03 | Parents Meeting

“Jadi lu sebenernya bukan anak kandungnya Om Mees?!”

Kareela tidak akan menyalahkan Ganesha yang mungkin setelah ini akan semakin memandangnya buruk. Tapi sayangnya, Kareela tidak bisa membiarkan mulut pemuda itu ember ke mana-mana. Sebab sudah menjadi keputusan antara dirinya dan Om Mandra, kalau mereka secara hukum tertulis adalah ayah-anak biologis. Selain untuk menghilangkan jejaknya dari musuh ayahnya yang bejibun, juga sekaligus untuk melindungi gadis itu dari ancaman orang-orang underground maupun pemerintah yang mengincarnya.

Meski dalam diri Kareela dia sedikit tidak rela menghapus jejak ibu dan ayahnya, tapi hanya ini satu-satunya cara dia untuk bertahan hidup. Entah bagaimana caranya dia bisa membalas kebaikan yang pria itu berikan padanya.

“Secara hukum aku anaknya Papa, tapi secara biologis aku memang bukan anaknya. Aku punya ayah, aku juga punya ibu. Tapi mereka sudah meninggal.” Kareela menatap pemuda itu, memberikan sinyal jika dia tidak takut dengannya.

“Dan lu dengan entengnya mengaku-ngaku kalau lu bagian dari Sombaya?”

Kareela memutar bola matanya jengah. “Gue gak pernah bilang begitu. Gue datang ke keluarga Sombaya atas kehendak Papa!” Persetan tata kerama. Dia tidak lagi menggunakan bahasa formal padanya.

Ganesha menaikkan salah satu aslinya. Cukup terkejut dengan gadis itu yang tiba-tiba mengubah gaya bahasanya. “Oh ya? Lalu apa? Tetap saja lu bakal ada niatan buat menguasai Neoptolemus setelahnya, kan?”

Pergerakan Kareela yang tengah memasukkan kunci rumah terhenti. Dia menoleh ke arahnya dengan alis bertaut. “Sori. Gue gak tertarik!”

Pemuda itu berdecak, lantas menahan tangan gadis itu, mencengkram pergelangan tangganya erat-erat, seakan-akan tengah mengancamnya. “Gue gak akan biarin lu memanfaatkan posisi Om Mees sebagai ayah lu, Ella!”

“Lepas!” Kareela menarik tangannya, dan menatap galak pemuda itu. “Gue udah bilang, gue gak tertarik!”

“...”

“Dan tolong lu jangan sok tau! Hubungan gue dan Papa itu kompleks. Lu gak akan paham!” Setelah Kareela mengatakan hal tersebut, pintu akhirnya terbuka.

Tiba-tiba suasana tegang di antara mereka hilang sejenak. Kareela seketika lupa akan kehadiran Ganesha, sebab atensinya langsung tertuju pada ruang tamu, yang di mana terdapat sebuah lukisan besar seorang kolonel TNI Angkatan Darat di salah satu dinding. Kareela menahan napas, dirinya perlahan masuk ke dalam dengan ragu serta rasa penasaran yang begitu besar.

Ada sesuatu yang tersimpan di rumah lama ini. Terlihat jelas dari foto-foto yang terpajang di sana. Kareela seperti masuk ke dunia lain yang di dalamnya begitu banyak kenangan. Kenangan indah milik ayahnya yang tidak pernah pria itu ceritakan padanya, bahkan sampai akhir hayatnya pun tidak satupun informasi yang pria itu tinggalkan selain nama dan juga alamat.

Ganesha terdiam di ambang pintu. Melihat punggung Kareela yang masuk dengan langkah pelan. Gadis itu seperti meneliti setiap inci yang ada di ruangan tersebut. Langkahnya kemudian berhenti pada sebuah figura foto di atas meja. Tangannya—dengan sedikit bergetar—terangkat, mengambil benda tersebut yang sudah sedikit berdebu. Itu hanya foto seorang wanita kaukasian berambut pirang bersama anak laki-laki berusia sekitar 5 tahun yang dia tebak adalah ayahnya waktu kecil.

