13
Dapur itu lebih dari kotor, kini ada tambahan pecahan gelas keramik mahal yang dibeli pada saat Jimin sedang selesaikan proyek kantornya di Jepang; katanya sebagai hadiah pernikahan untuk Hyunji yang bahkan waktu itu masih belum mau berbagi ranjang dengannya. Pada umur pernikahan keduanya yang baru injak dua hari, perempuan itu menolak ajakan bulan madu yang memang masih begitu penuh akan formalitas. Hyunji bilang itu tidak terlalu dibutuhkan sebab dia tidak mudah akrab dengan lingkungan baru, alasannya adalah dia sudah cukup kesulitan menyesuaikan diri di rumah baru mereka, dan Jimin juga menghargai penolakan itu dengan dada yang lapang dan memberikan seluruh bekal yang sudah ia sediakan pada Seokjin; jadilah justru lelaki itu yang berhasil bujuk istrinya—Hyura—kemudian bulan madu untuk ke sekian kalinya berkat kegagalan rencana Jimin.
Kini ada barang kenangan yang Jimin hancurkan menggunakan tangannya meski tanpa sengaja. Seolah dengan itu pula ia telah retakkan kenang manis senyum Hyunji yang rekah begitu terima cangkir kopi kembar yang ia beli sebagai hadiah. Sekarang, coba sadarkan Jimin dan beri ia cara untuk lupakan kenang-kenang yang berkelip begitu indahnya dalam kepala lelaki tersebut. Sepertinya jika dipikir untuk kalkulasi yang tak lagi masuk dalam angka-angka jelas, fakta bahwa Jimin memang menanam seluruh hatinya pada harapan tandus telah mulai temukan titik lebur dengan kubur. Dia tidak tumbuh, atau sedikitnya bertunas sekecil kecambah, bubuknya tak diserap dan kini hatinya mulai kritis hadapi sakit menuju kematian. Meski begitu, bagaimana bisa Jimin masih terus diam lihati bibit hatinya yang ditanam tak dapat atensi?
Menikmati tiap kembang yang mekar berisi kenang di depan keningnya tak akan dipetik baik, maka dari itu Jimin buyarkan segalanya dan usir pada satu titik terjauh sambil bungkukkan tubuh menuju lantai. Ia hanya pakai kaus polos hitam, rambut yang baru saja kehilangan wangi sampo, dan wajah lelah bukan main. Ia tentu saja tidak lupa pada fakta bahwa kepalanya belum rehat selama dua hari penuh, terus ribut dan cemas pada beberapa kesempatan. Keletihan yang mencuri tempat dalam tiap lubang pori-pori tak buat Jimin manjakan diri, risiko menjadi kepala keluarga memang lebih gelap ketika dijalani ketimbang dikoarkan dari mulut ke telinga. Setidaknya, ia masih bisa berdiri di antara tubuhnya yang dimakan lelah untuk mengurus Bae dan Hyuk sembari menjaga Hyunji. Dua hari yang berharga, Jimin benar-benar menjadi seorang Ayah dan suami yang beri manis dan telan pahitnya sendiri.
Sembari ringkus pecahan beling, mengabaikan tumpukan piring kotor, lirik lambung tempat sampah yang keracunan hingga separuh isinya dimuntahkan ke lantai, Jimin mendesah sekali lagi dan mulai ambil inisiatif untuk lekas rampungkan kekotoran dapur agar lekas temui keadaan Hyunji yang belum juga siuman dalam kamar. Diurut mulai membuang sampah, mengepel tumpahan kopi di lantai, kemudian mencuci piring kotor bekas makan siang, hingga akhirnya Jimin kalah pada lelah, limbung sejenak dan meraih pinggiran meja untuk topang tubuhnya yang ditenggelamkan sekali entakan oleh pening. Rokok dan alkohol bukan teman begadang yang cocok untuk tubuhnya, tetapi memang harus bagaimana lagi? Kopi tak mampu bantu Jimin hilangkan kecemasan berlebihnya ketika menatap Hyunji yang terbaring gelisah di ranjang. Jimin tidak mabuk, ia hanya butuh sedikit sentuhan pening untuk alihkan pikirannya yang carut marut luar biasa. Yang bahkan bagaimana bisa dia bertahan dalam kondisi seperti itu tanpa tidur?
Jimin berjalan pelan menuju kursi bar kecil dapur, duduk di sana sembari pejamkan mata, memijat keningnya dalam satu urutan jarum dalam berulang-ulang. Apakah ia perlu menelan obat?
