru kelar ngeliput tadi," kata Ladin setengah berteriak kala menjawab pertanyaan Rai dari balik telepon. Suara knalpot dan deru mesin kendaraan membuat jalanan itu terlihat hiruk pikuk, apalagi ditambah pedangan kaki lima yang memadati area trotoar.
"Berdua. Sama Bono. Kameramen junior yang gantiin Mas Bayu." Ladin terkekeh ketika mendengar ucapan skeptis Rai di ujung telepon. Omelan seseorang dan kasak-kusuk yang menjadi latar suara Rai meyakinkan Ladin bila lelaki itu juga masih bekerja di kantornya. "Kamu lembur lagi?"
"Bukan ngalihin pembicaraan. Mau bukti? Nanti aku fotoin deh ya si Bono," jawab Ladin menoleh ke arah Bono. Juniornya itu terlihat kaget dan buru-buru mengalihkan pandangan dari Ladin ke arah lain, ketika terpergok sedang mengamati dirinya. Jelas, Ladin mengerutkan keningnya.
"Iya, habis dari sini aku balik kok. Besok kan aku masih harus keliling. Tiga hari ini memang jadwalku semuanya di luar. Kamu juga hati-hati dan jaga kesehatan," kata Ladin lantas mengambil gambar kedai mie ayam itu dengan Bono di dalamnya, dan mengirimkan foto itu kepada Rai.
"Aku udah kirim ke kamu ya fotonya. Iya, aku kabarin kalau udah sampai kostan. Bye."
Ladin mematikan rokoknya yang hampir habis, sebelum kembali membawa langkahnya duduk di hadapan Bono. Mie ayam milik Bono kini sudah habis tersisa mangkuk saja. Ladin semakin penasaran melihat tingkah Bono yang salah tingkah di hadapannya.
"Lo kenapa?" tanya Ladin bingung.
"Itu cowok Mbak?"
Ladin mengangguk. "Biasa rutinitas tiap malam. Absen."
"Kok gue enggak pernah denger Mbak udah punya cowok?"
"Gue emang malas buat cerita-cerita masalah pribadi di kantor. Menurut gue masalah di kantor ya di kantor, masalah pribadi ya di rumah," jelas Ladin menghabiskan sisa air di botol mineralnya.
"Gue juga enggak pernah lihat Mbak dijemput sama cowok selama ini," ujar Bono lagi terlihat penasaran.
Ladin melemparkan botol kosong air mineral miliknya ke dalam tempat sampah di belakang tenda mie ayam. Botol itupun masuk dengan sempurna. Sambil mengenakan jaketnya, Ladin tersenyum tipis.
"Lo kenapa jadi penasaran banget sama gue? Lo demen sama gue?" tanya Ladin lugas dan tanpa ekspresi. Dia kemudian merapikan barang-barangnya ke dalam ransel.
Bono tersentak. Buru-buru dia menggeleng cepat dan ikut merapikan tas kamera milik kantor di atas meja.
"Gue sama cowok gue LDR udah hampir empat tahun, dan baru sebulan ini dia balik ke Jakarta," terang Ladin sembari memakai ranselnya dan bersiap membayar makanan mereka. "Gue sama dia juga sama-sama sibuk makanya kita jarang kelihatan berdua."
"Biar gue yang bayarin, Mbak," sela Bono ketika Ladin akan membayar makanan mereka.
Ladin melirik Bono dengan tatapan aneh. "Gue aja. Lagian ini juga uang kantor, reimburse."
Bono mengangguk sembari menyunggingkan senyumnya canggung kepada Ladin. Sementara itu, Ladin melangkah ke arah penjual mie ayam dan menyerahkan satu lembar uang lima puluh ribu.
"Ayo balik!" ajak Ladin menepuk bahu Bono usai mendapatkan kembalian dari penjual mie ayam itu. Dia lalu melangkah pergi terlebih dahulu.
Alih-alih mengikuti Ladin, Bono malah termenung mengamati punggung perempuan itu. Sebagai seorang kameramen yang baru genap satu tahun di Aktual TV, dia baru tahu bila Ladin sudah memiliki kekasih. Sebab Ladin terkenal sebagai senior reporter yang jarang bersosialisasi, banyak orang kantor yang tidak kenal dekat dengan Ladin. Bahkan perempuan itu terkenal paling misterius dan ambisius diantara reporter perempuan yang lain.
"Woy, ngelamun! Ayo balik. Fajar udah nungguin kita di mobil. Pesenan dia jangan sampai ketinggalan," teriak Ladin yang sudah melangkah jauh di depan Bono.
Bono terkesiap. Dia segera menyambar plastik hitam berisi sebungkus rokok dan satu botol soda dingin dari permukaan meja. Dengan secepat kilat, Bono berlari mengejar Ladin.
***
Derit pintu sebuah kamar kost terdengar berbarengan dengan daun pintu yang terbuka dari arah luar hampir pukul satu dini hari. Sosok Ladin pun muncul. Wajahnya terlihat suntuk ketika mengunci pintu kamar dari dalam dan meletakan ranselnya ke atas ranjang dengan asal. Sepasang baju ganti dan handuk dia ambil dari gantungan di balik pintu. Kemudian selang beberapa menit, dia sudah berada di dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Ladin keluar dari dalam kamar mandi setengah jam kemudian. Wajah lelahnya terlihat lebih segar. Alih-alih menjatuhkan dirinya ke atas kasur, Ladin malah membuka ranselnya dan mengeluarkan laptop juga buku catatan miliknya. Namun, baru beberapa paragraf informasi dia pindahkan dari buku catatan ke dalam laptop, ponselnya berdering. Dia tersenyum lebar melihat nama Rai ada di layar.
