02 | Looking For Some Memories

DOR!

Mees tahu, tidak seharusnya dia merasa puas di saat kondisi mereka masih berwaspada. Tembakkan tersebut terdengar begitu dekat. Belum sempat bagi pria itu untuk menoleh, moncong pistol lebih dulu menyentuh belakang kepalanya, mengunci pergerakannya secara tiba-tiba.

“Bos!” Rizky memanggilnya. Dilihat melalui mata faset, pria itu terjatuh di lantai sembari menyentuh bahunya yang tertembak.

“Apa yang terjadi, Bos!” Suara Ragnar terdengar dari alat komunikasi.

Mees tidak menjawab, alih-alih dia malah mengepalkan tangannya, dengan rahang yang mengeras. “Dimas ... Kisah lu yang bilang butuh biaya pengobatan anak lu yang kena kanker itu buat gue tersentuh, dan akhirnya gue memutuskan buat bantu lu dengan mengajak bergabung ke Neoptolemus.” Mees tersenyum miring. “Dan ini balasan yang gue dapet?”

Dimas mengeratkan pegangannya pada pistol yang dia pegang. “Lu bilang, dunia terlalu kejam untuk seseorang yang lemah. Dan gue membutuhkan sesuatu yang lebih besar.”

“Siapa, hah? Anggat? Kalingga? Solomon?” Mees terdiam sejenak, kemudian terkekeh sarkas. “Shit. That damn Malaka?”

Dimas meneguk ludahnya susah payah. “Kankernya menyebar sampai ke jantung. Butuh biaya yang fantastis untuk melakukan penanganan di rumah sakit ternama di Hongkong. Tapi mereka menawarkan hal itu secara percuma. Gue gak punya pilihan.”

Mees berdecak. Dia benci pengkhianat. Dan agaknya, tidak ada yang tidak benci dengan pengkhianat. Alhasil Mees mengambil langkah dengan gerakan yang super cepat. Dia berbalik, menangkis tangan Dimas, dan mengambil alih pistol di tangannya dengan mudah.

Dua tembakan dia lancarkan tak kalah cepat, tepat ke arah kakinya. Dimas terjatuh, mengerang kesakitan. Tapi sayangnya Mees tidak peduli. Pria itu mendekat, berjongkok dengan tangan yang masih memegang pistol. “Lu mau tau sesuatu?” tanyanya.

Tapi sayangnya, Dimas terlalu fokus pada kedua kakinya yang tertembak.

“Seharusnya lu gak perlu tembak Rizky buat bunuh gue. Seharusnya, lu langsung aja tembak gue detik itu juga. Dan lagi—” Mees sengaja menjeda kalimatnya sejenak. ”Lu takut. Lu gak cukup berani buat menekan pelatuknya.”

“...”

Mees mengangkat tangannya, mengarahkan pistol tersebut pada daun telinga Dimas, dan—

DOR!

Peluru itu menembus, merobek, dan melukai daun telinga Dimas. Tidak memberikan waktu bagi orang itu untuk berteriak, Mees lebih dulu menghantam pelipisnya dengan moncong pistol hingga membuatnya terlentang tak sadarkan diri.

“Tch!” Mees memasukkan asal pistol tersebut ke dalam sakunya. Kemudian bangkit dan menekan tombol di alat komunikasi di telinga. “Kirim beberapa orang buat naik ke atas! Ada yang berbelot!”

Baik Ragnar, Sandy, maupun Justin cukup terkejut. Tapi siapa pun juga tahu, tidak ada waktu untuk itu. Alhasil mereka menyuruh 5 orang untuk menyusul, salah satunya Ragnar. Mereka dengan cekatan dapat membaca situasi, menolong Rizky untuk turun ke bawah, serta tak lupa membopong tubuh Dimas.

Tidak mau membuang banyak waktu, Mees segera menyelesaikan urusannya. Mengambil koper kecil tersebut, dan menutup petinya seperti sedia kala. Mereka harus segera meninggalkan pelabuhan, sebelum orang-orang El Fassi datang dalam jumlah yang banyak. Siapa tahu, mungkin saja kabar ini sudah terdengar sampai ke telinga El Fassi. Pasti pria tua berjenggot tebal itu tidak akan tinggal diam, ketika barang berharganya—yang hanya ada satu di dunia—itu dicuri begitu saja oleh kelompok kecil macam Neoptolemus.

