Jane Sutherland, The Gloom Lady by Maud De Vito

—Richmond, Britania Raya, 1850—

Lady itu berdiam diri di kamar gelapnya. Seperti hari-hari biasanya, sang lady tidak pernah keluar dan selalu mendekam di kamar dingin yang terletak di lantai dua manor keluarganya. Tidak ada orang yang bisa mengubah kebiasaannya ini. Semua ini berawal dari kejadian dua tahun lalu. Kejadian yang membekas dan tak akan pernah hilang dari ingatan sang lady maupun keluarganya.

Hari itu hari Senin, 12 Januari 1848. Manor Keluarga Sutherland baru saja menerima tamu, saudara jauh mereka yang tiba dari Windsor. Semua penghuni manor itu tampak ceria dan bersemangat menyambut saudara-saudara yang belum mereka jumpai dalam waktu yang lama. Lady Jane Sutherland, sang putri bungsu, juga tak terkecuali. Mata hazel gadis muda itu semakin bercahaya saat melihat sepupu-sepupu yang ia sangat rindukan, terlebih lagi ketika ia melihat Lady Antonia, teman bermainnya sejak bayi.

"Antonia, akhirnya kau datang! Sini, aku sangat merindukanmu!" Jane berlari dan menubruk Antonia lalu mendekapnya dalam pelukan tererat yang pernah dirasakan oleh lady yang baru saja sampai itu.

Sang lady yang merupakan seorang sepupu itu hanya terkekeh geli, mencoba untuk melepaskan pelukan mematikan yang sudah mulai membuatnya tidak bisa bernapas dengan baik. "Tenanglah, Jane. Aku sudah berada di sini sekarang."

Kedua gadis muda itu kemudian kembali terkikih dengan tidak jelas. Jane dan Antonia lalu memutuskan untuk kembali bersikap layaknya lady yang layak, melangkahkan kaki mereka berdua dengan anggun. "Apa yang ingin kau lakukan sekarang?" tanya Antonia sembari berjalan di lorong Manor Sutherland.

Pertanyaan itu dibalas gelengan kepala oleh Jane, yang benar-benar tidak mempersiapkan rencana apa pun dari kemarin hari. Antonia menatap sepupunya dengan kesal. Jane hanya terkikik, sampai sebuah rencana terlintas di pikirannya—rencana aneh yang mungkin ditentang habis-habisan oleh Antonia. Ia menahan tangan sepupunya sehingga membuat kaki Antonia berhenti berjalan. Lady itu menatap Jane aneh. "Ada apa?" tanyanya kebingungan.

"Ikut aku ke gudang!" kata Jane.

Antonia kembali menatap Jane yang sudah berlari mendahuluinya. Ada-ada saja anak itu!

"Ayo cepat, Antonia! Nanti Mama akan tahu tentang ini dan memarahi kita habis-habisan!" Jane akhirnya menarik tangan Antonia kuat sampai membuat gadis itu merintih kesakitan. Antonia pun menepis tangan Jane lalu berjalan masuk ke arah gudang gelap yang tidak terurus.

Aura mencekam mulai dirasakan oleh kedua gadis itu. Tidak seperti Antonia yang sudah merasa ketakutan dan ingin keluar, Jane yang memiliki jiwa pemberani sudah menyusuri gudang tua yang tidak pernah dibuka oleh keluarganya itu. Tangan Jane yang jahil mengambil lentera tua yang berada di bawah lantai berdebu kemudian menyalakannya. Ia berjalan perlahan ke arah Antonia yang sedang berdiam di depan lukisan seorang nenek tua. Jane pun tersenyum jahat. "BAA!!"

Teriakan Antonia menggema di seluruh gudang membuat Jane tertawa keras sampai memegang perutnya yang kesakitan sementara Antonia sendiri memasang wajah kesal dan memukul lengan Jane berkali-kali. "Hey, sudahilah candaan tak lucumu itu, Jane! Aku memiliki pertanyaan penting untukmu."

Jane kembali memasang wajah serius sekaligus bingung. "Pertanyaan apa?"

