10

Jimin parkir mobil dengan rapi di garasi rumah, berjejer dengan satu jip serta Ferrari milik Hyunji di sisinya lagi. Napasnya dibuang pelan, lirik dua buntalannya yang lekas turun begitu mesin mobil dibunuh. Lelaki itu diam sejenak, membiarkan dua anaknya berlari memasuki rumah lewat pintu garasi yang terhubung dengan sayap kiri ruang. Bae langsung ribut berteriak memanggil Hyunji, sedang Hyuk membuntuti dengan langkah tergesa, katanya harus memastikan bahwa adiknya tetap aman.

"Papaaaa!! Cepat masuk, Mama sudah menunggu di ruang makan."

Jimin tangkap teriakan Hyuk dengan baik, dan rupanya ia tak lakukan gerakan apa pun guna beranjak dari lokasinya termenung. Lelaki itu justru pilih untuk istirahatkan kepalanya pada setir mobil, bertopang lengan. Kemelut dalam kepalanya kembali berkabung dan menggumpal menjadi beban keras serata batu. Jimin sebenar-benarnya tak ingin temui Hyunji di saat kondisi hatinya belum pulih dari patah, tetapi konteks yang terkorelasi antara ia dengan istrinya tersebut rupanya telah lama ubah presensi menjadi benang bening, penghubung yang Jimin tak akan temui eksistensinya untuk diputus. Selamanya mereka akan terhubung, dan Jimin harusnya menjadi lebih kuat lagi jalajahi rumah di mana ialah pemegang kendali atas segala sistem kasat mata yang menjadi tanggungan terberatnya di lokasi tersebut.

Jimin adalah kepala keluarga, dan ternyata ia adalah kepayahan yang nyata dalam susun kemanisan rumah tangganya sendiri. Katakanlah Jimin gagal, sebab ia tak dapat bangun kebahagiaan yang liputi semua anggota. Ia hanya mampu ambil hati dua anaknya, sedang tamat dalam raih rasa yang selubungi istrinya sendiri. Bagaimana, ya? Padahal Jimin yakin sudah ulurkan segalanya pada Hyunji, pada bagian mananya yang tak tulus? Mengapa Hyunji tetap tak dapat ujungkan hati pada dirinya yang berharap selama ini? Mungkin Jimin yang keliru ketika pikir segala konteks yang ia komidikan telah sah dan substansi paling faktual. Segalanya mengandung kredibelitas, tetapi tak sampai dapat sentuh rasa milik Hyunji apalagi timbulkan getaran yang serupa dengan getar dadanya sendiri, pada tahap ini Jimin yakin ada yang salah dengan caranya serahkan perhatian, barangkali kenyamanan itu putus di tengah jalan?

Atau mungkin ia telah benar? Segalanya penuh cinta tetapi Hyunji tolak di pintu depan. Bagaimana jika itu jawaban yang paling benar? Tuan rumah tak bukakan pintu, lalu bagaimana Jimin dapat masuk? Barangkali itu alasan terbesar mengapa hati Hyunji tak pernah bergetar untuknya.

Jimin remas setir yang ia jadikan tumpuan kepala, hatinya bernyanyi dengan tempo yang cepat sekali, dan ia yakin bahwa ada patah lagi dari serpihan hati akibat pikiran busuk yang sedetik lalu penuhi kalbunya sendiri. Sejujurnya Jimin egois, ia tidak pernah berbagi hal yang dirinya sukai. Namun ketika Hyunji libatkan diri sedalam itu, dunia Jimin menjadi begitu penuh dengan toleransi yang hamil besar berisi kesabaran paling mendebarkan. Jimin gugup jika akhirnya kandungan itu pecah dan lahir, apakah Jimin akan memiliki buah bagus dari kesabarannya sendiri? Atau ia harus terima nasib buruk dengan menerima kematian rasa?

Tiga ketukan pada kaca jendela mobil tarik kepala Jimin untuk tetapkan atensi pada sosok yang tengah berdiri di luar sana dengan celemek dapur dan rambut yang digelung tinggi. Hyunji rekahkan senyum begitu Jimin buka pintu dan mulai jejakkan kaki pada lantai. Mereka adu tatap sejenak, kontras sekali sebab pandangan lelah Jimin beradu langsung dengan tatapan antusias yang penuh dengan pancar kebahagiaan milik Hyunji. Lihat, betapa cantiknya ibu dari anak-anaknya itu. Bagaimana Jimin tidak jatuh cinta setiap hari?