“Barang aman, suruh semuanya mundur, pergi ke kapal!”

Itu adalah perintah terakhir Mees kepada anak buahnya, sebelum akhirnya pria itu melompat turun dari kontainer dan berlari bergabung dengan tim Charlie yang menuntunnya ke kapal.

Butuh waktu 10 menit bagi semua orang sampai di kapal. Tidak ada yang tewas, hanya ada beberapa mendapatkan luka kecil, serta satu orang yang berbelot. Mees memberikan koper tersebut pada Justin, memintanya untuk mengamankannya hingga mereka sampai ke dermaga dekat pusat kota.

“Bos, si Dimas mau lu apain?” Sandy tiba-tiba muncul, ujung matanya mengarah pada Dimas yang tangan dan kakinya sudah diborgol.

Mees menghela napas. Dia masih merasa kecewa. Beruntung dia masih hidup. Tidak bisa pria itu bayangkan bagaimana jika tadi Dimas cukup berani menekan pelatuk, dan peluru itu menembus kepalanya. “Bawa dia hidup-hidup ke markas. Mau gue apain, itu masih gue pikirin.”

Sandy mengangguk. Mees melepas sarung tangan satunya lagi yang masih dia kenakan. Menaruh senapan laras panjangnya, dan menatap pelabuhan Tangier Med yang terlihat semakin menjauh.

Justin tiba-tiba kembali menghampirinya, tiba-tiba menyodorkan ponselnya, lalu berkata; “Bos, ada telepon dari Ela. Dia nanyain lu, Bos.”

Mees refleks menoleh ke arah layar ponsel tersebut. Mendapati panggilan telah terhubung selama 2 menit di layarnya. Tanpa berpikir panjang, pria itu langsung meraih benda pipih tersebut, dan berjalan menjauh menuju buritan.

Mees mengatur napasnya sejenak. Sebenarnya, dia belum siap mendengar suara anak perempuannya itu. Tapi si sisi lain, Mees mulai merindukannya. “Halo, Ela?”

“...”

Selama 2 minggu terakhir ini mereka hanya berkomunikasi via chat. Mees pun cukup khawatir meninggalkannya. Tapi Mees juga tahu, rasa khawatir yang berlebih hanya akan mengacaukan segalanya. Lagipun, dia sangat percaya pada Santi yang bisa menjaga gadis itu selama Mees tidak ada.“Maaf, tadi teleponnya Om reject. Om masih sibuk, masih ada urusan penting.”

Cukup lama terdengar balasan dari ujung sana. “Oh ... Maaf, Om. Aku gak maksud buat ngeganggu Om tadi.”

Mees tersenyum. “Enggak apa-apa, Ela. Sekarang udah gak sibuk, kok. Kenapa? Semuanya baik-baik aja, kan?”

Lagi, terdengar hening selama beberapa detik. Mees yang menunggu, tiba-tiba jadi merasa sedikit khawatir.

“Ela? Kamu kenapa?”

Terdengar suara gadis itu yang sedang mengatur napas, serta sedikit suara tarikan ingus kecil di hidung—seperti seseorang yang sehabis menangis. Mees melihat jam tangannya, pukul 3 dini hari waktu Moroko. Artinya di sana sudah pukul 9 pagi. Seharusnya gadis itu sudah ada di sekolah.

“Enggak apa-apa, kok.”

“Beneran, kamu gak apa-apa?” tanya Mees sekali lagi. Pria itu mengusap dagunya gusar. Rasanya kalau jarak Moroko ke Bogor sedekat stasiun Sudirman dan BNI City, dia sudah melesat menghampiri gadis itu sekarang juga.

“Aku gak apa-apa kok, Om. Aku cuma ... Hiks—” Kalimat gadis itu tersendat. Tanpa pernah disangka, dia menangis.

Mees menahan napas, tiba-tiba saja rasa bersalah mencekik lehernya. Seharusnya operasi rahasia pencurian software tersebut berjalan tidak molor sampai 2 minggu lamanya. Pria itu seharusnya sadar, kalau dia punya tanggung jawab lainnya yang lebih penting selain sindikat ilegal miliknya itu.

