07
Jimin menguap sekali lagi, disusul dengan genangan air asin pada pelupuk matanya, sungguh lelaki itu mengantuk dan lelah bukan main. Tuntutan pekerjaan sering membuatnya lupa ingatan sejenak, bahkan hanya untuk sekedar makan. Terlebih jika diingat, tugasnya menjadi dua kali lipat lebih berat setelah memutuskan untuk mengusung dua buntalan manisnya serta ke dalam kantor.
Semakin hari, Jimin kesulitan membagi waktu. Lelaki itu akan lupa makan dan tidur. Ia akan lebih sibuk dengan berkas serta membereskan keributan yang dilakukan dua anaknya pada ruangan kerja, kotor dan berserakan di mana-mana, meski dua hari terakhir Bae serta Hyuk semakin kondusif dalam bermain. Dua buntalan manis itu akan duduk di atas sofa kemudian tertidur bersama. Begitu saja Jimin bernapas lega, kepalanya nyaris pecah jika ia tidak menghilangkan segala cokolan masalah dalam kepalanya dengan alkohol pada tengah malam.
Bahkan untuk mabukpun, ia juga perlu berpikir secara komprehensif. Bagaimana jika esok harinya justru kesulitan bangun dan malah merepotkan Hyunji agar membuatkannya pereda pengar? Atau bagaimana jika tubuhnya malah bermasalah pada saat tengah mengadakan rapat penting? Juga bagaimana jika Jimin menjadi kehabisan tenaga karena gejolak perut pada saat menjemput anak-anak? Astaga, Jimin semakin frustrasi saja.
Sekarang, Jimin bahkan tak bisa komidikan segala konteks dengan permisif. Ia terkurung dalam lingkup hampa yang transparan.
"Kubilang tidur saja, Sialan!" Suara Seokjin kembali menginterupsi indra pendengar tepat pada saat Jimin menguap kantuk untuk ke sekian kali.
"Nanti susah bangun, Hyung."
Di depan sana Seokjin lagi-lagi menyumpah, "Pikiranmu masih sebocah ini, Jim. Aku heran bagaimana bisa kau memiliki dua anak sebesar itu, sedang dirimu sendiri masih terlihat sama labilnya seperti mereka?"
"Usianya masih 6 tahun, Hyung. Mereka masih begitu lucu."
Seokjin rotasikan bola mata untuk beralih pada sosok lain yang duduk di sisi Jimin dari kaca mobil, Sohyun masih tak keluarkan suara, hanya diam memperhatikan bagaimana ekspresi murung wajah Jimin yang tak sekalipun mengawasi ke arahnya.
Mereka baru saja dari bandara, baiklah, barangkali ini akal-akalan Sohyun untuk lebih dekat pada Jimin dengan menggunakan embel-embel nama sang kakak. Sebab, Jimin tiba-tiba mendapat telepon dari Seokjin tepat pada saat dua buntalannya tidur siang. Lelaki yang lebih tua 4 tahun darinya tersebut mengatakan bahwa baru saja mendarat kembali di Korea usai jalani rapat penting di Jepang selama beberapa hari, meminta dijemput padahal Jimin yakin betul bahwa seorang CEO perusahaan seperti Seokjin tentu akan memiliki segudang supir yang bisa dipanggil kapan saja.
Namun, meski tahu bahwa ada maksud dibalik semuanya, Jimin tetap datang demi menghormati permintaan teman terbaiknya itu. Dengan alasan loyalitas seorang adik, ia bahkan diam-diam saja ketika Seokjin meminta kursi kemudi padanya, dan menyuruh dirinya untuk istirahat di kursi penumpang bersama adik perempuan tercintanya itu. Padahal, jika dipikir lagi, siapa yang substansinya membutuhkan pemulihan tenaga? Meski Jimin juga jelas butuh.
"Terserah ayahnya sajalah." Seokjin menyerah.
Untuk beberapa menit setelahnya, kondisi dalam mobil nyaris tanpa vokal tenggorokan, hanya deru mesin mobil serta sahutan beberapa klakson benda serupa yang menyalip di sisi seberang. Sohyun juga tampaknya menghormati apa yang menjadi kelelahan Jimin, meski sesungguhnya begitu ingin buka suara kembali usai pertemuan terakhir mereka beberapa pekan lalu.
Jika diingat, segalanya hanya akan semakin menyakitkan. Penolakan terhalus yang disodorkan Jimin padanya, melenyapkan segala harapan Sohyun sendiri untuk dapat kembali bersama dengan lelaki itu. Memalukan sejujurnya, tetapi ia tidak tuli ketika mendengar bahwa mantan suaminya—Min Yoongi—dikabarkan kembali menjalin asmara dengan Cha Hyunji—istri Jimin sendiri. Percobaan Sohyun untuk menerima konteks bahwa ia dengan Jimin tak akan pernah bisa lagi menjadi sebuah akronim yang bagus, lantas hancur begitu saja usai dengar kabar seperti itu. Begitu juga kebenaran fakta itu, dan bagaimana Jimin menanggapi ambang kehancuran keluarganya sendiri membuat Sohyun kembali keraskan hati untuk menyelinap masuk ke dalam hati Jimin lagi.
