14
"Mau menikah denganku?"
Jimin tidak pernah sangka bahwa ajakannya tujuh tahun lalu akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Ia lupa apa tepatnya yang ada dalam kepalanya malam itu, kemudian tanpa pikir panjang ia tawarkan altar suci sebagai jembatan menuju rumah. Namun yang jelas ia rangkum ingat, sehebat apa jantungnya memproduksi detak ketika gadis yang ia tak ketahui namanya mengiyakan dengan sangat mudah.
Dua hari setelah Jimin dengan gugup menyodorkan ponsel guna bertukar nomor, ia mulai alami kacau parsial dalam kepalanya. Fakta bahwa Sohyun masih sangat terikat kental dalam asanya adalah segumpal riuh yang desak kewarasan. Sejujurnya ia masihlah tak bisa lepaskan afeksinya sesingkat itu, tetapi melihat bagaimana tombak kebodohannya benar-benar telah ditusukkan pada perempuan lain, bukankah ia harus bertanggung jawab penuh untuk tambali lubang yang ia buat?
Jimin berusaha sebisa mungkin untuk membuka pintu lagi pada hatinya, ia dobrak secara paksa sebab barangkali Sohyun telah kunci dan berniat kekal tinggal di dalam sana. Melakukan pertunangan singkat, sebelum akhirnya ia benar-benar telah mengikat hidupnya dengan Hyunji atas dasar kecacatan.
Mereka berjalan bersama, terkadang juga berbagi senyum serupa di bawah langit-langit keluarga. Hanya sekadar berbagi, dan rupanya keduanya tak dapat saling menyembuhkan. Sebab Jimin berusaha untuk sembuhkan dirinya sendiri, dan Hyunji yang kelihatannya tak temukan cara sempurna untuk menjahit hatinya sendiri. Mereka awalnya hanya dua presensi yang sekadar tinggal bersama, berbagi ranjang serta lenguhan yang serupa. Sekarang coba lihat siapa yang berubah rasa serta merasa sakit kembali setelah berjuang untuk tidak lagi terluka?
"Aku hanya suka ketakutan belakangan ini, dan ... sedikit jijik mungkin?"
Jimin simpan jawaban Hyunji dalam kepala sebelum akhirnya dua buntalannya kembali lagi ke kamar dan mereka menghabiskan malam yang dingin berempat; bercerita banyak hal, serta memeluk masing-masing buah hubungan mereka. Ia ingat tak dapat pejamkan mata lagi malam itu, sibuk menatapi tiga anggota keluarganya yang lelap. Kira-kira bisa tidak, ya, Jimin terus bersama mereka seperti itu?
Ada banyak hal yang terjadi selama dua hari, dan pagi ini Jimin kembali ke kantor untuk membereskan tugasnya yang membengkak setelah ia coba dengan keras kerjakan semuanya di rumah. Sayangnya gagal sebab tak ada yang bisa ia pikirkan selain Hyunji. Anak-anak masih sekolah, dan mungkin 2 jam lagi Sohyun akan menggantikan tugasnya dalam hal menjemput mereka ke sekolah. Ya, masih 2 jam lagi. Sebab kini perempuan berpakaian pas tubuh itu sedang duduk selonjoran di sofa panjangnya. Sendirian, dan kelihatan mengantuk sebab tak ia ajak bicara sama sekali.
Bukan, bukannya Jimin sengaja mengabaikan. Ia hanya sedang sibuk setengah mati pada berkas serta nyala komputer yang enggan mati. Sekarang setelah melihat semurung apa wajah Sohyun di seberang sana, ia malah jadi merasa bersalah.
"Mau berkeliling kantor sebentar kalau kau bosan?" Adalah sapaan pertamanya pagi itu, dan yang diberikan Sohyun padanya sebagai respons adalah kerutan kening yang Jimin hitung ada tiga, serta bibir mungil perempuan itu yang dimajukan.
