Lacuna
"Hai, Jessy. Matamu terlihat lebih hijau dari sebelumnya. Sejak kapan kau memakai softlens?"
Entah apa yang terjadi padaku. Mulutku melontarkan kalimat itu begitu saja tanpa berpikir dua kali.
Mendengar namanya disebut gadis yang sedari tadi berdiri di depan halaman sekolah mengabaikan ponselnya dan menegakkan tubuhnya.
Ketika matanya menemukanku, aku terpaku akan pesonanya. Rambut merahnya sepanjang punggung dengan sedikit gelombang di sana. Kakinya yang jenjang terbalut jeans dengan hoodie abu-abu yang menelan tubuh mungilnya. Manik mata hijaunya yang menyejukkan seketika berubah memanas. Mengingatkanku akan pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini.
Sejujurnya aku tahu Jessy tidak perlu memakai softlens. Dia tidak memiliki mata minus, jadi dia juga tidak membutuhkan kacamata.
Memutar bola matanya, Jessy kemudian membalas, "Kau tahu, setelah memakainya Aku bisa melihat dengan jelas seberapa brengseknya dirimu."
Sial, gadis ini tahu betul apa yang sedang di bicarakannya. Jika tidak berhati-hati menggunakan mulutnya dia akan terkena masalah suatu hari nanti. Ya, tapi aku tidak bisa mengelak apa yang dikatakannya tidak jauh dari fakta.
Menggigit bibir bawahku, kepalaku menunduk berusaha menetralkan mimik wajahku. Perlahan kakiku melangkah ke arahnya. Tubuhnya tak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri.
Pergerakan dadanya naik turun lebih cepat dari sebelumnya. Mata hijaunya terus mengawasi gerak-gerikku. Saat aku sampai di hadapannya, Jessy menatapku sok kesal padahal aku bisa melihat pipinya yang mulai memerah.
"Asal kau tahu saja, tadi Aku sedang memujimu."
Menggelengkan kepala, kakiku beralih memasuki gedung sekolah. Ketika aku menengok ke belakang, di sana—di parkiran sekolah, dia masih berdiri dengan mata membulat dan pipi yang semakin merah sewarna dengan rambutnya.
Menyeringai kualihkan pandanganku ke depan dan melenggang pergi meninggalkan Jessy yang masih mematung di sana.
Aku tidak tahu apakah ini hal baik atau buruk. Tak lama aku masuk ke dalam kelas dan tersadar bahwa aku satu kelas dengan Jessy.
Tempat dudukku terletak di barisan kedua dari kiri, paling belakang. Sedangkan Jessy menempati dua kursi di depanku.
Ketika guru menulis sesuatu di papan tulis, tiba-tiba Jessy menoleh ke belakang. Mata kita saling beradu hingga beberapa saat dan mulutku tak bisa menahan sebuah serigaian yang muncul. Dia berkedip beberapa kali dan kemudian tersadar dengan apa yang di lakukannya. Seketika itu juga badannya kembali menghadap ke depan.
"Apa-apaan itu tadi?"
Sebuah suara muncul di samping kananku. Menoleh ke samping, baru kusadari jika Carter memperhatikan tingkah polah kita sedari tadi. Mengedikkan sebelah bahu aku berucap, "Bukan apa-apa."
Mulutnya bergerak hendak mengucapkan sesuatu, tapi suara guru di depan kelas menginterupsi kita. Dia terus menatapku seakan berkata ya, aku tidak mempercayaimu. Jujur, aku bersyukur Carter tidak membahasnya lebih lanjut. Aku sendiri juga tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Setelah hari yang sialan panjang lamanya, akhirnya jam sekolah telah usai. Hari Jumat terasa jauh sekali, mengingat hari ini masih hari Senin. Memikirkannya saja memberiku sakit kepala. Setidaknya aku bisa segera mampir ke sebuah restoran fast food untuk mengisi perut.
Berjalan menyusuri lorong, kakiku hendak berbelok ketika aku mendengar suara seseorang menyebut namaku. Ini mungkin akan terdengar aneh atau bahkan agak mengerikan. Namun, saat ada orang yang membicarakanku biasanya telingaku akan lebih peka. Bahkan saat aku sedang terlelap sekali pun entah bagaimana aku akan terbangun seketika dan berakhir seperti seorang penguntit yang menguping.
