La traité d'interdit By Raishwaray

--Prancis, 1396--

Bagiku, menjadi berbeda adalah suatu musibah.

Katakanlah aku sangat beruntung menjadi putri tunggal seorang raja dan dikaruniai paras yang membuat seluruh penjuru kerajaan berdecak kagum. Tidak seperti penduduk Kerajaan Prancis pada umumnya—atau mungkin di Semenanjung Iberia. Aku memiliki kulit putih pucat dengan rambut segelap malam, terurai hingga sebatas pinggang. Iris mataku pun berwarna violet indah.

Namun, bukan itu yang membuatku tak bersyukur terlahir berbeda.

Aku memiliki mata ketiga. Mata batin, begitu orang lain menyebutnya. Atau bahkan penyihir, cenayang...entahlah, banyak sekali desas-desus miring tentang orang sepertiku. Aku tak pernah menginginkannya, tetapi Tuhan telah berbaik hati mengirimkannya sepaket dengan kehidupan yang telah digariskan untukku. Namun, oh Tuhan... jika Kau menerima gugatan dari hamba-Mu, bisakah Kau melakukan peninjauan ulang?

"Hahaha...."

Suara tawa di balik punggung membuatku memutar tubuh dari hadapan cermin. Gadis yang tertawa itu mungkin seumuranku—bisa lebih tua atau lebih muda. Entahlah, aku tak bisa menerka dari kulit pucatnya yang nyaris transparan tanpa rona pembuluh darah. Rambutnya juga tak jelas warnanya—antara hitam atau kelabu—dibiarkan menggantung berantakan, membingkai wajah yang cekung. Ada cairan merah kehitaman yang tampak mengalir dari sela gigi ketika ia tertawa atau bicara.

"Kau yakin tak ingin memiliki kemampuan ini?" Calois—begitu aku memanggilnya—menyeringai dengan raut menyeramkan lalu kembali tertawa dengan suara melengking, mengitari langit-langit kamar yang luas. Aku enggan menyebutnya sebuah keberuntungan. Namun, jika ada orang lain yang bisa melihat dan mendengarnya saat ini, pasti akan menjadi suatu topik yang sangat menggemparkan.

Ah, bicara mengenai topik, sebenarnya bukan isu baru bahwasanya Putri Isabella, putri dari Raja Charles VI, memiliki indra keenam. Bahkan bisa dibilang gosip usang. Sejak kecil, aku sering tiba-tiba menangis ketakutan atau meracau tidak jelas tentang makhluk-makhluk tak kasatmata yang hanya bisa kulihat. Puncaknya, saat perayaan debut, aku bertemu Calois. Hantu perempuan dengan rupa mengerikan itu tentu membuatku menjerit histeris. Selama ini aku hanya melihat para makhluk itu dari jarak jauh, tetapi Calois satu-satunya yang berani berinteraksi denganku dalam jarak yang sangat dekat. Bahkan, ia juga bisa masuk ke dalam tubuhku.

"Aku bahkan berani bertaruh. Kau tidak akan bisa hidup sehari saja tanpaku." Calois tiba-tiba sudah berada di depan wajahku, mengatakan kalimat tersebut dengan senyum tipis sehingga terlihat jelas cairan merah kehitaman dari dalam mulutnya. Tubuhku menegang. Puas menakutiku, ia kembali melayang menjauh sambil mengeluarkan suara bernada tinggi yang khas.

Aku tak bisa membantah. Memang sejak keberadaan Calois di dekatku, aku tidak pernah lagi melihat kemunculan hantu-hantu lain. Sekadar suara pun nihil. Seakan semua makhluk gaib itu melarikan diri darinya. Kuakui, hidupku terasa lebih tenteram sejak saat itu.

Paling tidak, aku hanya harus membiasakan diri dengan kehadiran Calois.

***

"Ada undangan pesta dari Kerajaan Inggris, Your Highness."

Aku menatap Delia—pengasuhku—dari pantulan cermin rias besar. Wanita yang sudah mulai senja itu tampak sibuk menyisir rambut hitamku.

"Saya rasa sudah waktunya Anda menghadiri kegiatan-kegiatan sosial." Ia melanjutkan. Kini, tangannya bergerak lincah memilin helai-helai rambut menjadi sebuah jalinan indah.