Atensinya tak lama teralihkan pada figura foto lainnya. Seorang pemuda yang terlihat sangat familiar, mengenakan jersey sepak bola, dan tersenyum manis pada kamera. Senyumnya masih terlihat sama persis meski pria itu sudah nyaris menyentuh kepala 4 saat terakhir kali Kareela bertemu. Lagi-lagi foto itu adalah Ayah waktu semasa muda dulu.

Ya Tuhan. Kenapa tubuhnya mendadak terasa berat? Kareela menaruh benda tersebut kembali ke tempatnya semula. Alih-alih dia menunduk. Kaki hingga ke sekujur punggung terasa lemas, dadanya terasa sesak. Kalau saja dia tidak berpegangan pada meja, mungkin dia akan terjatuh di detik berikutnya.

Air mata tak lama lolos. Tenggorokannya terasa tercekat. Dia mau merintih kesakitan, dia mau berteriak melolong karena semua kenangan ini hanya sekedar kenangan semata yang sudah hilang bersama pria itu yang tidak akan pernah kembali ke pelukannya.

Kareela rindu Ayah.

Kareela juga rindu Ibu.

Semua semakin buruk ketika Om Mandra belum kunjung kembali dari Moroko.

Gadis itu khawatir. Gadis itu takut. Dia trauma dengan yang namanya kehilangan. Sekarang di dunia ini dia hanya memiliki Om Mandra. Meski ini terdengar begitu kejam, di mana Kareela bukanlah siapa-siapanya pria itu, tapi hanya dialah tempat Kareela pulang.

“Ella?”

Ganesha yang sadar kalau gadis itu menangis, seketika langsung menekan egonya. Dia masuk ke dalam, menghampirinya dan mengecek keadaannya. Tangannya yang refleks terangkat hendak menyentuh bahunya, tiba-tiba berhenti. Batal. Dia ragu untuk menyentuh gadis itu.

Tapi mendengar suara tangisnya, yang entah kenapa itu terdengar begitu menyakitkan, membuat pemuda itu tergerak dan mengelus pelan kepalanya. Menarik tangannya dan menuntunnya untuk duduk di sofa.

Tiba-tiba saja, Ganesha jadi merasa sedikit bersalah atas ucapannya barusan.

* * *

“Tolong ya, Kak. Rahasiain dulu semuanya.”

Itu adalah kalimat yang Kareela lontarkan saat mobil Ganesha sampai di pekarangan lobi gedung apartemen. Gadis itu mendekap kotak kayu pemberian Pak Septian, dengan mata yang tertuju pada roknya.

“Yang mana? Lu yang tiba-tiba nyogok gue buat nganter lu ke Depok? Atau rahasia yang ternyata lu bukan anak kandungnya Om Mees?”

“Semuanya.” Kareela meneguk ludahnya. “Cepat atau lambat, semuanya pasti akan tahu, kalau aku bukan siapa-siapa. Tapi khusus yang pertama, tolong jangan bilang ke siapapun kalau aku pergi ke Depok. Biar aku aja yang ngomong langsung ke Papa.”

Ganesha mendengkus, membuka kunci mobil setelahnya. “Lu tahu? Lu gak pantes manggil Om Mees dengan sebutan itu. Dia bukan bokap lu. Selamanya dia gak akan pernah bisa jadi bokap lu.”

“...”

“Andai suatu saat keluarga besar tahu, mereka juga gak akan pernah menerima lu sebagai bagian dari mereka. Lu hanya orang luar, dan selamanya akan tetap begitu.”

Kareela tidak mau menjawab. Memilih untuk melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Bahkan dia tidak sempat mengucapkan terima kasih, karena susah kepalang sakit hati.