Struktur bangunan di sekitar loker tempatku berdiri dan di mana mereka berada membentuk huruf L. Aku tak bisa melihat dengan jelas wajah mereka karena terhalang tembok di sisi kanan yang seharusnya menjadi tempatku berbelok. Sedangkan mereka berada di seberang sana—di sisi lain lorong. Semua ini membuatku gelisah dan sangat penasaran kemudian terpaksa menahan diri, berdiam diri di sini agar tidak ketahuan.
Aku bisa mendengar dengan jelas suara mereka berbicara mengingat semua kelas telah usai. Kebanyakan murid sudah pulang dan hanya para anggota football, cheerleader, dan yang berkepentinganlah yang masih tinggal.
"Aku dengar rumah Levington sudah terjual."
Seseorang membuka suara dengan nada agak pelan. Mungkin berharap tak ada orang yang akan mendengarnya selain temannya sendiri. Well, dia tidak tahu saja aku sudah terlanjur di sini.
"Dari mana kau tahu?" Seseorang dengan suara berbeda bertanya.
"Orang tuaku tahu dari Paman George yang tinggal tak jauh dari rumah Levington." Suara pertama menjawab.
"Baiklah, lalu apa hubungannya dengan kita? Tunggu dulu, apa orang tuamu yang membelinya?" Suara kedua bertanya dengan nada terkejut dan keheranan.
"Apa apaan! Tentu saja tidak," suara pertama berkata dengan nada kaget yang tak bisa ditutupi. Mengerang suara pertama terdengar menahan kesal saat melanjutkan.
"Yang ingin kukatakan adalah, rumah itu sudah cukup lama tidak dihuni dan kita semua juga tahu apa yang pernah terjadi di sana. Siapa orang dengan akal sehatnya yang mau tinggal di sana, iya 'kan?"
"Ya, setidaknya Ayahnya sudah di penjara, tapi Ibunya?" Suara kedua kembali berujar.
"Aku tak mau lagi mendengar ini semua. Bagaimana jika Ibunya mendatangi kita semua?" Suara lain berkata yang tak lama disusul dengan langkah kaki tergesa-gesa dengan suara yang menggema di lorong.
"Hey, tunggu!" Seseorang berteriak entah yang siapa aku tidak peduli. Aku keluar dari tempat persembunyianku dan berbelok ke arah loker.
Tepat sebelum mereka bertiga berbelok di sisi lain lorong, aku melihat seseorang yang sudah tak asing lagi bagiku. Dia adalah Aaron Dunne, kita pernah berada di satu kelas yang sama. Aku tidak tahu, haruskah aku berterima kasih padanya atau menghajarnya. Paman Peter dan Bibi Lisa saja tidak berkata apa pun saat aku berangkat sekolah tadi pagi.
Semua orang yang tinggal di sekitar rumah lamaku tahu apa yang terjadi tak terkecuali orang yang mengenal paman dan bibiku. Nasib buruk pula bagi mereka harus menanggung semuanya karena ulah ayahku.
Hanya orang yang kehilangan akal sehatnya yang mau membusuk di penjara. Ya, kuharap dia mati dan membusuk di sana.
Tuhan, semoga aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi.
***
Berbaring di ranjang mataku terpaku pada plafon kamarku. Aku mencoba mengerjakan tugas sekolah yang belum selesai. Lima belas menit kemudian tugasku masih kosong dan aku menyerah.
Sudah setahun berlalu dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku bahkan tidak bisa tidur sebelum tengah malam tiba.
Setiap malam menjelang tidur, aku melihat ibu dan apapun yang dilakukannya. Menyiapkan sarapan, mencuci piring, berangkat kerja, hingga memarahiku jika aku salah. Tapi, dari itu semua hanya satu yang menghantuiku. Senyumannya yang tak akan pernah bisa kulihat lagi.
Rumah ini adalah rumah Paman dan Bibi. Kamar ini, sedikit lebih besar dari kamar lamaku. Tapi tetap saja ini bukan kamarku. Sebentar lagi umurku akan beranjak tujuh belas tahun. Jika aku sudah legal, Paman Peter dan Bibi Lisa tidak ada keharusan untuk terus menampungku. Bisa saja mereka mengusirku dari sini walaupun aku tahu mereka tidak sekejam itu.
Ibu dan ayah, jika kupikir lagi pria bajingan itu—dia tidak pantas dipanggil ayah. Rumah lamaku adalah peninggalan orang tua ibu. Sedangkan pria bajingan itu, dia tidak meninggalkan apapun padaku dan adikku selain mimpi buruk.
Aku berjengit kaget saat mendengar suara ponselku di meja belajar. Pikiranku buyar seketika. Menghela nafas, aku bangkit dari ranjang lalu meraih ponselku.
