IN THE RED By Anissa Lee
--London, 1893--
"Turunlah!" ucap seorang lord kepada sosok seorang wanita, Kathryn Herbert, putri tunggal seorang dokter sekaligus peneliti mikroorganisme—seorang wanita keras kepala yang menjunjung tinggi logika, mengesampingkan norma yang ada. Dirinya sebenarnya tidak terlalu dekat dengan Lord Edric Wallace, Marquess of Canterbury. Mereka hanya bertemu beberapa kali dalam acara makan malam yang diadakan ayahnya. Namun, pria itu kini adalah suaminya, yang membuat dirinya sekarang pun menjadi seorang Marchioness.
Marquess of Canterbury adalah penyumbang dana terbesar untuk mendukung penelitian Mr. Herbert sang Ayah. Itulah yang mendasari kedekatan antara ayah Kathryn dan Lord Edric. Meskipun ayahnya memiliki hubungan yang bisa dibilang dekat, tidak demikian dengan dirinya. Kathryn tidak pernah terlibat pembicaraan dengan lord itu. Surat kabar Lady Rutherford bahkan menggambarkan, Marquess of Canterbury adalah sosok pria pendiam yang membenci kehadiran wanita.
Kathryn bergegas turun dari kereta kuda yang membawanya dari Mountfield kurang lebih enam jam. Dia merasa perutnya kurang nyaman karena si kusir mengemudi kereta kuda dengan kecepatan tinggi. Kepalanya juga merasakan sedikit pening yang membuatnya menuruti semua perkataan lord itu tanpa mengatakan apapun. Terlihat dua orang pelayan menyambut kedatangan mereka; seorang pria berambut putih dengan tatapan mata dingin dan seorang wanita yang tidak bisa dibilang muda.
"Kita perlu bicara, Elmer!" kata sang Marquess.
Pria dengan tatapan mata dingin itu mengangguk kemudian mengikuti langkah majikannya lalu menghilang bersama dibalik pintu kerja Marquess of Canterbury.
"Saya, Eva Francess, yang mengasuh Lord Edric sekaligus mengurus keperluan rumah ini." Kathryn yang masih termenung di tempat dengan sedikit menahan gejolak di perut, mengangkat kepala saat pelayan wanita itu mengenalkan identitasnya. "Mari saya antar Anda ke kamar, Madam. Anda tampak sangat lelah."
Kahtryn mengekori langkah wanita paruh baya itu menaiki tangga menuju lantai atas. Mrs. Francess berhenti di depan pintu yang terbuat dari kayu sederhana, tetapi Kathryn merasa ada sedikit yang berbeda pada pintu itu daripada umumnya. Namun dengan kondisinya sekarang, ia tidak bisa menemukan keanehan itu. "Saya sudah menyiapkan air hangat bila Anda ingin mandi. Makan malam masih kami siapkan."
"Terima kasih, Mrs. Francess." Kathryn lalu duduk di tepi ranjang dengan sedikit memijit pelipisnya. "Bisakah Anda tinggalkan saya sendiri? Saya ingin istirahat."
Mrs. Francess tersenyum, "Baik, My Lady. Anda bisa memanggil saya jika membutuhkan sesuatu."
Sepeninggalkan Mrs. Francess, Kathryn memijit pelipisnya sedikit lebih dalam, berharap usaha itu bisa mengurangi sakit yang sekarang dirasakannya. Namun, sayangnya nihil. Dirinya akhirnya memilih untuk tidur.
***
"Apa aku membangunkanmu?"
Kathryn membutuhkan sedikit waktu untuk mencerna perkataan sang lord lalu bangkit dari berbaringnya.
"Kau memimpikan hal buruk?" tanya pria itu lagi.
Kathryn spontan menatap Lord Edric dengan kerutan di kening.
Edric tersenyum lembut memahami kebingungan wanitanya. "Kau tampak gelisah dalam tidurmu."
Ya. Lord itu benar. Dirinya memang sedang memimpikan hal yang kurang baik. Dia memimpikan wanita dengan gaun tidur bersimbah darah pada perutnya. Kathryn merasa sangat familier dengan mimpinya itu. Sepertinya ada kesamaan objek antara mimpinya di waktu kecil dengan mimpi yang baru saja ia alami. "Tidak," bohongnya. "Mungkin karena perutku sedikit kurang nyaman."
