Lacuna
Lacuna
(Noun.) A blank space, a missing part.
.
.
__
Pertama kali Mechabot merasakannya adalah saat di mana dia kehilangan tuan pertamanya.
Saat di mana Jenderal Grakakus membunuh tuannya tepat di depan matanya.
Mechabot ingat betul peristiwa mengenaskan itu. Ingat pula bagaimana perasaannya, meski dirinya sendiri tak terlalu paham.
Bertahun-tahun setelah kejadian itu Ia mendapati dirinya masih bisa bersifat seperti biasa—atau mungkin lebih buruk dari yang sebelumnya—luar biasa kasar dan arogan bukan main, haus akan validasi, juga.. sangat mudah terpancing emosi.
Tentu saja semua perilaku dan sifatnya itu hanyalah sebuah tameng yang ia pasang untuk menyembunyikan sisi lemahnya, maksudku, sebagai Power Sphera terkuat pastinya dia juga memiliki harga diri yang cukup tinggi bukan?
Meskipun tak dapat dipungkiri, di balik tameng itu, Mechabot sering kali mendambakan sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. Sesuatu yang kosong, hampa. Ia ingin kembali merasakan bagaimana memiliki seorang tuan—atau mungkin seorang sahabat. Sebuah pemikiran yang lambat laun membuatnya sadar bahwa Ia merasa kesepian.
Seperti sedikit hampa, mungkin? Ada rasa mengganjal, seolah terdapat lubang yang mengangga di dalam tubuhnya. Mungkin, jika saja Ia bukan sebuah robot dan memiliki tubuh disertai organ dalam kecuali kerangka logam dan ribuan kabel listrik di dalamnya.
Ia tak tahu pasti apa artinya itu, dan kemudian Mechabot memilih untuk mengabaikannya.
Ia terus mengembara hampir ke seluruh penjuru alam semesta, hingga suatu hari sang Power Sphera memutuskan mengurung diri di tempat seperti turnamen sekaligus penjara dalam sebuah pesawat luar angkasa.
Ia sadar dan tahu persis; banyak Alien-alien asing di luar sana yang mengincarnya, mereka ingin menggunakannya dan membuatnya menuruti kemauan mereka untuk keuntungan mereka yang egois. Entah merupakan kesempatan baginya untuk mendapatkan tuan baru atau apapun itu, tetap saja, Mechabot memilih untuk bersikeras menolak tawaran mereka mentah-mentah. Untuk kesekian kalinya Ia mendapatkan sebuah kesadaran dari sebuah fakta pahit;
Bahwa ia tak memiliki siapa-siapa lagi.
Sendirian, diteror oleh pikirannya sendiri. Hanya bisa menunggu saat untuk ditangkap dan digunakan.
Mechabot berharap Grakakus tak akan pernah menemukannya.
Mechabot tak terlalu pandai memahami cara kerja emosi manusia–yang menurutnya terlalu rumit dan dalam. Jadi, Ia hanya tahu seperti apa emosi itu dan bagaimana cara menghadapinya. Pelajaran yang cukup ia pahami setelah bertemu dengan sosok manusia kecil yang mengaku sebagai tuannya itu.
Begitu ringkih, kecil, dan rapuh; seolah sangat mudah untuk menghancurkannya jika dibandingkan dengan reruntuhan kecil asteroid di luar angkasa sana. Mechabot selalu merasa aneh saat menyadari kenyataan masa kini bahwa manusia mungil itu kini adalah tuannya. Anak itu cerdas dan kreatif, tetapi juga kekanak-kanakan dan sering bertindak impulsif. Ada saat di mana Mechabot mendapati manusia itu berpikir dewasa dan memiliki akal yang kreatif, meski tak lama kemudian, remaja itu kembali memantul aktif dan merengut dengan cara yang sama sekali menurutnya tidak dewasa. Mechabot seperti melihat orang yang berbeda.
Betapa menjengkelkan, pikirrnya saat itu.
Seluruh rasa jengkelnya lenyap tak lama setelah itu saat Mechabot mendapati suatu kesadaran ketika keduanya merupakan partner yang tak dapat terpisahkan.
Mereka berhasil melawan Grakakus, dengan bantuan para Maskmana tentunya.
Rasa kagum menggerogoti sifat arogan nya yang perlahan mulai mencair, Ia tak percaya bahwa—
Ia kembali merasakan rasa aman setelah sekian lama.
Dengan demikian, ketimbang terus-menerus berjuang untuk mengubah arus takdir atau peristiwa lampau yang tak bisa diubah yang hanya akan menyebabkan ketakutan dan penderitaan yang tak perlu—Mechabot akhirnya memutuskan untuk mengakui ketakberdayaan tuan manusianya itu sebagai spesies insignifikan nan super mungil dan hampir nihil dalam alam semesta yang terus mengembang ini sebagai sesuatu yang tak bisa terelakkan.
