12
Komenlah banyak-banyak sampai aku pusing bacanya :)
Lampu mobil itu masih lurus, bentur dinding garasi yang berubah menjadi lebih hidup daripada deru mesin yang tak kunjung dicekik hingga tewas. Jimin melamun lagi tanpa lelah walau separuh dari satu jamnya telah kadaluwarsa dengan manjakan kepala berpikir semaunya, dan mata yang pelototi titik buram tak fokus. Ada yang meremas isi tempurungnya, membuat Jimin nyeri dan ingin pingsan dalam waktu yang simultan. Padahal, napasnya jugalah masih normal, meski akan tertahan sistematis selama beberapa waktu cari-cari ketenangan. Tak ada kamera tersembunyi dalam ruang kerja di kantornya, akan tetapi ia masih ketakutan dan merinding luar biasa. Bagaimana jika ada orang lain intip dirinya dengan Sohyun lewat kisi jendela, atau lubang kunci pintu?
Kau sungguhan sudah gila, Jim, makinya untuk diri sendiri. Mengacak rambut hingga berantakan, lantas susulkan hela berat yang ia buang pada udara. Menyelidiki dua buntalannya yang masih lelap di belakang sana, ia raih cermin, mengubah arahnya agar menunduk, pantulkan bias dirinya sendiri yang fokuskan pandang pada leher. Kulitnya masih bersih, tak ada bekas apa pun di sana, entah itu lipstik atau hisapan mulut. Pada awalnya Jimin memang agak kecewa, tetapi lantas bayangkan betapa sakitnya Hyunji ketika temukan dirinya telah berkhianat dengan biarkan tubuhnya dijamah perempuan lain. Hasilnya terulang kembali, ia bertengkar kembali dengan isi kepalanya yang egois.
Setelah memukul setir yang tak sengaja tekan klakson hingga berbunyi lantang sekali, Jimin lantas putar kunci dan deru serta lampu yang cumbui dinding itu hilang terbunuh. Hyuk menggeliat di belakang sana, membuka kelopak sejenak, kemudian memeluk Bae yang tetap meringkuk nyaman di sampingnya. Jimin terlalu sinting untuk pikirkan dua anaknya itu, ia tengah acungkan pedang pada otaknya yang masih pegang samurai, jika kegilaan dalam kepalanya tak segera berhenti, Jimin takut kehilangan kendali dengan memilih untuk memenggal leher sendiri. Memutus korelasi tubuh dengan kepalanya, biarkan hati serta logika berjalan sendiri-sendiri; yang mana itu berarti ia harus menyerahkan segalanya.
Bagaimana bisa kau manfaatkan Sohyun sekejam itu, Jim? Makian kedua itu lantas segera bergema menyusul logika tanya yang pertama. Mengingat kembali kestatisan tubuhnya ketika Sohyun menjilat habis lehernya seperti es krim, dan ia hanya pasif saja, membiarkan otak kuasai tubuh dengan memerintahkan secara sepihak untuk tak bergerak. Mengotori leher hingga kerah kemeja dengan isi otak, Ya, kotori bagian itu, tolong tinggalkan bekas apa saja di sana. Kemudian seakan Sohyun mengerti isi kepalanya, perempuan itu lantas mulai rengkuh tubuhnya yang diam saja dengan perlahan merangkak naik pada pangkuan, menyesap lebih kuat. Ya, bagus. Tinggalkan lisptikmu di sana. Aku ingin pamerkan itu pada Hyunji dan tertawai kesakitannya nanti.
Lantas ketika Jimin mulai rasakan darahnya memanas, keinginan untuk tuntas bangkit, serta satu gigitan ringan menyapa bagian rahang, lelaki itu lekas tersentak. Merengkuh pinggang Sohyun dan menggeser perempuan itu untuk tinggalkan sekat yang tadinya sempat ditelan habis oleh tubuh yang saling rekat. Jimin panas dan dingin dalam kurun waktu yang simultan, dentuman dadanya bersaing dengan deru napas Sohyun yang pendek-pendek dan terburu-buru. Keduanya hanya habisi waktu dengan bertukar tatap selama beberapa saat, saling telanjangi pikiran masing-masing, hingga akhirnya Jimin sampaikan penyesalannya yang penuh penolakan lewat mata. Dan Sohyun rupanya menerima itu tanpa diduga-duga.