"Kau benar-benar menyebalkan tahu." Begitu kata Sohyun, sedangkan kalau mau jujur, Jimin sama sekali tidak mengerti ke mana arah dialog ini.
"Maaf karena mengabaikanmu. Aku sedang sangat lelah, Hyun."
"Kau bahkan tidak membaca pesanku."
Jimin mengedip cepat dua kali, ia berpikir ulang, dan rupanya selama mengurus Hyunji ia tak membuka pesan atau menjawab telepon siapa pun kecuali dari kantor serta sekolah Hyuk dan Bae. Setelah dipikir lagi, memang wajar Sohyun merasa kesal diabaikan selama itu. Namun di mana juga letak kewajarannya? Apa hal yang mewajibkan dirinya harus menjawab telepon atau membalas pesan perempuan itu? Memangnya ... Sohyun siapa baginya?
"Maaf juga untuk itu. Aku sibuk sekali mengurus Hyunji dan menjaga anak-anak. Belum lagi-"
"Maka dari itu," interupsi Sohyun. "Kau seharusnya membiarkan aku datang, aku bisa membantumu menjaga anak-anak. Tapi kau bersikeras melarangku ke rumahmu, dan lihat bagaimana kondisi kantung matamu sekarang? Jujur saja, kau tidak mungkin bisa tidur, kan?"
Jimin tidak menjawab, tangannya lekas-lekas merambat menyentuh kantung matanya sendiri sebelum akhirnya mengembuskan napas berat. Dirinya tidak perlu menyangkal, karena Sohyun tahu mengapa dirinya menjadi terlihat mengenaskan begini.
"Dulu ketika aku sakit, kau bahkan tidak mau pulang ke rumah dan bersikeras menginap di apartemen untuk menjagaku. Kau juga tidak tidur waktu itu, dan ternyata kau masih belum berubah juga dalam hal menyikapi kecemasan berlebihmu. Jimin, kebiasaan seperti itu tidak baik untuk kesehatanmu sendiri." Lanjut Sohyun.
Satu sisi bibir Jimin terangkat, kurvanya tak sempurna sebab hanya terukir miring, tetapi sialnya hal itu justru menjadi pemikat berbeda bagi Sohyun. Dia paling menyukai senyum miring itu, dan sekarang Jimin berikan ukiran itu padanya.
"Kalau begitu, sepertinya aku akan tidur dulu pagi ini. Tolong bangunkan aku setelah kau hendak menjemput anak-anak, ya?" ucap Jimin sembari bergerak tinggalkan kursi putarnya.
Lelaki itu melangkah menuju tempat Hyuk dan Bae biasa bermain; sofa lebar tanpa lengan dan sandaran. Ia rebahkan tubuhnya perlahan-lahan, melirik sebentar ke arah Sohyun yang masih serius manatapnya dari kejauhan. Jika boleh jujur, sebenarnya tepat ketika Jimin menutup mata, ada rasa nyaman yang mendadak lahir dari tiap nadinya. Mengingat bahwa ini nyaris empat hari dirinya mengalami gangguan tidur, wajar saja jika ruangan beraroma mint ini membuatnya merasa menemukan tempat lelap paling nyaman.
Tidak ada Hyunji, tidak anak-anak, tidak ada kecemasan, dan itu adalah alasan besar mengapa rasanya Jimin ingin jatuh tertidur dalam waktu lama saat itu juga. Ya, seandainya ia tak merasakan gelombang ringan sofa dan suara rangkak mendekat. Aroma Sohyun langsung menyerang penghidu tepat ketika presensi feminim itu mulai menguasai pikiran Jimin. Tepat ketika ia memutuskan untuk membuka mata, saat itu pula sebuah tangan terulur meraih kepalanya, diangkat kemudian tak disangka-sangka, Jimin merasakan sebuah paha hangat dengan kulit lembut menyapa belah pipi kanannya.
"Diam, Jim. Aku tahu kau tidak bisa tidur tanpa bantal. Aku hanya akan meminjamkan pahaku sampai kau terlelap kemudian pergi menjemput anak-anak." Sohyun menahan gerakannya saat hendak menjauhkan kepala.