Lord Edric tampak menyesal. "Aku minta maaf. Aku pikir kau terbiasa menaiki kereta kuda dengan kecepatan tinggi. Tapi, ternyata pikiranku salah." Pria itu kemudian menarik kereta makan yang dibawakan Mrs. Francess sebelum Kathryn bangun dari ranjang lalu membuka tudung saji yang terbuat dari baja nirkarat.
"Ini sangat terlambat untuk makan malam," ucap Kathryn sembari menatap makanan yang berada di kereta makan tanpa minat. Memang sekarang perutnya sudah tidak bergejolak seperti tadi, tetapi nafsu makannya belum kembali.
"Kau ingin melewatkan makan malammu?" tanya Lord Edric.
"Ya," jawab Kathryn.
Marquess of Canterbury menarik sudut bibirnya. "Sayangnya, aku tidak akan membiarkannya." Edric lalu menjulurkan sendok pada Kathryn. "Makanlah meski hanya sesuap. Aku tidak ingin kau sakit dan membuat Mr. Herbert khawatir."
Lord Edric kemudian berkata, "Nikmati makan malammu. Aku ingin menyelesaikan pekerjaanku."
Sepeninggal Marquess of Canterburry, Kathryn melirik makanan yang masih berada di kereta makan. Ucapan pria itu ada benarnya, dia tidak akan tega melihat ayahnya khawatir. Kathryn lalu menyingkap selimutnya dan menarik kereta makan agar mudah dijangkau. Namun sayangnya, sendok yang berada di tangannya jatuh ke lantai. Kathryn kemudian menurunkan kakinya lalu menggeser kereta makan itu sedikit menjauh.
Tiba-tiba dirinya—sang Marchioness of Canterbury—merasa kaki kanannya dingin, kaku, dan sulit digerakan. Seperti ada bola besi raksasa yang membelit kakinya. Terdorong rasa penasaran, ia menundukan pandangannya. Timbul kerutan dalam di keningnya ketika mendapati sepasang tangan berwarna hitam keabu-abuan melingkupi kakinya.
Wanita dengan gaun tidur malam itu turun dari ranjangnya lalu membungkukan badannya perlahan mencoba melihat apa yang ada di bawah ranjang. Sosok seorang wanita berambut panjang terduduk dengan badan merunduk sangat rendahlah yang tengah memegangi kakinya. Kathryn terkejut ketika wanita itu mengangkat kepalanya karena kedua bola matanya sudah hilang dan darah tidak berhenti mengucur dari tempat itu. "T-tolong...M-merah," rintihnya menahan sakit.
"Apa yang terjadi, Madam?" tanya suara seseorang tiba-tiba dari balik tubuh Kathryn, yang membuatnya terkesiap lalu bangkit berdiri. Mrs. Francess ternyata telah berdiri di ambang pintu kamarnya dengan tatapan heran. "Maafkan saya telah membuat Anda terkejut," lanjut pelayan itu.
"Aku hanya ingin mengambil sendokku yang jatuh." Kathryn langsung memungut sendoknya kemudian melirik ke bawah ranjangnya dan mendapati tempat itu sudah kosong. Ke mana dia?
"Saya membawakan Anda teh chamomile. Ini sangat baik untuk perut Anda." Mrs. Francess lalu meletakan cangkir teh itu di atas kereta makan. "Anda baik-baik saja, Madam?" Kathryn mengangguk pelan. "Apa Anda membutuhkan sesuatu?"
Kathryn pun menggeleng lalu duduk di tepi ranjang. "Aku hanya ingin sendiri."
Pelayan wanita itu kemudian mengangguk penuh hormat dan meninggalkan majikan wanitanya seorang diri.
Kathryn memastikan sekali lagi keadaan di ambang pintu. Setelah dirasa Mrs. Francess tidak akan kembali ke kamarnya lagi, ia membungkukan badannya lagi di samping ranjang. Nihil. Sosok yang diharapkannya tidak ada di sana.
