09
"Pa, tidak ikut berenang?"
Jimin menggeleng kemudian susulkan dua lengannya ke udara untuk membentuk tanda X sebelum terbahak melihat Hyuk coba percikkan air padanya. Seperti biasa, Jimin yang profesional tidak pernah ingkari janji, terlebih bila semua itu menyangkut keinginan anak-anak. Setelah mengalihkan tanggung jawab kantor sementara pada Seokjin—yang disanggupi dalam konteks terpaksa—Jimin hengkang dari kursi putarnya dan terjun bersama ketiga presensi yang begitu miliki arti esensial ke sebuah vila keluarga.
Saat itu jarum jam paling bungsu sedang berada begitu lurus pada angka sembilan, mentari sedang terbahak di atas sana bersama kepungan kapas terbang hingga sorotannya tidak terlalu eksesif mengawini semesta. Jimin belum berhenti menontoni dua buntalan manisnya yang kini tengah bermain di kolam dangkal, tak kurang Jimin kadang ikut sumbangkan tawanya untuk ikut rasai bahagia yang kini keluarga kecilnya rasakan; dua berbikini dan satu hanya pakai celana renang pendek tanpa atasan.
Jimin raih kopinya, meneliti gerakan Hyunji yang coba mengajari dua buntalannya cara berenang yang benar. Bae lebih banyak paham, dan Hyuk masih berusaha keras untuk dapat mengambang di air. Usai sesapi kopinya yang hari ini menjadi sepahit hidupnya, Jimin lantas segera alihkan pandangan ke arah laut yang langsung terbentang di sisi kolam. Rasanya tak menemukan tepi dari jarak pandang yang dibatasi begini, begitu biru, dan luas tak tertakar. Ah, Jimin suka biru, seperti warna langit dan laut yang kini tak berbeda dengan warna air yang tengah kepung tiga presensi terpentingnya di sekotak kubus penampung.
Biru itu tenang, Jimin merasa hangat setiap kali temukan eksistensi tersebut. Setidaknya, ia memiliki satu alasan yang wajibkan ia menjadi lebih kuat setiap harinya, ia ingin menjadi biru, mendominasi lebih dari setengah keratin loka; menguasai seluruh domestik afeksi tiga manusia yang kini memadu tawa di kolam. Jim, itu harus.
Setidaknya Jimin bersungguh-sungguh dengan tekadnya, ia ingin menjadi dominan yang paling dibutuhkan, sebentar lagi akan kesampaian jika saja Hyunji lebih mudah dikendalikan untuk ikut leburkan diri pada rengkuhnya seperti Hyuk dan Bae. Begitu awalnya, hingga dering notifikasi mencuri atensi Jimin dari biru yang dominan dalam kepalanya. Satu nama kontak yang ia ganti baru-baru ini menjadi titel aslinya.
Kim Sohyun.
Bagaimana? Kau setujui?
Pikirannya kembali terlempar pada pesan-pesan yang mereka bahas semalam. Jimin tidak lupa, bahwa penawaran sialan ini tidak akan pernah disetujui Hyunji jika perempuan itu tahu. Namun jika Jimin rotasikan kembali rasionya, sepertinya menerima Sohyun bukan hal buruk. Rasa-rasanya Jimin menjadi agak dapat meringankan beban.
Kim Sohyun.
Cukup ikuti saja aku. Jika kau benar-benar semakin jauh dan tidak dapat kembali padaku, aku akan mundur. Setidaknya beri aku kesempatan, sumpah, kau tidak akan kurepotkan.
Atas dasar apa Jimin tarik dua ujung bibirnya demi timbulkan kurva? Entahlah, padahal tidak ada pesan jenaka di sana, dan Jimin masih tatapi layar ponsel sembari menimang-nimang tawaran Sohyun—yang benar akan berguna—untuknya. Setelah ketuk beberapa kali layar ponsel, ia palingkan pandangan ke arah langit, bahkan hujan bisa tandang kapan saja jika antariksa sedang berduka. Bagaimana bisa Jimin diam saja jika dapatkan jalan untuk alirkan gundahnya?
Anda
Baiklah.
