04
Temaran sudah menjatuhi ruangan seutuhnya, lampu-lampu dipadamkan; tersisa satu lentera tidur di nakas yang masih menyala redup. Remang menunjukkan eksistensinya dengan semangat. Menemani dua bocah yang belum juga terlelap meski dongeng nyaris habis dibacakan. Ini sudah cerita yang ke dua, dan dua buntalan manis itu belum juga membiarkan dua kelopaknya menutup meski sudah berat luar biasa. Terpaksa terbuka, sebab ada yang ditunggu oleh keduanya. Rutinitas sebelum tidur; ciuman manis dari kedua orang tuanya.
"Ma, Bae sudah mengantuk sekali. Besok harus bangun pagi dan pergi ke sekolah. Namun tidak ingin tidur dulu sebelum dicium, memangnya Papa kenapa belum pulang?"
Hyunji menghentikan bacaan; menelan suara drama yang seharusnya perempuan itu lontarkan untuk menghiasi rumah-rumah siput kecil dalam dua alat rungu anak-anaknya. Sejujurnya dirinya juga lelah sekali hari ini, ingin segera tidur dan pergi ke toko bunga miliknya. Ada banyak pesanan, tetapi sudah selarut ini suaminya belum juga pulang. Sedang Hyunji harus lebih besar hati memotong waktu istirahatnya demi menidurkan anak-anak lebih dulu; bersikeras untuk sadar hanya untuk menunggu sebuah kecupan.
"Papa sudah bilang masih ada acara kantor. Jadi, malam ini kalian harus tidur tanpa mendapat ciuman dari Papa. Ayo, jadi anak-anak baik. Tidur, ya?" Hyunji mengusap satu-satu kening anak-anaknya. Dan ternyata itu belum ampuh juga, sebab dua buntalan itu masih begitu keras menginginkan haknya.
"Lagi pula, kenapa tidak ajak kita ke acara kantor Papa? Kita jadi batal makan malam di rumah Nenek, dan hanya makan olahan hasil deliveri saja." Hyuk ikut membuka suara protesannya, membuat Hyunji juga harus berpikir dua kali lebih keras dan sabar.
Namun, itu tidak bisa. Sulit, sebab otot-otot Hyunji yang lelah memberontak untuk diistirahatkan. Ini sudah jam tidur, tetapi anak-anaknya belum juga meringankan beban pada dua bahunya. Kepala Hyunji terasa mau pecah, dan perempuan itu ingin memarahi dua anaknya yang keras kepala luar biasa. Sayangnya, sifat itu turun dari dirinya, membuat Hyunji tidak bisa menyalahkan siapa pun di sini. Jadi, sekarang bagaimana?
"Apa kalian selama ini nakal begini di sekolah?" Hyunji berpura-pura mengerutkan keningnya. Ada sorot kecewa yang berusaha perempuan itu lontarkan di sana. "Menyusahkan dan tidak pernah menurut pada ibu guru kalian?"
Si mungil Bae langsung menggeleng cepat dan berulang kali, sedangkan Hyuk memprotes lebih telanjang dengan mengeluarkan suara berdesibel keberatan. "Kita tidak begitu, kok. Kita patuh."
Hyunji memberenggut lebih kentara sebelum berujar penasaran, "Lalu? Kenapa Hyuk dan Bae tidak patuh pada Mama? Kenapa menyusahkan Mama dengan tidak tidur cepat?"
Yang lebih tua langsung mengeluh lirih sekali, "Hyuk kan tidak mungkin tidur duluan, sementara Bae belum mau tidur. Seorang kakak harus menjaga adiknya."
Roman redup yang indah di dalam sana tidak memungkiri fakta bahwa ada gundah yang coba diredam dalam ceruk ranjang. Itu, Hyunji. Ada perasaan campur aduk setiap kali menemukan wajah-wajah polos manis di depannya. Ada rancu yang mengacaukan organ pernapasan sebab tidak bisa mengimbangi hatinya sendiri. Bagaimana mungkin? Dirinya sudah bukan anak muda lagi, ada tiga tanggungan yang membutuhkan perhatiannya. Dan kenyataan itu hanya cukup dengan menjadi sebuah tamparan, karena dia juga perempuan keras kepala yang terus menginginkan kepuasan.