Ada sejumlah pesan dari beberapa temanku yang lainnya. Akan tetapi, pesan yang baru kuterimalah yang langsung kubuka.
Carter : Ada pesta di rumah Mason, kudengar Jesslyn akan datang.
Tanpa pikir panjang kuselipkan ponselku di saku celana dan berjalan ke arah closet. Setelah mengganti baju kuraih kunci mobilku di meja dan segera keluar kamar kemudian menuruni anak tangga.
***
Tiba di kediaman Mason, kakiku bisa merasakan getaran dari musik yang sedang diputar. Mataku menyapu seluruh isi ruangan dan mendapati Jessy berdiri di seberang sana.
Rambut merahnya sangat mudah dikenali. Kali ini dia membuat rambutnya dikuncir satu kebelakang. Namun, itu semua tidak mengurangi seberapa cantik dirinya.
Lihatlah lehernya yang terbuka, dengan bibir ranum seperti itu. Bergerak kebawah dia memadukan tank top hitamnya dengan rok denim yang mengekspos kakinya.
Fuck, with a long legs like that makes anyone who sees it drool immediately.
Sedari tadi gadis itu masih mengobrol dengan temannya. Jadi, sebelum dia melihatku seperti aku ingin memakannya, aku segera beranjak ke dapur.
Memasuki dapur, aku menemukan Carter yang sedang membawa dua red cups di kedua tanganya.
"Here he is, I thought you won't come." Dia berkata lalu memberikan satu red cup padaku.
"Yeah, lalu kau akan meminum semua ini sendiri?"
Aku membalas sambil mengarahkan kepalaku ke counter dengan banyak red solo cups di sana. Dia hanya tertawa kemudian menggelengkan kepalanya.
Mengambil satu lagi red cup di counter, Carter lalu berjalan keluar dapur. Tidak tahu harus kemana akhirnya aku berjalan menyusulnya.
Saat kulihat kembali, Carter sudah hilang entah kemana. Menghela napas kuedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan. Mereka semua hanya anak SMA yang ingin bersenang-senang. Sedangkan aku—merasa terperangkap bersama mereka dan kehilangan arah.
Haruskah aku pasrah menunggu seseorang datang? atau mungkin aku sendiri yang harus mengoyak seluruh sangkar itu lalu terseok-seok dengan luka nantinya.
Aku hanya meneguk dua cup mengingat besok hari sekolah. Aku tidak ingin muncul di kelas dengan keadaan hangover. Aku juga tak ingin ada orang yang nantinya mengadu pada paman atau bibiku jika aku mabuk. Tuhan pun tahu, mereka sudah banyak melakukan sesuatu untukku maupun Jack yang mungkin tak bisa ku balas satu per satu. Mereka tidak perlu omong kosong dari orang lain juga.
Entah datang dari mana seorang gadis tiba-tiba datang ke hadapanku.
"Hai, apa yang kau lakukan di sini?" Dia berkata seolah ini rumahnya.
"Tentu saja untuk berpesta," jawabku asal. Dia mengernyitkan keningnya sambil berkedip berkali-kali seakan baru menyadari sesuatu lalu menjelaskan.
"Oh, I'm sorry my bad. I'm Amber by the way".
"Jared," balasku dengan singkat dan menggenggam uluran tangannya untuk berjabat tangan.
Melepas jabat tangan kita. Kulihat dia dari atas sampai bawah. Rambut pirangnya dominan dengan sedikit pink di beberapa sisi. Wajahnya terlihat manis akan tetapi tubuhnya berkata lain. Tubuhnya justru terlihat mengundang dengan balutan gaun merah selutut dan potongan dada yang rendah. Lihatlah payudara itu, bahkan gaunnya saja tidak mampu menampungnya.
Aku merasa buruk karena memperhatikan lekuk tubuhnya sedari tadi. Tapi setelah kulihat, aku tersadar bahwa dia juga melakukan hal yang sama padaku, jadi kita impas.
Tanpa memutus kontak mata aku berbicara, "Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya."
Amber hanya tersenyum kemudian berucap, "Aku sudah lulus SMA beberapa bulan yang lalu."
Senyumannya berubah mengerikan jika terus kuperhatikan. Tiba-tiba terdengar suara sorakan dari beberapa orang yang cukup memekakan telinga.
"Di sini bising sekali. Sebaiknya kita ke atas agar bisa mendengar dan berbicara dengan lebih jelas." Tanpa bertanya Amber lalu menarik tanganku dan membawaku ke lantai dua.
