21

Ada banyak warna dalam rahim semesta, tentu saja semua iris tahu seperti apa pesonanya dari tiap kroma. Namun pada akhirnya Jimin harus kembali menerima fakta bahwa hanya ada satu kroma yang gemar singgah dan kerap menjadi teman dari rasa-rasanya, kroma yang menjadi mantan kesukaannya, abu-abu.

Jimin tahu bahwa tak ada yang dapat diasakan dari awal. Bermula dari kekeliruan, yang akan ia ingat sebagai satu langkah paling benar. Sebab dari semua dekret yang ia ambil, kali ini Jimin tahu bahwa bukan hanya suaranya yang menarik hidup orang lain, tetapi takdir juga andil dalam penarikan perempuan tersebut dalam dunianya yang kecil. Yang Jimin tahu adalah bahwa cintanya telah benar-benar jatuh pada satu kalbu. Singgah pada satu kursi yang diklaim sebagai singgasana paling sempurnanya. Dalam pikirnya paling dalam, tak hanya sempit yang Jimin rasai setiap hari, tetapi juga ada beberapa kali kesempatan ketika ia terima banyak sekali tawa-tawa dalam waktu-waktu yang lupa ia syukuri.

Terseok-seok di antara kenang, kaki-kaki ingatan Jimin berhenti pada satu wilayah yang mana di sana ia pernah duduk di sisi ayunan bayi sembari menggoda satu buntal perempuan yang terkikik-kikik lucu sekali. Ada lemak yang tebal pada tiap belah pipi, serta pada bagian kelopak mata yang lebih sering dipaksa buka dengan binar ingin tahu apa-apa di rahim dunia. Jimin ingat ia memegang satu mainan anak-anak berupa satu buah mainan berbentuk pisang berbahan karet. Ia melambainya dekat dengan wajah bayi berusia lima bulan tersebut. Pipi tembamnya kemerah-merahan lucu, dekat dengan bibirnya adalah sisa-sisa liur ketika si bayi mencoba menyesap habis jempol tangannya sendiri, kadang juga jempol kaki. Pada usia saat itu, Bae sangat-sangatlah lucu dan kerap menjadi alasan Jimin mengulur jam pergi bekerjanya hanya untuk bermain-main dengan buah hatinya paling rewel tersebut.

Masih di memori tersebut, Jimin ingat Hyunji datang sembari membawa Hyuk dalam gendongan. Rambutnya digelung asal menimbulkan kesan arbitrer yang manis. Beberapa helainya nakal menyentuh-nyentuh tengkuk, sedang beberapa lainnya tampak mengecup-ngecup kulit-kulit putih milik Hyunji di bagian pipi dan dahi. Istrinya itu memakai celana pendek rumahan serta kaus kebesaran yang diduga diambil dari deret serat miliknya, sebab bebauannya pun selintas tercium seperti Jimin sendiri, begitu manis dipadu keringat Hyunji.

"Aku tidak ingin merepotkanmu, Jim. Tapi aku sungguh-sungguh tidak sanggup merawat dua-duanya sekaligus saat Hyuk sedang sakit seperti ini." Jimin tak menganggapnya sebagai keluhan, sebab raut Hyunji lebih terlihat sebagai penyesalan sebab ada kecewa mengorek-ngorek hatinya. Sebagai seorang ibu, dia bahkan tak sanggup mengatasi hal sefundamental ini.

Mengerutkan kening, Jimin mengangkat mainan pisang karet yang sedari tadi ia jadikan sebagai objek godaan pada Bae yang berusaha menggapai-gapai menggunakan tangannya yang mungil. "Kenapa rautmu seperti itu, Ji? Mereka juga anakku kalau-kalau kau lupa itu. Memang sudah tugasku membantumu menjaga mereka, karena aku ayahnya, dan aku suamimu."

Jimin menarik pergelangan tangan Hyunji untuk ikut duduk di sampingnya, diintipnya Hyuk yang kelihatan pulas setelah dua jam lalu mereka bawa ke rumah sakit dan mendapat perawatan selama beberapa menit. Sorot mata Hyunji kelihatan redup, jelas itu diakibatkan oleh masa lelap yang kurang. Betapa kelihatan mencoba lebih kuat saat seharusnya sudah tumbang mengingat Hyunji tak tidur bukan hanya dasar merawat si bocah sakit saja, melainkan mengurus semua keperluan rumah yang menuntut untuk tak ditinggalkan.