“Ela, Om—”

“Om kapan pulang?” Kareela memotong kalimat Mees barusan. Suaranya terdengar serak, begitu lirih, dan sedikit menggema. Sepertinya dia sedang berada di kamar mandi.

Lidah Mees seketika terasa kelu. Pria itu meneguk ludahnya, memaksanya agar sebisa mungkin untuk mengeluarkan suara. “Sebentar lagi, Ela. Sebentar lagi Om pulang. Om kan, udah janji bakal dateng ke sekolah kamu buat rapat. Inget?” Mees mengulum bibirnya sejenak. “Ela jangan nangis ya, Om jadi khawatir.”

Di ujung sana Kareela mencoba untuk kembali mengatur napasnya. “Aku ... Aku cuma kangen sama Om.”

* * *

Tidak ada yang tidak suka sama yang namanya jam kosong. Entah ada halangan apa? Guru sejarah tiba-tiba absen karena ada acara dinas di SMA tetangga bersama beberapa guru lainnya. Hal tersebut yang membuat suasana kelas 10-10 itu terlihat begitu amat santai. Ada yang sibuk bermain game di pojok belakang, ada yang memilih tidur, bahkan ada pula yang makan. Tapi ajaibnya, ada juga beberapa murid yang bijak menggunakan jam kosong dengan mengerjakan tugas yang sudah tertulis di papan tulis.

Kerjakan tugas di halaman 45 dan 57. Dikumpulkan!

Bukannya sok rajin, atau bagaimana, Kareela sendiri memilih untuk mengerjakan tugas saja setelah kembali dari kamar mandi beberapa menit yang lalu. Wajahnya sedikit sembab karena sehabis menangis, tapi beruntung tidak ada yang menyadari. Dilihat Sania dan Silva masih tertidur. Kevin pun sibuk bermain Mobile Legend bersama anak laki-laki lainnya di pojokan. Suaranya paling heboh, menggelar (sedikit cempreng) sampai terdengar ke luar kelas. Tipikal cowok yang nyaris jadi boti namun masih bisa diselamatkan.

Kareela mengusap matanya sebentar sebelum akhirnya mulai menulis. Tak lupa dirinya membuka browser di ponselnya. Setidaknya, mengerjakan tugas bisa mendistraksi pikirannya setelah mendapatkan mimpi buruk.

Benar. Kareela pergi ke kamar mandi untuk menangis dan menelepon seseorang lantaran terbangun mendadak dari tidurnya di meja karena bermimpi melihat Ayah. Pikirannya langsung ke mana-mana, terutama pada sosok Om Mandra yang katanya sedang ada urusan pekerjaan di Moroko. Sudah 2 minggu pria itu tidak pulang. Meski Kareela benci mengakuinya, dia cukup khawatir.

Kejadian di mana dia kehilangan Ayah masih membekas di hati dan pikirannya. Bahkan Kareela belum sepenuhnya ikhlas. Dia masih bertanya-tanya, di mana jasad ayahnya? Meski Om Mandra pernah bilang kalau mungkin jasad ayahnya tidak akan pernah bisa ditemukan karena metode hukuman dari keluarga Solomon itu sebelas-dua belas sama seperti keluarga mafia yang ada di Sisilia. Begitu kejam.

Kalau Kareela membayangkan lebih lanjut, mungkin dia akan berakhir menangis lagi. Jujur, Kareela sudah terlalu capek untuk menangis. Om Mandra pasti tidak suka kalau dia menangisi hal-hal yang sudah berlalu.

Ayah dan Ibu yang melihatnya di sana juga pasti tidak akan suka. Itu sebabnya Kareela masih bertahan sampai sekarang.

Drrt drrt drrt!

Atensi Kareela yang sedang asik membuka web Brainly, tiba-tiba teralihkan pada notifikasi yang muncul di atas.

Kak Ganesha
|Gue jemput rada ngaret.
|Ada rapat OSIS.

|Iya, Kak. Gapapa.