Amato tumbuh seiring berjalannya waktu, Ia terus berubah, dan Mechabot tentu saja menyadari hal itu. Mereka telah menghabiskan 3 tahun bersama dan melalui banyak hal, gagasan itu tidak memungkinkan Mechabot untuk menahan sifat protektif yang semakin tumbuh terhadap sang remaja.
Mechabot tahu persis Amato yang sedang bahagia; bagaimana pupil matanya akan membesar dengan binar penuh keceriaan, sudut matanya menyipit, lalu tersenyum lebar sampai menampilkan gigi putih dan lesung pipit di wajah manisnya yang bersinar terang, di hiasi oleh rona merah samar.
Sosoknya yang bahagia selalu bersinar terang, cukup terang namun tak sanggup membutakan—tapi menyalurkan energi hangat yang menenangkan. Cukup hangat sehingga Mechabot mengakui bahwasanya sinar Amato dapat mengalahkan terang dan hangatnya sumber cahaya dari bintang terbesar di alam semesta.
Power Sphera itu tahu betul kapan saat-saat di mana sang remaja menginginkan pelukan, pujian, dan kata-kata baik. Ia tahu bahwa ketika Amato sedih Ia akan mengurung diri di balik kamar mandi dan mencoba meredam tangisannya saat sedang berdoa larut malam, itu berarti Amato ingin dibiarkan seorang sendiri sampai Mechabot memutuskan untuk masuk dan menghibur anak laki-laki yang menangis itu, dengan sedikit candaan dan sarkasme ringan. Jadi Mechabot tak memiliki pilihan selain memaksanya untuk berbicara hingga Ia bisa mendengarkan, meski pada hakikatnya, Ia sendiri tidak pernah merasakan apa pun yang dirasakan manusia.
Namun semua hal itu tidak pernah mengganggunya, Mechabot hanya senang keberadaannya diakui dan diinginkan oleh Amato, begitu juga dengan keluarga dan teman-temannya.
Atau bahkan jika Grakakus kembali bangkit dan masih menginginkannya sekalipun, Amato tetap menginginkan keberadaan Mechabot di sampingnya, sama halnya seperti Mechabot yang menginginkan Amato di sisinya.
Untuk pertama kalinya, Mechabot merasakan sesuatu yang baru. Bukan kehampaan, kemarahan, penyesalan atau ketakutan akan kehilangan, tetapi sesuatu yang hangat.
Sesuatu yang mungkin disebut cinta dan kebahagiaan.
Dan juga rasa ingin melindungi.
Lagipula, Mechabot tak ingin kehilangan sahabat lagi.
Jadi Ia memilih untuk mengikuti apa yang Ia inginkan—
Bahwa Ia bersumpah akan selalu berada di sisi Amato.
"Menurutmu, mengapa manusia terus-menerus tidak bisa merasakan kebahagiaan?" Tanya Mechabot tiba-tiba.
Sang lawan bicara merenung sejenak, "Hmm.. Karena kebahagiaan bukanlah perasaan yang dimaksudkan untuk bertahan selamanya, bahagia itu hanya emosi sementara yang cepat berlalu, dan Itu merupakan hal wajar. Menurutku sih begitu." Jawabnya santai.
"Huh?" Mechabot mengalihkan pandangannya dari PlayStation di genggamannya, "Mengapa kau pikir begitu?"
Amato balas meliriknya dengan tatapan lembut, sedikit terkikik geli karena ekspresi yang ditunjukkan, "Karena kebahagiaan itu kerap kali terjadi, tapi sayangnya kita tidak bisa selamanya merasa bahagia ataupun membuat kebahagiaan itu abadi dalam hidup kita."
"Pengalaman manusia hadir dengan keseluruhan emosi, Mechabot, dan emosi itu bukan hanya sekedar kebahagiaan saja. Bagaimana?"
"Lagipula, jika kita mencari kebahagiaan terus-menerus dan mengarahkan semua tindakan hanya untuk mencapainya selama kita hidup, tindakan itu merupakan sebuah standar yang tidak realistis untuk kita jadikan sebuah prinsip hidup. Kita bisa menjadi makhluk yang egois nantinya." Amato mengakhiri jawaban panjangnya ketika mendengar jeritan sang Ummi yang memanggil namanya dari lantai bawah. Meninggalkan Mechabot yang sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Dan di saat itu juga, jawaban sang remaja sukses membuat Mechabot terdiam seribu bahasa selama 3 hari 3 malam, sibuk memikirkan sekaligus merenungkan makna dari kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya. Bertanya-tanya apakah pernyataan itu benar apa adanya atau tidak.