Sampai di dalam sebuah kamar, baru saja pintu tertutup, dia langsung menciumku dan mengalungkan kedua tangannya ke leherku.
Di sela-sela ciuman aku bisa merasakan alkohol di sana, entah dariku atau dia aku tak peduli. Dia mengarahkan kita ke atas ranjang lalu duduk di pahaku.
Melepas tautan bibir kita, dia menarik gaunnya lalu melepas pakaiannya. Terlalu cepat, hingga pikiranku saja tidak mampu menyusul. Di sana, payudaranya bergoyang dengan setiap gerakan yang dilakukannya.
Siapa aku untuk menolak?
Kejantananku mungkin tidak bisa melihatnya, tapi aku tahu dia bisa merasakannya. Seketika celanaku terasa ketat. Sebaiknya dia menyelesaikan apa yang telah dia mulai.
"Lepas pakaianmu."
Tanpa disuruh dua kali, aku melepaskan seluruh pakaianku dan memakai pengaman. Di atasku, Amber menatapku dengan seringaiannya. Saat dia bergerak, lihatlah payudaranya yang berada tepat di depan wajahku. Dia pikir hanya dia yang bisa melakukan hal seperti itu.
Tak ingin dirinya memberikan aba-aba seperti seorang pelatih sialan, aku menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Tidak perlu banyak bicara. Dengan diriku yang sekarang berada di atasnya aku jadi lebih leluasa bergerak. Tanganku menangkup salah satu payudaranya yang penuh dan meremasnya.
Meraih kepalanya kutautkan bibir kita. Kuselipkan lidahku dan menyesapnya. Bibirnya terasa manis, terlalu manis untuk seleraku hingga membuatku yakin akan meninggalkan rasa pahit yang membekas ke esokan harinya.
Tanganku lalu beralih menangkup bokongnya dan meremasnya. Satu tangannya hendak menyentuh kejantananku.
Tidak semudah itu Amber.
Kubawa tangannya ke atas kepalanya dan menguncinya. Aku bisa merasakan betapa basah dirinya saat kedua tubuh kita tak sengaja bergesekan.
Amber mengeluarkan lenguhan dan berusaha mencapai kenikmatannya dengan mengangkat pinggulnya.
Degup jantungku berpacu dan aliran darahku seolah berjalan kemudian berkumpul menuju kejantananku yang sudah mengeras. Tanpa basi-basi kuraih pinggangnya dan menghujamnya. Lantas kedua kakinya mengalung ke pinggangku.
Fuck. she's already wet and dripping like a fucking waterfall.
Keringat bercucuran pada tubuh kita berdua. Menimbulkan suara-suara tamparan menjijikkan yang memekakan telinga jika pesta tidak sedang berlangsung.
Mata Amber terbuka dan dia menciumku lagi. Di sela-sela ciuman kita terselip sebuah erangan yang tertahan di tenggorokanku.
Setelah beberapa saat, aku merasakan sesuatu yang ingin meledak. Pandanganku mengabur sesaat, aku mencoba menormalkan napasku yang memburu.
Seolah tersengat petir badanku membeku dan mataku kembali mengabur menyadari satu hal yang tiba-tiba muncul di benakku.
Dalam tiga minggu yang akan datang, adikku—Jack akan berulang tahun. Tahun kemarin, aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri membuatku lupa jika ulang tahunnya sudah terlewat hingga beberapa hari.
Aku tidak ingin dia merasa dilupakan hanya karena tak ada orang yang merayakan ulang tahunnya. Jack tidak punya siapa pun selain aku. Aku peduli padanya. Aku akan melakukan apa pun untuknya.
Tanpa kusadari tanganku meremas selimut di sekitar tubuhku dan meremasnya.
Satu bajingan telah berhasil membuat dua hidup orang lain porak-poranda dan satu di antaranya lenyap seketika.
***
Hari selanjutnya bukan rahasia lagi aku bangun dengan sakit kepala. Setelah menelan satu aspirin, aku mengambil tas di ranjang dan menarik badanku keluar dari kamar tidur.
Tiba di dapur, Bibi Lisa terlihat sibuk menyiapkan sarapan berupa sandwich dengan susu putih. Setelah mengucapkan selamat pagi, kutarik kursi di sebelah kanan Jack dan menggigit sandwich di hadapanku.
"Jared, kita harus bicara."
Bibi Lisa berbicara dengan menekuk kedua lengannya sambil bersandar di dekat kulkas. Badannya mengarah padaku tapi matanya terarah ke pintu dapur. Paman Peter pun masuk dan menduduki kursi di depanku. Aku tahu apa yang ingin mereka bicarakan, namun tetap saja aku merasa cemas.