Dia sudah bilang kan? Dia tidak suka dengan Ganesha. Sikap dan perkataannya sering membuatnya tersinggung, merasa bersalah, sakit hati, dan masih banyak lagi. Apa lagi barusan, itu adalah salah satu kalimat jahat yang pernah dia dengar. Kalau saja Ayah masih ada, mungkin pria itu akan menghajar Ganesha sampai babak belur, kemudian memeluknya, menenangkannya dan mengucapkan kalimat kalau dia benar-benar menyayanginya.

Sial. Sudah cukup gadis itu menangis hari ini. Dia tidak ingin menangis untuk yang ketiga kalinya dalam kurun waktu kurang dari 24 jam.

Lima menit kemudian, dia berhasil sampai di unitnya. Mbak Santi hanya akan datang di pagi hari, menyiapkan masakan untuknya sarapan dan makan malam nanti, dan begitu seterusnya hingga nanti Om Mandra pulang. Gadis itu langsung masuk ke kamarnya, bersih-bersih, dan menyantap makan malamnya dalam diam. Dilihat notifikasi ponselnya yang hanya ada notif dari grup kelas, dan juga beberapa teman-temannya yang bertanya tentang contekan untuk tugas matematika besok.

Gadis itu mendengkus. Menaruh piring bekasnya di sink dapur, lalu memilih untuk tidur lebih awal. Dia malas mengerjakan PR. Lebih baik dia mengerjakannya di sekolah ssmbari melihat punya Siti, si anak rajin di kelas.

Kalau saja ada Om Mandra, pasti pria itu akan menanyakan; “Ada PR, gak?”, bahkan tak jarang dia menemaninya mengerjakan PR di ruang tengah, atau sesekali membantunya jika ada pelajaran yang tidak dia pahami. Seperti; PPKN, Bahasa Sunda atau pelajaran lainnya.

Drrt drrt drrt!

Panjang umur. Tiba-tiba saja ada pesan masuk dari Om Mandra.

Papa🤙
|Om pulang hari ini.
|Kamu mau Om bawain apa?

|Gak usah Om.
|Yang penting Om pulang.

|Oke, Om bakal pulang kok.
|Kamu udah makan?
|Ada PR gak?

Kareela terdiam. Dia menatap layar ponselnya cukup lama, meneguk ludahnya sejenak, sebelum akhirnya mengetik balasan.

|Udah makan kok.
|Gak ada PR.

|Yaudah, istirahat ya.
|Pasang alarm-nya. Jangan sampe telat bangun.

|Oke, Om.

Gadis itu cepat-cepat menutup ponselnya. Dia menaruh asal benda pipih tersebut di samping bantal, menarik guling dan memeluknya sembari menatap ke arah meja belajar. Ada banyak tumpukan buku dan beberapa barang yang berserakan di sana. Laptop, tab, dan bahkan botol minum—semua tercampur di atas meja. Salah satu keburukannya yang malas menaruh dan membetulkan kembali barang-barang yang sudah dia pakai. Beruntung Om Mandra tidak terlalu notice, meski terkadang pria itu suka kesal karena gadis itu sering mengoleksi piring, mangkuk serta gelas kotor di kamarnya.

Tatapan Kareela tiba-tiba tertuju pada kotak kayu yang tergeletak di lantai samping meja belajar. Gadis itu terdiam, menatap benda tersebut lamat-lamat. Di dalamnya ada banyak sekali surat yang beralamatkan kota Groningen, Belanda. Rasa penasaran Kareela tiba-tiba mencuat. Gadis itu menyingkirkan gulingnya, turun dari ranjang dan menyalakan lampu.

Dia berjongkok, membuka kotak tersebut dan mengambil tumpukkan surat, lalu membawanya ke atas ranjang. Surat itu sudah kusam, dia teringat dengan perkataan Pak Septian yang bilang kalau surat-surat tersebut dikirim terakhir kali di tahun 2015. Tepatnya di bulan Januari. Itu sudah lama sekali. Nyaris 10 tahun yang lalu.