"Maaf, Ma. Bae hanya mau menunggu Papa." si gadis mungil itu menjadi berbalik arah, memunggungi ke duanya yang menatap dengan pandangan jenaka. Ada yang teriris di hati Hyunji, itu sebabnya ia memilih untuk menggeser tubuh menghampiri peri kecilnya. Memberi belai-belai sayang pada puncak kepalanya kemudian mengecup singkat.
"Bae, nanti kita hukum Papa bersama-sama karena membatalkan janji dan pulang terlambat. Besok, Bae akan mendapat ciuman dua kali lipat dari Papa, oke? Sekarang tidur dulu." Hyunji mencoba sebisa mungkin untuk merayu kegalauan anaknya.
Dan momen itu menghabiskan waktu satu jam hingga akhirnya kedua buntalan manis berhasil ditidurkan dengan baik. Hyunji melangkah turun dari ranjang, bersama kelopak yang memberat sempurna. Perempuan itu menguap lebar sebelum merenggangkan otot tubuhnya yang kaku. Sejenak diliriknya jam dinding dan indikatornya sudah menunjukkan larut malam. Terlalu larut barangkali, sebab jarum sulungnya telah menyapa angka pertengahan antara satu dan juga dua.
Hyunji meraih ponsel dan mengecek notifikasi terakhir, sayang sekali, sebab hanya ada satu pesan Jimin yang ia terima jam 6 sore tadi. Hingga saat ini, belum juga ada pesan apa pun lagi. Apa Hyunji perlu menelepon lelaki itu?
Jimin : Maafkan aku, Ji. Bisa kita tunda dulu ke rumah Ibu? Ada acara penyambutan pegawai baru di kantor. Jadi, aku akan pulang agak terlambat. Sampaikan pada anak-anak, aku mencintai mereka.
Ya, tidak dipungkiri bahwa Hyunji sedikitnya merasa aneh dengan tingkah suaminya itu belakangan ini. Jimin menjadi lebih gusar, Jimin menjadi lebih sering meninggalkan ranjang untuk merokok diam-diam, Jimin menjadi lebih sering menuntut haknya. Dan bagi Hyunji, ini jelas adalah perubahan yang perlu dirinya perhatikan. Sebab, ia tidak buta untuk menangkap gurat tak nyaman setiap kali Jimin menyentuhnya. Lelaki itu terkesan sedang menahan sesuatu, sedang meradang sendirian.
Sering Hyunji berpura-pura abai pada kondisi lelaki itu. Sebab dirinya ingin memberi waktu bagi suaminya untuk berpikir. Untuk menenangkan diri tanpa perlu destruksi suara darinya. Nyatanya, ketika Jimin menatapnya akhir-akhir ini menjadi lebih intens, lebih dalam, lebih lama, dan lebih sering, Hyunji menjadi merasakan aneh merayap ke mana-mana. Seakan-akan tatapan lelaki itu menilai, terluka, dan juga ketakutan terpancar di sana.
Dari hal itu, Hyunji mengerti jelas bahwa ada yang ditutupi darinya, bahwa ada yang Jimin rapat sembunyikan di balik lidahnya. Hyunji tidak ingin egois, meski hakikatnya mungkin dirinya adalah perengkuh peran itu saat ini. Hyunji ingin otoriter, tetapi kurang hak atau mungkin tidak ada sisa asasi untuk melakukan itu. Satu langkah yang pernah diambilnya membuat Hyunji gamang sendiri, kemudian belum beres hal itu, kini Jimin menjadi dua kali lipat lebih tersembunyi.
Usai menutup pintu depan pelan, Hyunji mendengar deru mesin di depan, melewati pelataran hingga berakhir di sebuah garasi mesin. Itu pasti Jimin. Namun, Hyunji masih berdiri di atas pijakannya. Menyentuh dadanya sendiri dan menemukan debaran anomali masih pada tempatnya. Perasaan Hyunji belum berubah, terus tumbuh setiap harinya. Namun ternyata hal itu tidak juga mampu Hyunji jadikan patokan dalam hubungan, sebab barangkali otaknya mengalami agresi buruk karena terlalu memikirkan banyak hal tentang sebuah afeksi-afeksi yang tertinggal kurang ajar.
