Lackaday

Tema: Falling in love for the first time (Jatuh cinta untuk pertama kalinya)

Saat itu adalah salah satu hari yang cerah di awal Maret. Musim semi sebentar lagi mekar meskipun musim dingin yang kejam belum sepenuhnya meninggalkan kota. Aku berusaha menjalani rutinitas sebagaimana Harvey Mccarthy menaklukkan hari, sebagaimana diriku yang biasa. Kehidupan sekolah menengahku tidaklah super. Aku cuma pemuda kutu buku yang culun, bergabung bersama klub sepi peminat berlabel perpustakaan, dan seringnya menghabiskan waktu di sana tanpa kegiatan klub yang pasti.

Kami kedatangan anggota baru. Cowok. Namanya Skyle Watkins, dipanggil Sky (wow, serasi dengan mata biru cerahnya), baru saja pindah. Meski tampak lebih tinggi, dia seumuran denganku. Akhirnya aku punya kawan segender di antara para kutu buku cewek, dan caranya memperkenalkan diri membuatku terkesan. Sehalus butiran pasir. Secogah aktor Hollywood.

"Nah," kata Roselly si ketua klub, "kenapa kau memutuskan bergabung? Well, kau lihat sendiri. Kami tidak punya agenda bermanfaat selain menjaga dan mengatur perpustakaan, juga menyerap pengetahuan secara individu."

Sejujurnya itu bentuk insinuasi yang menyayat hati, tapi kami para anggota tidak membantah.

Seolah mengetahui pertanyaan klise tersebut pasti mengudara, Sky menjawab penuh percaya diri, "Aku mencari tempat yang menerima keberadaanku sekaligus berbagi bacaan. Setidaknya aku akan punya teman membaca di perpustakaan."

Hanya dengan balasan klise serupa, Sky resmi diterima─tentu saja kami tidak punya alasan apa pun untuk menolak. Anggota klub perpustakaan menjadi genap sepuluh orang; delapan cewek dan dua cowok. Jadi tidak salah ketika Sky menghampiriku. "Hai," sapanya, menarik kursi. "Harvey, benar?"

Entah bagaimana dia bisa tahu namaku. "Hei," balasku. "Panggil aku Harv saja."

"Baiklah, Harv. Senang berkenalan denganmu."

Sepanjang sisa sore itu kami saling membuka diri. Kesunyian yang merayapi perpustakaan tidak mengharuskan kami merendahkan suara. Sesekali para cewek menimpali, tetapi aku dan Sky lebih tertarik pada obrolan berdua saja; genre apa yang kami sukai, sejak kapan mulai menjadikan membaca sebagai hobi, film adaptasi novel apa saja yang sudah ditonton. Kami memiliki banyak sekali kecocokan. Lantas topiknya sedikit keluar jalur; mengapa Sky pindah, kelas pilihan apa saja yang dia ambil, alasanku berada di klub ini, keahlian masing-masing, sampai berbagi nomor ponsel dan tempat tinggal.

Ternyata rumah kami berdekatan. Sky menawarkanku untuk menumpang ke mobilnya. Kubilang, "Wow, kau sudah bisa menyetir." Dan dia menanggapi, "Yeah, itu bukan hal yang baru, 'kan?"

Memang bukan. Aku hanya sedikit iri karena belum diizinkan membawa mobil. Perjalanan pulang pergi sekolah yang kutempuh lewat bus akan tergantikan. Sky bersedia menjemput dan mengantarkanku. Pastilah ini awal persahabatan kami. Namun hadir desiran gairah dalam dada yang tak kunjung tenang; menghantamku kuat bagai gempuran ombak. Sesekali aku mencuri pandang kepadanya selagi Sky mengemudi.

**

Kehadiran Sky mengubah rutinitas tidak superku sebagai seorang pelajar. Di kelas-kelas yang kami ikuti bersama, aku dan Sky akan duduk bersebelahan; berbagi catatan, tugas, diskusi ringan, atau mengeluh betapa beratnya hari. Harvey Mccarthy dikenal pendiam dan berkencan dengan para buku. Sejujurnya aku takut Sky mendapati sisi lain diriku (tidak pandai bergaul, dikucilkan) yang membuatnya bosan atau menjauh, tetapi tidak. Hanya Sky yang benar-benar memperhatikanku, peduli pada apa yang kulakukan dan kukatakan. Di kelas-kelas kami yang terpisah, aku harus bertahan setidaknya hingga bel berbunyi. Kami akan saling tunggu di depan loker, kemudian pergi ke kafetaria jika itu merupakan jam makan siang atau masuk ke kelas berikutnya bersama. Aku tidak sendirian lagi.

Maka dimulailah periode baru dalam hidupku.