Berbalik arah, Jimin menatap lurus ke arah wajah Sohyun di atasnya sembari merasakan tempurung belakangnya beradu dengan kulit yang sebelumnya belai pipinya sendiri. Jimin tidak ingin ambil kesempatan, tetapi mengingat bahwa Sohyun benar bahwa dirinya tak dapat lelap tanpa bantal, ia memutuskan untuk menerima dengan tenang sebelum berucap kalem, "Terima kasih, ya. Aku akan pinjam pahamu sebentar kalau begitu."
Jimin tidak tahu seribut apa hati Sohyun tepat ketika dirinya memejam, ia juga tidak melihat selebar apa bibir mungil itu rekahkan senyum ketika dirinya bergelantungan di alam mimpi. Jimin lelah, ia ingin istirahat, hanya itu saja untuk sekarang. Namun ia juga lupa bahwa ini bukanlah konteks yang bisa dirinya komidikan dalam situasi sekarang. Ia tidur, melupakan Hyunji, anak-anak, serta masalah kecil dalam keluarganya. Jimin tidur, dan ia tak dapat merasakan jemari Sohyun yang rinci bentuk wajahnya, rahang serta cabuli bentuk bibirnya yang agak terbuka. Jimin tidak tahu, karena aroma yang ia hirup bersama oksigen dalam lelapnya membuatnya tenang. Jimin tidak tahu, sebab ketika ia merasakan Sohyun di sisinya, ia merasa nyaman yang aneh.
*****
"Bukan seperti itu, Bae. Coba lihat punyaku, ada lingkaran hitam di sekitar mata panda. Milikmu lebih terlihat seperti beruang."
"Kau ini, ya, Hyuk. Coba lihat pandaku, sengaja tidak aku beri lingkaran hitam di sekitar matanya karena dia sehat. Jenis panda seperti milikmu pasti kekurangan tidur, kan?"
"Huh? Apa lagi maksudnya coba?"
"Seperti Papa, belakangan kantung mata Papa menghitam karena kurang tidur. Seperti warna pandamu."
Jimin menggeliat, merasakan bantal keras di bawah kepalanya. Sedikit kaku di bagian leher, tetapi ternyata itu juga tidak menjadi alasan lelaki itu untuk bangun. Ia berbalik arah, mendekat ke arah perut yang masih ia yakini bahwa Sohyun tetap belum mengubah posisi. Tangannya tak mau kalah, ia biarkan untuk memeluk sebelah, menghirup aroma serat di depan wajahnya sejenak sebelum kembali menyimpan bebauannya rapat-rapat dalam paru-parunya yang kering. Percaya atau tidak, kini aroma yang ia hirup menjadi lebih candu. Jimin terus mengantuk berkepanjangan.
"Ma, Papa sudah bangun?"
Jimin yakin yang ia dengar kali ini adalah suara Bae. Ah, tetapi ia sedang sangat mengantuk sekali, sih.
Hasilnya malah ia yang hanya bertanya dengan gumaman tak jelas, "Kau sudah menjemput anak-anak, ya, Hyun?"
Ada hela napas berat yang ia dengar, tetapi tak ada susulan vokal dalam pendengarannya. Beberapa detik usai Jimin yakin tak akan mendapat tanggapan selain suara dua anaknya yang mendadak saling bicara berbisik agar tak menganggu tidurnya, begitu hendak putuskan untuk sambung tidurnya yang nyenyak, ia rasakan belai ringan di sekitaran kening hingga helai-helai rambut.
Bukan, bukan itu yang membuatnya serta merta sekuat tenaga pisahkan rekatan kelopak mata, melainkan karena satu suara yang terdengar tak sama seperti sebelum dirinya memutuskan untuk meminjam paha.
Yang ini milik Hyunji. "Masih mau tidur, Jim? Kau terlambat makan siang, nanti sakit."