Surat pertama yang Kareela buka adalah surat yang dikirim di tahun 2009. Masih dengan alamat yang sama, Groningen.

Ditulis menggunakan bahasa Belanda. Dan sialnya Kareela tidak mengerti bahasa tersebut, alhasil dia menggunakan Google photo untuk men-translate-kan tulisan di kertas itu.

‘Ya Tuhan! Itu benar-benar kabar yang baik!

Mama menitipkan salam untukmu dan juga istrimu. Di mana kalian tinggal sekarang, heh? Kenapa suratku sebelumnya lama sekali kau balas? Kau tidak melupakan sepupumu ini, kan?

Tapi ayolah, Shiloh! Zaman sudah semakin maju. Kenapa kita tidak gunakan email, SMS, atau kita bisa berteman saja di Facebook? Orang-orang sekarang pasti punya itu! Jangan bilang kau ini masih sangat old fashion!?

Ngomong-ngomong, kami semua merindukanmu. Kami masih berharap kau mau memikirkan tawaran kami untuk tinggal di sini. Di Groningen. Kau tahu, kita akan tetap menerimamu, Kakek pasti akan mengerti. Aku jamin itu!

Lagipula kau sendirian di sana, tidak ada sanak keluarga. Lebih baik kau pulang, bawa istrimu dan hidup lebih baik di sini!

Balas suratku secepatnya, bodoh! Kuberi kau nomor ponselku! Hubungi aku! Mama sangat sangat sangat SANGAT merindukanmu!

+31xxxxxx5

Sincerely, William.’

* * *

Punggungnya sakit sekali. Demi Tuhan! Dia butuh kasur Palembang sekarang, lalu meminta Kareela menginjak-injak punggungnya yang nantinya akan dia beri tip 20 ribu buat beli es krim di minimarket lantai dasar gedung apartemennya.

Ah, ngomong-ngomong soal gadis itu, Mees merindukannya. Ternyata, menjadi bapak rumah tangga lebih enak dibandingkan harus menjadi bos mafia yang pusing memikirkan banyak hal. Apakah Mees perlu pensiun dini saja? Dan gantung sepatu dari dunia shadow economy, lalu alih-alih sibuk mengurus anak sembari menikmati kekayaannya di mana-mana? Itu terdengar menarik. Tapi dia yakin tak lama setelahnya dirinya akan diseret dan digantung oleh Thomas serta jajaran petinggi di Neoptolemus karena meninggalkan tanggungjawab yang baru saja berjalan seumur jagung.

Ah, menyebalkan.

Mees menguap. Pria itu bahkan tidak menutup mulutnya, membiarkan mulutnya terbuka lebar, bahkan sedikit mengerang karena merasa lelah bercampur kantuk akibat penerbangan 15 jam lamanya.

Dua orang yang duduk di sebelahnya seketika langsung merasa ilfeel. Ada seorang bapak-bapak berseragam polisi, serta ibu-ibu bergamis motif bunga-bunga, lengkap dengan kerudung senada yang membuat Mees bingung mana taplak meja, dan mana orangnya. Haha, lucu! Akibat jam tidurnya yang rusak, humor Mees jadi kacau.

Ingatkan dia setelah ini—setelah rapat ini berakhir—dia mau tidur 15 jam tanpa diganggu. Ingatkan itu!

Kalau ada yang ganggu, dia tembak. Bodo amat!

“Brrrrr!”

Lagi, Mees menguap. Kali ini bukan hanya mangap lebar dan mengerang, tapi sampai geleng-geleng kepala hingga mengeluarkan bunyi bibir bergetar.