Oke, jika berbicara tentang akal sehat dan urat malu, nyaris semua peran di sini tidak lagi mengandalkan dua hal itu. Mereka saling andalkan keegoisan serta ambisi untuk menuntaskan kesenangan personalitas. Sohyun hampir tidak peduli jika memang akan ada sebuah kecelakaan besar nantinya pada setiap mental, jelasnya, ia tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk berjalan bersisian lagi dengan Jimin. Lihat betapa redupnya sorot lelaki di sampingnya itu, bagaimana bisa Sohyun diam saja sementara ia bisa lakukan sesuatu untuk memercikkan warna?
"Kau boleh pinjam pundakku jika mau," tawarnya kemudian pada Jimin. Membuat lelaki tersebut menoleh sebelum berikan satu senyum lembut sebelum menggeleng pelan.
"Aku tidak tidur saat seharusnya bekerja," tolaknya sebelum beralih menatap Seokjin. "Pastikan kau membayar mahal waktuku kali ini, Hyung. Aku tidak menjadi supir dadakan secara cuma-cuma."
Seokjin menanggapi dengan gema tawa sebelum meraih pemantik serta rokok dari dasbor mobil, tangannya hendak nyalakan api sebelum akhirnya satu cegahan suara mematikan segala niatnya membakar nikotin.
"Jangan merokok di mobilku," interupsi Jimin. "Anak-anak tidak suka, istriku juga."
Bahak tawa Seokjin lebih sering mengudara daripada suara Sohyun sendiri. Sebab, perempuan cantik itu memilih untuk sunggingkan senyum tipis selepas Jimin katakan inhibisi itu dengan tegas, serta begitu subtil pada dua kata terakhir yang disebutkannya. Sudah serapat itu sekatnya, Sohyun perlu usaha lebih keras untuk mendapat celah guna menemukan lubang kecil dan masuk kembali pada alasan-alasan napas Jimin dihela.
"Mereka tidak di sini, Jim. Kau terlalu memikirkan banyak hal dengan begitu serius," komentar Seokjin dimuntahkan.
Jimin menguap sekali lagi sebelum menjawab dengan nada-nada lelah, "Aromanya bisa membekas, jangan kotori paru-paru kecil milik mereka."
"Kau begitu menyukai keluargamu?" Akhirnya Sohyun memutuskan berhenti memingit, ia jelas merasa iri pada cara kerja otak Jimin dalam menanggapi masalah. Bagaimana bisa lelaki itu diam saja bahkan setelah tahu istrinya sedang berselingkuh di belakang sana?
"Mereka rumahku, suka atau tidak, aku tetap akan pulang pada mereka jika lelah," sahut Jimin tenang.
"Bahkan kau diam saja ketika rumah tanggamu tak sehat begini." Sohyun mengejar.
Seokjin mengusap dagu di depan sana, sedang Jimin tetap eksplisitkan pandangan pada jalanan, enggan menoleh ke samping, sebab ada berontakan kasar pada hatinya tiap kali melihat paras perempuan pemilik vokal feminim itu. Jimin lelah mengakui bahwa dirinya sendiri juga masih merasakan ketertinggalan tilas afeksi sialan itu.
"Aku menyayangkan kebahagiaan dua anakku."
"Jangan tutup mata dengan apa yang dilakukan istrimu di luar sana, Jim."
"Aku bahkan nyaris tak punya waktu untuk memikirkan segala tingkahnya. So-ya, aku tidak sedang mengatakan bahwa aku peduli padanya," terang Jimin kalem.
Sohyun terdiam begitu saja, kendatipun segala ucapannya terdengar seperti sedang mencoba memprovokasi, ia tidak peduli. Sebab, ia hanya bermaksud untuk membuka mata Jimin lebar-lebar dan memforsir untuk menatap bentangan realita tak stabil di depannya. Sohyun enggan terus diam melihat Jimin tengah mencoba membekuk semua bebannya sendirian. Benar, dia seorang lelaki, yang lebih kuat dalam segala hal dibanding perempuan. Namun, bukankah lelaki juga hanya manusia biasa?
"Matamu berkata sebaliknya, Bung. Kau terlihat begitu peduli pada istrimu." Seokjin kembali menyambung.
Jimin lepaskan satu desahan panjang, ia menatap Sohyun di sisinya dengan Seokjin secara bergantian. Tidak ada yang tahu apa yang coba ia pikirkan, tetapi tanggapan yang Jimin ludahkan setelahnya membuat Sohyun ambil asumsi sendiri. Seokjin memang benar.