Walau telah sangat sadar bahwa ini bukanlah mimpi, Jimin belum dapat kata yang bagus untuk sahuti suara manis tadi. Memilih untuk menyusun kembali debar hati serta meneliti serat pakaian yang kini berubah warna dan aroma, ia memastikan untuk dirinya sendiri bahwa yang sedang ia peluk ini memanglah benar Hyunji. Aroma manisnya benar-benar milik perempuan itu; istrinya.
Jimin mengerang selama beberapa saat, meregangkan ototnya yang kaku sembari membiarkan Hyunji memijat pelan kepalanya. Apa yang ia lakukan setelahnya adalah mencoba mengais wajah cantik yang sedari tadi rupanya tak ingin mendongak hanya agar dapat menatapi wajah Jimin yang kelihatan sedikit bengkak akibat bangun tidur. Astaga, Jimin yang paling tahu seasli apa Hyunji yang kini hanya menyorot datar ke arahnya, lebih terlihat sebal sebenarnya. Namun, memangnya mengapa?
Meski amertanya kuriositas Jimin sedang penuh akan tanya-tanya yang lebar, pilihan pertama justru membuatnya masuk sendiri ke dalam jurang sesal.
"Sejak kapan di sini, Ji? Di mana Sohyun?"
Roman kusut pada wajah Hyunji mengalami kenaikan volume, dan Jimin lekas-lekas menyadari di mana letak kekeliruannya. Astaga, sungguh. Ia bukannya sengaja ingin menanyakan perempuan lain alih-alih menyambut kedatangan istrinya ke ruang kerjanya yang segar. Barangkali yang tadi hanya respons otomatis yang bajingan sekali, sebab memang mau tidak mau Jimin juga penasaran sendiri. Apa yang terjadi selama dirinya tertidur? Sekarang lambung ruang kerjanya diisi eksistensi yang sama sekali berbeda. Setidaknya ini wajar bagi Jimin, meski barangkali memiliki makna berbeda dalam kepala Hyunji.
"Pa, aku benci Hyuk selalu sok tahu. Dia bilang warna pandaku salah, padahal, kan tidak semua panda suka begadang. Jadi tidak semua panda punya lingkar hitam di kantung matanya."
Segesit itu pula Jimin memalingkan wajah, ia menarik diri setelahnya untuk bangkit dan duduk di antara isi kepalanya yang bingung luar biasa. Untuk empat detik yang terasa lama sekali, Jimin hanya bolak-balik menatapi wajah Hyuk dan Bae yang kini saling memberengut sebab lagi-lagi mengalami polemik tipis.
"Tapi memang begitu warna panda, Bae." Akhirnya juga Jimin menjawab seperti itu. Tanpa niat, dan hanya nyaris berupa segaris gumam tak jelas.
"Ah, Papa tidak keren."
Kantuk jelas masih tersisa pada seraut Jimin yang licin berminyak, dan Hyunji masih tak mau lepaskan pandangan dari lelaki tersebut yang kelimpungan mengimbangi keadaan. Mengapa kepalanya berada dalam pangkuan Hyunji padahal sebelumnya sedang dikuasai Sohyun?
Ah, lagi pula memangnya mengapa juga ia memikirkan hal itu sekarang? Bukankah apa yang disajikan waktu di hadapannya kali ini sangat menggiurkan? Berkumpul kembali bersama keluarganya?
"Sayang, bisa kau pesankan makanan? Aku akan cuci muka sebentar," kata Jimin yang rupanya masih saja tak punyai balasan.
Hyunji hanya meraih ponsel tanpa bicara, melakukan apa yang ia pinta sebelum akhirnya ia memutuskan untuk membawa tubuh serta kemelut pikirannya ke dalam kamar mandi ruangan.