Karena aksinya barusan, beberapa orang menoleh. Orang tua murid, bahkan beberapa guru menaruh atensinya padanya. Penampilan Mees pun cukup menarik perhatian. Di saat orang tua murid (khususnya laki-laki) di aula tersebut mengenakan pakaian formal, berkerah, celana bahan, dan rambut disisir rapih. Pria itu malah berpakaian serampangan, dan semaunya. Jeans hitam, kaus putih lengan pendek (yang memperlihatkan tatonya), serta rambut acak-acakan yang tidak sempat dia sisir.

Meski Mees niat datang, walau berujung mengantuk. Tapi dia sebelumnya sudah ada rencana akan menggunakan kemeja. Tapi Justin dengan bodohnya main masukkan kemeja hitamnya ke koper dan membawanya kembali ke apartemennya selepas mereka turun dari pesawat. Mees tidak punya pilihan. Dari pada tidak sama sekali, lebih baik dia bablas saja datang ke sekolahan untuk menghadiri rapat orang tua kelas 10, sekaligus pembagian rapot sementara di pertengahan semester.

Mees tidak peduli penjelasan mengenai jurusan IPA, IPS, atau Bahasa, dengan memilih mata pelajaran pilihan di setiap jurusan. Belum lagi penjelasan mengenai P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila).

Buset, kata gue!

Mees yang tadinya mengantuk langsung melek ketika guru mulai menjelaskan tentang kurikulum aneh tersebut. Profil Pancasila? Gak sekalian aja jadi Pemuda Pancasila? Biar nanti loreng-loreng!

Ternyata benar kata Thomas, kurikulum anak zaman sekarang emang makin aneh! Pinter kagak, goblok iya!

Tahu begitu, dia sekolahkan Kareela di sekolah internasional saja dari awal!

Rapat berlangsung hampir sejam lamanya. Setelahnya, para orang tua di arahkan ke kelas masing-masing untuk pembagian rapot. Mees tidak sengaja bertemu Sania bersama ayahnya. Ayahnya itu berkepala plontos dengan tubuh yang tinggi besar. Pria itu melempar senyum ketika putrinya menyapanya, dan salim.

“Pah, ini Papanya Ella. Temen aku yang mirip Noni Belanda itu!” jelas Sania pada ayahnya.

“Oh! Ini Papanya?” Pria itu cukup kaget. Mungkin karena melihat penampilannya yang terlihat preman banget. Tapi alih-alih pria plontos tersebut mengulurkan tangannya. “Goedemorgen, Meneer! Kenalin, saya Irfan. Papanya Sania.”

Mees tahu, Sania berasal dari keluarga yang baik-baik. Kebetulan pria itu sudah melakukan background check terhadap teman-temannya Kareela, dan ketiga teman dekatnya (Sania, Silvi, dan Kevin) sejauh ini memiliki latar belakang yang bersih. Aman untuk dijadikan teman.

Alhasil untuk menghargai, Mees menyambut tangan Pak Irfan. Melupakan kata sapaannya barusan yang salah. Sekarang ini sudah siang, bahkan menjelang sore. Bukan pagi. “Panggil Mees aja, Pak Irfan. Saya orang Manado.”

Pak Irfan sedikit heboh. “Wah! Nyong Meneer berarti!”

Oke. Mees cukup speechless. Dia yang biasa dipanggil Bos atau Tuan, tiba-tiba ada orang asing yang tidak tahu datang dari mana, memanggilnya ‘Nyong Meener.

Keterlaluan!

Untungnya, pria aneh itu ayahnya Sania. Dia masih bisa menahan diri untuk tidak menonjok wajahnya. Alih-alih tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang rapi.

“Oh iya. Arabella mana, ya Sania? Kamu lihat?”

Sania celingukan, mencari temannya. “Itu, Om!” tunjuknya. “Ella!! Bokap lu ini!” teriaknya memanggil temannya.