Ganesha adalah anak pertama Om Thomas. Selama Om Mandra pergi, Justin, Ivar dan Rizky juga ikut pergi bersama Om-nya. Itu sebabnya Kareela akhirnya dititipkan oleh Mbak Santi, sedangkan yang mengantar jemput dirinya (lantaran dia belum diperbolehkan mengendarai motor) adalah Ganesha.

“Lo ngerjain apa, La?”

Sania yang duduk di sebelahnya akhirnya terbangun.

“Ngerjain tugas dari Bu Restu. Lu mau ngerjain juga, gak?”

Gadis berambut sebahu itu berdecak, mendengar kata tugas saja sudah cukup menghancurkan mood-nya, padahal ini masih pukul kurang dari setengah 10 pagi. Sania kembali menjatuhkan wajahnya ke meja. “Entar aja, ah! Bentar lagi juga istirahat!”

Dan benar saja, tak lama setelah itu suara bel terdengar, tanda istirahat pertama dimulai.

* * *

Ada beberapa hal yang Kareela pendam selama hidup sebagai Arabella Charvi.

Dia canggung dengan Mbak Santi, karena perawakannya yang gahar, sama sekali tidak menunjukkan kalau dia adalah perempuan tulen.

Kareela juga mulai tidak betah tinggal di Sentul. Meski semua fasilitas seperti; mall, rumah sakit, restoran, tempat hiburan, bahkan universitas sekalipun tersedia di sana, namun baginya yang tidak memiliki akses kendaraan sangatlah sulit—sebab Kareela terbiasa tinggal di pemukiman rakyat menengah ke bawah yang jalan ke depan jalan saja langsung muncul halte bus atau KRL, bahkan tak jarang dia masih menggunakan kendaraan umum seperti angkot.

Kareela juga kurang suka dengan Ganesha. Pemuda berusia 2 tahun lebih tua darinya itu yang masih dikatakan adalah keponakan jauh-nya Om Mandra. Ibunya atau istrinya Om Thomas sepupuan sama beliau. Jadi secara teknis, Ganesha adalah kakak sepupu (angkat) Kareela. Sikap pemuda itu padanya sedikit sengak. Gadis itu selalu merasa dipandang sebelah mata hanya karena dirinya adalah anak ketemu gede yang diakui oleh keluarga Sombaya.

Padahal jauh dari pada itu, Kareela tidak pernah berharap punya hubungan khusus dengan keluarga konglomerat tersebut. Tapi apa boleh buat? Om-nya, atau sekarang adalah Papanya masih cucu kandung Opa Jhonson, si kepala keluarga.

Lalu, coba tebak? Bagaimana reaksi orang-orang di rumah besar Sombaya di Manado sana? Skeptis. Anak-anak seusia Kareela tidak ada yang mau menemaninya. Para Tante dan Om (kecuali Tante Binar dan Om Thomas) selalu melempar tatapan menghakimi. Alhasil gadis itu hanya bersembunyi di ketek Mees selama acara keluarga berlangsung.

Kareela sadar diri kok, dia bukan keluarga asli mereka. Dia hanya ... Hanya orang asing yang diberi kebaikan oleh sahabat ayahnya. Tidak lebih.

“Lu tau kan, ini gak gratis?”

Lamunan Kareela buyar saat suara Ganesha merangsek masuk ke dalam telinganya. Gadis itu berdeham, tenggorokannya terasa kering. “Iya, tenang aja. Entar aku bayar.”

Ganesha tersenyum miring. Sedikit memuji nyali gadis itu yang berani membayarnya 700 ribu hanya untuk mengantarkannya pada sebuah alamat di daerah Sawangan, Depok. Pemuda itu sebenarnya tidak tahu, dan juga tidak mau tahu apa tujuannya mendatangi sebuah rumah yang ketika sampai di sana, rumah itu kosong. Tapi anehnya halaman serta terasnya masih begitu terawat. Seperti ada seseorang yang mengurus rumah tersebut setiap minggunya.

Tak lama seseorang muncul, penampilannya persis macam marbot. Kalau tidak salah memang ada masjid yang berjarak sekitar 5 rumah dari sini. Pria marbot tersebut menghampiri mereka, khususnya pada Kareela.

“Nyari siapa ya, Neng?” tanyanya.