"Sebaiknya kau pulang tanpaku hari ini, aku sedang punya banyak pekerjaan yang belum rampung. Semakin cepat justru semakin baik, aku tak mau ada kejadian yang seharusnya tak dilakukan dalam waktu seperti sekarang."
Jimin tahu ia telah menyakiti sekali lagi, tetapi ia benar tak bisa berikan apa pun lagi pada Sohyun karena bagian dirinya telah habis dirampas Hyunji. Itu bukan hanya sekedar omong kosong, ia merasa benar tak miliki apa pun untuk diberikan pada siapa pun. Hatinya, jantung, paru-paru, bahkan segala organ yang menjadi bentala mandirinya hidup telah Hyunji sajikan dengan potongan bagus-bagus untuk dijadikan sarapan bersama dua buntalan manis yang kini terlelap di belakang sana. Tak ada yang ingin Jimin perhatikan selain ketiganya, Demi Tuhan, tidak ada.
Kembali lagi pada pemikirannya yang tak kunjung berhenti untuk berjalan mundur, Jimin menyesali waktu ketika ia putuskan manfaatkan Sohyun hanya agar istrinya resan. Ia ingin istrinya alami sakit seperti dirinya, kemudian sadar bahwa dendam itu bejat sekali cara kerjanya. Bagaimana bisa ia relakan Hyunji sakit akibat ulahnya? Maka setelah menyerah akan dendamnya, Jimin mulai meraih tisu basah dan mengelap lehernya hingga bersih, tanggalkan jasnya dan menundukkan sedikit lagi cermin mobil, Jimin matikan bisikan-bisikan setan dalam kepalanya, membiarkan tangannya dengan gesit bersihkan sisa lipstik yang tempeli kerah kemejanya yang putih. Segalanya ia lakukan untuk lenyapkan sisa Sohyun pada tubuhnya, gunakan parfum kembali pada tubuh dengan berharap pendek, bahwa sisa aroma feminim yang tadi belai kain pakaian luntur tak bertilas sama sekali.
Tepat pada saat itu, pintu yang menjembatani garasi dengan lambung ruang skrin kiri terbuka. Hyunji tiba di sana dengan wajah kusut bangun tidur, berjalan terseok-seok menuju mobil sebelum meregangkan otot-otot tubuhnya yang masih nyenyak beristirahat. Rambut Hyunji dipotong menjadi lebih pendek, kali ini bahkan tak mampu capai bahunya yang ringkih. Pada saat itulah Jimin temukan hal lain yang menjadi penghubung disparitas di antara mereka.
Dia bahkan sudah tak membutuhkan izinku untuk lakukan sesuatu pada tubuhnya. Padahal dia jelas tahu, aku begitu menyukai rambutnya yang panjang.
"Jim, buka pintunya." Perempuan itu menunjuk pintu belakang, tempat dua anaknya tengah saling peluk berbagi kehangatan.
Bergerak pelan, ia buka pintu dan berjalan keluar ke arah pintu belakang. Tak sempatkan waktu untuk menuntun matanya menatap Hyunji lebih lama, sebab hatinya tengah dalam konteks penuh sesal.
"Kau tadi sudah tidur?" tanya Jimin sembari meraih Hyuk pelan-pelan dari kursi, membawanya dalam gendongan dan mengelus punggungnya menenangkan.
"Iya," sahut Hyunji mengantuk. "Belakangan aku jadi mudah lelah. Kebetulan kau pulangnya agak terlambat, apa aku perlu hangatkan lagi makan malamnya?"