***
Kathryn menikmati suasana pagi di pertengahan musin gugur. Dirinya duduk di taman dengan pita rajut berada di tangan, tetapi pikirannya jauh tenggelam pada kejadian sepekan yang lalu. Sosok wanita itu tidak lagi menampakkan dirinya. Sosok wanita itu sama persis seperti sosok yang pernah berada di dalam mimpinya kala ia kecil. Kathryn yakin itu sosok yang sama.
Lalu, mengapa sosok itu terlihat sangat ketakutan? Sosok wanita itu jelas-jelas ingin meminta tolong padanya. Darah tidak hanya mengalir dari lubang mata wanita itu, tetapi juga pada bagian perutnya...dan wanita itu mengatakan...merah? Apakah itu merah darah? Ataukah merah yang lain? pikirnya. Lalu apa? Jika benar kau orang yang sama, kenapa kau muncul kembali?
Kathryn melamun sangat lama. Oh lebih tepatnya bukan melamun, tetapi merenungi keadaan dengan sangat dalam hingga membuatnya tidak sadar jika sedari tadi Marquess of Canterbury mengamatinya dari jendela.
"Aku rasa dia mengetahuinya," ucap Lord Edric.
"Ya," jawab Mr. Ralph bergeming.
"Aku takut dia pergi,"—lanjut sang Marquess—"jika aku mengatakan yang sebenarnya, Elmer."
"Saya rasa dia akan tetap mengetahuinya," lanjut pria tua itu dengan tatapan mata yang tidak ada kehangatan, ikut memandang wanita yang sedang duduk di taman dengan gaun berwarna hijau dipadukan dengan cokelat.
Lord Edric terlihat frustrasi karena menurutnya, Kathryn adalah wanita yang berbeda. Sekalinya wanita itu penasaran, akan sangat membahayakan.
"Saya rasa akan lebih baik jika Anda yang mengatakannya."
Sang Marquess menatap lama Mr. Ralph. Meskipun perkataan pria tua itu benar, tetapi dirinya sedang tidak ingin mendengarkan kebusukannya sendiri. "Jelas tidak sekarang."
"Ya." Mr. Ralph kemudian mengamati setelan rapi sang marquess yang menggunakan jas berwarna biru mendekati hitam dan sepatu tingginya. "Anda akan menemui Mr. Herbert tanpa sepengetahuan Her Ladyship?"
"Hanya sebentar."
***
Kathryn termenung di jendela ruang tengah. Pasalnya, suaminya belum kembali ke kediaman mereka. Dia tidak tahu jika Lord Edric sedang menemui ayahnya. Mr. Ralph hanya mengatakan kepadanya kalau lord itu memiliki urusan yang harus diselesaikan sebelum musim dingin tiba.
"Anda belum ingin tidur, Madam?"
"Dia belum kembali."
Kathryn memandang lurus keluar jendela, berharap dirinya bisa mengetahui kedatangan lord itu lebih dulu—mengesampingkan kemustahilan batasan penglihatannya karena tidak terpasang satu pun lampu jalan di depan rumahnya.
"Sebaiknya Anda beristirahat, My Lady. His Lordship tidak akan menyukai Anda berdiri menunggunya seperti ini," papar Mrs. Francess.
Wanita yang masih menggunakan gaun berwarna hijau dipadukan cokelat tadi pagi tetap bergeming. Hampir sepekan, dia sudah berinteraksi dengan Lord Edric. Tidak menutup kemungkinan, ada yang mulai berubah diantara perasaannya. Pria itu memang bukan sosok yang diharapkan kebanyakan wanita. Namun, Kathryn ternyata menyukai kedewasaan pria itu.
Mungkin, sepekan terlalu cepat untuk mengatakan bahwa dirinya telah jatuh cinta kepada lord itu. Akan tetapi, sepekan telah cukup untuk menyimpulkan jika gambaran Lady Rutherford mengenai Marquess of Canterbury adalah salah total. Mereka hanya tidak mengenal pria itu karena lord tersebut hanya berlaku secukupnya—dan Kathryn pun sebenarnya menyukai pria yang tidak berlebihan.
"Aku tidak hanya sedang menunggunya. Kau tak perlu khawatir." Tanpa menolehkan kepala, Kathryn mencoba menghapus kekhawatiran Mrs. Francess. "Setelah aku bosan, aku pasti akan tidur."