Hyunji berpretensi tentang kebodohan yang menggerogoti hatinya sendiri. Bagaimana bisa ada rasa yang seperti ini?
Perempuan itu tersadar dari kecamukan hatinya sendiri tepat ketika rungunya mendengar suara pintu yang dikunci. Hyunji bergerak secepatnya menuruni tangga dalam gelap, meraih sakelar lampu dan menemukan Jimin stagnan di tempatnya; kaget tatkala menemukan satu tubuh yang ia pikir telah lelap.
Hyunji mendekat sembari meneliti paras Jimin yang merona berlebihan. "Kenapa baru pulang?"
Suaminya itu tersenyum lembut sebelum merentangkan tangan ke arahnya, menyambut Hyunji yang berhenti satu langkah di depannya. Namun, Jimin tidak diam, lelaki itu mengikis jarak kemudian mempertemukan tubuh mereka. Tersenyum lebar sekali seakan tanpa dosa.
"Anak-anak sudah tidur?" bisikan itu menggema dekat dengan tengkuk Hyunji. Setelah itu, ada dorongan pelan pada dada Jimin dari dua tangan mungil sebelum memberi sorotan memicing.
"Kau bau sekali. Mabuk?" Hyunji memberi sekat pada tubuh mereka sebelum menerima gelengan kepala dari suaminya.
"Tidak, aku tidak mabuk. Kau tahu, kan aku kuat minum?"
Hyunji menyentuh dua belah pipi Jimin, kemerahan di sana kontras dengan punggung tangannya yang putih pucat. Rambatan panas itu menjalar pada epidermisnya, tepat setelah satu tangan Jimin meraih tangannya untuk diberi kecupan singkat.
"Kau cantik, Ji."
Hyunji tidak menganggap itu pujian, sebab barangkali Jimin masih setengah terjebak di bagian bawah sadar. Alih-alih merasa begitu, Hyunji justru merasa perlu membenahi diri; ada apa dengan hatinya? Mengapa Jimin belum juga penuhi seluruh ruang-ruang di sana? Kenapa masih ada fragmen-fragmen tatapan menusuk dan juga suara berat Yoongi? Lelaki brengsek itu.
"Lain kali, telepon aku jika ada acara minum seperti ini. Aku khawatir kau bertemu kendala di jalanan." Hyunji mendumel, menggiring Jimin untuk mengikuti langkahnya.
Sekilas Hyunji lihat ada tatapan aneh yang Jimin telan secepatnya dari iris-iris miliknya. Lagi. Untuk kesekian kali Hyunji kembali menemukan lubang dusta yang Jimin rapati dalam raganya sendiri. Jadi, kapan lelaki ini akan jujur?
Langkah kaki Hyunji terhenti, tepat ketika Jimin mengerang dan meremas pundaknya singkat. Dirinya tatapi wajah Jimin dari samping, lelaki itu nampak semakin memerah. Memegang kepalanya sejenak sebelum merangkum tubuh kecil milik Hyunji. Sempat gelagapan, sebab Jimin mendadak seperti menahan muntahan. Apakah lelaki itu sedang mengalami efek minum?
"Jim, butuh kamar mandi?"
Namun, bukan itu, "Astaga, Ji. Di mana lubangmu? Aku ingin masuk sekarang."
*****
"Hyukie, Bae! Jangan berlari, astaga!"
Jimin terkekeh sebentar menanggapi teriakan Hyunji yang menggema ke segela tempat dengan rakus dan pesat. Perempuan itu sedikit memompa langkah dengan gesit, meninggalkan Jimin untuk menyusul dua buntalan manis mereka yang langsung membaur dengan keramaian.