Setelah meminum satu tegukan air putih di depannya, paman mulai buka suara.
"Jared."
Menarik napas lalu menghembuskannya paman melanjutkan.
"Rumah orang tuamu sudah terjual."
Apa dia bilang? rumah orang tuaku?
Bagiku kedua orang tuaku sudah meninggal. Sebelum sempat aku mengoreksinya, dia menambahkan.
"Aku dan Bibi Lisa sepakat akan memberikan semua uangnya dalam bentuk tabungan untuk kau dan Jack."
Ketika kulirik, Jack yang berada di sampingku tetap mengunyah dan memandangi piringnya yang terlihat lebih menarik tanpa bersuara sedikit pun.
Mataku tertuju pada Bibi Lisa dan dia hanya mengulas sebuah senyum simpul. Di depanku paman seolah ingin berbicara lebih lanjut lagi tapi masih menungguku. Ketika dirasanya aku tak akan berbicara, paman menjelaskan.
"Aku bersyukur kalian bersedia tinggal di sini, rumah ini jadi terasa lebih sepi setelah Alex memutuskan untuk tinggal sendiri."
Alex adalah putranya yang kebetulan sudah punya apartemen sendiri saat aku dan Jack akan pindah ke sini.
"Masalahnya adalah, mobilku sekarang ini sedang berada di bengkel untuk perbaikan."
Seolah tak kuat melanjutkan Paman Peter melirik Bibi Lisa untuk mencari bantuan.
Melangkah ke arah meja, Bibi Lisa berdiri di samping Paman Peter.
"Kita tidak punya cukup uang, jadi untuk sementara waktu Aku dan pamanmu akan meminjam uang kalian. Hanya jika kalian tidak keberatan."
Tak ingin membuat semua ini jadi lebih canggung dari sebelumnya, aku menenangkan mereka. "Tidak apa-apa gunakan saja seperlu kalian. Aku tidak masalah, tapi tolong sisakan bagi Jack beberapa untuk berjaga-jaga di masa yang akan datang."
Aku tak keberatan mereka memakai uang itu, makan saja per hari sudah berapa jika dihitung setahun ke belakang belum yang lainnya. Aku juga tahu jika mereka tidak sudi menampung aku dan Jack kita berdua akan berakhir di panti anak. Dan mungkin atau tidak mungkin aku tidak akan pernah melihat Jack lagi.
Bibi lalu beralih menuju kursi kita, menempatkan dirinya di tengah kursiku dan Jack. Lalu dia berucap terima kasih beberapa kali. Memeluk kita berdua dia mencoba mengulas senyum dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Bukan hanya aku dan Jack yang kehilangan. Dia juga kehilangan sosok adik kesanyangannya.
***
Jujur, aku masih tidak tahu akan memberikan kado apa kepada Jack. Dia bukan anak kecil lagi, jadi mainan keluar dari pilihan.
Video games, topi, baiklah apa lagi yang disukainya. Football, basket—nah itu dia. Kita biasanya bermain basket saat akhir pekan di depan garasi rumah. Ada sebuah ring basket yang dipasang oleh ayah di sana. Mungin, itu adalah satu-satu hal baik yang pernah dia lakukan. Sayangnya kita tidak pernah memainkannya lagi seperti dulu. Apalagi kita pindah dan tinggal di rumah Bibi Lisa dengan halaman yang tidak terlalu besar.
Di parkiran sekolah aku sudah menyalakan mesin dan hendak tancap gas ketika aku melihat seorang figur berdiri tak jauh dari tempatku berada. Rambut merahnya dikuncir ke belakang dengan beberapa helai yang lolos di pelipisnya.
"Jessy, masuklah."
Aku berujar sambil mengarahkan kepalaku ke kursi penumpang di sampingku. Keningnya berkerut dan dia tampak menimbang-nimbang tawaranku. Berjalan mengelilingi depan mobil, dia memberikanku seulas senyuman. Tangannya membuka pintu kemudian duduk—menaruh tasnya di bawah—samping kakinya.
Tak berapa lama Jessy kemudian berucap, "Jadi, kenapa kau memanggilku Jessy?"
Aku lantas menjawab asal-asalan. "Kenapa tidak?"
Membawa badannya ke arahku dia menambahkan, "Namaku Jesslyn dan orang lain biasanya memanggilku Jess."
"Jessy maupun Jess sama saja, lagi pula Jess terdengar seperti sebuah aliran musik."