Kareela sedikit bingung. Tapi dengan ragu-ragu dia menjawab, “Anu, Pak. Ini benar rumahnya bapak Shiloh Pattynama?”

Terjadi hening sejenak. Pria itu menatap Kareela lekat-lekat. “Iya, ini rumahnya keluarga Pattynama. Tapi udah lama kosong.” Kalimat pria itu terpotong sejenak. “Bapak sama Ibu pemiliknya udah meninggal. Terakhir kali ada anak laki-lakinya, Shiloh Pattynama, tapi dia merantau ke luar kota. Udah gak pernah balik lagi sampai sekarang.”

Kareela sedikit tersentak kala pria itu menyebut nama asli ayahnya. Itu artinya, ini memang benar adalah tempat masa kecil ayahnya tinggal sebagai orang biasa, jauh sebelum pria itu diangkat sebagai anggota BIN.

“Kalo Eneng mau nanya lebih lanjut mending dateng ke rumahnya Pak Septian. Dia dulu kerja jadi tukang kebon, bahkan sampai sekarang masih suka nyapu sama motongin rumput di sini.”

Mulut Kareela sedikit membeo. Tapi cepat-cepat gadis itu tersadar. “Ba—Bapak bisa antar saya ke rumahnya?”

“Boleh, Neng. Lewat sini.”

Ganesha yang sedari tadi memperhatikan, langsung menahan tangan Kareela yang hendak mengekori pria marbot tersebut. Pemuda itu melotot ke arahnya. “Lu gila? Lu nyari apaan sih?!”

Kareela menghentakkan tangannya agar terlepas darinya. “Kak Ganesha pulang aja. Aku masih ada urusan,” jawabnya. Lalu berjalan cepat menyusul pria marbot tersebut yang sudah berjalan cukup jauh masuk ke dalam gang.

Pemuda itu mendengkus, mengumpat pelan. Dia tidak mungkin membiarkan gadis itu sendirian. Meski Ganesha tidak menaruh kepedulian padanya, tapi jelas dia takut diomeli oleh Om-nya jika terjadi sesuatu pada anak perempuannya. Bisa-bisa dia dalam bahaya kalau gadis itu kenapa-kenapa. Sebab siapapun tidak ada yang berani membuat seorang Mees Leander tersulut emosi yang nantinya bisa membuatnya berubah seperti iblis.

“Oy, Ella! Tungguin bentar!” Ganesha lagi-lagi mendengkus, berlari kecil menyusul Kareela.

Dan di sinilah dia berada. Di depan rumah kecil yang ada di dalam gang. Beberapa orang menatap mereka penuh keheranan. Mungkin karena penampilan mereka yang didominasi oleh gen kaukasian. Kalau yang sering Ganesha dengar, Sombaya itu masih ada keturunan Portugis dan Belanda, itu sebabnya satu keluarga punya ciri khas yang sama, rambut kecoklatan, kulit putih dan mata cokelat yang terang. Belum lagi nenek Ganesha yang dari pihak Ayah adalah orang Belgia tulen. Makanya dia dan ketiga adiknya lebih mirip orang bule dibandingkan orang Indonesia.

Seorang pria tua, kira-kira berusia 70 tahunan datang, setelah pria marbot itu memanggilnya. Mata kelabu akibat penuaan itu menatap Kareela dan Ganesha dengan keheranan.

“Pak Septi, ini ada yang nanyain rumah Pak Reymond!”

Reymond? Itu nama kakeknya?

Kareela membatin, mata cokelat terangnya menatap Pak Septian sembari tersenyum kecil.

Merasa paham dengan tatapan tersebut, tanpa berpikir panjang pria tua itu langsung mempersilakan mereka masuk dan duduk lesehan di ruang tamu yang super kecil, sebab tidak ada sofa di sana. Pria Marbot itu telah pamit pergi, menyisakan mereka bertiga di dalam rumah tersebut.

Pria tua yang dipanggil Pak Septian itu menyuguhkan air mineral kemasan gelas serta se-stoples kacang goreng.

“Ada urusan apa kalian menanyakan rumah Bapak Reymond. Kalian keluarganya?”

Ganesha langsung menggeleng. “Bukan—”

“Saya anaknya Shiloh,” potong Kareela. “Ayah saya sempet ngasih alamat ini sebelum beliau meninggal dunia.”