Akhir pekan memang waktu berharga yang wajib keluarga itu habiskan untuk bersenang-senang. Hari ini, mereka pergi ke sebuah pasar daerah Distrik Mapo; Hongdae Shopping Street. Menikmati suasana di sepanjang trotoar yang dipenuhi ruko-ruko bagian pinggiran. Penjual barang-barang pasar yang Hyuk sukai. Katanya, bocah itu ingin berbagi dengan pedagang-pedagang kecil, membeli jualannya seperti: gantungan kunci, cas ponsel, dan jepit-jepit rambut lucu. Ada beberapa kafe kecil dan ruko penjual odeng yang kepulannya kadang menyusuri udara trotoar. Membawa aroma sedap di sepanjang jalanan.
Hyuk antusias sekali memilih mainan robot yang terpajang di meja-meja kecil kaca pinggir jalan, sedang Bae mulai memilah jepit rambut kemudian dicoba pada rambutnya sendiri. Sederhana, dan itu terlihat lebih hangat bagi Jimin dari pada pergi pada mall mewah dan berakhir ribut dengan Hyuk yang lebih suka udara pasar dari pada Air conditioner mall yang kadang jatuhnya malah sesak. Memang tidak selalu, sebab, anak lelakinya itu kadang juga merelakan diri belanja di pasar mewah ketika sedang ingin menambah koleksi Optimus Prime miliknya.
"Ma, Hyuk mau yang ini. Ah, tidak, yang ini juga." Anak itu berpikir sejenak setelah merangkum dua mainan robot Spider-Man di tangannya. "Hyuk, mau semuanya."
"Bae juga mau semua jepitnya." Si anak perempuan ikut menunjuk isi meja. Dua penjual berbeda gender itu saling senyum memperhatikan, lanjut untuk membungkus barang dagangan mereka pada satu tas kresek besar masing-masing.
Hyunji memberikan bebannya pada Jimin, membiarkan lelaki itu membawa hasil belanjaan anak-anak sedang dirinya sendiri memegang masing-masing tangan keduanya. Berjalan bersisian menuju ruko makanan. Tidak ada yang berhenti mengoceh, suara-suara si kembar beradu dengan keramaian. Berdebat seperti biasa, menunjukkan kebolehan berpikir mereka dengan caranya sendiri. Sedang kepala Hyunji sendiri nyaris pecah sebab tidak berhenti sahuti keduanya. Cerewet sekali.
"Ma, kemarin ada kelas menggambar, dan Hyukie dapat nilai lebih besar. Padahal, milik Bae lebih lengkap." Suara si gadis mungil kembali mengudara.
"Itu karena Bae menggambarnya salah." Hyuk menyahut dari sisi sebelah kiri.
Sedang Jimin nampak berjalan lebih dulu dan memesan makanan untuk mereka semua. Duduk, menunggu di satu meja dengan empat kursi melingkar. Mengeluarkan ponsel sembari memeriksa notifikasi terbaru. Ada pesan yang benar-benar sedang ditunggunya, tentang rapat client yang akan mengadakan meeting besok di kantor. Menunggu validasi waktu sebab, jika tidak salah, besok adalah jadwal Jimin menjemput kedua anaknya. Harus dibagi agar tidak saling terfriksi jam.
"Itu, benar. Aku menggambar lebih detil dari Hyukie," tukas Bae dengan lantang.
"Memangnya apa yang kalian gambar?" Hyunji menengahi pelan sebelum ikut duduk di dekat Jimin dan membiarkan dua buntalan manisnya duduk sendiri tanpa bantuan.
"Ikan." Hyuk menyahut. "Dan Bae menggambar berudu. Kepalanya bulat seperti bola ping-pong."
"Soalnya aku masih percaya kalau berudu itu anak ikan, Ma." Bae menginterupsi dengan nada manja yang lucu sekali. "Kepalanya gendut, Hyukie, bukan bulat."
"Namun itu tetap salah." Hyukie sama kerasnya, "Sekalipun seandainya berudu itu anak ikan, Bae tetap salah. Gambaran Bae itu aneh."
"Apanya? Aku hanya menambahkan alis pada berudu."
"Berudu tidak punya alis, Bae."
"Hyukie tidak tahu seni, sih."