"Aku pikir kau tidur," sapa Hyunji lantas raih tas di tangan Jimin untuk ambil alih bebannya. "Pasti lelah sekali, kan? Ayo, makan malam lebih dulu. Nanti kupijat agar penatmu tak gelantungan banyak."

Jimin paksa keluarkan senyumnya, tarikan yang singkat dan tipis. Tangannya lekas raih kepala Hyunji untuk susulkan satu kecupan pada ubun-ubunnya yang beraroma lavendel. "Melihatmu terus bahagia begini, aku tak masalah jika harus kelelahan setiap hari."

Jimin tahu kroma merah muda pada belah pipi Hyunji itu menyala karena kalimatnya. Namun Jimin tak katakan apa pun sebab kepalanya spontan ingat bahwa kecantikan di depannya tak lagi menjadi hak milik pribadi, barangkali kroma cantik yang dihasilkan kalimat Yoongi lebih bagus dari yang ia ciptakan tadi. Jimin tak ingin bayangkan selebar apa senyum Hyunji ketika Yoongi elus pucuk kepala istrinya dengan subtil, dan sialnya semua yang tak ingin Jimin bayangkan justru terputar sendiri dalam kepalanya seperti layar lebar.

"Aku buatkan makanan kesukaanmu. Tolong jangan ditolak."

Tidak akan, sayang. Namun hati Jimin sedang tak sekuat itu, jadi ia ikuti saja langkah Hyunji menuju ruang makan meski perutnya telah kehabisan ruang kosong setelah habiskan makan malam dengan Sohyun barusan. Keduanya tiba tepat pada saat Hyuk dan Bae saling tatap bahagia sambil sesekali mencolek selai cokelat dan disesap menggunakan jemari mungil mereka. Ada begitu banyak makanan di meja makan, yang bahkan uapnya pun tak dapat bangkitkan selera makan Jimin yang telah lebih dari kenyang.

"Ma, kenapa makanannya banyak sekali?" Hyuk mulai tanya ketika Jimin hendak buka suara untuk pamit mandi ke atas dan absen makan malam.

"Kalian bertiga pasti lapar setelah seharian bekerja. Jadi mama buatkan banyak agar kalian dapat pulihkan tenaga."

"Tetapi tadi kita sudah makan, Ma. Papa dan Mommy beli banyak makanan enak di restoran. Kita habiskan semuanya. Iya, kan, Hyuk?" Bae minta suara klarifikasi dari Hyuk yang masih sibuk colek selai cokelat dari tabung mungil.

Dada Jimin nyeri lagi, begitu ia lihat Hyunji kebingungan dengan ucapan Bae barusan, niatnya untuk absen makan harus terjengkang karena kemungkinan besar masakan yang telah Hyunji siapkan sedemikian banyaknya akan tersaji percuma. Maka, tatkala Jimin hendak dudukkan diri pada kursi. Nyeri lain timbul di antara ketiganya, kali ini bukan pada hati Jimin, tetapi milik Hyunji. Tepat ketika mulut Bae kembali terbuka untuk fungsikan pita suara.

"Ma, kami punya perempuan lagi yang seperti Mama. Namanya Mommy Sohyun, dia cantik sekali dan juga baik. Kita seharian bermain di kantor Papa," ujar Bae bersemangat.

Jimin perhatikan bagaimana raut wajah Hyunji meredup perlahan, antusias yang baru saja terpancar melenyapkan presensi pelan-pelan. Jimin remas ujung meja yang ia jadikan tumpuan, rasa bersalah menghantam hatinya saat itu juga. Hyunji memang tak bicara, tetapi Jimin ikut rasakan bagaimana tusukannya. Haruskan ini menjadi bagian dari kesalahannya? Harusnya Jimin pungut konteks ini menjadi salah satu deretan dari daftar dosanya? Bae terus bicara banyak tentang hal yang menyakitkan, Hyunji menatap anak gadisnya itu tanpa gairah, dan Jimin tatapi Hyunji dengan pandangan bersalah. Mereka sibuk dengan semesta dan pikiran masing-masing, hingga tak sadar bahwa Hyuk tengah pandangi semuanya bergantian; mencoba membaca seperti apa isi kepala semua orang dalam diam, mengapa ekspresi wajah papa dan mamanya menjadi lebih gelap?