Tidak ada yang bagus dalam lima belas menit setelahnya, bahkan Hyunji tetap tak mau bicara padanya meski keduanya sedang berkolaborasi menata makanan di meja—lebih tepatnya, perempuan itu hanya banyak diam. Menggunakan isyarat angguk atau geleng ketika ia mencoba bicara padanya. Baguslah, kini Jimin semakin penasaran mengapa Hyunji bersikap dingin padahal pagi tadi mereka masihlah saling lontar pamit di emper rumah dengan manis seperti biasa—ah, bukan manis juga sebenarnya. Hubungan mereka sedang berada dalam fase sulit.
Masih Jimin perhatikan, bagaimana Hyunji mencoba sebisa mungkin melenturkan kembali kekerasan rahangnya di depan Hyuk dan Bae, dan itu sama sekali tidak kelihatan bagus. Apa, ya, yang harus Jimin lakukan agar menghangatkan lagi kekakuan antar mereka?
"Ji, apa aku—"
"Anak-anak, ayo, kemari. Kalian juga harus makan siang bersama Papa."
Bae dan Hyuk semakin berisik ketika mulai berlari-lari menuju sofa. Rasanya semakin aneh, bahkan Jimin tidak salah sangka ketika baru saja Hyunji mencoba menyela ucapannya dengan sengaja. Namun, baiklah. Ia putuskan untuk sisihkan dulu kuriositas sialan ini dengan memilih untuk duduk bergabung dengan tiga presensi manis yang kini mulai mencampur bumbu mie dingin mereka.
Membiarkan bokongnya beradu bantal kursi, Jimin meraih mie miliknya sembari mencampur kimchi ke dalamnya. Bae berceloteh panjang sekali di sisinya, menceritakan teman-teman di sekolah, membanggakan pujian yang ibu guru katakan padanya, serta membandingkan kebagusan dirinya dengan Hyuk. Itu terjadi tidak terlalu lama, sebab ketika Jimin hendak menyuap mie untuk kali ke empat, Bae menjadi beralih arah kepadanya dengan celoteh yang nyaring.
"Ah, iya. Tadi ketika jam pelajaran usai, aku pikir terjadi apa-apa pada Papa karena tidak mengangkat telepon dari Bu Guru. Mommy tidak datang menjemput ke sekolah, jadi Bu Guru menghubungi Mama." Makanan yang sebelumnya Bae kunyah dalam mulut sembari bicara, ditelan, timbulkan spasi beberapa detik sebelum akhirnya dilanjutkan dengan lebih riang, "Mama juga sempat menghubungi nomor Papa, tapi tidak dijawab-jawab. Kita langsung ke sini karena cemas pada Papa."
"Iya." Hyuk menyambung dari sebelah Hyunji. "Mama gelisah sejak di dalam lift, mengingat Papa, kan belum tidur selama beberapa hari. Juga tidak biasanya Papa mengabaikan panggilan kami. Tahu tidak apa yang lucu ketika kami semua sampai di ruangan Papa?"
Jimin sama sekali tidak bicara, bahkan gerakan suapan tangannya berhenti di udara, mulutnya masih sedikit terbuka, tetapi ia bahkan tak ada keinginan sama sekali untuk menyuapkan mie dingin lagi. Sekarang ia mendadak tak ingin melanjutkan untuk dengar lebih, ia ingin tutup telinga. Ada prediksi kalimat yang akan dikatakan oleh anaknya, dan Jimin sangat tidak mau kecerobohannya kini diingatkan lagi di depan Hyunji.
Sayang, Bae tidak mengabulkan asanya itu. "Papa sedang tidur nyenyak sekali, dan Mommy memangku kepala Papa seperti ini." Gadis mungil tersebut langsung mereka ulang kejadian yang dilihatnya pertama kali begitu mendorong pintu ruang; meletakkan kepalanya di atas paha Jimin sembari tergelak lucu. Gadis kecil itu tidak akan tahu sesempit apa rasanya paru-paru Jimin ketika membayangkan kejadian itu disaksikan langsung oleh Hyunji yang kini bahkan terlihat enggan membalas tatapannya.