Mengamati jalanan di depan tanpa kuduga terdengar suara gelak tawa hingga terbahak-bahak dari arah samping. Memandang gadis di sampingku beberapa saat, aku pun ikut tertawa dengannya. Dia punya suara tawa yang menular.
Aku lalu menggeleng dan melanjutkan, "Jadi, Aku harus pergi ke suatu tempat. Aku akan mengantarkanmu pulang setelahnya".
Merogoh ponsel dari saku celananya dia berkata, "Tidak apa-apa, lagi pula aku hanya menumpang."
Dia berbicara terus terang, tapi nada bicaranya dibuat-buat seakan dia kesal padahal bibirnya tersenyum ke arahku sesaat kemudian mengetikkan sesuatu di ponselnya.
Kita akhirnya sampai di depan rumah Jessy satu jam kemudian. Diperjalanan pulang, dia melepas ikatan rambutnya dan menaruh karetnya di pergelangan tangannya.
Rambutnya terkena tiupan angin dari jendela mobil yang terbuka. Tuhan, aku ingin merasakan bagaimana rambutnya terasa di tanganku
Apa dia ingin membuatku kehilangan kendali?
Aku terkejut setengah mati saat dia menanyakan apa maksudku. Ya tuhan, aku baru menyadari bahwa tanpa sadar aku mengucapkan kalimat itu dengan lantang. Aku pun tidak bisa menjawab, lidahku kelu dibuatnya.
Dan di sinilah kita sekarang merasa canggung di dalam mobil. Kenapa rasanya panas sekali dan kenapa aku hanya diam saja. Ayolah, Jared. Masa kau mati kutu disaat seperti ini.
Tak lama kemudian kita sampai di depan rumahnya.
"Terima kasih telah mengantarkanku."
Jessy berucap sambil bersandar di pintu mobil di sisi di mana dia duduk dan memandangku lekat-lekat.
Aku lantas membalas dengan, "Sama-sama." Lalu ku tatap manik matanya. Hijau matanya seperti tanaman di daerah tropis. Dan aku merasa berada di dalamnya.
Entah siapa yang maju dan siapa yang bergerak lebih dulu. Bibirku merasakan sentuhan hangatnya dan hawa yang ditimbulkan dari kedekatannya. Bibirnya lembut dan kenyal—manis semanis madu. Satu tangannya terkalung di leherku dan satunya lagi menyentuh rambutku.
Tanganku bergerak dengan sendirinya, tangan kiriku mengelus pipinya dan tangan kananku membelai rambutnya yang sehalus sutera. Jadi, beginilah rasanya. Aku tidak keberatan sama sekali.
Hatiku merasakan gelenyar aneh yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.
Apakah ini normal?
Setelah merasakan sesak, akhirnya kita memutus tautan bibir kita. Bibirnya terlihat basah dan bengkak. Berapa lama kita berciuman aku sendiri tidak tahu. Selama apapun itu aku tidak akan protes.
Mengambil tas di bawah, Jessy tersenyum malu-malu. "Sampai jumpa nanti."
***
Ini adalah akhir pekan, jadi aku ingin mengajak Jack berjalan-jalan atau sekedar makan malam. Mungkin kita bisa main bowling juga.
Berjalan ke ruangan di seberang, aku membuka pintu kamarnya. Bantal dan selimutnya agak berantakan tapi aku tidak menemukan Jack di sana.
Masuk kedalam kamar, aku melangkah mendekati toilet. Lantas kubuka pintunya yang memang sudah terbuka sedikit. Aku sudah sangat sering melihat hal seperti ini di toilet sekolah. Akan tetapi, di sini—di dalam toilet adikku. Aku berbohong jika aku mengatakan aku tidak terkejut.
Jack berdiri di depan wastafel dengan sebuah serbuk putih di tangannya. Dia menghirupnya seakan-akan itu adalah oksigennya.
Darahku mulai mendidih melihatnya melakukan itu dengan mata kepalaku sendiri.
"What the fuck, Jack!"
Jack yang hampir terjatuh ke belakang jika tidak berpegangan pada wastafel menyembul kaget saat mendengar suaraku.
Tubuhnya membeku dengan serbuk putih yang sudah jatuh berceceran di lantai. Raut mukanya berubah pucat seperti melihat hantu.
"Kau pikir apa yang kau lakukan?"
Aku bertanya di depan wajahnya. Tanpa menunggu jawaban dari dirinya aku menambahkan,
"Kau ingin berakhir di penjara seperti ayah kita yang bajingan atau apa?"