"Wah, kalian punya Mama baru, ya?" Hyunji sahuti itu sebagai candaan. Wajahnya penuh kepura-puraan dan Jimin rekam semuanya dalam ingatan.

"Iya, hebat, kan, Ma?" Bae tertawa gembira dan lekas berceloteh banyak hal, gadis cilik itu menceritakan permainan yang ia habiskan bersama Sohyun, saling mengajarkan cara mengikat rambut yang benar, dan memakaikan lipstik pada bibir Hyuk yang langsung dihapus dalam waktu tak lebih dari satu menit.

Rumah tangga itu beralas duri, tetapi para orang tuanya bersikap seakan tak ada apa pun di sana. Mereka bahagia dalam konotasi waktu yang teramat singkat dan takaran dangkal. Itu adalah kisah yang klasik sekali, tetapi terus terasa baru sakitnya. Mungkin begini rasanya ketika berperang dengan perasaan sendiri, Jimin paham rasanya. Dan ia berdoa bahwa hanya dirinya yang akan alami sakit berlebihan seperti itu. Jangan, jangan berikan itu pada Hyunji apalagi dua anaknya yang manis.

"Ma, karena kita sudah makan, boleh aku langsung ke kamar saja? Aku mau mandi. Melihat makanan ini selera laparku hilang, aku benar-benar kenyang." Bae pamit dan langsung pergi begitu Hyunji anggukkan kepala indikasi bahwa ia setuju.

Hyunji coba tak lunturkan senyumnya meski hatinya sakit, ia beralih menatap Hyuk dan juga Jimin yang masih betah menatap makanan yang ia sajikan sebanyak ini. Ah, jadi usahanya sia-sia? Padahal ia merelakan epidermis tangannya sedikit terjamah pisau dan melepuh di beberapa bagian akibat sentuh badan panci panas tak sengaja. Hyunji ingin rebut kembali kehangatan keluarganya yang sempat lenyap beberapa saat lalu, tetapi untuk apa jika segalanya bahkan telah lebih sialan dari pada terlambat?

Jimin lekas balik piring di depannya kemudian raih makanan yang tersaji di sana, perutnya penuh tentu saja. Namun ia tidak tega biarkan sakit itu gerogoti hati istrinya sendiri, Jimin tahu Hyunji menyiapkan ini hingga payah, itu sebabnya ia mulai sendokkan makanan ke dalam mulut serta kunyah hingga telan meski dijejal paksa. Hyuk yang duduk di seberang mengikuti Jimin, makan meski sedikit bagian dari piringnya yang terisi. Jimin tatap anaknya itu, oh, ia lupa bahwa ada satu kepala yang cerdasnya luar biasa. Bagaimana bisa Jimin lupa bahwa Hyuk ternyata sudah bisa agak memikirkan sesuatu dengan begitu baik?

"Hyuk tidak susul Bae? Jangan dipaksa jika kenyang, Sayang." Hyunji katakan itu sembari sembunyikan kepedihannya sendiri.

"Kata Papa, kita tidak boleh membiarkan Mama menikmati masakan sendirian. Aku hanya makan sedikit, kok. Mau temani Papa sama Mama, tenang saja, lambung sebelah kiri Hyuk masih agak kosong, kok."

Jimin ingin elus kepala anak lelakinya, tetapi Hyunji telah lakukan hal itu lebih dulu bahkan bumbuhi kecupan pada puncak kepala Hyuk. Jimin tatapi itu sembari kunyah makanan dalam diam, hingga tatapannya bersirobok dengan milik Hyunji yang lembut dan tahan sakit. Jimin jadi ingin rangkul, tetapi kakinya hanya memilih untuk terus diam saja.

"Kau memaksakan diri, ya? Aku tahu kau juga tak berselera," kata Hyunji padanya, yang Jimin balas dengan satu angkatan bahu ringan.

"Aku suka masakanmu. Lagi pula, apa aku sudah pernah bilang bahwa kepala keluarga tidak boleh absen makan malam bersama?" Jimin isi kembali piringnya. "Tolong temani kita makan malam, Ji. Aku sungguhan tak bisa habiskan semua masakan ini sendirian."