Tangan Jimin ingin menggapai, mengelus sejenak ubun-ubun Hyunji sembari beri sedikit kata penyemangat yang hangat. Namun alih-alih mengaplikasikannya, Jimin menemukan dirinya menarik tiang-tiang ayunan bayi dengan pelan, mendekatkannya pada skrin rumah sebelah kanan. Menyandarkan tubuhnya pada dinding tersebut sebelum bersiul pada Hyunji, menarik perempuan tersebut dengan suaranya untuk bergabung di sana.

Kemudian seolah sudah benar paham dengan kode tersebut, Hyunji bergeser pelan-pelan, membawa Hyuk serta dalam dekapannya ke dekat Jimin dan duduk bersandar di sana.

"Mau kuambilkan bantal untuk lehermu atau pinjam bahuku?" tawar Jimin dengan senyum penuh pikat yang sering sekali diumbar tanpa tahu tempat.

Hyunji terkekeh sebentar sebelum meletakkan kepalanya tanpa ragu pada sepotong bahu yang tak terlalu lebar tetapi cukup mampu melahirkan nyaman. Jimin membantunya membenarkan posisi kepala di sana, memegang pipinya selama beberapa saat sebelum akhirnya beralih meraih ayunan bayi dan menggerakkannya pelan-pelan. Tiga meter di depan mereka, ada beberapa mainan yang berserak, satu cangkir kopi yang isinya telah tandas masih di atas meja, sandal rumah Jimin di bawah tiang-tiangnya, serta beberapa sampah bungkus keripik yang Jimin kunyah semalaman demi menemani Hyunji yang kerepotan mengurus Hyuk yang demam. Oh, ayolah, Jimin masih cukup cerdas untuk tak menyatukan rokok dan kafein di usia anak-anaknya yang masih sangat rentan.

"Sekarang siapa yang akan membereskan rumah, Jim?"

Jimin berpikir selama beberapa saat, tangannya masih gerakkan ayunan bayi dengan dinamis. Beberapa kali isi kepalanya beradu dengan rengekan kecil yang keluar dari belah labium Hyuk sebelum akhirnya meraih tangan Hyunji dan membuat kepalan dengan tangannya sendiri. "Mau suit denganku, Ji?"

"Malah mengajak bermain di saat genting seperti ini, Jim."

Jimin tak peduli. "Kalau kau menang, aku akan mencium keningmu tiga kali dan membersihkan rumah sendirian. Kau akan duduk di sini dengan anak-anak sembari menyemangatiku."

Bibir Hyunji maju beberapa senti, lahir lipatan kulit pada keningnya, ini pasti bukan permainan yang bagus. "Kalau aku kalah?"

"Jika kau kalah, aku akan mencium keningmu tiga kali dan membersihkan rumah sendirian. Kau akan duduk di sini dengan anak-anak sembari menyemangatiku."

Butuh beberapa sekon bagi Hyunji untuk paham bahwa kalimat Jimin nyaris kembar di segala term. Mengetahui bahwa Jimin hanya sedang menggodanya, dia lantas mengangkat kepala kemudian mengecup belah pipi sang suami singkat sebelum bicara dengan senyuman yang lebar sekali, "Tuan Tampan, aku akan mencium keningmu tiga kali jika rumah benar-benar bersih dan rapi."

Mengelus pipinya singkat, Jimin tak beri kesempatan bagi waktu untuk melahirkan lebih banyak periode untuk mengulur semangatnya. Ia berdiri saat itu juga mengerling satu kali pada Hyunji yang kebingungan di bawahnya, "Jangan menantangku, Baby. Kau akan sangat kelelahan mengurusku jika aku dapat menjadikan rumah lebih rapi lagi."

Kemudian segalanya putus pada saat Jimin meraih satu kubus besar tempat mainan bayi. Mengetahui bahwa ia terlalu larut hidup dalam isi kepalanya sendiri, Jimin mengerjap untuk mengumpulkan kembali sadarnya yang beberapa saat lalu lelap di bawah. Ia menatapi berkas kerja yang berserakan di depannya, dasi yang tak terikat rapi serta layar komputer yang binasa tanpa ia tahu. Ruangannya masih beraroma mint seperti biasa, ada satu pigura kecil yang tidur dan melindungi satu potret berisi empat presensi di dalamnya. Ah, itu adalah foto keluarga, dan Jimin sungguh yang memutuskan untuk menyembunyikan banyak senyum di sana dari pandangnya.