Tidak heran jika suaraku sendiri terdengar hingga ke lantai bawah karena Paman Peter dan Bibi Lisa segera masuk ke toilet tak lama kemudian.
"Apa yang sedang terjadi?"
Bibi Lisa bertanya entah pada siapa. Tidak menjawab pertanyaannya aku menatap tajam Jack.
Wajah Jack terlihat kacau dengan pakaian acak-acakan serta mata yang berkaca-kaca.
"Kenapa kau malah menangis? Aku tidak butuh air matamu."
Aku terus menatapnya lekat-lekat dan berteriak, "Jawab aku!"
Masih belum berani menatapku, dia berbicara dengan suara lirihnya, "Maafkan aku."
Tidak tahan lagi dengan kelakuan Jack, Aku pun berjalan dari toilet menuju kamar. Kubanting pintu saat hendak keluar dan menuruni anak tangga.
***
Carter yang kukenal dia tidak akan melewatkan sebuah pesta, tapi saat kutelepon dia bilang—dia sedang terkena flu dan kepalanya pusing. Jadi, di sinilah aku sekarang, memegang satu botol minuman kuteguk lagi cairan di dalamnya.
Tenggorokanku terasa hangat dan terbakar. Entah sudah berapa botol yang aku minum. Mungkin tiga atau lima, atau lebih. Aku buruk dalam Matematika.
Kepalaku terasa berat dan pandanganku berkunang-kunang. Udara di dalam mobil juga terasa panas. Aku ingin sekali pulang ke rumah dan tidur di ranjang empukku.
Menyalakan mobil serta AC pandanganku tak bisa fokus, jadi aku menyandarkan kepalaku ke kursi.
Aku bisa saja pulang sekarang, tapi aku tidak yakin bisa menahan amarahku saat melihat wajah Jack nanti tanpa ingin menghajarnya.
Kenapa Jack tega melakukan ini padaku?
Aku merasa gagal menjadi seorang kakak. Aku sudah mencoba untuknya. Sayang sekali, aku kurang berusaha lebih keras lagi.
Ini semua akibat ulah bajingan itu. Hal buruk apa yang pernah aku lakukan hingga aku pantas mendapatkan ini semua. Apa dia sekarang akan tertawa senang melihat kekacauan ini semua. Dan Ibu, di mana kau saat aku sangat membutuhkanmu.
Entah berapa lama aku duduk di dalam mobil. Semua bising dari pesta, angin malam, dan otakku berkurang sedikit demi sedikit.
Di sana, kulihat Ibu duduk di sebuah meja makan. Kedua tangannya menangkup secangkir teh dengan kepulan asap di atas meja. Biasanya pemandangan seperti ini hanya terjadi saat Ibu pulang dari kerja. Tapi sekarang, aku menyaksikan ini semua seakan ini nyata. Seakan-akan aku dan dia berada dalam waktu dan tempat yang sama.
Aneh jika kuingat setiap hari aku melihatnya dan baru sadar bahwa aku merindukan hal sekecil ini.
***
Seorang pemuda tewas di dalam mobil, diduga keracunan gas akibat tidur dalam kondisi mobil dan AC menyala.
Pemuda berumur enam belas tahun ditemukan tewas dalam sebuah mobil Subaru Forester 2.0 XT Touring. Lokasinya tidak jauh dari sebuah pesta yang berada di Bedford Hills pada Sabtu dini hari. Salah seorang teman mencoba untuk mengetuk kaca jendela mobil. Namun, tidak ada respons sama sekali. Ditemukan juga sebuah botol minuman ber-alkohol di bawah kursi kemudi. Setelah diidentifikasi pemuda tersebut diketahui bernama Jared Levington. Korban tewas karena keracunan gas emisi dalam mobil. Pasalnya pendingin ruangan atau AC ditemukan masih hidup, sementara kaca mobil tertutup rapat. Sampai sekarang pihak berwenang masih melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Sedari tadi Jack tahu ponselnya terus berbunyi. Beberapa kali temannya mencoba meneleponnya. Namun, Jack sama sekali tidak ingin berbicara dengan siapa pun untuk sekarang. Menyerah, Jack akhirnya meraih ponselnya dengan malas. Saat dia akan menjawab telepon tiba-tiba panggilan sudah terputus. Tak lama kemudian muncul sebuah pesan baru dari orang yang sama—yang sedari tadi menelponnya.
Sejak semalam dirinya tidak bisa tidur, jadi mungkin dia hanya berhalusinasi. Akan tetapi, saat Jack membaca artikel tersebut dan membaca ulang untuk yang kedua kalinya—dia membeku.