Jimin mendongak, menemukan Hyunji terkekeh-kekeh kecil di sampingnya. Menumpu dagu sembari menatap bergantian dua anak mereka. Bibir Jimin ikut tertarik membentuk kurva tanpa sengaja. Lelaki itu menegaskan pandangannya pada sebentuk wajah isterinya kemudian meletakkan ponsel pada meja. Bersisian dengan ponsel milik isterinya. Ah, Jimin suka sekali memandangi Hyunji belakangan ini. Wajah itu menjadi objek paling indah untuk ia nikmati. Astaga, momennya sungguh begitu hangat. Dan, Jimin tidak ingin hari ini berlalu dengan cepat.
"Berudunya pasti perempuan, ya, Bae?" Jimin ikut menyumbangkan suaranya pada perdebatan kecil itu. "Pasti cantik, karena dia pakai alis."
Hyunji mencubit lengannya sembari menggerutu lirih-lirih, "Ajari mereka dengan baik. Kau semakin membodohinya."
Sedang Bae yang merasa mendapat pembelaan spontan mengangguk bersemangat, menggerakkan tangannya di udara seakan-akan tengah menggambar sesuatu sembari menjelaskan, "Cantik, Pa. Aku sering lihat perempuan pakai alis, seperti Mama sebelum berangkat bekerja. Makanya, aku berikan alis juga pada berudu, agar cantik."
"Kalau begitu, harusnya milik Hyukie diberi kumis, dong?" Jimin berganti menoleh pada Hyuk yang langsung menyorot tajam penuh protes padanya.
"Mama, Papa pikirannya sesat," pungkas Hyuk pada sang mama yang kemudian mendapat respon berupa urutan kepala sebab pening.
"Jim, astaga. Tolong jangan racuni otak anak-anak. Kalau mereka menjadi seperti dirimu, kepalaku bisa pecah. Dan juga, berhenti menonton spongebob. Ketololan patrick menular banyak padamu." Hyunji mengeluh yang kemudian ditanggapi kekehan gemas dari Jimin di sisinya.
"Jangan terlalu serius, sayang. Anak-anak masih penuh fantasi, biarkan saja."
Namun Hyunji jelas tidak bisa berpikir sama dengan Jimin. Sebab, sejak awal memang begitu banyak disparitas antara keduanya. Hingga saat ini pun perempuan itu masih begitu banyak menemukan jeda-jeda kerekatan hubungan. Tidak, ini jelas tidak bisa disembuhkan jika kejujuran masih keduanya lalaikan.
Makanan datang setelah beberapa menit mereka menunggu, perdebatan tidak berhenti di situ. Sebab, begitu menu antara Hyuk dan Bae berbeda, ocehan keduanya kembali mengudara. Ribut saling berebut isi mangkuk sebelum akhirnya Hyunji turun tangan untuk melerai keduanya. Sedikit memberi bentakan tertahan yang tentu saja diabaikan oleh dua buntalan yang kini salah satunya menangis keras. Meraung setelah kalah dari sang kakak. Kemudian Hyunji pergi ke konter untuk memesan satu piring penuh telur gulung.
Jimin diam saja memperhatikan bagaimana Hyuk yang turun kemudian meminta maaf pada Bae dengan penuh tanggung jawab. Anak lelakinya itu bahkan membungkuk kemudian menyumbangkan kepalanya untuk dijadikan satu landasan pukulan sendok milik Bae. Jimin hanya terkekeh tipis ketika melihat Hyuk mulai mendekap adiknya sembari terus mengatakan maaf berulang kali. Manis sekali mereka.
Sengaja Jimin tidak menengahi, sebab tahu bahwa Hyuk tidak akan diam saja setelah melukai orang lain. Namun, setelah beberapa menit berlalu Bae belum juga mau berhenti, dia berinisiatif untuk menghampiri kemudian ikut memberi bujukan ringan. Sayang sekali, karena semuanya terkendala ketika satu pesan masuk sekilas membuat niatnya tersedat.
MinMin♡ : Besok bertemu di apartemenku lagi, kan, sayang? Atau kau ingin aku jemput ke toko bunga milikmu?
Bukan milik Jimin. Itu ponsel milik Hyunji.[]
Ucapin "Happy Saengil" dulu sama Papa Jim. Bentar lagi dia ultah.
Sama Daddy Namjoon udah?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top