Hening. Semuanya tiba-tiba hening. Pak Septian terdiam terkejut, Ganesha apa lagi. Tiba-tiba pemuda itu mendapat informasi yang cukup membagongkan secara percuma.

“Shiloh ... Dia?!”

Kareela tahu ini sedikit sulit untuk dia katakan. “Iya, Ayah sakit. Beliau udah meninggal beberapa bulan yang lalu,” bohongnya. Sebab, semuanya akan mudah jika dia mengatakannya demikian.

“Kamu anaknya Shiloh?” tanya pria itu, masih mencoba untuk meyakinkan dirinya.

Gadis itu mengangguk mantap. “Saya emang lebih mirip Ibu, tapi ...” Kareela membuka ponselnya. Memperlihatkan foto dirinya waktu kecil bersama Ibu dan juga Ayah. “Saya gak bawa dokumen akte dan KK saya. Tapi ini foto saya waktu kecil sama Ibu dan Ayah.”

Pria itu memperhatikan foto tersebut. Itu benar-benar Shiloh, dan wanita yang ada di sana juga terlihat tidak begitu asing. Alhasil, dia mendongak, melihat wajah Kareela lekat-lekat. Tidak salah lagi. Gadis ini benar-benar adalah putri Shiloh, cucu dari mantan majikannya.

Melihat respon Pak Septian yang mengenal ayahnya, Kareela kembali berbicara. “Kalau saya boleh tahu, apa Bapak megang akses kunci di rumah itu?”

Pak Septian entah bagaimana tiba-tiba mengangguk. “Tu—tunggu sebentar! Saya ambilkan dulu semuanya.”

Semuanya? Maksudnya?

Belum sempat Kareela bertanya, pria itu lebih dulu berdiri. Masuk ke dalam ruangan yang dia tebak adalah kamarnya, dan tak lama kembali dengan sebuah kotak kayu berukuran 20x30 cm. Tanpa berpikir panjang dia langsung memberikannya pada gadis itu.

“Neng, saya turut berduka cita. Saya kira rumah itu bakalan kosong selamanya, karena selama bertahun-tahun enggak ada sanak keluarga satupun yang dateng nanyain rumah. Saya benar-benar bersyukur Eneng ada di sini.” Ada perasaan syukur di wajah pria itu. Tak lama dia kembali melanjutkan kalimatnya, “Dulu, Shiloh, Ayah kamu terakhir dateng di tahun 2008. Udah lama banget. Dia dateng sama perempuan yang ada di foto itu. Ibu kamu. Dia cuma tinggal sebentar, sekitar sebulan. Lalu setelah itu pergi. Bilangnya sih, dapet pekerjaan di luar kota. Terus mereka gak pernah datang lagi ke sini.”

“...”

“Di kotak itu isinya ada kunci-kunci, Neng. Yang paling besar kunci utama. Di dalem juga ada surat-surat kiriman dari keluarga Ibu Emma.”

Nama asing kembali muncul. Emma? Apakah itu ibunya Ayah? Neneknya?

“Tapi surat itu udah gak pernah dateng lagi, sampe terakhir di tahun 2015. Kotak pos di depan rumah kebetulan udah rusak dimakan usia, makanya Bapak simpen, takutnya itu surat penting. Walau Bapak gak tau sih isinya apa, karena kayaknya dikirim dari Belanda, Neng.”

Oke. Ini terlalu banyak informasi yang Kareela dapatkan hari ini. “Ma—makasih, Pak.”

“Sama-sama, Neng. Bapak juga sebenarnya punya hutang Budi sama Kakeknya Eneng. Pak Reymond itu orangnya baik banget, udah mau bantu sekolahin anak-anak saya! Maaf, kalau Bapak cuma bisa bantu jagain rumah.”

Jujur, Kareela speechless. Ternyata begitu banyak rahasia yang belum terkuak dari keluarganya. Khususnya dari seorang Shiloh Pattynama, ayahnya.

* * *

Note:

Jadi ini kejadian sebelum epilog di buku pertama ya bes.

Masih lancar, gak tau entar, soalnya kadang pas riset suka bikin kepala berasep. Wkwkwk.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top