"Lupakan saja dia, aku enggan membahas ini," katanya. "Lagi pula juga untuk apa? Dulu kita bukan apa-apa, pernikahan ini kuajukan dengan satu kalimat yang salah. Aku dan dia memulainya tanpa ikatan rasa apa-apa, bahkan jika akhirnya akan ada hati yang berubah. Tidak ada yang boleh membatasi dan menuntut dengan alasan apapun."
*****
"Mamaaaaaaaa!!"
Tangan Jimin terulur, hendak melarang Bae untuk tidak kabur dari jeratan genggamnya, dan berlari sealegro itu. Namun akhirnya diam juga, setelah Hyunji dengan sigap menangkap buntalan manis itu. Mereka berpelukan selama beberapa saat, sebelum Hyuk ikut melepaskan diri dari Jimin untuk ikut bergabung dengan acara lepas rindu tersebut.
Sungguh intim sekali hubungan keluarga ini jika dipandang secara kasar. Bagus sekali, sekarang Jimin mulai egois dengan berharap afeksi yang eksesif akan menenggelamkan seluruh anggota semesta kecilnya. Jimin ingin mengunci segala jalan keluar hanya agar terus mendapati pesona luar biasa ini; tawa dua anaknya yang saling bersahutan dengan istrinya. Bahkan, Jimin begitu ingin ikut tersenyum walau harus menahan sekeras itu. Ia tidak bisa, Jimin tidak mampu bentuk kurva pada labiumnya sebab radang-radang dalam hatinya sendiri lebih lebar dari pada ambisi untuk ikut bergelung dengan tiga manusia di depan sana. Payah sekali ia.
"Mama rasanya serindu itu pada kalian berdua," bisik Hyunji subtil dengan terus memeluk dua tubuh itu.
"Papa juga pasti rindu Mama," Bae tiba-tiba berujar, melonggarkan pelukan, kemudian menoleh pada Jimin yang masih terpaku di tempat. Oh ini bukan hal baik.
"Iya, papa juga rindu Mama," sahut Jimin akhirnya begitu menangkap maksud dari tatapan Bae. "Papa akan mandi dulu, kalian juga. Ayo, ke atas dan mandi bersama."
Bae langsung melepaskan diri sepenuhnya, mengecup pipi Hyunji sekilas, dan menarik tangan Bae untuk pergi ke kamar mereka untuk mandi.
Acara kecil itu lekas bubar, dan memisahkan diri untuk pergi ke kamar masing-masing. Setelah memastikan dua anaknya digiring oleh Hyunji untuk mandi, Jimin juga putuskan untuk segera membersihkan diri.
Lelaki itu tidak berniat berendam lebih dulu seperti biasa, ia mengabaikan kubangan air hangat yang mungkin Hyunji siapkan untuk dirinya. Ditatapi selama beberapa detik, Jimin akhirnya melepas napas berat lalu masuk ke dalam ruang kaca untuk mengguyur tubuh menggunakan hujanan air dingin. Ia mengusir lelehan kristal yang terus hujani epidermis wajahnya dengan sia-sia. Berharap bahwa persoalan yang beristirahat nyaman dalam kepalanya pergi dengan segera.
Nyatanya, cairan dingin itu hanya bawa pergi serdak serta bekas keringat yang mengering dari tubuhnya. Hanya timbulkan kesegaran pada daksa itu sendiri, sedang pikiran Jimin masih sama rancunya, sama rusaknya, dan semakin cacat di mana-mana.
Rasanya juga sudah cukup, Jimin pikir kelelahanya hari ini hanya akan sebatas itu saja. Namun, semesta bahkan tidak memberinya jeda untuk istirahat dari isi kepala. Sebab, begitu keluar dari kamar mandi, ia menemukan Hyunji tengah meletakkan piyama tidur untuk dirinya di atas ranjang. Perempuan itu tersenyum lembut sekali, seakan-akan selama ini hubungan mereka memang seindah itu. Kontras dengan apa yang sedang tersaji senyatanya.
"Kau pasti lelah, kan? Aku juga sudah buatkan susu hangat untukmu." Hyunji tunjuk gelas berisi tirta cokelat dengan setum mengepul di udara.
Jimin ikuti telunjuk itu, mengangguk kilas sebelum ucapkan terima kasih, dan segera pakai piyama dengan cepat.
"Kemari, aku bantu keringkan rambutmu."
Jimin tak kuasa menolak, ia diam saja ketika Hyunji menarik tubuhnya untuk duduk di sisi ranjang, sementara perempuan itu berdiri menjulang di depannya dengan sebuah handuk kecil. Jimin bukan lagi seorang balita yang bahkan untuk keringkan rambut harus perlu tangan milik nama lain. Namun, ia tetap diam saja ketika Hyunji mulai mengusak rambutnya dengan pelan menggunakan handuk, menyerap sisa air di sana dengan begitu lembut.