Menggeser sedikit penglihatannya, Jimin tak menemukan kopi lagi di atas meja kerjanya, sebab hal yang paling sial adalah ada dua kaleng bir yang isinya sudah tidur nyenyak dalam lambung Jimin. Sekarang lidahnya sungguh terasa pahit, ada yang tak dapat dijabarkan oleh hatinya sendiri. Menyesal sebab kenangan manis tadi harus dipotong sebelum masa di mana Hyunji sungguh-sungguh datang memeluknya setelah kelelahan membereskan rumah. Jimin menyesal sebab mengacaukan isi kepalanya sendiri. Lebih dari itu, ia sungguh luar biasa merasa lebih hampa setelah tahu bahwa kepalanya ingin mengosongkan diri dari segala pikir berat.

Bagaimana bisa? Hyunji dan anak-anak masih bermain di balik serebrumnya.

Jimin sungguhan tak punya tenaga untuk mengusir bayang yang begitu jelas tersebut. Sesal yang tak mau berhenti lahir dengan sakit-sakit baru. Melarutkan diri dalam cairan penuh debu sesal yang tak ada ujungnya, lagi-lagi pikiran Jimin ditarik paksa untuk hinggap senyata-nyatanya di atas dunia ketika pintu ruangannya dibuka dengan pelan kemudian menghadirkan satu sosok yang nyaris satu pekan tak lagi ditemuinya.

Sohyun berpakaian rapi, meski kelihatan sangat aneh dengan mantel setebal itu mengingat bahwa tak ada ramalan cuaca akan dingin menggila. Perempuan tersebut kelihatan ragu selama beberapa saat, begitupun Jimin yang seolah tersedot dalam pikir lain yang diingatnya beberapa detik setelah melihat wajah itu lagi. Seokjin menitipkannya padaku. Sayang sebab Jimin melalaikan usahanya untuk konteks yang satu itu. Tak ada lagi ruang untuk berpikir hal lain, untuk orang lain, dan untuk masalah lain. Sebab jika Jimin memilih untuk membiarkannya, akan ada lagi patah yang dilahirkan oleh dirinya walau tanpa sengaja. Itu sebabnya, Jimin telah tetapkan Hyunji sebagai tokoh paling menang atas segala rasa yang dimilikinya. Semua tubuhnya. Bahkan semua sisa hidupnya.

Masih tanpa saling bicara, Jimin melihat Sohyun mendekat dengan gerakan santai luar biasa meski sorot matanya sungguh tak membohongi apa pun yang perempuan itu bawa pada ruangannya. Jimin bersumpah bahwa akan ada luka sial lagi yang hinggap dan berkembang dalam kepalanya.

"Halo, Jim."

Mengembangkan senyumnya dengan irit, Jimin berdiri dari kursinya untuk menyambut Sohyun yang menghentikan langkah dua jengkal dari kakinya.

"Sepertinya kau perlu duduk lebih dulu, Soya. Ayo, kita ke—"

"Aku akan ke Amerika," potong Sohyun dengan vokal pelan.

Semua gerak terhenti, tangan Jimin yang semula hendak raih ponsel untuk dibawa duduk di sofa sana tersendat. Bahkan tanpa mengangkat kepala demi menyatukan pandangannya dengan Sohyun, Jimin tahu bahwa perempuan tersebut sedang menatapnya dengan luapan gemetar mati-matian. Ia menemukannya dari kepalan tangan yang gelisah, jemari yang tak mau stagnan, serta serat mantel yang kadang-kadang dicubit dengan jari telunjuk dan ibunya.

Pada akhirnya Jimin tak ingin lagi terkejut dengan hadiah-hadiah yang dibawa udara setiap harinya. Tak hanya memenuhi hidung serta parunya yang kecil, Jimin bahkan mulai merasa bahwa segala seperti sedang bercanda. Seolah ini akan berakhir, sebab apa-apa yang tak dapat diolah akalnya keluar secara bersamaan kemudian mendesaki isi kepalanya yang telah kacau balau. Setelah kalimat-kalimat pengakuan Hyunji, apa lagi yang kali ini harus didengarnya?

"Aku akan memulai diriku yang baru di sana." Sohyun kembali bicara setelah Jimin akhirnya mau mengangkat muka, menatapnya dengan tanya yang meledak meski terus ditahan untuk tak tumpah ruah lewat vokal dari labiumnya yang dikatup rapat. "Pada akhirnya aku meninggalkanmu lagi, ya, Jim? Hanya bedanya, mungkin kau akan bersyukur untuk dekret yang satu ini. Tak ada penyesalan seperti kepergian pertamaku."

Jimin masih saja rapatnya labium sama rekatnya dengan tadi. Menimbulkan kekerasan rahang yang jelas, serta ketajaman pandang yang tak repot disembunyikan. Sohyun tersenyum tipis ketika menemukan Jimin masih tak bergerak dari depannya, lebih dari itu juga beri dirinya sebuah tatap penuh kuriositas yang hangat. Rasanya, dia kembali menemukan satu teman yang mengerti dirinya luar dalam.