"Papa, mau Hyuk bantu pijatkan?"
Ini dia, urat semangatnya datang.
Lekas mendongak, buang seluruh pening yang berbisik dalam tempurung, Jimin temukan Hyuk sedang menatapnya dengan cemas sembari kerucutkan bibir dan kini mencoba naik ke pantry melalui kursi dengan susah payah. Ia membantu menggeser gelas-gelas agar Hyuk capai dirinya dan bersila menatap dengan sorot serius.
"Lain kali tidak boleh naik-naik begini, ya? Ini meja, tempat makanan." Jimin raih pinggang putranya dan kurung tubuh mungil itu dalam kungkungan.
Sebagai ganti sebelum berikan jawaban, Hyuk biarkan tangannya yang mungil dan gendut bergerak lebih dulu untuk meraih dahi Jimin dan memijatnya dengan tekanan tenaga kecil, nyaris hanya berupa usapan lembut, tetapi lebih dari itu, Jimin menyukainya.
"Papa, berat, ya jadi laki-laki?" Pertanyaan itu bahkan tak butuhkan jawaban. "Kenapa semua harus dibebankan pada Papa? Aku juga sering bertanya, kenapa Bae itu harus selalu aku lindungi? Kita, kan seumuran."
"Hyuk tidak suka menjadi jagoannya Bae?"
"Pasti ujungnya karena aku laki-laki, kan? Padahal banyak hero yang gendernya perempuan. Mereka kuat." Hyuk belum berhenti dengan kegiatan jemari mungilnya di dahi Jimin. "Kata Bu Guru itu kewajiban, kita melindungi perempuan seolah perempuan itu dibedakan karena mereka lemah. Bu Guru bilang kita harus melindungi teman-teman perempuan, Papa juga menyuruhku melindungi Bae, dan Mama dilindungi Papa. Kan kita ini bukannya tahan sakit?"
Jimin tarik pinggang Hyuk untuk semakin dekat dengannya, ia tatapi pipi putranya yang bulatnya mulai digantikan tirus lucu belakangan ini. Apa Hyuk selalu menjadi pemikir seperti ini?
"Jadi? Kenapa Hyukie bertanya seperti itu pada papa? Lelah menjaga Bae?"
"Bukan begitu," jawab Hyuk lekas. "Aku hanya tidak suka melihat Mama dan Bae menjadi lemah. Bagaimana jika aku sedang lengah, atau Papa yang terlalu sibuk? Siapa yang bisa lindungi mereka jika sendirinya tak miliki kekuatan?"
Jimin tarik satu sudut bibirnya, kedut dalam kepalanya nyaris pudar begitu temukan wajah Hyuk seakan sedang coba lontar protes pada dunia yang lahirkan takdir demikian penuh diskriminasi pada perempuan. Padahal, meski sejujurnya Jimin ingin tahu alasannya, terkadang ia sepakat dengan Hyuk, mengapa Hyunji tidak menjadi lebih kuat saja? Sebab Jimin takut perempuan itu alami masa buruk tanpa perlindungan darinya. Lagi pula, memangnya ia pernah melindungi Hyunji? Dalam bentuk apa?
"Boy, kalau kau mencintai sesuatu, kau tak akan pernah peduli dengan alasan sekecil itu. Sebab, ketulusan yang dikandung dalam satu rasa tersebut seharusnya lebih besar dari rasa itu sendiri. Kau akan terus baik-baik saja, selama kau percaya, bahwa tugas kita bukanlah apa-apa. Menerapkan hal-hal seperti itu perlu, Boy. Karena tak ada pamrih dalam cinta."
Jimin tidak peduli Hyuk akan mengerti maksudnya atau tidak, ia hanya ingin katakan, juga ingatkan diri sendiri. Bahwa seharusnya perasaannya harus lebih tulus daripada cinta itu sendiri, ketika ia memberi maka ia benar ulurkan itu sepenuh hati; tak akan peduli pada tanya, apakah rasa itu akan bertunas dengan gembira atau dapat ia petik dan cicipi manis dari hasilnya. Ya, itu seharusnya tidak menjadi tujuannya memberikan hati. Sebab Jimin adalah cinta tanpa imbal.
"Papa itu terkadang keren," puji itu dilantingkan dengan serius. "Mau menemui Mama sekarang? Mama sudah bangun, baru saja."
Pening dalam kepalanya bahkan belum hilang, Jimin kini dua kali lipat menjadi lebih lelah.