Ini jelas keterikatan yang memaksa kami tetap dekat. Ini jelas normal, dan orang-orang bakalan beranggapan kami bersahabat yang dilontarkan sejenis, "Hei, akhirnya Harv punya sohib!" Bisa dibilang kami nyaris tak terpisahkan. Jelas aku senang ada Sky di sisiku.

Masalahnya, kurasa sensasi emosionalku terlalu ekstrem. Aku tidak yakin apakah karena pertama kali memiliki kawan setelah sekian lama atau bukan. Yang kusadari, ada yang berbeda dari caraku menatapnya dan ketika dekat dengannya; kuharap Sky juga demikian. Walaupun konyol, aku tidak membiarkannya mengetahui gejolak ini. Setiap hari aku merasa seperti seorang penipu. Aku bisa mengepak barang-barangku sekarang, lalu bermigrasi ke Jupiter, berkelana sejauh mungkin.

Namun semua itu tidak akan menang melawan egoku yang menginginkan Sky tetap berada dalam jangkauan. Sepertinya Harvey yang bodoh telah tergila-gila pada Skyle. Plus, aku semakin merekatkan lem di antara kami. Maksudku, halo? Terlintas gagasan hengkang sementara jiwa raga keberatan?

Seseorang tolong aku.

"Harv, dari tadi kau melamun," celetuk Sky di belakangku. Kami baru saja selesai kelas terakhir dan tujuan kami sekarang tentu perpustakaan. Aku tidak sadar langkahku memimpin di depan. "Memikirkan sesuatu? Atau kau ingin pulang lebih awal?"

"Tidak. Bukan masalah besar. Hari ini ada penambahan stok buku baru. Aku akan meraih duluan seri kedua The Book of Dust-nya Philip Pullman." Buru-buru kutambahkan stamina supaya melaju duluan, berlagak seolah dalam pertarungan siapa cepat dia dapat. Aku cuma capek dengan banyak hal, semua orang juga begitu, terutama bila isi pikiran melanglang buana.

Sky tidak tertarik pada novel Philip Pullman, jagoannya adalah Laini Taylor, tapi dia lebih mencemaskanku. Aku tidak bisa menyusun alasan atau jawaban, atau menatapnya. Jadi aku bermain pura-pura; menghampiri para cewek, membantu menyusun buku-buku baru, sebisa mungkin menghindari Sky, lantas meraih novel Philip Pullman yang berjudul Serpentine. Seharusnya rasa bungahku meletup-letup di seisi ruang dada; berhamburan bagai kupu-kupu yang terbang.

Namun itu tidak terjadi. Otakku melakukan trik-trik aneh untuk membuatku merasa payah lagi. Aku bahkan lupa pada rutinitas pulang bersama kami. Sial.

"Hari ini kau seperti bukan dirimu," komentar Sky begitu menjauhi gedung sekolah. "Kau mendapatkan serinya, tapi kurang antusias. Kau baik-baik saja?"

Ada momen-momen tertentu di mana aku tergoda mengutarakan apa yang sebenarnya mengganggu atau terjadi. Berusaha jujur, lebih tepatnya. Tetapi godaan itu memudar di balik kenyataan. Aku tak bisa berbagi soal ini karena, sejauh yang Sky tahu, kami cuma berteman. Aku takut membuatnya marah, kecewa, dan persahabatan kami rusak.

"Mungkin hanya capek," jawabku.

"Aku juga, kau tahu? Kita manusia-manusia stres."

"Manusia stres," ulangku setuju.

Sky tertawa renyah seraya merangkul bahuku sebelum terlepas begitu masuk ke mobil dan berkendara. Dia memaksaku ikut dengannya setelah kusadari jalur yang kami tempuh bukan menuju arah rumah. Bukan hal baru bila kami menghabiskan waktu di luar sekolah, tapi jangan sekarang─please.

**

"Jadi ... ini di mana?"

Sky merentangkan tangannya, menyambut suasana tempat yang kami pijaki. "Pameran buku akbar, terutama panggung menyorot para penulis baru lahir. Kau tidak tahu, 'kan? Ayo, kau butuh refreshing!" Ia menyeretku menuju loket dan membeli tiket, kemudian kami masuk ke pamerannya. Dia kelihatan senang.

Orang-orang berskala besar hilir mudik di hadapan kami. Sketsel khusus buku yang lebar dan tinggi, lebar dan rendah, berjejer rapi. Ada pula yang diletakkan pada meja-meja memanjang. Bukan hanya bukunya saja. Berbagai katalog mengenai perjalanan bagaimana si penulis menuliskan kisahnya juga dibagikan. Bahkan wawancara eksklusif beberapa penulis juga hadir di berbagai sudut, dikelilingi para wartawan sekaligus penggemar.

Surganya para pecinta buku. Bisa-bisanya aku tidak mengetahui pameran ini.