"Wanita tua itu benar, Bella." Tahu-tahu Calois ikut berkomentar. Sekali lagi aku melayangkan pandang melalui pantulan cermin. Hantu bergaun putih polos itu sedang terbang berputar di atas ranjang. Aku tahu, Calois senang mendengar undangan pesta. Tampaknya ia memang menyukai keramaian. Sayang sekali, sudah hampir setengah tahun sejak pertemuan pertama kami, aku lebih memilih mengurung diri di kastel dan menghindari segala pergaulan sosialita.

Dikarenakan aku tak ingin menjadi bahan gunjingan. Cerita tentang 'kelebihanku' pasti sudah tersebar dan kuyakin, hingga kini masih menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan. Aku muak dengan tingkah para bangsawan yang tersenyum ramah di depan, tetapi meludah di balik punggung. Mereka tak ubahnya anjing yang suka menjulurkan lidah di depan majikan.

Penjilat!

Setelah selesai berhias, Delia mengajakku turun ke ruang makan. Aku harus sudah duduk manis di meja makan sebelum Ayahanda dan Ibunda datang—begitulah peraturannya. Sepanjang melewati lorong, beberapa bayangan hitam tampak berkelebat menembus dinding menghindariku.

"Ahahahaha!" Calois tertawa nyaring sebelum dengan tidak sopannya menembus punggungku. Jantung dan pembuluh darahku seakan dibekukan selama sepersekian detik saat bersinggungan dengan sosok astralnya.

"Silakan duduk, Your Highness." Salah satu pelayan di ruang makan menarik kursi untuk tempatku duduk. Lantas ia dan Delia mengambil tempat agak jauh dari meja—merapat ke tembok.

Di atas meja berbentuk persegi panjang, terhampar berbagai macam makanan. Berlebihan memang untuk ukuran hidangan yang akan disantap oleh tiga mulut saja. Namun, tak mungkin koki istana dan para pelayan menyajikan menu kurang dari itu. Atau Ayahanda akan menjadikan kepala mereka pajangan di alun-alun kota.

Tak berapa lama kemudian, kudengar suara langkah-langkah kaki mendekat. Aku sudah tahu pasti siapa yang akan datang. Oleh karenanya, aku langsung berdiri begitu pintu di belakangku menderit tanda terbuka.

"Selamat pagi, Ayahanda, Ibunda." Aku menunduk takzim, memberi hormat kepada dua orang yang membawaku ke dunia ini. Ayahanda dan Ibunda tak segera menjawab. Mereka menuju tempat duduk masing-masing dan mendaratkan pantat begitu para pelayan menarikkan kursi untuknya. Aku pun turut kembali ke posisi semula.

"Selamat pagi, Bella." Ibunda membalas salamku, disusul Ayahanda kemudian. Lalu, pria tersebut memimpin kami berdoa sebelum menyantap makanan.

Aku sempat melirik ke arah Calois saat berdoa. Hantu itu balas menyeringai padaku. Ah, jika doa tak bisa membuatku terbebas darinya, lantas kenapa harus kulakukan?

Sarapan berlangsung hening seperti biasa. Hanya terdengar suara denting peralatan makan.

"Kita mendapat undangan dari Kerajaan Inggris." Aku tahu kami akan membicarakan ini dan Ibunda-lah yang pertama mengangkat topik tersebut. Aku tak menjawab. Memilih mendengarkan sembari melanjutkan suapan hidangan ke mulut.

"Kau akan pergi bersamaku ke sana, Bella. Tiga hari lagi."

Jika Ayahanda sudah bertitah, tentu aku tak bisa lagi menolak. Kutelan kunyahan terakhir yang ada di mulut sebelum mengangguk patuh. "Baik, Ayahanda."

Lalu, tawa melengking terdengar di belakang kepala, menggema di seluruh ruangan. Namun, hanya aku yang bisa mendengar.

Ah, Calois pasti sangat senang sekarang.

***

Tiga hari ternyata cepat berlalu. Tahu-tahu saat cahaya fajar menyapa kelopak mataku yang terbuka, aku sudah dihadapkan dengan persiapan keberangkatan ke London. Sebenarnya aku malas sekali, tetapi aku tak punya hak bicara di sini—meski seorang tuan putri.