"Aku mampir untuk mengatakan itu." Sohyun melanjutkannya dengan gugup sebab Jimin belum juga mau bicara apa pun. "Kau ... tak ingin mengatakan apa pun untukku? Aku mungkin tak akan kembali ke Korea lagi dalam waktu yang lama."

Baiklah, Jimin mencoba untuk memusatkan kembali pikirannya yang campur baur dengan banyak persoalan. Tangannya naik dengan cepat untuk mengusap pucuk kepala lawan bicara, berikutnya membuka mulut untuk lahirkan suara yang sedari tadi ditelan olehnya. "Aku berharap Amerika akan lebih baik dari Korea bagimu."

Sohyun kembangkan senyum, meski ada embun yang mencuri domisili pada retinanya yang bening. "Lekas sembuh, ya, Jim. Untuk keluargamu, aku ingin kau percaya pada Hyunji dan bertahan untuk sakit sebentar lagi. Maaf jika aku menyelipkan keegoisanku selama beberapa waktu, seharusnya aku tidak mencoba mengambil kesempatan di tengah badai selisih dalam pernikahanmu."

"Akan lebih baik jika kita melupakan konteks itu, Soya. Tak ada jaminan bagi manusia untuk selamat dari kesalahan."

Sohyun setuju, "Aku tahu. Aku memutuskan berhenti bukan karena tahu bahwa kau tak lagi mencintaiku. Melainkan semua hal yang dibicarakan anak-anakmu denganku terasa sangat menyakitkan sekali. Mereka bercerita tentang orang tuanya yang saling mengasihi, kemudian ingin tumbuh dengan keduanya hingga dalam waktu-waktu yang tak ditentukan. Aku berhenti bukan karena aku tak mencintaimu lagi, tetapi karena aku tahu bahwa anak-anak seperti Bae dan Hyuk terlalu berharga untuk dijadikan tumbal hanya untuk sebuah rasa tak nalar. Mereka bukan anakku, tetapi sakit rasanya harus jauh dari mereka setelah apa yang kita lalui selama beberapa waktu. Saat ini aku berpikir, bagaimana parahnya perasaan Hyunji selama ini ketika tahu bahwa anak-anak mereka telah dibuat nyaman oleh sosok perempuan lain yang mereka panggil mommy?"

"Soya—"

"Aku baik-baik saja, Jim. Aku ingin menyelamatkan diriku dari lubang dosa yang besar. Aku tak ingin menyesal lebih parah dari ketika menggugurkan anakku dan Yoongi kemudian berakhir kehilangan rahim. Aku sudah cukup egois dengan membunuh bayi tak bersalah tersebut hanya karena berpikir bahwa Yoongi tak menginginkannya. Rasanya ada yang hilang ketika aku sendiri menyodorkan surat cerai setelah didera rasa bersalah berlebihan. Terkadang sakit juga melihat anak-anakmu tumbuh dengan baik, bukankah seharusnya anakku juga seumuran dengan mereka?" Sohyun hapus satu air matanya yang terjun tanpa sapa. "Aku pergi untuk menyembuhkan diriku dari sesal. Untuk benar-benar melahirkan diriku yang lebih baru. Untuk belajar memaafkan diriku."

"Sulit sekali, Jim. Tapi semoga kau menang melawan semuanya. Kau tahu, kan bahwa Hyunji lebih dari sekadar sangat pantas untuk diperjuangkan? Aku mendoakan yang terbaik bagi hubungan kalian. Ini tulus."

Kemudian Jimin mengepalkan tangan sekuat-kuatnya untuk tak bersikap baik dengan memeluk Sohyun yang kala itu terpuruk dalam isak-isak tangis. Dia menekan gigi-giginya sekuat yang ia bisa agar tidak mengeluarkan suara apa pun, yang dilakukannya hanya menatap dari jarak dua jengkal, mengunci tiap air mata yang Sohyun keluarkan di tiap tetes. Jimin kehilangan lagi. Namun itu bukan masalah besar. Ada beberapa hal yang dapat disembuhkan dengan berjauhan, menjadi jarak paling lebar dan tegas, mendirikan penghalang bagi diri masing-masing agar tak menyakiti lebih dalam. Sohyun barangkali tak paham, bahwa ketika dia keluar dan benar-benar pergi dari ruangannya, ingatan Jimin seolah diputar balik pada lusa lalu ketika dirinya menjadi pecundang yang berpura-pura kuat ketika Hyunji melambai padanya dengan sangat cantik.[]

Satu chapter lagi ending, ya ;) Yeay!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top