"Kenapa tidak bangunkan aku, Ji?" Ia mencoba bertanya, tidak gugup sama sekali sebab kini yang isi domisili hatinya adalah tentang galau karena tak memikirkan perasaan Hyunji ketika ia mau-mau saja tidur dalam posisi tak benar seperti itu.
Dengan gerak bibir malas, istrinya menjawab, "Bae melarangku melakukan itu. Memang benar juga, kau sudah lama tidak tidur senyaman dan senyenyak tadi."
Astaga, Jimin tahu ini tanda merah. Ada yang salah dari desibel tak acuh Hyunji ketika lantingkan suara tadi. Sekarang ia benar-benar tidak lapar sama sekali, ada yang perlu dijelaskan dalam situasi ini jika tak mau ada perpanjangan kesalahpahaman. Setidaknya, ia perlu ucapkan maaf lebih dulu untuk usir resan yang barangkali sedang menggoda perempuan itu untuk bersikap apatis padanya.
Namun sayang sekali, Hyuk memutus kesempatan itu dengan gerakan bibirnya yang penuh bumbu hitam. "Aku lega melihat Papa tidur seperti tadi. Mommy bilang dia yang membantu Papa tidur. Aku ingin berterima kasih pada Mommy tapi dia kelihatan sedang buru-buru ketika pergi. Pa, akhir pekan ini boleh tidak kita pergi jalan-jalan? Aku ingin ajak Mommy juga."
Jimin memejamkan mata ketika seluruh kata dalam kepalanya hilang tanpa tanda-tanda, ia mendengar seseorang bergerak, kaki yang menjejak dan suara Hyunji menyusul dengan kandungan sesal di dalamnya. "Mama ke kamar mandi sebentar."
"Ma, boleh titip pipis tidak?"
Hyunji bahkan mengabaikan suara Bae dan memilih untuk terus mendekatkan diri pada pintu kamar mandi. Entakan kakinya benar-benar penuh indikasi resan yang kapital sekali. Mungkin itu sebabnya Jimin segera ikut bangkit dari posisinya dan menyusul secepat ia bisa ke dalam kamar mandi sebelum pintu dikunci.
Istrinya terlihat kaget selama beberapa saat, dan Jimin segera menutup pintu demi mengusir suara godaan dari anak-anak. Mungkin mereka tidak tahu bahwa dua presensi yang kini menjebakkan diri dalam satu ruang tersebut sedang berusaha menahan hatinya masing-masing.
Memilih untuk bicara lebih dulu, Jimin menyorot serius ke arah Hyunji, "Iya, kau boleh marah. Aku minta maaf, tidak seharusnya aku seperti itu dengan Sohyun. Tapi itu sungg—"
"Jangan membuatku merasa semakin buruk, Jim. Kau serius ingin membahas ini denganku sekarang?"
"Membiarkan kesalahpahaman ini semakin berlarut bukan keputusan yang bagus, Ji."
"Aku tidak apa-apa kalau kau mau tahu." Hyunji potong lagi niat Jimin untuk bersuara, ada sorot terluka yang disembunyikan di balik retina. "Sungguh. Ini hanya kekesalan sementara, kau tidak perlu memikirkan aku lagi. Aku sungguh-sungguh senang kau kembali dekat dengan mantan kekasihmu itu."
Jimin frustrasi. "Ji—"
Kemudian Hyunji benar-benar tak berikan waktu bagi dirinya untuk tamak barang sejenak, disadarkan lewat kata-kata, bahwa ia dan perempuan di hadapannya memang telah menginjak lantai yang retak bersama-sama.
"Lagi pula aku sudah memutuskan," Hyunji spasi sejenak kalimatnya, "bahwa aku tidak ingin punya anak lagi denganmu. Tidak akan ada lagi kesalahan seperti ketika aku memutuskan untuk melahirkan Bae dan Hyuk. Hanya mereka."
Ia tak bisa kehilangan dua wanita yang paling dicintainya dua kali hanya karena satu lelaki. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Jimin bersumpah akan segera mencari makhluk bernama Min Yoongi kemudian menghabisinya dengan tangan sendiri.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top