Bae telah berganti tempat pada rengkuhan Hyunji dan mereka mulai berjalan beriringan menuju lambung rumah. Seharusnya itu menjadi hal yang biasa saja jika Jimin tak ingat bahwa Hyunji telah lebih bahagia bersama selingkuhannya, sedang dirinya juga tak sebaik itu untuk menghakimi sebab baru saja lakukan khianat yang serupa. Bodohnya, bodoh sekali.
"Tidak perlu." Jimin jawabi itu dengan tenang, mengiringi langkah Hyunji yang pendek-pendek. "Aku akan menghangatkannya sendiri, katanya kau lelah? Tidur saja kembali setelah ini."
"Mungkin aku masuk angin? Udaranya jadi dingin dan aku mual."
Jimin sama sekali tidak ingin berpikiran buruk, ia hanya menuntut dirinya sendiri untuk merasa cemas pada kondisi istrinya. Barangkali memang terasa kembali pada saat awal kehamilan Hyunji dulu, tetapi untuk kali ini Jimin tak ingin ambil kesimpulan yang buru-buru. Sayang, mulutnya kadang memang terlalu jujur katakan sesuatu, "Periode datang bulanmu masih lancar?"
Apa yang tak disangka Jimin terjadi setelahnya. Hyunji terkekeh hingga nyaris tersandung anak tangga pertama jika saja Jimin tak segera sigap menangkap bahu kecil itu.
"Kau cemas aku hamil?" tanyanya.
Bahkan Jimin tak dapat hentikan perasaan khawatirnya ketika wajah Hyunji memucat seiring ia perhatikan.
"Aku hanya bertanya."
Lantas Hyunji segera mengangguk, menanggapi dengan ringan dan berdesibel tahan tawa. "Aku masih mendapatkan periode menstruasiku dengan lancar. Mungkin aku kelelahan?"
Keduanya tiba di kamar, meletakkan Hyuk dan Bae dalam ranjang berbeda sebelum berikan kecupan selamat tidur yang manis. Berjalan bersisian menuju kamar sebelah, Jimin pegangi lengan istrinya sebagai bentuk perhatiannya yang lain. Menekan hatinya sendiri ketika temukan telapak tangan Hyunji terdapat bekas gigitan lain, tidak terluka, hanya bekas gigi yang hampir memudar kemerahan.
"Ji?" panggil Jimin pelan. "Kau menggigiti tanganmu sendiri? Kenapa?"
Hyunji menoleh dengan pandangan lelah, membuka pintu kamar mereka dengan tenaga yang nyaris hilang sebelum akhirnya menyahut lirih, "Karena sakit dan takut, mungkin?"
****
Mimpinya terus buruk dari hari ke hari, tidurnya akan terganggu tiap terpejam, tidak ada mimpi, sebab isi kepalanya ribut sekali tayangi fragmen yang paling Hyunji benci. Seperti nyata dan menggigiti kewarasan hingga tak ada sisa barang seserpih kecilnya, tetapi semalam tidurnya cenderung nyenyak dan tak dengar apa pun, walau tetap tak ada mimpi yang tandangi lelap, setidaknya ia merasa bahwa gegana subtil tengah belai-belai kontur pipinya hantarkan hangat. Kadang ia ciptakan khayalannya sendiri saat ternyenyak, berharap bahwa semalam Jimin tak tidur untuk rawat ia yang tengah hadapi fase sialan yang panas di kepala. Menatapinya penuh damba, usap dahinya tanpa keributan, usir keringat yang mengganggu anak-anak rambut yang baru saja lahir dari kulit kepala.
Bahkan, dalam tidur pun, ia mencintai Park Jimin sedalam itu. Namun, mengapa ia harus terdisparitas seluas biru langit yang kadang tak dapat sampai tujuan lantaran cahayanya dimakan habis oleh gelap? Perasaan semacam itu kadang buat ia ragu, benarkah ia mencintai Park Jimin? Atau hanya terlalu menghargai suaminya tersebut?
