22
Membangun sebuah keluarga bukan perkara yang remeh. Ada banyak pola yang hanya dipakai sebagai citra, dulu Jimin berpikir bahwa menikah dan sebuah hubungan keluarga bukan konteks yang sulit untuk dijalankan. Ia berpikir semua hal yang dikhawatirkan banyak orang hanya bual, sebab dua orang tuanya hanya perlihatkan hal manis yang tak punya ujung. Jimin jadikan apa yang ia lihat sebagai pegangan, ia percaya bahwa sebuah keluarga memang fundamental dari rasa-rasa manis dilahirkan dan tumbuh.
Sayang sekali sebab Jimin hanya diberi kesempatan untuk menyaksikan, sebab ketika dirinya putuskan untuk melakoni hal yang serupa dengan orang tuanya, yang didapatinya hanya garis-garis luka yang memanjang ke segala bagian. Memang benar bahwa tubuhnya tak retak, bahwa kalbunya masih begitu utuh meski telah ribuan kali patah, serta bagian dari dirinya yang telah dirampas untuk berfungsi sebagai mana mestinya. Jimin merasa sudah cukup tamat merasai radang sayatan yang tak hanya membekas, melainkan terasa kekal dan terus basah dengan darah di balik dadanya.
Padahal, Jimin ingat tak pernah meninggikan asanya, pun tak pernah berharap tunas yang ia tanam menggunakan separuh dari bagian hatinya akan tumbuh segar di atas lahan yang keliru. Jimin tak lagi peduli pada siapa Hyunji akan bertahan hingga akhir, sebab ketika ia meringkus sendiri serat-serat feminin dari dalam lemari kamar, periode itu menjadi satu konklusi yang jelas dan terasa begitu tepat mengingat banyaknya luka yang telah ditambat pada beberapa pihak. Memang begini akhirnya.
Meski semua itu tak sungguh-sungguh berakhir, sebab Hyunji masih duduk diam di atas ranjang sembari memperhatikan dirinya dengan linang kristal yang terjun putus-putus. Jimin beberapa kali mendengar ada isak di balik punggungnya, tetapi meski begitu ia tak juga ingin menyapa atau menanyakan mengapa harus ada tangis di antara dekret yang telah mereka putuskan bersama kemarin malam. Parsial dari keributan otaknya, Jimin pun tak paham mengapa retinanya terasa panas dan penuh oleh genang sungai yang siap banjir pada seluruh epidermis muka. Ah, pada akhirnya aku yang meringkus sendiri baju-baju Hyunji. Namun memangnya Jimin memutuskan ini sendirian saja? Lalu mengapa ketika dua-duanya telah percaya bahwa apa yang mereka petik dari panjangnya diskusi harus merasa patah lagi untuk ke sekian kali?
Hati Jimin nyeri lagi, pakaian Hyunji yang ia lipat rapi di dalam koper jadi kelihatan buruk sekali. Harusnya ada pilihan yang lebih baik dari ini, bukankah keduanya telah memutuskan untuk baik-baik saja sebab pernikahan mereka bukan lagi tentang cinta? Lalu mengapa juga Jimin harus menjadi pihak yang lagi-lagi mendapat satu tusukan dari tiap keputusan yang dua-duanya telah sepakati?
"Bagaimana kau akan hidup sendirian setelah ini, Jim? Kau bahkan sering membiarkan berkas kerjamu berserakan di meja dan kehilangan jam tanganmu setiap pagi."
Ya, bagaimana aku akan hidup sendiri? Meremas pelan serat terakhir yang tersisa di dalam lemari, Jimin tak jadi memasukkan pakaian tersebut untuk di satukan dengan serat-serat lain yang lebih dulu telah tidur nyenyak dalam kubus lebar yang dangkal.
"Itu sebabnya kau harus cepat sembuh, Ji. Aku bahkan belum banyak belajar menyimpan barangku dengan benar."
Hyunji di belakangnya tak lekas beri tanggapan, Jimin juga tak menuntut apa pun selain menutup ritsleting koper kemudian mengangkat kaus hijau lembut bergambar kacamata untuk diekspos pada pandangan Hyunji. "Aku akan menyimpan yang satu ini. Jangan terlalu keras padaku, aku harus memeluk satu barangmu untuk tuntaskan rindu."