*****
Hal pertama yang Jimin lakukan ketika membuka pintu kamar adalah berdiri diam menatap lurus ke arah Hyunji yang sedang bersandar pada kepala ranjang dengan mata memejam. Dadanya berisik lagi dalam waktu yang simultan bersama kepalanya yang rasanya terhantam beton besar. Bukannya Jimin tidak senang mendapati istrinya kini bahkan telah bisa duduk dan kelihatan lebih sehat ketimbang kemarin, ia hanya segera kebingungan tanggapi keadaan yang tak lagi dalam situasi baik-baik saja. Bae yang awalnya memeluk tubuh ibunya lantas segera buka mata dan berlari ke arah Jimin yang masih menggandeng Hyuk di sisi kiri; berteriak heboh ketika peluk pahanya sambil beri informasi bahwa mamanya sudah baik-baik saja. Bukannya Jimin enggan dengarkan segala ocehan lantang Bae yang penuh gebu di bawahnya, lelaki itu hanya tak dapat fungsikan otak ketika Hyunji buka mata dan menatapnya dari arah sana.
Mereka bahkan tak saling katakan apa-apa, tetapi hati Jimin rasanya patah lebih dulu untuk alasan yang tak jelas. Ia kelewat bahagia melihat bagaimana Hyunji telah lepaskan mimpi dan kini mulai soroti realitas dengan kapasitas pandang yang lelah. Jimin bahkan merasa lebih sakit daripada apa yang kini geluti tubuh istrinya kian merah, wajah yang tak tersentuh bedak itu terlihat lebih bersih dan pudar, tak ada kroma cantik meski kilat cantik itu tak pernah ingin lepas dari seraut paras di depan sana.
"Lelah dengan bunga tidurmu, Sayang?" Itu bahkan bukan sapaan awal yang bagus, Jimin hanya ingin segera lenyapkan kekakuan yang melebar sana-sini.
"Sebenarnya, aku terbangun karena merindukan kalian." Hyunji jadikan kalimat itu sebagai balasan.
Bae dan Hyuk suka mengubah arah pandang dari Jimin ke Hyunji secara bergantian, bukan ingin memahami apa yang kini tersaji nyata di depan keduanya, melainkan sedang coba saksikan dengan dua mata telanjang bagaimana aksen ayah mereka terdengar begitu lembut ketika lantingkan suara pada arah lurus. Bukankah Jimin terlalu telanjang bersama perasaannya?
"Wah, Papa dan Mama itu kelihatan seperti Romeo dan Juliet. Dan kita berdua adalah kurcacinya," celetuk Bae dengan bangga, menatapi Hyuk yang langsung protes usai ia ujungkan kalimat.
"Kau sedang menciptakan tokoh yang berada dalam dua cerita berbeda. Tidak ada kurcaci dalam kisah Romeo, Bae."
"Kita adakan saja kalau begitu. Hyukie, aku prihatin padamu. Dari dulu kau tidak pernah mengerti tentang seni."
Jimin tak dapat tangkis kekeh tipis yang muntah begitu saja dari belah labiumnya, menikmati betapa polos Bae yang terus coba sulut emosi kakaknya itu. Bahkan perkataannya barusan yang diakseni dengan nada ledekan terdengar begitu lucu sekali dalam telinganya. Padahal Jimin baru saja ngilu, sekarang hatinya seperti menemukan kehangatan dalam kosong.
Pada akhirnya Jimin tinggalkan dua buntalannya, menghitung tiap langkah hingga tiba di dekat Hyunji, duduk di sisi ranjang, dan beri kecupan tipis pada keningnya. Bukan, Jimin bukannya sedang berusaha manis hanya agar Bae dan Hyuk di dekat pintu tak tahu seburuk apa hubungan keduanya, sebab lelaki itu benar-benar sedang dihancurkan rindu hingga ke bagian tersembunyi sarafnya. Kendati memang ia telah banyak curi kecupan selagi Hyunji tinggalkan kesadaran, Jimin tak dapat hilangkan begitu saja cemas yang kini mendilak menjadi bungah berlebih.
"Bagaimana keadaanmu, Ji?"
Hyunji terlihat sunggingkan senyum sebelum mengangguk tipis dan dorong suara, "Aku sudah jauh lebih. Kau itu perawat andal."
"Kau selalu bisa andalkan aku kalau begitu," katanya kalem.
"Dua hari ini pasti sulit, ya? Kudengar kau belum tidur demi menjagaku. Sekarang aku sudah baik-baik saja, kau boleh tidur."
