Chapter 1

Setelah dua tahun tidak bertemu dan tidak bertegur sapa, kami malah dipertemukan dengan cara paling konyol. Satu kantor. Ya, Tuhan... membayangkan saja sudah membuatku jengkel. Di antara banyaknya manusia, kenapa harus Expan?

"Ini ruangan kalian berdua."

Kalimat itu membuyarkan segala kekesalanku akan penolakan kenyataan gila ini. Kulihat ruangannya hanya diisi dua meja kerja lengkap dengan komputer dan printer. Tidak ada meja lain selain dua meja yang saling berhadapan. Entah ini jebakan atau Wilmar mendoakan aku mati perlahan karena satu ruangan dengan Expan.

"Pak Wilmar," panggilku. Wilmar menoleh padaku dengan mulut terbuka seolah ingin menjelaskan sesuatu. "Saya di sini, Pak? Saya pikir akan bersampingan dengan yang lain di luar," tanyaku dengan wajah memohon. Tolong, tolong. Semoga Wilmar mengerti maksud ucapanku ini.

"Biliknya udah penuh makanya sengaja mengosongkan ruangan ini untuk kamu dan Expan. Di ruang sebelah juga udah penuh. Jadinya ini satu-satunya ruangan yang tersisa. Seandainya nanti ada yang baru pastinya gabung ke ruangan ini," jelasnya santai.

Menyesal. Satu kata itu muncul setelah aku mendengar penjelasan Wilmar. Satu kantor, satu ruangan, nanti apa lagi? Wilmar benar-benar menguji kesabaranku. Jangan sampai aku hancurkan bangunan ini karena kesabaranku habis.

"Semoga kalian suka dengan ruangannya ya." Wilmar melempar senyum tanpa dosa. "Oh, ya. Setelah ini ada kasus yang ingin saya berikan untuk kalian berdua."

Apa dia sudah gila? Aku tidak mungkin mengurus kasus bersama Expan. Yang ada aku mati duluan karena pusing menghadapi sifat keras kepalanya. Expan bukan orang yang mau mengalah. Waktu menikah denganku saja kami sering memperdebatkan hal-hal kecil yang menurutku tidak penting. Apa jadinya jika aku mengurus kasus dengannya? Ini pertanda buruk. Aku yakin hari-hariku akan dipenuhi emosi sampai pulang.

"Kalau boleh tahu, apa kliennya sudah datang kemari? Atau, baru akan datang menjelaskan permasalahannya, Pak?" tanya Expan. Cara bicaranya terlihat santai seolah-olah tahu bagaimana bekerja sama denganku.

"Kliennya sudah datang kemarin. Tapi hari ini mereka datang lagi. Saya sudah bilang sama Veta dan Jerim kalau kalian akan langsung membantu di hari pertama bekerja." Wilmar menjelaskan panjang lebar.

Jengkel karena diberi kerjaan di hari pertama? Tidak. Aku jengkel karena harus mengerjakan kasus ini bersama dengan Expan. Aku ingin menukar posisiku dengan pegawai lain dari ruang sebelah atau di luar. Jika aku melakukan itu bisa dikira tidak profesional. Ini benar-benar pilihan yang sulit.

"Kalau begitu saya..." Wilmar menggantung kalimatnya. Aku penasaran ketika dia menoleh ke belakang dan melihat seorang perempuan yang menyembulkan kepala dari balik pintu setelah mengetuknya. "Kenapa, Alena?"

"Permisi, Pak. Maaf mengganggu. Bu Esna sudah datang. Saya sudah menyuruhnya menunggu di ruang rapat." Alena, resepsionis kantor, memberitahu.

"Oke, terima kasih. Saya akan segera ke sana." Wilmar menatapku dan Expan bergantian. "Nah, kliennya udah datang. Namanya Bu Esna," jelasnya.

Untuk sekarang ini aku hanya bisa pasrah. Aku harus bertahan sebentar sebelum aku memikirkan cara keluar dari kantor ini.

*****

"Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi."

Aku mengabaikan ucapan Expan. Terserah dia mau bilang apa saja. Aku tidak mau peduli.