Ada beberapa lembar tisu yang berserak di atas ranjang, dan Jimin paham bahwa kali ini semua kekacauan dalam bidang-bidang rumah akan penuh menjadi tanggung jawabnya. Ada begitu banyak tugas yang melipat-lipat untuk Jimin kerjakan, lalu kini lelaki tersebut bahkan tak lagi punya alasan serta tenaga untuk melakukan semua hal itu. Sudah cukup muak rasanya.
"Hatiku, Jim." Hyunji meremas dadanya. "Di dalam sini rasanya sakit sekali."
Meski sejujurnya Jimin ingin mengangguk, membenarkan bahwa tak ada rasa paling hebat yang mampu singgah kemudian menghancurkan diri dari dalam selain luka pada organ subtil yang bersembunyi di balik rusuknya. Jimin sangat paham seperti apa sakitnya, sebab itu adalah afeksi yang setiap hari menggigit habis kewarasannya pelan dan sangat pelan.
"Hei, jangan merasa bersalah, Sayang," kata Jimin dengan lirih. "Aku sudah cukup matang mempersiapkan diriku. Hidup sendirian selama beberapa waktu bukan persoalan yang harus dibesar-besarkan."
Dan memang sesungguhnya Jimin lebih licik daripada apa yang orang-orang lihat. Lelaki itu pandai mengatur wajahnya untuk tak dikata sakit, juga lebih dari itu ia sangat-sangat halus dalam setiap langkah hingga semua terkecoh dan berpikir bahwa semua yang terjadi dalam hidup Jimin memang tak cukup berat untuk lelaki itu lalui dengan tenang.
Bunyi roda koper ketika menggores lantai seolah menjadi satu wakil dari jantung Jimin sendiri yang cacat. Di depannya, Hyunji berjalan sembari menenteng tas besar serta mencengkeram satu jaket yang ia yakini sebagai miliknya. Sekarang aku bahkan mengantarkan kepergiannya dengan sangat mudah. Memangnya ada yang lebih paham daripada Jimin sendiri ketika melihat satu mobil telah terparkir rapi bersama dua buntalannya yang heboh bukan main kelihatan bahagia. Ah, sial. Ini akan menjadi satu kebohongan besar yang tak akan pernah Jimin lupakan disisa-sisa hidupnya.
"Papaaa!" Bae melongok dari jendela. "Janji, ya akan segera menyusul kita? Kita tidak bisa menikmati liburan keluarga di rumah nenek jika tidak ada Papa."
Mendengar suaranya saja Jimin terasa mati. Ini lebih pada seperti menjemput maut dengan lelucon yang konyol. "Setelah urusan kantor papa selesai, kita akan bermain-main dengan puas di rumah nenek, ya," sahutnya dibumbui lambaian.
Hyuk rupanya tak mau tertinggal. "Kita akan melanjutkan proyek kita tentang mewujudkan keluarga bahagia dalam satu hari di sana, kan? Papa tidak boleh datang terlambat. Atau Papa akan menyesal."
Kemudian dua kepala itu lenyap lagi. Bersembunyi pada rahim mobil serta menghidupkan kembali dunia kecil mereka yang penuh polemik anak-anak. Hyunji melihat lagi arlojinya sebelum menyentuh kantung matanya yang masih membengkak sisa tangis yang baru saja reda. Jimin tak ingin menebak apa yang lebih menyedihkan di sini, atau siapa yang paling dirugikan dari keputusan untuk berpisah dalam waktu tak ditentukan hingga Hyunji benar-benar menemukan kenyamanan lagi di dekatnya. Mereka memutuskan untuk melonggarkan rekatnya hubungan mereka dengan hidup terpisah demi satu kesembuhan.
"Busan bukan kota yang jauh. Tetapi aku merasa jaraknya sangat terbentang ketika tahu bahwa aku bahkan tak boleh datang ke sana untuk menemuimu ataupun anak kita."
"Kau bisa menelepon anak-anak, Jim."
"Tapi tidak bisa mendengar suaramu."
Hyunji diam selama beberapa waktu, ada galau yang pecah lagi di balik retinanya. Perempuan tersebut menunduk lebih dalam, menggigit kembali bibir dalamnya hingga mengelupas dan berdarah.