Hyunji ukir senyum secepatnya, mengecup kepala Hyuk sekali lagi sebelum tatapi Jimin yang makan dengan lahap penuh arti. Begini rasanya dihargai dengan manis dan penuh sayang? Seharusnya Hyunji tahu bahwa tak ada malaikat berbentuk manusia seperti Jimin. Namun, mengapa hatinya terus berdebar berantakan menolak tandangan rasa ingin miliki Jimin sepenuhnya itu? Hyunji tak temukan kunci yang ia buang beberapa minggu lalu lalu, sekarang bagaimana caranya ia buka hatinya sendiri?

*****


Hal pertama yang Jimin lihat ketika keluar dari kamar mandi adalah ketika Hyunji coba tiup pelan kelupas epidermis tangannya yang terolesi salep. Ada sekotak obat p3k yang isinya berserakan di atas meja kamar, serta bak kecil berisi balok es kecil-kecil. Jimin tertegun beberapa detik bersama tangan yang terangkat sebelah untuk usak rambut dengan handuk kecil, ia menatap Hyunji lamat-lamat sebelum akhirnya ambil inisiatif langkah mendekat. Mencuri atensi perempuan itu dengan langkah kakinya yang timbulkan suara gesek aduan sendal dengan lantai.

Tubuh itu tegap dan sehat, gerak tungkainya tegas dan tak terselip skeptis sama sekali. Betapa bagusnya fisik lelaki yang kini tampak mengkilap basah, selintas begitu mengagumkan, siapa yang tahu jika hati yang tersimpan sedikit agak di bawah rusuknya itu tak utuh dan cacat dalam konotasi yang tak dapat ditakar? Bahkan Jimin tak menyesal sama sekali dengan sumpahnya, bahwa jantung yang hingga kini terus lakukan tugasnya dengan baik itu tak akan dapat dicium pemilik napas lain selain Hyunji? Sumpah macam apa itu? Jimin bersumpah hidup untuk perempuan yang bahkan tak serahkan hidupnya pula untuk dirinya?

"Biar kubantu." Jimin raih kotak obat kemudian duduk di hadapan Hyunji hanya dengan kenakan handuk yang tutupi bawah pusar hingga lutut.

Hyunji lepaskan senyuman terbaiknya sembari biarkan Jimin ambil alih tangannya untuk beralih genggam. "Kau tak pakai bajumu?" tegur Hyunji.

"Apa kau keberatan dengan bentuk tubuhku?"

Hyunji menggeleng. "Bukan begitu, apa kau sedang menggodaku?"

"Apa kau tergoda?"

Jimin dengar kekehan itu mengudara merdu sekali, mata milik Hyunji berubah bentuk menjadi segaris lucu dengan sunggingan bibir yang lebar sekali. Jimin lelah jatuh cinta dengan kecantikan itu, nyatanya meski itu melelahkan dan tak timbulkan guna apa-apa. Jimin tetap jatuh cinta, lagi.

"Sudah lama, ya kita tidak bercanda begini."

Padahal Jimin sama sekali tidak bercanda, ia serius menanyakan apakah Hyunji benar tergoda atau tidak. Jimin bukannya ingin menjadi murahan dengan pamerkan tubuh sendiri untuk tarik minat seseorang, ia hanya ingin pastikan apakah Hyunji benar tak lagi temukan debaran untuk dirinya. Nyatanya, sekali pun Jimin coba sembilan ratus miliar cara, Hyunji barangkali telah benar-benar tutup hati untuk dirinya. Lantas, sampai kapan Jimin dapat hentikan segala rasanya yang sialan ini?

"Ya," sahutnya kemudian. "Sudah sangat lama sekali."

Setelahnya tak ada yang mulai percakapan, Jimin hanya tempelkan beberapa balok es pada permukaan tangan Hyunji yang lecet sebelum berikan salep di atasnya, bahkan ia tak lepaskan genggaman itu seakan-akan memang berniat untuk melambat-lambatkan gerakan hanya agar korelasi tangan mereka tak segera lepas pisah. Jimin tarik tangan Hyunji kemudian tundukkan kepala mendekatinya, meniup-niup pelan bekas salep di sana, khawatir barangkali akan terasa perih atau semacamnya yang jujur saja justru malah terasa sejuk dan nyaman sekali di tangan Hyunji.