"Halo, Ay. Aku udah di kostan. Kamu udah balik?" sapa Ladin riang. Tangan mungilnya kemudian meraba figura yang berisi fotonya dan Rai di atas meja yang sedang berpelukan dengan senyum lebar mengiasi wajah mereka.
"Oke aku video call ya," kata Ladin sambil menegakan tubuhnya.
Sosok Rai dengan kaus santai dan celana pendek terlihat dari layar ponsel Ladin. Rambut cepaknya terlihat basah, tanda bahwa lelaki itu juga baru selesai membersihkan diri. Segelas teh hangat tampak di tangan kiri Rai.
"Udah di kostan tuh?" todong Rai dengan mimik pura-pura curiga.
"Enggak percaya?" cibir Ladin. Dia lalu mengambil figura dari atas meja dan menunjukannya kepada Rai. "Sejak kapan aku taruh foto kita di kantor."
"Buat alibi biar kelihatan jomblo mungkin," kekeh Rai sambil menyeruput teh hangatnya.
Ladin ikut tergelak. "Tapi ide kamu lumayan, Ay."
"Jangan macam-macam," ancam Rai dengan bibir mencebik. "Kamu tahu aku, kan?"
"Lagian. Sejak kapan juga sih aku bohong sama kamu," gumam Ladin kemudian memindahkan kameranya ke arah kasur. "Sejak kapan kantor aku punya kasur kayak gitu. Jadi, masih enggak percaya?"
Decakan Rai terdengar berkali-kali sambil memandangi kondisi kasur Ladin yang berantakan. "Iya deh, aku percaya. Cuma bisa enggak sih kamar kamu agak rapihan dikit?"
Ladin kembali memindahkan kamera ponsel kepada dirinya. Kali ini giliran dia yang mencebik kepada Rai. "Jangan mulai deh. Lagian kamu kan tahu kerjaan aku. Mana sempet aku bersih-bersih. Ini aja aku masih rapihin kerjaan."
"Kasihan banget sih pacar aku," kata Rai sambil memasang mimik konyol di depan layar. "Seandainya aku bisa nulis, aku bantuin deh."
Ladin segera menggeleng cepat. "Oh no! Bapak Photographer yang terhormat, saya lebih percaya Anda pegang kamera dengan photoshop ketimbang nulis. Urusan tulis-menulis biar saya aja, oke. Yang ada artikel aku makin hancur kamu bantuin."
"Baik, Ibu repoter aktual, tajam, dan terpercaya," sahut Rai sambil tertawa puas dari layar melihat respons Ladin.
"Hei, itu program orang ya," sela Ladin pura-pura kesal.
"Lagian. Dedikasi banget sih kamu, sampai bela-belain masih kerja jam segini."
"Bukannya tadi ada yang baru balik dari juga ya," sindir Ladin menggoda Rai.
Tawa di bibir Rai pun menghilang. Dia mengangguk pelan. "Oke, aku ngaku kalah. Tapi sekarang udah hampir jam dua loh. Tidur gih. Aku juga selesai ngeteh bakal langsung tidur."
"Iya. Aku pasti tidur."
"Kalau gitu aku tidur duluan ya," kata Rai bangkit dari duduk dan berjalan menuju kasurnya. "Besok aku ada pemotretan produk di Semanggi."
"Ay, sebentar. Weekend ini kita jadi jalan, kan?" tanya Ladin.
"Jadi, dong. Setelah aku balik ke Jakarta baru kali ini kan kita ada waktu buat jalan," jawab Rai sambil menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur.
"Oke. See you this weekend."
"See you, Ay," balas Rai mengedipkan matanya iseng. Senyum di wajahnya berubah kesal ketika Ladin kembali sibuk di depan layar laptop. "Tidur! Atau kalau enggak aku ke sana buat narik kamu ke kasur."
"Iya, posesif banget sih. Bye," gerutu Ladin kemudian mematikan teleponnya dengan Rai sebelum lelaki itu kembali berbicara. Sebuah notifikasi pesan masuk terdengar sebelum senyum di bibir Ladin menghilang.
Rai :
Kok dimatiin, Ay? Aku belum kelar ngomong loh.
Bibir Ladin mengerucut saat membaca pesan dari Rai. Dia kemudian mengetikan sesuatu di ponselnya.
Ladinda :
Tidur. Atau kalau enggak aku ke sana buat narik kamu ke kasur.
Rai :
Nice idea.
Kalau gitu pintu depan enggak aku kunci malam ini.
Kedua bola mata Ladin memelotot lebar kala membaca balasan pesan dari Rai. Segera, dia meletakan ponselnya ke permukaan meja. Kekehan pelan ditambah hangat yang menyengat pipi Ladin membuat malam suramnya berubah merah jambu.
Ladin salah tingkah.
***
TBC
Acuy's Note :
Maapkeun diriku yang dateng-dateng ujug-ujug bawa cerita baru. Neng Mutia tetep dikelarin kok, tapi berhubung ide cerita ini minta dieksekusi. Jadi ya terpaksa. Huhuhu.
Sampai ketemu lagi di hari Rabu. Luv u all~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top