"Sebenarnya—"
"Pa, kita mau telepon Jey dulu, boleh? Aku dan Bae harus menyusul pelajaran hari ini." Hyuk putus suara Jimin barusan.
Bahkan sebelum keduanya mendapat persetujuan dari seseorang yang baru saja menjadi penerima izin, mereka telah kabur lebih dulu meninggalkan kamar. Berlari berebutan menuju lantai bawah sambil saling bersorak nyaring sekali. Jimin tak ada niatan untuk kejar dan beri peringatan pada keduanya agar berhati-hati, sebab tangannya lebih dulu diraih Hyunji, kemudian dikurung dalam satu dekap yang hangat eksesif.
"Ada yang harus kita bicarakan, bukan? Aku tahu ada banyak pertanyaan dalam kepalamu sekarang." Hyunji katakan itu dengan nada suara yang subtil sekali.
Jimin kerutkan kening selama beberapa saat, menggerakkan ibu jarinya untuk beri belai tipis di atas kulit tangan Hyunji.
"Kenapa memotong rambutmu, mungkin?"
Meski bukan itu yang ingin Hyunji bahas, tetapi rupanya ia tak bisa mengelak untuk menjawab, "Oh, ini? Yoongi bilang kalau aku akan lebih cocok menggunakan rambut pendek, bagaimana menurutmu?"
"Aku suka rambut sebahumu, tetapi begini juga bagus. Buat dirimu nyaman saja, Ji."
"Aku juga tidak menyangka kalau ini akan cocok untukku, Yoongi memang teliti sekali, kan, Jim?"
Bahkan semesta tak beri waktu bagi Jimin untuk menggeleng, lelaki itu hanya beri anggukan sebagai balasan pujian. Bukannya ia enggan berikan itu melalui suara mulutnya, tetapi Jimin tak suka tunjukkan getar nyeri hatinya lewat desibel. Maka ketika Hyunji bahkan tak segan untuk tunjukkan sekagum apa dia pada Yoongi, Jimin tak punyai pilihan untuk egoiskan diri dengan menuntut apa yang ia sukai.
Hyunji juga ikut diam selama beberapa saat, meneliti bagaimana paras Jimin yang bersih meski ada beberapa titik keringat yang mengembun di dahinya; indikasi kelelahan, walau Jimin berusaha lebih terlihat bugar dalam jangkau pandangannya.
"Kau tidak ingin bertanya hal lain?" Hyunji memastikan, dan itu Jimin respons tak lebih dari dua detik setelahnya.
"Aku sedang memikirkannya sekarang."
"Bagaimana kalau kita bahas tentang semalam?" Hyunji remas tangan Jimin tanpa sengaja. "Hyuk bilang, dia mendengar kita bertengkar. Aku ... tidak mengingat apa pun."
"Oh, itu ...," Jimin menjeda selama beberapa detik. "Aku sudah tanyakan pada Dokter. Katanya, gejala seperti itu bisa saja terjadi pada orang penderita demam tinggi. Kau membentakku dengan kasar, tetapi bicaramu bahkan tidak dapat kumengerti sama sekali. Kemungkinan kau—"
"Lebih tepatnya apa yang kubicarakan semalam?"
Begitu kecemasan Hyunji menjadi berlipat sekarang, tepat ketika Jimin katupkan labiumnya seakan enggan bahas apa yang sebenarnya sedang mereka ributkan malam tadi. Jeda yang Jimin timbulkan beri kesempatan pada kepala Hyunji untuk lahirkan konklusi tak baik, apakah Jimin menyadari sesuatu?
"Yah," Jimin memulai. "Kau melihatku sebagai Yoongi, dan aku membentakmu lebih dulu karena kesal. Begitulah kita akhirnya bertengkar. Bahkan alam bawah sadarmu masih dimenangkan satu orang yang sama, ya, Ji?
"Kau kelihatan sedang berbohong."
Senyum yang awalnya Jimin kembangkan luntur perlahan, seharusnya ia yang paling tahu bahwa dirinya tak pandai berbohong. Sekarang, Hyunji tak akan biarkan dirinya lolos begitu saja. Barangkali sama, ia tak akan biarkan Hyunji lolos darinya setelah ini.
"Jadi?" Jimin ragu-ragu sejenak. "Apakah kau akan menjelaskan padaku mengapa kau suka melukai tubuhmu sendiri ... Ji?"
Ya, ini dia. Jimin harus menanyakannya. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top