Antonia menunjuk lukisan tua yang sejak tadi diamatinya. Lukisan itu menampilkan seorang nenek tua bergaun hitam yang dihiasi berlian. Mata gelap nenek itu menatap dalam ke siapapun yang melirik atau menoleh ke arah lukisan itu. Lukisan itu sepertinya sengaja dipasang di gudang karena Lord Samuel, ayah Lady Jane, tak ingin membuat para tamunya terganggu dengan lukisan neneknya—bahkan, sebenarnya lukisan itu dijuluki dengan; 'lukisan terkutuk.'

"Mengapa kalian masih menyimpan lukisan ini?" tanya Antonia dengan nada takut, ia selalu berhasil merasa merinding jika berdekatan dengan lukisan terkutuk itu.

Jane heran. "Apa maksudmu? Tentu saja kami akan menyimpannya. Dia merupakan leluhur kita, An," ucapnya tegas sebelum matanya terpaku dengan lukisan nenek terkutuk itu. Semenit berlalu, ia tak melepas pandangannya.

Antonia kembali merinding, tetapi hati kecilnya mengira bahwa sepupunya yang jahil sedang bercanda. "Jane, sadarlah!"

Jane masih tak berkutik. Gadis itu menutup mata karena kepalanya terasa pusing. Dunia seakan memutar mengitarinya. Ia seakan berada di dunia lain—sepertinya. "Jane Sayang, jangan dengarkan si Antonia Nakal. Gadis itu memang diajar oleh kedua orangtuanya untuk melupakanku, Nenek kesayangan semua orang." Sebuah suara parau tiba-tiba terdengar dari belakang tubuhnya yang masih berdiri kaku, Jane mengumpulkan keberanian untuk membalikkan badannya agar bisa bertatap muka dengan nenek terkutuk yang ditakuti oleh semua orang.

Ternyata yang dilihatnya adalah seorang wanita tua berwajah cantik yang dipenuhi riasan menor, yang sekarang tak karuan. Senyum manis, tetapi menyeramkan, tak pernah luntur dari wajah itu yang berisi. "Ternyata kau sangat cantik, Jane."

Jane mematung karena wanita tua itu tak berhenti tersenyum. "Siapa kau?" tanyanya setelah semenit tak bergerak maupun mengucapkan sepatah kata pun.

Wanita tua itu memperlebar senyumnya setelah mendengar Jane berbicara. Ia tertawa sebentar sebelum berkata dan memperkenalkan dirinya. "Jane Manis, mengapa kau tidak tahu siapa aku? Aku adalah Eugenia Sutherland, Nenek dari ayah tampanmu." Kikikkan horror mengikuti kalimat pengenalan dari wanita tua itu.

Jane mencoba menutup mata, tak ingin melihat wajah dengan riasan menor yang ada di hadapan. "Ta-tapi, Papa berkata bahwa kau sudah meninggal. Sangat lama sebelum aku lahir. Mengapa kau mengenalku?"

Eugenia kembali tertawa kecil, merasa geli dengan pertanyaan panjang lebar, tetapi terdengar ketakutan dari cicit penakutnya. "Aku mengenal semua orang, Sayang."

Jane membuka matanya, Eugenia ternyata masih di situ. Masih di hadapannya, tidak bergerak, dan tak menghentikan senyuman menyeramkannya.

"Jangan takut, Jane Sayang. Aku ingat aku pernah bertemu denganmu di gudang ini enam tahun lalu. Kau tampak berani bertemu denganku. Apa yang terjadi dengan Jane si Pemberani?" Eugenia bertanya yang kini terdengar sedih.

Jane masih tak berkutik, ia takut menjawab pertanyaan wanita tua itu. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekitar. Gudang yang sama, tetapi suasana yang sangat berbeda. Mana Antonia? Ia mengkhawatirkan sepupunya yang penakut. Tiba-tiba teriakan terdengar samar, tertangkap oleh indra pendengarannya. "Jane! Jane! Kita harus keluar! Jane!?"