Kareela yang sedang mengobrol sama Kevin—mendengar curhatan remaja tersebut yang cerita sehabis kehilangan motor akibat kena hipnotis—langsung menoleh. Matanya melebar ketika mendapati sosok Mees di sana, melempar senyum dan melambaikan tangan padanya.

Sejenak, dia melupakan Kevin. Dia langsung berlari menghampiri pria itu, dan menghambur ke dalam pelukannya. Mees terkekeh, mengusap kepalanya dan mengecup pucuk kepalanya singkat.

“Papa beneran dateng?!”

Mees tersenyum. “Dateng, lah! Masa enggak?”

Kareela ikut tersenyum. Akhirnya penantiannya berakhir dengan mulus. Pria itu akhirnya pulang, bahkan sulit dipercaya dia mau repot-repot datang ke sini, menghadiri rapat orang tua serta mengambil rapot tengah semesternya. Kareela terharu. Padahal jelas akan sangat melelahkan mengingat penerbangan bisa saja memakan waktu 15 jam lamanya.

“Makasih ya, Pa.”

Anytime, Baby Girl. Anytime.”

* * *

Seperti yang Mees bilang, dia mau tidur selama 15 jam. Minimal sampai pagi besok, sebelum akhirnya dia harus kembali beraktivitas sebagai single parents yang baik dan budiman. Semoga saja telur dan sosis masih ada di kulkas, sehingga dia tidak perlu repot-repot untuk memasak sarapan di besok pagi.

Dia juga sudah bilang ke Kareela buat tidak membangunkannya. Sebagai gantinya dia mentransfer 300 ribu ke Dana-nya untuk memesan makan malam atau jajan di kafetaria atau restoran yang ada di lantai dasar.

Kareela pun juga cukup mengerti kalau Om-nya butuh istirahat. Terlihat jelas di wajahnya jika pria itu kurang tidur. Gadis itu langsung memesan makan malam di aplikasi hijau. Tak butuh waktu lama, makanan pun sampai. Dia makan di ruang tamu sembari menonton Avatar: The Legend of Ang versi animasinya.

Saat sedang asik menonton dan menyendoki makanannya, gadis itu tersentak kala mendengar suara ponselnya yang berdering. Saat dicek, rupanya itu telepon dari Opa Jhonson. Cukup kaget Kareela dibuatnya, hingga nyaris tersedak kalau saja dia tidak buru-buru menenggak air putih di botol minumnya.

Gadis itu berdeham, membersihkan tenggorokannya sejenak, sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut.

Ini aneh. Opa Jhonson biasanya hanya suka mengirim pesan sekedar menanyakan kabarnya dan juga kabar Om-nya. Karena kata Opa Jhonson, cucu laki-laki yang satu itu sok ngartis! Susah sekali dihubungi.

“Halo, Opa—”

“Mana Papa ngana?!”

Suara Opa Jhonson terdengar sangat keras sekali. Kakek buyutnya itu kentara sedang marah, dan akhirnya tidak sengaja melampiaskan kekesalannya di telepon.

“Pa—Papa lagi tidur, Opa—”

“Bango dia! Opa mo ngomong!”

Kareela seketika langsung berdiri, berlari cepat menuju kamar Om Mandra. Bahkan dia nyaris terjatuh karena tersandung pada karpet. Tanpa menunggu atau mengetuk pintu, gadis itu main masuk saja ke dalam kamar.

“Sebentar Opa!” kata Kareela. Gadis itu langsung melompat ke pinggir ranjang, mengguncang-guncang tubuh Mees yang sedang tertidur dengan posisi tengkurap. “Papa! Bangun Pa! Opa Jhonson nelepon!”

“Hm.”

“Papa! Bangun dulu! Ini Opa Jhonson nelpon!” kali ini Kareela menepuk punggung telanjang pria itu, berharap dia segera bangun dan tidak membiarkan pria tua yang merupakan kakeknya itu menunggu lebih lama di telepon.