Delia turut pergi ke London, Calois juga tentunya. Hantu perempuan itu seakan memiliki ikatan denganku, tapi entah apa. Aku pun tak berniat mengorek lebih jauh. Sebisa mungkin memang membatasi interaksiku dengannya.

Aku tak bisa memercayai Calois. Bagaimanapun dia adalah hantu, dan hantu tak akan memberi bantuan pada manusia secara cuma-cuma.

Kami pergi ke London menggunakan dua kereta yang masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda. Jumlah itu tentu belum termasuk dengan kuda-kuda yang ditunggangi oleh para pengawal. Kami melakukan perjalanan non stop, melintasi area kota, hutan, desa, dan persawahan. Hingga saat bayang-bayang jatuh memanjang ke arah timur, rombongan kami baru sampai di pesisir Pantai Calais.

Ini belum berakhir. Sebuah kapal cukup besar sudah menanti di dermaga. Kami masih harus menyebrangi Pas de Calais untuk sampai di sisi daratan yang lain. Setelah sekitar satu setengah jam terombang-ambing di atas laut, kami akhirnya menjejakkan kaki di Dover, wilayah Kerajaan Inggris.

Lagi-lagi kami harus menempuh perjalanan darat. Mendengarkan derap kaki kuda dan roda kereta yang menggilas tanah berkerikil menjadi pengisi kebosanan. Aku sudah jenuh mengobrol dengan Delia, wanita itu pun tampak sama kepayahannya sepertiku. Tentu saja, melakukan perjalanan panjang selama seharian penuh pasti menguras tenaga.

Kami sampai di istana Kerajaan Inggris tepat di waktu makan malam. Kubilang tepat, karena saat ini rasa-rasanya aku bisa menggigit gaunku sendiri saking laparnya. Setelah membersihkan diri dan bersiap singkat, aku pun keluar dari kamar tamu dengan iringan pelayan Kerajaan Inggris menuju tempat makan.

Ruangan itu luas dan megah. Namun, tak banyak orang yang mengisi kursi di sekeliling meja persegi panjang dengan berbagai hidangan di atasnya. Hanya ada aku, Ayahanda, dan seorang wanita muda berambut merah dengan tiara di kepala. Dia tak lain adalah Lady Anne dari Bohemia, yang kini menjadi wanita nomor satu di Kerajaan Inggris. Tampaknya para tamu undangan lain belum datang, atau memang kami yang terlalu antusias?

"Maafkan aku, tapi His Majesty masih ada kepentingan di luar dan belum kembali saat ini." Ratu Anne menyampaikan perihal keabsenan sang suami di ruang makan. Harusnya beliau memang ikut menyambut kami juga sebagai tamu kehormatan. Namun, tampaknya ada sesuatu yang harus raja itu urus. Kudengar, Raja Richard II adalah seorang pemimpin yang berwatak keras dan tegas. Ia naik takhta di usia muda, yakni sepuluh tahun dan menikah lima tahun kemudian. Akan tetapi, di pernikahannya yang sudah berjalan selama empat belas tahun ini, pasangan raja dan ratu tersebut belum juga dikaruniai keturunan.

"Aku penasaran bagaimana rupa raja itu." Calois mendadak muncul di sebelah Ratu Anne, tepat saat aku melihat ke arahnya. Seringai mengerikan yang ditunjukkan Calois membuat tubuhku menegang. Eskpresi wajahnya tampak mengerikan dengan dua manik hitam yang memekat seperti cairan kental mengalir dari sela mulut. Lalu, dengan suara serak ia kembali berkata, "Aku menginginkannya, Bella. Kau akan memberikannya padaku."

Aku mematung di tempat. Bahkan, gerakan sendok dan garpu di tanganku pun turut terhenti. Namun, tanpa memberi penjelasan apa pun lagi, sosok Calois lenyap dari pandangan. Meninggalkan keremangan yang menaikkan bulu romaku.

Apa yang hantu itu inginkan? Kenapa harus aku yang memberikannya?

***

To Be Continue...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #novelet