Jane yang sudah berada di dunia lain itu, histeris saat melihat sang sepupu tengah memanggil-manggilnya. "Antonia! Aku di sini! Tolong keluarkan aku, An! Antonia!" Jane membalas teriakan sepupunya, mencoba berlari ke arah lady yang ketakutan itu. Akan tetapi, kakinya tertahan. Jane melirik ke Eugenia yang kini sudah ia belakangi, wanita tua itu tak bergerak dari tempat duduknya. Jane terheran-heran kemudian berusaha menggerakkan kakinya lebih kuat sambil meneriakkan nama Antonia dengan sangat keras.

"Sudahlah, Jane Sayang. Antonia tidak akan mendengarmu," ucap Eugenia tenang.

Tidak memedulikan Eugenia, Jane masih berusaha untuk berlari ke tempat Antonia yang sedang mengguncang tubuhnya yang masih berada di dunia nyata. Tangisnya pecah ketika ia sadar kakinya tidak bisa digerakkan sama sekali. Tubuh Jane melemas, menatap Antonia yang ketakutan di sisi lain. Perlahan, ia meringkuk—tempat di mana ia berada sekarang sangat dingin. Ia ingin kembali.

"Berdirilah, Jane. Kau sedang berada di duniamu. Antonia-lah yang sekarang berada di dunia lain." Eugenia memberi sebuah syal hangat kepada Jane, membalut cicitnya dengan kain itu.

Jane terkesiap. Apa yang baru dikatakan oleh Eugenia? Ia mencoba untuk berdiri tegap kembali. "Maksudmu?"

Eugenia tersenyum. "Antonia tampaknya sangat membenciku, bukan? Aku ingin memberi gadis nakal itu sedikit pelajaran."

Jane menatap Eugenia tak percaya. Emosinya meluap. Ia tidak akan membiarkan Eugenia mencelakai sepupu kesayangannya. "Jangan sentuh Antonia! Biarkan dia sendirian!" teriak Jane meronta-ronta.

Eugenia hanya tersenyum, tidak bereaksi apa pun selain itu. Tangan dingin berbalut gelang berlian yang sudah berkarat, menggengam tangan Jane yang hangat serta bergetar. Jane menatapnya ketakutan. "Tenang saja, Jane Sayang. Aku hantu yang baik, tidak seperti yang lain."

***

—12 Januari 1848—

Malam itu berakhir dengan tangisan seluruh anggota Sutherland. Sehari setelah hari sial itu, isakan tangis terdengar di seluruh ruangan manor. Seluruh keluarga bangsawan Sutherland memakai baju berkabung, menandakan bahwa mereka sangat berkabung dalam.

Antonia Sutherland ditemukan di gudang dengan darah yang tak berhenti mengucur dari hidung. Posisi tubuhnya saat ditemukan tengah berbaring mengarah ke lukisan terkutuk itu. Para dokter yang memeriksa, meyakinkan Keluarga Sutherland bahwa Antonia meninggal dunia karena pendarahan otak. Namun, pihak Keluarga Sutherland tidak percaya begitu saja. Mereka percaya kematian gadis itu ada hubungannya dengan lukisan terkutuk itu dan...Jane.

Di saat Antonia ditemukan, Jane tengah meringkuk di pojok gudang, memandang tubuh sepupunya yang sudah tak bernyawa dengan pandangan kosong. "Ini salah Eugenia...," begitu ucapnya saat ditanyakan tentang apa yang terjadi pada Antonia.

"Antonia! Jangan tinggalkan Mama, Sayang! Antonia!" tangis Marianne, meraung nama putrinya. Kalimat memedihkan itu diikuti oleh isak tangis keluarga yang terpukul. Beberapa wanita terlihat memeluk Marianne yang berusaha menenangkannya.

Marianne menghentikan tangisnya untuk sementara lalu menatap Beatrice—ibu dari Jane—dengan tatapan mematikan. Mulut dan tangannya memerah. "Ini merupakan salah putrimu! Salah Jane! Salah Jane si Gila!" raungnya.

Beatrice tercekat mendengar perkataan yang keluar dari mulut Marianne. Namun, ia tidak membalasnya. Beatrice menundukkan kepalanya malu—karena ia tahu putrinya, Jane, memang layak disalahkan. Putrinya, Jane, memang penyebab kematian Antonia malam itu.

***

To Be Continue....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #novelet