“Woy, bango! Mo mati ngana, bodok?!” Suara Opa Jhonson terdengar begitu keras. Seketika Mees langsung melek, melotot seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk.

Sedetik kemudian dia berbalik, bangkit duduk, dan menoleh ke arah Kareela yang juga menatapnya horor. Gadis itu langsung menyodorkan ponselnya. Mees meneguk ludahnya susah payah, mengambil alih benda tersebut dan mendekatkannya di telinga.

“Ha—halo Opa?”

Dari mana jo ngana! Ade ngana so kaweng, ngana nyanda datang! Ponakan ngana lahir, ngana pe nyanda datang! Lama-lama kita buang ngana pa laut!”

Suara Opa Jhonson terdengar begitu keras, bahkan sampai terdengar di telinga Kareela yang masih duduk di pinggir ranjang.

Mees gelagapan. Dalam 2 minggu ini, dia memang absen dari acara keluarga tersebut. Dia masih sibuk mengurus masalah di Moroko. Jangankan keluarga utama, anaknya saja dia tinggal!

“O—Opa, Mees sibuk ngurus—”

“Kerja boleh nanti! Keluarga itu yang paling utama! Anak ngana itu, sering-sering jo bawa pulang ke Manado supaya dia cepat dekat deng ngoni pe sepupu-sepupu!” potong Opa Jhonson. Mees mengusap wajahnya kasar. Telinganya mendadak panas karena mendengar teriakan pria tua itu.

“I—iya, Opa. Mees—”

“Jang cuma iya iya jo, bodok! Ngana cuma bisa bikin anak, tapi nyanda bisa urus!”

Mees meringis. Kareela juga meringis. “Sumpah, Opa! Mees beneran selama dua minggu kemarin ada urusan penting di Moroko!”

“Jang kong, ngana! Emangnya Opa nyanda tau kalau ngana pacaran di sana, hah?!”

Baiklah. Mees menyerah.

“Besok torang semua kumpul di rumah. Semua wajib datang! Awas kalau ngoni nyanda datang!”

“Tapi Opa—”

Tuutt!

Kalau Opa sudah memerintah, maka tidak ada yang bisa membantah. Sambungan telepon pun berakhir. Dengan gerakan yang lemas, Mees memberikan ponsel tersebut kembali pada Kareela. Rasa kantuknya tiba-tiba lenyap tak bersisa. Sepertinya setelah ini dia akan sulit untuk tidur kembali.

“Ela, beliin Om kopi sana. Yang kayak biasa. Dua shot Americano. Sama rokok Marlboro Black.” Pria itu menyibak selimutnya. Berdiri untuk mengambil dompet, dan mencabut salah satu kartu ATM.

“Nanti kalau kasirnya nanya KTP gimana, Om? Aku kan masih di bawah umur buat beli rokok!” tanya gadis itu. Sebab minimarket di lantai dasar sedikit strict soal umur pembeli.

“Bilang aja buat Papa gitu! Buat Bapak Mees. Kenal kok mereka!”

Kareela mengerucutkan bibirnya, akhirnya meraih kartu ATM tersebut dan melaksanakan perintah Papa angkatnya tersebut.

* * *

Note:

Penjelasan dikit, yang tahu tentang siapa Kareela itu terbatas. Cuma Trio JIR (Justin-Ivar-Rizky), karena dia ada di tragedi Nivartana dan rumah sakit di Singapore. Even Thomas hingga keluarga Sombaya pun gak tahu apapun. Taunya Kareela anak ketemu gede, akibat kelalaian buang benih sembarang.

Ela yang meski punya darah Minang-Maluku-Belanda tapi besar di Jakarta harus berjuang di tengah-tengah orang Minahasa bess.

Btw, ada pembaca Jellyfish? Soalnya Sania dan Pak Irfan itu dari universe sebelah. Wkwkw. Walau ada sedikit perbedaan. Hehehe.

Terima kasih sudah membaca, jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top