Barangkali itu adalah dekrit tersubal yang pernah Jimin ambil, tidak apa-apa. Jimin hanya manusia yang bisa lelah kapan saja, bahkan ia dapat andalkan siapa saja jika memang merasa memerlukan. Menjadi egois bukan hal buruk, selagi Jimin tidak kelewatan, mungkin segalanya masih dapat temukan benang toleransi. Sama seperti ia yang selalu ulurkan benang itu pada Hyunji, bukankah masih terlalu banyak ampas yang bisa ia gunakan untuk dirinya sendiri? Maka, tatkala Jimin memilih untuk sahkan dekritnya, tidak ada yang dapat menyela apalagi mendestrusksi kuantitas konklusi yang ia telan. Jimin sudah menerima, maka itu adalah kebulatan pikiran yang telah ia pikirkan terlalu matang sejak semalam.
"PAPAAA!" lengkingan feminim muda itu sejenak mendobrak habis atensi Jimin untuk tolehkan kepala. "Mama menghilang, tadi dimakan air."
Bae kelihatan menunjuk-nunjuk tumpukan kristal yang lebih analitis, Jimin ikuti itu sembari temukan beberapa titik gelembung yang meletus mencapai permukaan. Astaga, Jimin hanya melamun sebentar, bagaimana bisa tenggelam secepat itu? Bahkan sebelum otaknya bereaksi lebih, Jimin sudah melucuti bathrobe yang membungkus tubuhnya dan melompat begitu saja hanya dengan menggunakan celana parokial ketat. Jimin lihat itu, sosok tubuh yang langsung bergerak gesit dari dasar kolam menuju permukaan untuk meringkus udara kembali. Menipu ternyata semudah itu. Sementara Jimin masih berusaha habisi kecemasannya di dalam air, Hyunji segera naik menuju ke arah Bae dan Hyuk lantas tertawa bersama dari arah sana, menyaksikan keberhasilan rencana mereka untuk menarik Jimin ke dalam air, ketiganya sibuk tertawai hasil leluconnya yang baru saja mengusap wajah dari tilas air yang menempeli epidermis, tetapi bukannya marah atau bagaimana, lelaki itu hanya ikut tertawa setelahnya.
Lagi pula, bagaimana bisa ia lupakan fakta bahwa Hyunji itu lebih pandai berenang daripada dirinya? Kecemasan yang konyol sekali.
"Kalian mengerjai papa, ya? Kemari kalian," ancam Jimin jenaka.
Kedua manisan berbentuk manusia itu terbahak sebelum berusaha naik dari kolam dan berlarian, membasahi banyak lapak. Bahkan sebelum Jimin berhasil angkat tubuh menuju area yang lebih dangkal, keduanya telah menghilang menuju kamar mandi. Parahnya lagi, Jimin bahkan tak dapat tolak sentuhan yang coba Hyunji berikan ketika perempuan itu menyusulnya ke semenjana kolam.
Wajah cantik itu terkekeh sebelum mengalungkan tangan pada leher Jimin, semacam reaksi tubuh yang terlalu sistematis, Jimin bahkan tak sadar telah ikut daratkan sebelah tangan pada pinggang istrinya, bukankah ini terlalu rapat? Sejujurnya meski ada begitu banyak alasan untuk lakukan hal tanpa sekat, Jimin tetap harus pastikan anak-anaknya tidak terpeleset atau terkunci di kamar mandi. Meski akan lebih spesifik jika Jimin katakan ia hanya ingin hindari taluan jantungnya yang keterlaluan.
"Aku akan keringkan tubuh kembali, bisa kau lepaskan dulu pelukannya, sayang?" tutur Jimin pelan, berusaha berenang untuk capai pijakan.
Sayangnya, Jimin telah dikungkung oleh dua lengan yang begitu ia rindui, hingga terasa begitu sulit untuk lepaskan rekatan itu menggunakan tenaganya sendiri. Bagaimana, ya? Jimin masih begitu mencintai dan suka skinship seperti ini.
"Aku hanya ingin ucapkan terima kasih," ujar Hyunji bersama satu senyum yang terlalu lebar. Jimin jadi nyeri sendiri, bahwa kini wajah cantik itu tidak hanya ia nikmati sendiri. Dengan sintingnya ia biarkan saja istrinya terbagi menjadi dua sisi, satu yang harus ia lihat, sedang bagian lain adalah milik Yoongi yang tak dapat diganggu gugat.