'Egois ya?'
Dibandingkan dengan tubuh manusia, Mechabot tahu bahwa tubuhnya sangat berbeda.
Dibandingkan manusia, tubuh robotnya sangat kosong. Tanpa adanya kehidupan atau emosi yang mendalam.
Sampai pada saat dirinya melayang dalam diam di samping makam Amato, memandang kosong ke arah gundukan tanah yang basah oleh air hujan. Tak peduli dengan tiap tetesan air mata langit mengguyur tubuh logamnya yang kini telah berkarat dan lecet sana-sini akibat berbagai macam pertempuran.
Upacara penghormatan terakhir terhadap sang Admiral sekaligus pendiri TAPOPS sudah berakhir berjam-jam lalu. Seluruh atasan, anggota dan staf menghadiri acara duka tersebut. Mechabot sempat yakin Ia menemukan kehadiran sang keponakan—sekaligus anak kandung dari mendiang sahabatnya itu di barisan paling depan, dikelilingi oleh teman-temannya. Lalu ada sahabat terbaiknya, Pian, tentu saja pria Maskmana itu yang paling lama berdiri di sampingnya bahkan setelah semua orang telah pergi, meratapi duka sekaligus menemani sang Power Sphera dalam diam, sebelum akhirnya menyerah dan meninggalkannya seorang diri.
Mechabot merasakan kembali adanya sebuah lubang yang kembali tumbuh di dalam dirinya, yang kali ini menganga lebih lebar dan dalam.
Ia menyadari bahwa inilah rasanya kehilangan untuk kesekian kalinya. Meski di satu sisi, Ia awalnya memang sudah memilikinya, bahkan merasakannya;
Rasa hampa, kosong dan tidak manusiawi.
Kini yang tersisa dalam dirinya bukan cinta atau kebahagiaan, bahkan bukan pula kesedihan, hanya lubang ketiadaan dan semua memori lampau mengenai dirinya seorang.
Ia bertanya-tanya entah apa tujuannya setelah ini?
Bagaimana caranya Ia bisa melanjutkan kehidupan tanpa kehadiran rumah satu-satunya?
Bagaimana caranya Ia bisa hidup dengan bahagia lagi setelah ini?
Bisakah Ia?
"Jadi menurutmu, jika untuk seterusnya.. Aku menginginkan kebahagiaan selama sisa hidupku, apakah kau akan menganggapku egois?"
Amato menolehkan kepalanya, mendapati sang Power Sphera yang memandangnya gugup, Ia berpikir sejenak sebelum berseru, "Hmm.. Tidak juga!"
"Eh, kenapa bisa begitu pula?" Sekali lagi, Mechabot mengirimkan tatapan tak setuju dan disertai kebingungan, membuat sang remaja di hadapannya terkekeh manis.
"Kau ini kenapa, sih? Tentu saja kau juga pantas mendapatkan kebahagiaan dalam hidupmu! Lagipula, mendapatkan kebahagiaan itu adalah hak bagi setiap orang. Jadi, mana bisa aku menghakimi hak orang lain sesuka hatiku? Kau 'kan hanya ingin merasa bahagia. Dan siapa tahu dengan kau yang menginginkan untuk makan karipap hingga akhir hayatmu bisa menjadi sumber kebahagiaanmu."
"Hoi!"
"Hehe, jadi Mechabot, berjanjilah untuk terus bahagia hingga takdir memisahkan kita berdua, ya?"
'Maafkan aku Amato, aku egois bukan karena ingin terus bahagia.
Aku egois hanya untuk dirimu, aku ingin terus bersamamu, hanya itu. Kaulah yang selama ini membuatku bahagia.
Mengapa se-sulit ini?
Maaf, bolehkah aku mengingkari janjiku?
Bolehkah aku.. Menyusulmu saja?
Jika aku menyusulmu, apakah aku menjadi robot yang egois?'
.
.
End.
A/N;
Akhirnya kepikiran bikin Fic angst tentang duo piyik ini wkwk.
Halo, penulis di sini! sebelumnya ucapan terima kasih penulis berikan kepada kalian yang sudah terlanjur membuka book tidak jelas ini, terima kasih juga bagi yang telah membaca sampai akhir.
Untuk segala vote, komen, semua penulis terima. Bila ada kesalahan mohon di maafkan. Dengan mempublisasikan book gaje ini, semoga harapan penulis bisa leluasa untuk mengembangkan ide dan gaya penulisan yang lebih baik dan lebih memuaskan lagi.
Terimakasih. Sampai jumpa lagi di book lainnya<3
Total words; 1580 (edited)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top