"Saya mengkhawatirkan Anda. Saya takut His Lordship tidak bisa memenuhi harapan Anda." Mrs. Francess seolah telah menghafal kebiasaan majikannya, yang sulit diprediksi kapan akan kembali bila sudah berada di luar rumah. "Anda akan berdiri di sana sampai pagi."
Kathryn membalikkan badannya. "Di sini berbeda. Sangat jauh dari Mountfield. Aku ingin menikmati suasana daerah dataran rendah."
Mrs. Francess tidak ingin putus usaha untuk membujuk sang marchioness. "Ini sudah malam, Madam. Anda tidak bisa melihat pemandangan di luar sana. Sebaiknya Anda lakukan itu besok pagi."
Kathryn kembali menatap keluar jendela. "Aku bisa merasakannya."
Pelayan wanita itu sedikit mendongakkan kepalanya kemudian menggeleng pelan. Mr. Ralph mengangguk walaupun sedikit kecewa. Keras kepala—sang marchioness memang sangat cocok dengan julukannya. Mr. Ralph kemudian masuk ke pintu yang berada di sisi kanan sedangkan Mrs. Francess kembali ke dapur untuk membereskan sedikit pekerjaannya.
Sudah hampir dua jam, Kathryn termenung di pinggir jendela dan Lord Edric tidak menunjukan tanda-tanda akan kembali ke rumah. Ia merasa sangat mengantuk lalu memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Kathryn menaiki tangga dengan sangat pelan kemudian menyusuri lorong panjang menuju kamarnya.
Ketika berada di lorong yang dibatasi pintu kaca, terlihat kepulan berwarna hitam. Kathryn mengerjapkan matanya, takut bila ia terbawa ilusi karena terlalu mengantuk. Seharusnya dia belok ke arah kiri untuk menuju ke kamarnya, tetapi kakinya malah membawanya ke arah sebalik—mendekati kepulan hitam itu.
Untuk seperdetik kemudian, Kathryn mendapati sosok wanita berambut panjang tergerai dengan menggunakan gaun tidur muncul di hadapannya. Sosok wanita itu mulai bergerak ke depan dalam kondisi terduduk—menyeret tubuhnya sendiri. Satu tangan wanita itu memegangi bagian perut dan satu tangan yang lain berusaha menggapai sekelilingnya. Terlihat jelas kucuran darah mengalir dari perutnya dan terdapat luka menganga di telapak tangan kanannya. Sosoknya yang gelap pun mendongak, memperlihatkan wajah lebam. Ada bekas sayatan benda tajam di sana. Darah pun mengucur dari rongga matanya—yang bola matanya sudah hilang. "T-tolong a-aku...s-sakit," ucapnya hampir tak bersuara sembari memegangi perutnya.
Sosok itu kemudian menundukkan wajah, menyembunyikannya dibalik rambut panjangnya seolah malu menampakkan keburukannya.
Kathryn mengambil selangkah ke depan dan jemarinya mulai tergerak membuka pintu kaca yang membatasi. "K-kau siapa?" tanyanya sambil hendak menundukkan badan agar posisinya sejajar dengan sosok wanita itu. Namun, sebuah lengan kokoh menahan Kathryn hingga membuatnya menolehkan kepala. "My Lord?"
"Kenapa kau belum tidur?"
"Dia kesakitan,"
Lord Edric menaikkan satu alisnya, masih dengan setengah memeluk Kathryn.
"Wanita itu...dia kesakitan...pe-perutnya berdarah."
"Jangan mengatakan lebih dari itu," sela Lord Edric sambil membimbing Kathryn ke kamar mereka dengan setengah memaksa. Pasalnya istrinya itu tetap kekeh menunjukkan keberadaan sosok wanita tadi yang kini telah menghilang. "Simpan rasa penasaranmu. Sekarang kita istirahat. Aku sangat lelah."
Kathryn ingin mengutarakan banyak pertanyaan dalam pikirannya. Namun, dia menyadari Lord Edric terlihat sangat letih. Masih ada hari esok! Dia akan menanyakannya kepada pria itu.
***
To Be Continue
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top