Kala pemikiran sejenis itu mulai rusaki bagian-bagian tergelap yang ia simpan rapat-rapat, kecewa terhadap diri sendiri mulai ubah eksistensi menjadi jurang disparitas lain yang berakhir ingin bunuh diri sebab Jimin terlihat semakin kecil dan jauh dari jarak pandangnya. Ia mencintai Jimin, tetapi Yoongi sedang menempati posisi yang benar-benar ia butuhkan. Yoongi adalah sedalam dirinya yang lain, dia adalah isi otaknya, yang paling paham kecewanya, yang bahkan dapat baca hela napasnya dengan isi ketakutan walau tak dirinya katakan. Jimin mungkin adalah hati serta jantungnya, tetapi bagaimana bisa ia berdiri jika otaknya sama sekali tak berfungsi? Kehilangan isi kepala adalah sama artinya dengan mati lebih dulu ketika masih bernapas dan hidup. Tanpa presensi otak itu sendiri, bukankah hati dan jantung menjadi kehilangan jati diri dan malfungsi hingga berakhir kehilangan memori? Keduanya tak akan punyai makna apa pun, lalu apa gunanya itu bagi Hyunji sendiri ketika induk pikirannya terlepas dari awal posisi?
Jimin atau Yoongi? Maka untuk saat ini jika bisa pilih dengan pikiran tak waras, Hyunji ingin memilih untuk mati.
Sebelum itu, gelapnya adalah kelompang, hampa, dan kelewat sunyi yang tandakan tak ada apa-apa pada fungsi kepala. Hingga ribut itu tandangi rungunya dengan samar, simpang siur, dan Hyunji nyaris yakin ada yang salah dengan kinerja otaknya. Desibel samar itu menghilang sejenak, ia paksa untuk aktifkan rungu dengan benar agar tangkap kembali suara-suara itu, tetapi pada saat ia sadar tak ada yang dapat ia paksa, menyadari hal lain bahwa barangkali lobus temporalnya sedang beku. Hyunji coba gerakkan tubuhnya yang lain, coba gapai nyata yang kini tenggelam di balik kelopak mata, oh, oke, kini spinoserebelumnya ikut cacat dalam konotasi waktu yang simultan.
Hyunji ingin menangis lagi seperti semalam, ia ingin basahi seluruh wajahnya dengan keasinan air yang meningkat tiap jamnya. Hingga akhirnya sadari bahwa temporalnya mulai aktif kembali bersamaan dengan satu fakta bahwa kini vestibuloserebelumnya beralih terganggu. Suara-suara itu kembali, milik Hyuk yang tenang dan milik Bae yang menjerit dalam tangisan. Mengapa? Ada apa?
"Bae, sudah, dong. Kau berisik, nanti Mama jadi tambah sakit." Hyuk coba belai kembali tangan-tangan kecil adik perempuannya yang dingin.
"Tidak bisa berhenti, air matanya sakiti mata Bae," Suara gadis kecilnya sumbang bukan main. "Mama kenapa tidak bangun juga, Hyukie? Kenapa pingsannya lama?" Ribut sejenak sebelum akhirnya gadis cantik itu lanjutkan sambil tonjolkan hidungnya yang penuh. "Hyukie, ingusnya banyak sekali. Aku tidak bisa napas, tolong...."
Tatkala Hyunji aktifkan kembali seluruh fungsi otanya, maka yang pertama kali ia lihat dengan pupil bergetar berat adalah Hyuk yang pegang tisue sembari apit dua sisi hidung adiknya. Ada air asin yang mengalir dari dua sisi matanya saat itu juga, campur baur antara haru, sedih, dan spontanitas yang terjadi akibat demam tinggi. Hyunji rasai tubuhnya terasa lelah bukan main, ada sesuatu yang menempel di kening dan memasuki lubang telinga. Yang terpenting daripada sapu tangan kompres di dahi serta termometer di lubang telinganya adalah fakta bahwa dua anaknya lah yang mengurus dirinya. Bagaimana Hyunji bisa tahan tangis di saat hatinya justru teremas kencang sekali? Ketakutan itu menyerang lagi.