"Ini ide Hyuk, dia ingin mengerjaimu."
"Ya, tidak apa-apa. Aku sudah basah dan kedua anakku begitu gembira melihat itu. Jangan terlalu dipusingkan."
"Dan terima kasih lagi," sambung Hyunji sembari berikan kecupan papa belah pipi kanan Jimin. "Kau kelihatan begitu bersungguh-sungguh ingin menolongku. Wajah panikmu membuat dadaku berdegup kencang."
Jimin rapatkan bibir, ia ingin membenarkan, tetapi akan lebih baik jika menyangkal, sebab tidak berguna jika Jimin terus tunjukkan afeksinya sendirian. Ia sudah berusaha, perlihatkan apa yang dirinya bisa, yang ia rasa dengan takaran integritas terpenuh. Sayangnya, Jimin tengah ingin beristirahat sejenak dari keegoisannya untuk memiliki Hyunji. Ia tidak bisa genggam pasir terlalu erat, maka ia putuskan untuk kembali sedikit longgarkan genggaman sembari berkata, "Aku selalu totalitas, sayang. Demi anak-anak."
Dan pelukan itu dilepas perlahan, Hyunji tipiskan senyuman hingga berbuntut lenyap. Ia menatap penuh asa, sayangnya Jimin tak berikan itu padanya. Jelas, bukan? Jimin mulai serahkan segala hal hanya demi anak-anak mereka. Hyunji, jangan lagi berkhayal bahwa kau seorang putri cantik yang beruntung miliki dua pangeran sekaligus.
*****
Rapat usai tepat ketika langit mulai didominasi warna kulit jeruk matang. Moneter industri semakin membaik, dan sepertinya Jimin perlu beri sedikit kelonggaran bagi seluruh pegawai yang menolongnya menunjang finansial perusahaan. Namun, ketika mengingat dua wajah buntalan menggemaskan itu, sepertinya kelonggaran yang ia pikirkan tadi tidak terlalu dibutuhkan. Jimin menjadi semakin semangat bekerja setelah mendengar Hyuk bercerita ada susulan robot Optimus yang berukuran lebih besar daripada yang mereka beli beberapa pekan lalu. Atau ekspresi Bae yang begitu antusias ketika melihat begitu banyak jepit rambut yang lucu untuk dibagikan pada seluruh teman sekelasnya.
Ah, Jimin jadi rindu.
Omong-omong tentang dua buntalan itu, Jimin jadi ingin berlari saja dari aula rapat menuju ruangan kerjanya. Ia bahkan mengira-ngira keributan apa saja yang telah terjadi seperginya yang jika ditilik kembali telah capai lima jam. Pasti ruangannya kacau balau? Atau mungkin tidak? Ada spekulasi yang lebih rancu daripada hal itu, tentang apakah Sohyun mampu mengendalikan anak-anaknya?
Perjalanan itu terasa lebih panjang, ada yang ingin Jimin makan karena terlalu geram karena lift berjalan selelet bekicot atau keong yang kehilangan rumah. Namun, segala kecemasan itu pergi ketika suara kekeh lucu merebak begitu Jimin buka pintu ruangan dan temukan Bae tengah sibuk mencoba mengikat rambut ikal milik Sohyun dengan begitu arbitrer dan serampangan. Sedang yang lelaki kelihatan terlelap di atas sofa dengan satu ikatan rambut di atas kepala. Hal menakjubkan lainnya adalah, ruangan Jimin bersih dan tak ada serakan apa pun.
"Lihat? Bos sudah kembali," seru Sohyun yang langsung disusul teriakan Bae memanggil Jimin dengan sebutan 'Papa' yang lucu sekali.
"Mereka merepotkanmu?" Jimin koreksi itu dengan wajah berkerut. Mencoba telan debaran sialan yang tandang kembali ketika Sohyun lebarkan senyum yang dulu pernah menjadi momen terbaiknya.
"Tidak," sahutan itu dikombinasikan dengan gelengan. "Mereka anak-anak yang manis. Aku merasa menjadi seorang ibu sungguhan."
Jimin ikut senyumkan bibirnya mengikuti komidi Sohyun, mendadak saja perasaannya lega. "Terima kasih telah menjaga mereka."