Semua terjadi begitu cepat dan dia sama sekali tidak siap. Biasanya dia akan mengecek pintu kamar dan toilet dua kali untuk memastikan semuanya aman. Nasib sial memang, tiba-tiba Jared sudah berdiri di sana, memergokinya.
Jack ingin menyangkal tapi semua itu akan sia-sia. Dia memang melakukannya, dan Jared—seumur hidupnya dia tidak pernah terlihat semarah itu. Jujur Jack sangat takut, dia terlihat seperti ingin menghajarnya atau bahkan membunuhnya. Tapi entah kenapa Jared tidak melakukannya.
Walaupun begitu, kata-kata yang keluar dari mulutnya berhasil menohok hati Jack. Membuatnya susah bernapas dan tanpa disadari air mata berkumpul di pelupuk mata. Belum lagi Paman Peter dan Bibi Lisa yang terlihat begitu syok. Tidak heran jika mereka akan mengusir Jack secepatnya. Tapi, beruntungnya Jack setidaknya dia masih boleh tinggal di rumah mereka hingga pagi ini.
Cahaya matahari perlahan mulai menyusup ke dalam kamar Jack. Dia berniat menunggu Jared hingga kakaknya itu pulang, menjelaskan semuanya dan meminta maaf sekali pun dia akan menghajarnya lalu berakhir di rumah sakit nantinya.
Semua inisiatif-nya seakan tidak berguna ketika dilihatnya sebuah foto yang tersemat di artikel tersebut. Foto sebuah mobil yang terlihat tidak asing baginya.
Jack sering berangkat ke sekolah bersama dengan Jared. Terkadang dia juga meminjam mobil tersebut untuk pergi ke suatu tempat.
Jantungnya berpacu dengan cepat dan waktu seakan berhenti. Jack lalu bangkit dari tempat duduknya di samping ranjang.
Kakinya berjalan ke kamar seberang. Dibukanya pintu kamar Jared yang tertutup dan memasuki kamar. Tidak ada.
Kakinya lalu bergerak dengan sendirinya menuju lantai dasar, membuat Paman Peter dan Bibi Lisa bangkit dari kursi mereka di tempat makan.
"Jack, apa yang sedang terjadi?" Bibi Lisa berbicara.
"Ke mana kau akan pergi?" Paman Peter berteriak di belakangnya.
Jack tidak menghiraukan keduanya dan terus berjalan lalu membuka pintu depan rumah. Dicarinya mobil Jack di garasi dan halaman rumah, siapa tahu dia sudah pulang. Namun, tetap saja hasilnya nihil.
Ponsel di tangan, Jack menghubungi ponsel Jared. Mencoba untuk yang kesekian kalinya, tetap saja tidak ada jawaban. Jack berniat masuk ke dalam rumah dan meminjam mobil Bibi Lisa.
Belum sempat dia masuk tiba-tiba di sana—di jalanan terdapat sekumpulan orang berseragam polisi memasuki halaman rumahnya. Jack tidak mengenal satu pun di antara mereka.
Tangannya gemetar dan kakinya terasa lumpuh. Di antara kerumunan orang di sana—di dekat gerbang rumah mereka, berdiri seorang gadis mengenakan sweater dengan rambut merah tergerai. Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri dengan wajah yang terlihat pucat. Mata hijaunya berlinang air mata menatap Jack dalam diam.
Gadis itu adalah Jesslyn atau yang biasa dipanggil Jessy oleh kakaknya.
Apa yang dilakukan gadis itu di sini?
Jack tidak terlalu mengenal gadis itu, tapi dia sering mendengar kakaknya dan Carter menyebut nama Jessy beberapa kali. Jack sendiri pernah bertemu dengan Jessy di suatu tempat.
Jack berharap semua ini hanyalah satu dari sekian banyak mimpi buruknya. Dan sekarang dia merasa mati rasa.
Salah seorang polisi mulai berbicara tapi Jack hanya samar-samar mendengarnya. Dia tidak bodoh. Otaknya berusaha menyusun informasi di kepalanya menjadi satu. Sementara itu, hatinya hancur berkeping-keping.
A/N:
Hi, aku harap kalian suka dengan ceritaku. Sebenarnya pengen buat lanjutannya lewat adiknya yaitu si Jack. Tapi masih sekedar rencana sih. Menurut kalian gimana? Terima kasih banyak yg udah meluangkan waktu untuk sekedar membaca maupun vote serta comment. Sampai jumpa di cerita selanjutnya!
Lots of love xx
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top