Ah, yang seperti ini juga tidak baik untuk hati Jimin sendiri. Bagaimana bisa ia biarkan rasa nyaman itu dominasi hatinya? Di saat ia memutuskan untuk tidak menggantungkan perasaannya pada orang lain selain dua buntalan manis yang mungkin masih sibuk bermain dengan mainan bebek dalam air berbusa.
Maka, sebelum perasaan Jimin semakin meninggi, ia menangkap pergelangan tangan Hyunji. Memenjarakan tangan mungil itu sebelum saling menyorot dalam sekali. Jimin tahu bahwa Hyunji sama galaunya, iris-iris gelap itu tidak tenang sama sekali, bergerak ke kanan dan ke kiri dengan gelisah. Itu terlihat lucu, tetapi konteksnya sedang tidak menuntut untuk membuat konklusi seperti itu.
"Maaf."
Jimin segera tutup pandangannya, memejam dengan rahang mengeras, untuk kemudian tertawa miris sendirian di dalam hati. Memang apa yang ia harapkan ketika Hyunji berlaku semanis itu padanya? Sebuah balasan perasaan? Sekarang, ia harus ditampar oleh kenyataan sebab konteks yang baru saja dikomidikan istrinya hanya bagian dari sebuah bentuk rasa bersalah. Perempuan itu hanya berusaha memperbaiki keadaan dengan bersikap baik, tidak pernah lebih.
Jimin muak.
"Aku tidak bermaksud membuatmu menjadi tidak nyaman. Aku tidak ingin muncul kebekuan di antara kita."
Hyunji mengalihkan pandangan, menunduk, menghindari tatapan Jimin yang baru saja diekspos kembali.
"Aku tidak bilang bahwa ini tidak nyaman." Jimin bilang, kemudian meletakkan kembali tangan Hyunji pada puncak kepalanya, memerintah tanpa suara untuk melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda. "Tadi aku hanya begitu ingin menciummu. Maaf, ya. Tolong lanjutkan kembali, keringkan rambutku."
Tidak ada definisi yang tepat untuk menjabarkan perasaan keduanya. Ada paralelisme yang tengah bercokol dalam hati mereka, tetapi juga tak ada vokal apa-apa yang berbunyi di sana. Dua labium mereka sejenak terkatup rapat, hingga akhirnya Jimin rasakan tangan itu turun menuju belah pipinya. Terasa dingin, tetapi lembut dan halus sekali, epidermis mereka kembali bersinggungan entah sejak berapa lama, dan sensasi yang ditimbulkan sentuhan itu sama sekali bukan hal bagus.
Jimin sorotkan pancaran berkuriositas ketika Hyunji tundukkan wajah untuk mengjangkau wajahnya. Secepat itu juga tangan Jimin bergerak, menahan gerakan perempuan itu dengan ikut sumbangkan tangannya pada dua belah pipi Hyunji. Astaga, sudah lama sekali rasanya Jimin tidak rasai epidermis hangat itu, betapa memukaunya kulit bersih di sana ketika ditandangi kroma-kroma merah muda. Indah sekali, Hyunji selalu seindah itu.
"Ada apa, Ji?" Jimin bertanya juga.
Perempuan yang kini hanya terdisparias secara parokial dengannya menggigit bibir bawah gugup, Jimin tahu maksudnya. Namun, ia hanya tidak suka jika harus menuntut seseorang dengan status tak jelas begini.
"Kau bilang menginginkan—"
"Tidak jadi," interupsi Jimin dengan satu senyum berwibawa, memberanikan diri dengan menggerakkan tangan pada belah pipi istrinya itu. "Aku tidak menginginkannya lagi jika kau berniat memberikan itu sebagai sebuah tuntutan, sebuah keharusan yang harus diberikan istri pada suami."
Satu pukulan keras Jimin lakukan pada hatinya sendiri.
"Aku ingin kau berikan itu untukku sama tulusnya dengan ketika kau lakukan itu dengan Yoongi,"
Dua pukulan yang lebih keras.
"Tolong beri tahu aku, Ji. Apa yang dimiliki Yoongi dan tidak aku miliki. Apa yang harus kulakukan untuk lebih unggul dari lelaki itu dalam kategorimu. Aku ingin mengalahkannya untuk memenangkan hatimu."
Jimin nyaris mati akibat tikaman ucapannya sendiri.
"Ji, aku ingin kau berikan cinta sama besarnya dengan perasaanku sendiri. Apa itu sebuah dosa?"[]
Tenang, Jimin sudah kubahagiakan sampe overdosis semalam🌚
Sudah baca Extremity?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top