Dekorasi sekaligus penerangannya memberi impresi megahnya kerajaan, klasik, bangsawan, seperti pesta-pesta dansa. Atau barangkali cuma aku yang sedikit hiperbola soal keeleganan ini. Omong-omong, aku pecinta dunia imajinasi garis keras, jadi tidak salah ketika otakku terdidik seperti itu. Seharusnya aku bisa menikmati pamerannya; hanyut dari satu buku ke buku lain, menilik sampul dan blurb, mengintip isi bab dan halaman awal, kemudian diserang bimbang buku mana yang harus kubawa pulang.

Sky benar. Hari ini aku tidak seperti diriku. Aku benar-benar tidak bisa bermain pura-pura sekarang. Usaha mengekori ke mana pun Sky menuju dan menaruh atensi pada buku-bukunya tak sanggup kulanjutkan lagi. Terus-menerus dihadapkan sekumpulan objek bergerombol membuat kepalaku pening, kesulitan menarik napas, juga hasrat memuntahkan isi perut. Aku mencari sudut kosong dan menepi.

Entahlah, aku tidak ingin mengganggu Sky. Buku-buku ini adalah dunianya, begitu juga denganku. Sky hanya tidak tahu kalau dia sudah masuk ke duniaku melebihi para buku. Dia tidak tahu soal perasaanku yang melebihi seorang teman, meskipun aku sendiri kurang yakin dan tak terlalu mengerti; sebenarnya perasaan apa yang merasukiku? Ini pertama kalinya, sungguh. Aku bertanya-tanya apa yang salah pada diriku, tapi kutahu ini normal. Aku capek mencari tahu. Seperti inilah cinta.

Sky memanggilku dari kejauhan. Aku ingin menoleh, kembali bersamanya, dan meyakinkan kondisiku baik-baik saja. Tetapi tubuhku tak sanggup melanjutkan permainan pura-puranya, kecuali satu hal yang akan menjadi sebuah kesempatan. Ketika Sky menghampiriku, aku pura-pura hampir pingsan hanya supaya dia memelukku. Dan Sky melakukannya, aku tenggelam ke dalam pelukannya yang hangat.

"Harv?! Kenapa? Kau sakit?" tanyanya kalang kabut. Aku mendengar detak jantungnya berpacu tak karuan. "Kita harus ke─"

"Biarkan seperti ini dulu." Aku menyela lirih, tak membiarkan pelukannya lepas. Aku masih ingin tenggelam. "Sebentar saja ... hanya sebentar. Kumohon."

Mungkin sesekali Sky juga mengerti kata-kata tak akan cukup, jadi dia membiarkanku. Saat ini aku hanya perlu ditemani bahasa tubuh. Itu memberiku sedikit kekuatan alih-alih kalimat penenang yang melakukannya. Aku yakin tidak ada yang memperhatikan sekalipun pameran ini sesak akan kehadiran banyak orang. Kami sepenuhnya tersesat, terabaikan, tak kasat mata. Mereka dengan urusannya, dan kami dengan urusan kami sendiri.

"Sky," bisikku, hampir tak terdengar. Aku tahu dia sahabatku yang paling berharga dan seharusnya aku tidak mengatakan ini, tapi harus. "Aku mencintaimu."

Itu tidak cukup. Seiring berlalunya waktu, satu-satunya harapan adalah kata-kataku akan menjadi cukup, yang entah kapan. Aku harus membuktikannya bersamaan dengan bahasa tubuh; bagaimana aku memperlakukannya dari perilaku kecil yang sudah kulakukan seperti tatapan mata. Tetapi aku sama sekali tidak mengerti apakah ini akan membuat segalanya lebih baik atau buruk.

Sky tidak bereaksi apa pun. Hingar-bingar pameran melindungiku. Dia tidak mendengarnya, atau mungkin berpura-pura tak dengar. Dia seharusnya marah padaku karena berani mengutarakan sesuatu yang menggelikan. Aku bahkan semakin merasa konyol. Tidakkah aku kelewatan batas? Air mataku terbit. Sekali lagi, aku tidak menanamkan harapan.

Ke arah manakah yang harus aku tuju? Ke mana sebaiknya aku melangkah? Apakah ini penyakit atau patah hati? Hal terberat yang akan terangkat selama sisa hidupku adalah mengubur perasaan ini, karena seharusnya itu bukanlah pilihanku. Mungkin kalau Sky mendengarku dan tetap menerimaku, dengan begitu aku akan berhenti merasa seperti penipu.

Tetapi tidak ada apa-apa.

Kosong.

Kosong.

Hari ini aku benar-benar tersesat. []

A/n: maaf bila perpindahan waktunya terlalu cepat, terus ending-nya ngegantung. Dan, mungkin, di masa depan, aku berniat menuliskan versi novelnya. Just wait and let's see ... thanks pokoknya buat yang sudah mampir <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top