"Sudah, ya. Jangan nangis lagi. Kata Mama kalau mau jadi anak cantik itu tidak boleh cengeng. Oh, Mama?" Hyuk kaget saat itu juga, melihat Hyunji telah buka mata sambil hapus air yang mengalir menyamping.
Bae menjadi semakin ribut, anak gadis itu memeluk Hyunji erat sekali dalam sekali sentakan. Kepala mungilnya menekan perut dengan menangis lagi di sana. Tangannya yang kecil gendut mengcengkeram piyama tidurnya yang telah diganti. Ia menjadi semakin mual dan sakit kepala, Hyuk bantu hapus air matanya yang mengalir juga, anak lelaki itu pelototi Hyunji galak sekali.
"Mama ini bandel sekali, sudah buat kita bertiga panik, bangun-bangun malah nangis. Untung tadi Papa membersihkan kulit muka Mama dengan tisu basah, kalau tidak, pasti Mama sudah jelek sekali." Lihat, bagaimana menggemaskannya anak lelaki itu sampaikan kekhawatirannya, lucu sekali.
"Kenapa Hyukie memarahi Mama? Mau aku pukul, ya?" Bae mendongak sambil langsung hapus air matanya. Layangkan tatapan kesal pada Hyuk walau masih dengan keadaan kacau berantakan. Hati Hyunji, begitu hangat.
"Kalian merawat Mama?" tanya Hyunji serak.
Keduanya mengangguk bersemangat, Bae kembali menjadi pemegang posisi untuk cerewet. Lupa bahwa satu detik sebelumnya ia tengah kesal pada Hyuk, kini ia sendiri yang sampai kekesalannya pada Hyunji, "Mama jahat sekali tahu. Mama buat kami bolos sekolah, dan Papa absen pergi ke kantor. Mama tidur dan Papa kelelahan mengurus Mama, menyiapkan sarapan untuk kita, bahkan tangan Papa sampai luka-luka."
"Iya, aku takut Papa jadi sakit juga." Hyuk sambung ini dengan lebih kalem di banding Bae. "Papa belum tidur dua hari penuh, menjaga Mama, jangan bergerak nanti jarumnya lepas!"
Hyunji batal angkat tangannya yang digenggam Hyuk erat, benar ada jarum infus di sana. Namun, benarkah ia tertidur dan melewati waktu selama dua hari penuh? Harus berapa banyak hal lagi yang akan dunia perdengarkan padanya? Harus separah apa lagi sakit dalam hatinya dengar ketulusan Jimin yang tak pernah kiamat?
"Wah, mungkin mama ingin bermimpi panjang sekali," sahut Hyunji pelan, mencoba tenangkan dua buntalannya yang manis agar tak cemas berkepanjangan. "Mama bermimpi jadi cinderella selama dua hari penuh, lho."
Di sana, Hyunji tahu ada yang salah dengan perkataannya. Sebab Bae dan Hyuk kerutkan kening indikasi bahwa mereka tengah kebingungan luar biasa. Dan segalanya terjawab saat Hyuk membuka labiumnya untuk keluarkan suara, "Mama tidak tidur penuh selama dua hari, kok. Hanya kemarin, kemudian hari ini juga seharian. Tetapi tadi malam Mama bangun, dan bertengkar dengan Papa. Aku mendengarnya dari dalam kamar."
Apa? Kapan?
Di luar langitnya sedang bahagia, sebab mendung dan tangisnya pindah ke hati Hyunji. Di luar sana hanya ada kicau burung sore hari, sebab gunturnya sedang dikuasai hati perempuan itu. Dadanya ribut dan sesak sekali. Ia diam saja tak berikan suaranya lagi pada dua buah hatinya, tersenyum miris tertawai kebodohannya sendiri. Semoga Jimin tidak menyadari sesuatu tadi malam, jika itu memang benar bahwa aku terbangun tanpa sadar.
"Sayang, di mana Papa sekarang?"[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top