Jimin terus tiup pelan sembari gerakkan jempolnya untuk ciptakan usapan pelan di genggamannya. Jimin tak dongak, ia terus sibuk urusi luka Hyunji hingga tak ada waktu untuk perhatikan wajah di atas kepalanya sedang rekahkan senyum luar biasa pilu. Jimin tidak sakit sendirian, sesungguhnya Hyunjilah yang paling sakit. Ah, sudahlah. Membicarakan sakit juga tak akan temukan titik ujungnya, manusia kental dengan perasaan itu. Hebatnya, kadang sebagian tak jera pada nyeri yang dirasa di sana, faktanya mereka terus berjalan dan tak pantang bunuh keyakinan. Sama, itu yang sedang Jimin alami. Ia patah, memang benar. Ia sakit, itu juga benar. Namun Jimin tak ingin lepas tangan, ia tak akan biarkan apa pun yang telah digenggam lepas tanpa perjuangan.

"Jim," suara Hyunji isi indra rungu mereka kembali usai beberapa menit, "kau ajak Sohyun ke kantor? Bermain bersama anak-anak?"

"Iya, dia ingin membantuku mengasuh Bae dan Hyuk. Maaf tidak memberitahumu lebih dulu."

"Kenapa?"

Jimin mendongak, menatap Hyunji penuh kerut kuriositas. Ada yang Jimin tangkap dari maksud tanya itu, tetapi juga tak yakin untuk keluarkan jawaban seperti apa. Bukankah pertanyaan yang Hyunji lontarkan begitu arbitrer dan krusial?

"Maksudku, aku bahkan masih bisa membantu ambil beban tugas menjaga anak-anak. Kenapa kau memilih Sohyun? Dia tidak berpengalaman, bagaimana jika dia salah memberi makan mereka? Apa kau yakin Sohyun tahu makanan apa saja yang menyebabkan alergi bagi Bae dan juga Hyuk?"

Pada detik itulah senyuman manis Jimin berikan satu tusukan yang berhasil hancurkan hati Hyunji dalam sekali sentakan. "Tenang saja, Ji. Sohyun menjaga mereka di kantorku, ada aku juga di sana. Aku akan terus di sisi mereka dan mengajari Sohyun menjaga anak-anak dengan baik. Percaya padaku."

Dan itu berarti kau akan semakin dekat dengannya. Hyunji remas tangan Jimin tak sengaja, dan Jimin balas meremasnya dengan lebih mesra. Bagaimana mungkin Jimin tak sadar bahwa perkataannya barusan adalah bentuk lain dari tebasan samurai?

"Dia mantan kekasihmu." Hyunji telan saliva secepat mungkin. "Aku pikir itu tidak akan terasa nyaman bagi kalian berdua. Apa kau baik-baik saja dengan kehadirannya?"

"Aku tidak akan berselingkuh darimu, sayang." Jimin usapkan lagi ibu jarinya pada permukaan kulit Hyunji begitu rasionya tangkap maksud yang coba Hyunji siratkan dengan pelan.

"Tidak," Hyunji menggeleng buru-buru. "Bukan itu maksudku, Jim. Aku hanya—"

"Cemas pada anak-anak. Aku tahu," interupsi Jimin lembut. "Sepertinya aku melihat kecemasan lain di matamu. Apakah itu aku?"

Hyunji gigit bibir dalamnya, menatap Jimin dengan pandangan bersalah kemudian sahuti pertanyaan lelaki itu dengan lirih, "Aku mencemaskan kalian semua. Kau, dan juga anak-anak."

Jimin pindahkan satu tangannya untuk menjangkau pipi Hyunji, mengusap perlahan di sana sembari telan kecewanya yang meradang semakin menjadi-jadi. Gantikan segalanya dengan senyuman paling baik yang ia miliki. "Aku mengerti," katanya.

"Jangan risaukan hal-hal yang tak serius, anak-anak masih dalam jangkauanku sekali pun ada Sohyun yang menjaga mereka. Masalah aku dengan Sohyun serta bagaimana hubungan kita berdua dulu? Tolong beri aku waktu, Ji. Sama seperti dirimu yang sedang berjuang saat ini, bukankah aku juga perlu ruang untuk berdamai dengan masa lalu?"

Hyunji tatap Jimin dalam-dalam, rasai dengan pasti bagaimana tangan Jimin yang awalnya hinggap pada belah pipi tinggalkan bekas hangat yang serata dengan elusan sebelumnya. Jimin terlihat tulus, dan dirinya hanya pikirkan cara untuk menuntut. Bagus sekali, Ji. Kau egois melebihi yang teregois.

Ya, kau juga harus berdamai dengan masa lalumu. Lalu mengapa ada darah yang merembes dari hatiku sendiri, dan aku menuntutmu sebagai penusuknya?[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top