"Itu dialogku," tandas Sohyun sembari kerucutkan bibir. "Aku yang perlu ucapkan terima kasih, karena kau memberiku kesempatan untuk menjadi perempuan yang luar biasa. Kau memberiku peluang untuk menyayangi anak kecil seperti impianku, serta menyalakan kemungkinan untuk memilikimu kembali. Terima kasih, Jim."
Jimin kikuk selama beberapa saat, beruntungnya, bahkan sebelum Jimin buka labium untuk kencingkan suara, Bae yang sedari tadi hanya menontoni dengan kuriositas tinggi mengambil alih dialog yang tak seharusnya dibicarakan saat itu juga, "Pa, Mommy cantik, ya?"
Dalam hitungan empat detik pertama, Jimin terlihat hanya mengerutkan kening mengolah maksud Bae barusan, estimasi yang Jimin pretensikan ternyata cukup serempet benar, karena Bae susulkan penjelasan setelahnya sambil mengelus rambut ikal Sohyun menggunakan tangan mungilnya, "Mommy itu cantik sekali, aku dan Hyuk sepakat memanggilnya seperti itu. Mommy Sohyun juga bilang tidak apa-apa, kalau Papa sendiri boleh tidak?"
Itu adalah hari pertama yang Jimin beri, meski sejujurnya keputusan ini begitu berat, Jimin tak miliki pilihan lain untuk tentukan konklusi yang apik. Dalam kepala Jimin, ia hanya beri kesempatan bagi Sohyun untuk menjadi seorang Ibu—sebab lusa kemarin akhirnya Jimin tahu bahwa kemandulan Sohyun adalah alasan utama terjadinya perceraian rumah tangganya dengan Yoongi. Dari cerita satu sisi yang Jimin dengar, Yoongi tak dapat menerima kondisi Sohyun yang kekeringan rahim, mereka tak dapat miliki anak jika seperti itu. Maka, pisah menjadi keputusan akhir bersama ketukan palu hakim.
Bagi Jimin, ia hanya ingin penuhi satu permintaan perempuan itu; menjadi seorang Ibu yang mengasuh anak-anak lucu. Ia jadikan eksistensi anak-anaknya sebagai obat kesedihan, meski sejujurnya Sohyun justru menganggap 'Baiklah' yang dimaksud Jimin dalam pesan adalah jawaban dari dua permintaannya; menjadi Ibu dan merekatkan kembali hubungan.
Untuk kali ini, Jimin bahkan tidak keberatan untuk menjadi egois. Sesungguhnya ia merasa agak lelah bekerja seharian sambil mengurus dua buntalannya meski tidak terlalu merepotkan. Menerima bantuan Sohyun juga membawa dua pengaruh padanya, bahwa kemungkinan besar afeksinya akan tumbuh kembali, serta meringankan beban menjaga anak-anak. Sebenarnya akan lebih baik jika Hyunji menjadi pengasuh dua buntalan itu, tetapi Jimin merasa itu tidak adil. Dalam hubungan rumah tangga mereka, Jimin telah kehilangan sosok istri yang memutuskan untuk memeluk tubuh lain, maka untuk kehilangan dua anaknya pula, Jimin sama sekali tidak akan membiarkan ketakutan itu menjadi realita. Itu sebabnya, Jimin terus memastikan bahwa dua benihnya tetap berada dalam pengawasan.
"Kalian sudah makan malam?" tanya Jimin setelah menemukan indikator waktu pada dinding kanan.
Maka, begitulah awalnya. Awal dari keakraban yang terjalin antara dua Park kecil dengan pemilik marga Kim yang feminim. Mereka tampak seperti keluarga bahagia yang sesungguhnya, cara Jimin menggendong Bae di punggung, sementara Sohyun menuntun jalan Hyuk di sisinya. Mereka menghabiskan makan malam seperti keluarga manis pada umumnya. Sebelum akhirnya Jimin antarkan Sohyun pada rumah, dan melanjutkan perjalanan menuju rumah mereka yang sesungguhnya. Begitulah awalnya. Awal dari kerusakan lain yang barangkali bisa lebih besar dan menyebalkan.[]
Selamat Maulid Nabi bagi yang menjalankan♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top