"Kamu masih marah sama aku karena masalah terakhir kali sebelum cerai?" Expan bertanya tanpa basa-basi, membuat aku terkejut.

Pandanganku beralih padanya. Aku paling benci ditanya seputar masa lalu yang sudah kutinggalkan dulu. "Nggak. Berhenti bahas-bahas masa lalu. We're just a stranger now," jawabku tegas.

"Aku tahu kamu masih marah dan kecewa. Aku kenal kamu nggak cuma sehari atau dua hari, Laciara. I know you for a long time. Kalau kamu masih marah, it's okay. Tapi tolong jangan berpikir—"

"Cukup. Aku nggak peduli," aku menyela dengan cepat karena tidak ingin obrolan ini berlanjut.

"Ya udah, kalau itu mau kamu." Expan menghela napas dan menatapku dengan tatapan pasrah. "Oh, iya. Kamu mau makan bareng nggak?" tanyanya.

"Nggak. Thank you."

"Yakin? Kamu mau makan sendirian?"

"Makan sendiri atau nggak bukan urusan kamu. Kalau mau makan ya udah sana makan aja duluan. Repot banget," jawabku ketus.

"Aku benci kamu yang begini."

"Bagus. Aku lebih benci sama kamu." Aku merapikan barang-barangku supaya bisa segera meninggalkan ruangan terkutuk ini. Setelah barang-barang penting sudah kumasukkan ke dalam pouch yang sengaja kubawa jika pergi makan saat istirahat, aku segera bangun dari tempat dudukku. Expan masih berdiri di depan mejaku, menatap dengan tatapan yang tidak dapat kumengerti. "Jangan berdiri di situ. Kamu menghalangi jalan."

"Padahal jalanan lega. Aku nggak ngalangin apa-apa. Kamu nih sewot terus. If you hate me because of our—"

Aku menyela, "Stop right there. Jangan dilanjut. Aku nggak butuh ceramah kamu siang-siang gini."

Tok! Tok!

Ketukan pintu terdengar dari luar. Expan membukakan pintu. Aku melihat pintu, menemukan Wilmar yang tengah melempar senyum kepada kami berdua.

"Gue mau ngajak kalian makan bareng. Kalian nggak ada janji sama yang lain, kan?" tanya Wilmar.

"Gue nggak ada. Nggak tahu kalau Cia," jawab Expan.

"Gue ada janji. Kalian lunch berdua aja."

"Beneran nggak ikut, Ci?" Wilmar bertanya lagi seolah tidak yakin aku punya janji sama orang lain.

"Iya. Gue duluan." Aku menepuk pundak Wilmar sebelum akhirnya keluar dari ruangan.

Aku melewati bilik-bilik yang ditempati beberapa pengacara lainnya. Setelah dihitung, pengacara kantor Wilmar ada sekitar dua belas termasuk aku dan Expan. Pantas saja firma hukumnya selalu ramai. Yang aku dengar, firma hukum Wilmar mengurus berbagai kasus. Tidak hanya perdata, tapi juga pidana. Sebelum Wilmar mengurus kantor ini sendirian, Wilmar punya partner yang tidak kalah hebat. Aku lupa siapa namanya karena tidak terlalu tertarik juga menanyakan namanya. Namun, partner Wilmar itu memutuskan menetap di London dan meninggalkan Wilmar mengurus kantor seorang diri. Ya, tentunya sekarang sudah ada pengacara-pengacara lain yang mulai menemani Wilmar mengurus firma hukumnya.

Kini, aku berdiri di depan pintu lift, menunggu lift yang masih berada di bawah.

"Apa sih maksud kamu? Aku nggak selingkuh!"

Aku mengernyit mendengar kalimat penuh teriakan itu. Siapa yang bertengkar siang bolong begini?

"Aku sama dia cuma temenan. Nggak lebih dari itu!"

Sekali lagi suara itu menggangguku. Aku tidak perlu mencari tahu. Ini bukan urusanku. Aku hanya perlu turun dari sini dan makan dengan tenang.

"Apa kamu nggak gitu? Kamu bilang dia cuma sahabat. Tapi apa yang aku lihat? Kamu mesra sama dia!"