"Kita sudah bicarakan ini. Aku selalu sakit ketika mendengar vokalmu."
Tawa sumbang Jimin dilepas dengan sangat tipis. "Aku tahu, Sayang. Yang aku benci sekarang adalah membiarkanmu terjun sendirian dalam penyesalan. Padahal aku dapat menerimanya dan akan terus baik-baik saja."
Hyunji mengerjap-ngerjap lagi, tampak mengusir air bening asin yang mendanau kembali pada pelupuknya yang belum sepenuhnya suci. Membicarakan ini selalu berakhir buruk dan tak dapat diperbaiki.
"Aku pikir, kau akan menjauhiku dengan mengira aku telah kembali bersama Yoongi."
Jimin tersenyum, tangannya tak diam. Ia membiarkan bagian itu mengelus bahu istrinya sambil berucap. "Aku harus menjadi lelaki baik yang menghormati seluruh hidupmu." Begitu ia bilang. "Kau tidak hanya hidup denganku, sebelum itu kau adalah presensi bebas yang dimiliki dirimu sendiri. Perihal bersama siapa kau melahirkan tawa, atau seperti apa jalanmu berbuat dosa, itu akan tetap menjadi bagian dari hidupmu di masa lalu, dan aku berkewajiban untuk menghormati itu. Hal itu juga berlaku bagi masa depanmu, apa pun yang akan kau putuskan selagi bukan persoalan sepihak dengan mengajakku bicara baik-baik, aku akan menghormatinya. Kau wanitaku, istriku, juga ibu dari anak-anakku. Seluruh hidupmu sesungguhnya telah lama menjadi tanggung jawabku, memberimu kenyamanan, memuaskanmu dalam segala hal, kemudian berjanji untuk tak melukai jika bisa. Karena itu jika memang seandainya Yoongi lebih dapat menjamin bahagiamu dibanding aku, aku juga akan menghormatinya, dan memberimu waktu untuk berdamai sebelum mengajarimu dengan sebaik-baiknya cara agar kembali pada jalur di mana kau seharusnya berada."
Ibu jari Jimin bergerak cepat ketika menemukan satu bulir air mata jatuh lagi dari pelupuk mata Hyunji yang merah. "Sekarang, segeralah sembuh dan kembali padaku."
Jimin ingat seberapa erat Hyunji memeluknya kala itu. Pelukan yang penuh gemetar, sebab barangkali perempuan tersebut masih begitu sakit dan ketakutan. Mereka membagi lagi patah hati hingga menjadi serpih paling halus. Lebur dengan banyak rasa yang cacat dan pedih. Jimin tahu bahwa tidak hanya dirinya yang paling tersiksa, jika mau percaya tak pernah ada korban di rumah tangga. Keduanya diadili oleh sakit yang sama, oleh hancur yang kembar, serta patah yang serupa. Itu sebabnya ketika Jimin membuka pelukan untuk membiarkan Hyunji sungguh-sungguh lepas untuk pulang ke rumah ibunya, Jimin tak dapat lagi menahan dadanya yang sesak luar biasa.
"Jim. Jika seandainya aku tak dapat sembuh bagaimana?"
Butuh waktu lama untuk membiarkan alat rungu Hyunji senyap akibat jeda panjang. Jimin kesulitan membuka jawaban, memangnya semua penyakit harus sembuh? Jika iya, pertanyaan Hyunji sangatlah normal untuk dilepaskan. Sebab tak hanya soal berpandang positif, terkadang semua orang dipaksa untuk berekspektasi buruk demi mengurangi kesakitan jika fakta telah sangat jelas.
Itu sebabnya Jimin mengulurkan tangan untuk mengusap pucuk kepala Hyunji sembari bilang dengan sendu, "Aku tidak apa-apa, Ji. Cinta tidak harus selalu menang." Yang mana artinya Jimin juga harus menyiapkan diri untuk kembali kehilangan. Sebab dalam penantian yang tak menjamin kepastian, Jimin hanya memiliki dua kemungkinan:
Menjadi pria yang beruntung, atau tidak akan ada lagi Hyuk, Bae, dan juga Hyunji.[]
Sampai ketemu di versi buku :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top