Kalimat itu mengganggu ketenanganku lagi. Lalu, mendadak hening. Kali ini aku tidak bisa tinggal diam. Aku perlu menegur mereka yang sedang bertengkar. Aku beranjak dari depan lift, mencari tempat yang sekiranya cocok dijadikan tempat bertengkar tanpa ada yang melihat.

Aku belum menjelajahi bangunan kantor firma Wilmar yang besar dan luas. Bangunan ini terdiri dari tiga tingkat. Di bagian paling atas ada rooftop yang sengaja dihias dengan bunga-bunga supaya klien yang bosan bicara di dalam ruangan bisa menikmati pemandangan di atas. Sekiranya bagian rooftop adalah bagian yang paling kutahu karena kakak sepupuku yang memberitahu.

Langkahku terus memandu entah ke mana sampai tiba di ruangan paling ujung sebelah kiri. Di sana aku membuka pintu dan melihat hal yang mengejutkan. Kulihat seorang laki-laki menampar perempuan yang tersungkur secara berulang.

Aku geram. Tanpa pikir panjang, tanganku terulur menarik laki-laki itu dan memelototinya tajam.

"Heh! Laki-laki biadab! Beraninya lo mukulin perempuan!" omelku kesal.

Aku lupa siapa nama perempuan itu. Namun, dia ikut menyambutku dengan tepuk tangan saat perkenalan masuk kerja tadi pagi. Berbeda dengan laki-laki sialan ini yang tidak menunjukkan reaksi apa-apa.

"Anda nggak usah ikut campur urusan orang lain ya," omelnya tak kalah galak.

"Gue nggak mau ikut campur tapi cara lo memperlakukan perempuan nggak bisa ditolerir." Aku menunjuk perempuan itu yang tengah menangis. "Dia udah tersungkur terus lo tampar bolak-balik. Lo masih sebut diri lo laki-laki? Sakit lo! Dasar pengecut!"

Laki-laki itu menatapku galak. Aku menantangnya dengan tatapan tak kalah galak. Aku tidak peduli. Sialnya, aku tak sempat mengantisipasi saat laki-laki itu mendorongku sampai jatuh.

"Cih! Dasar gila!" Aku mengusap sikuku yang sakit menghantam lantai. Karena tidak ada alas apa pun, sakitnya sangat terasa.

"Cia!" Panggilan itu memenuhi ruangan. Kulihat Expan berlari ke arahku dan membantuku berdiri. "Kamu baik-baik aja?"

"Don't mind me. Lebih baik urus laki-laki sinting itu."

"Kamu diapain? Dia dorong kamu?"

"Iya. Dia dorong aku sampai jatuh. Dia marah gara-gara aku ngomelin karena sikap biadabnya," jawabku lantang.

"Benar itu, Aren?" Wilmar menatap laki-laki itu dengan sorot tajam. "Terus kenapa Nindy nangis?"

"Nindy nangis karena didorong sama manusia gila itu terus ditampar bolak-balik. Itu yang dimaksud biadab. Pengecut!" jawabku lebih dulu. Aku tidak peduli didorong lagi atau ditampar. Selama aku melakukan hal yang benar, maka aku tidak akan takut.

"Ng-ng-nggak, Pak. Saya nggak melakukan itu," elak laki-laki itu.

"Masuk ke ruangan saya sekarang, Aren." Wilmar berbalik badan dan perlahan menghilang dari tempatku berada.

Laki-laki itu menatapku tajam.

"Mau apa lo liat-liat gue? Mau ngancem?" tantangku.

Laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa selain keluar dari ruangan menyusul Wilmar. Aku pun melihat perempuan bernama Nindy itu. Kuulurkan tanganku dan membantunya berdiri.

Aku melihat tisu di ruangan ini, lalu mengambilkannya dan memberikan pada Nindy.

"Kalau kamu didorong kayak gitu, kamu teriak yang kenceng. Seharusnya kamu nggak diem aja. Dia nampar kamu bolak-balik," ucapku kesal. Mengingat kejadian tadi membuat darahku mendidih.

Nindy tidak mengatakan apa-apa selain menangis di hadapanku. Melihatnya menangis membuatku merasa bersalah karena datang di saat perempuan itu ditampar. Andai saja waktu mendengar dia berteriak aku bergegas datang, bisa saja kejadian itu tidak terjadi.

"Jangan menangisi pacar gila kayak gitu. Cari lagi yang lebih baik. You deserve someone better than him," kataku sembari menepuk pundaknya.

Nindy menaikkan pandangan dan menyeka air matanya dengan tisu. "Dia suami saya, Mbak."

Aku diam. Suaminya? Aku spontan melirik Expan. Walau pernikahanku dengan Expan gagal karena suatu hal, setidaknya itu bukan karena Expan main tangan. Expan tidak pernah memukulku. Bahkan membentak saja tidak pernah.

"Saya permisi, Mbak. Makasih atas bantuannya. Saya ingin jelasin sama Pak Wilmar dulu," pamitnya.

"Iya, sama-sama." Aku ingin menasihati lebih dari ini tapi takut dikira ikut campur. Namun, bibirku tidak tahan kalau diam saja. "Seandainya dia masih mukul kamu, jangan diam aja. Meskipun dia suami kamu, dia nggak seharusnya memperlakukan kamu kayak gitu," lanjutku.

"Iya, Mbak. Terima kasih untuk bantuannya. Saya permisi." Nindy keluar dari ruangan, menyisakan aku berdua dengan Expan.

"Kamu beneran baik-baik aja? Ada yang sakit?" tanya Expan.

"Aku baik-baik aja. Nggak ada yang sakit." Aku menahan sakit di sikuku. Walau tidak lecet, tapi lumayan juga terbentur seperti tadi. "Makasih."

"Syukurlah kamu baik-baik aja. Aku khawatir waktu denger suara kamu tadi."

"Kamu denger suara aku?"

"Iya. Suara kamu kedengeran. Makanya aku nyamper ke sini. Kamu tersungkur begitu. Aku kaget."

Ternyata Expan mendengar suaraku yang nyaring. Aku berterima kasih dia datang meskipun tanpa kedatangannya pun aku bisa membela diriku dan Nindy sendiri.

"Lain kali jangan bertindak seenak kamu. Kalau sampai dia mukul gimana? Kita nggak tahu gimana seseorang, Cia."

Aku menatapnya tajam. Kutarik lagi rasa terima kasihku. Dia malah ceramah sekarang. "Kalau dia mukul, aku tinggal lapor polisi."

"Iya, tahu. Kamu bisa lakuin itu. Seandainya dia mukul kamu sampai luka parah dan nggak bisa minta pertolongan gimana? Lain kali kalau ada kejadian kayak gini, kamu telepon aku. Biar aku bisa bantu kamu."

Expan ini menyebalkan sekali ya. Bikin aku tambah emosi.

"Denger ya, Expan. Tanpa kamu pun aku bisa ngelakuin apa-apa sendiri. Kalau aku telepon kamu dulu, keburu dipukulin sampai parah si Nindy itu. Kamu bukan siapa-siapa aku lagi. Kenapa sih harus cerewet ngasih tahu ini dan itu? Mind your own business!"

Aku melewati tubuhnya. Sebelum aku membuka pintu, aku mendengar suara Expan.

"Aku nggak mau kamu terluka, Cia. Aku khawatir."

Aku menarik senyum miring, lalu menoleh ke belakang. "Khawatir? Buat apa kamu khawatirin aku? Bukannya kamu lebih khawatirin Duchess?"

"Duchess? Kamu masih ngira aku ada something sama Duchess?" tanyanya.

"Iya. Bukannya kamu cinta sama dia?"

"Come on, Cia! Kamu tuh selalu mengira hal yang nggak pernah terjadi. Aku nggak ada apa-apa sama Duchess. Dan perlu kamu tahu, aku nggak cinta sama dia. Kamu tahu siapa yang aku cinta? Kamu. Aku masih cinta sama kamu, Cia," ucapnya dengan suara yang jelas.

Aku bisa mendengar semua kalimat Expan dengan jelas. Setiap penekanan dalam kalimat itu menunjukkan keseriusannya. Aku tidak mengatakan apa-apa lagi selain membuka pintu dan pergi dari sana.

Cinta? Aku tersenyum pahit. Aku tidak percaya kata-kata itu lagi.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top