Takdir Nayla

“Mas Rafif mau ikut masuk atau langsung pulang?” Nayla menoleh ke arah Rafif begitu lelaki itu menghentikan mobil di depan kafe.

“Aku gak ada kegiatan sih di rumah. Tapi, kamu kayaknya butuh ngobrol berdua sama Shanum, ya? Jadi, aku nunggu di kedai kopi seberang aja.” Rafif melepas sabuk pengamannya sembari tersenyum.

“Beneran? Kok aku berasa makin ngrepotin Mas Rafif sih? Sungkan,” kekeh Nayla.

“Kamu udah sering ngrepotin aku, Nayl. Kenapa sungkannya baru sekarang?”

Nayla tertawa, “Jujur amat sih, Mas.” 

“Udah, ayo turun. Kamu jadi ketemuan sama Shanum apa mau ngobrol terus sama aku di mobil gini?” Rafif mengambil dompet dan ponselnya di samping jok, bersiap turun.

“Ketemu ama Shanum lah.” 

Rafif terkekeh, “Makanya ayo. Oh ya, ntar kalau kamu udah selesai chat aja.”

“Siap, Mas. Makasih, ya.” Rafif hanya membalasnya dengan senyum dan anggukan.

*****

“Nayl, sini.” Shanum melambaikan tangan begitu melihat Nayla.

“Eh, Num, lama banget ya nungguin aku?” Nayla menghampiri Shanum dengan ekspresi bersalah.

“Basa-basinya basi tahu gak sih, Nayl. Rumah kamu pindah Jepang? Kita janjian jam berapa coba?” omel Shanum.

Sorry sorry, tadi pas mau berangkat baru sadar kalau ban mobil aku bocor. Mau pakai motornya Denada, eh dia ke kampus. Jadi, sempet bingung tadi.”

“Terus pesen ojol jadinya?”

“Tadinya mau gitu. Eh, kebetulan Mas Rafif pas ke rumah, jadi dianterin dia.”

Shanum mengedarkan pandangan, “Terus sekarang mana Mas Rafifnya?”

“Nunggu di kedai kopi seberang.”

Shanum mengernyitkan dahi, “Kenapa gak diajak ke sini?”

“Dia paham kalau aku butuh waktu berdua aja sama kamu, Num.”

“Emang kita mau ngobrolin apa, sih? Penting banget, ya? Pakai acara cukup berdua lagi! Sabrina sampek aku tinggalin di rumah sama Mas Syarif doang.”

“Papanya gak kerja?”

Shanum menggeleng, “Kemarin ambil cuti tiga hari buat pulang ke Kudus. Berhubung ke Kudusnya cuma dua hari, jadi sekarang masih ikut hari cuti.”

Nayla mengangguk paham, kemudian menatap Shanum dengan ekspresi nelangsa.

“Jadi, kenapa? Mau cerita apa?” tanya Shanum.

Nayla menunduk, meremas jemarinya, “Aku ketemu dia, Num.”

Shanum mengernyitkan dahi, “Dia? Dia siapa?”

“Seseorang yang buat nyebut namanya aja aku gak rela.”

“Wait, jangan-jangan....”

Sebelum Shanum mengusaikan kalimatnya, Nayla terlebih dahulu mengangguk. Sahabatnya itu seketika menegakkan tubuh.

“Sumpah, Nayl? Ketemu di mana?”

“Beberapa hari yang lalu, aku ada undangan ngisi seminar di sebuah pesantren...”

“Terus kamu terima undangannya?” sela Shanum cepat.

“Biasanya langsung aku tolak mentah-mentah, kan? Sejak lima tahun lalu, pesantren selalu jadi momok buat aku, Num. Tapi, entah kenapa kemarin aku mikir, kalau aku gak coba berdamai, kapan aku bisa tenang? Akhirnya setelah mikir beberapa lama, aku iya-in. Aku pikir itu batu loncatan pertama buat aku bangkit. Aku gak mungkin selamanya anggap pesantren momok, Num. Bagaimana pun juga, aku pernah jatuh cinta sejatuh-jatuhnya ama dunia pesantren,” jelas Nayla.

“Terus kamu ketemu Ustaz Nadhif di sana?”

“Dia kepala sekolah di pesantren itu,” jawab Nayla lirih.

“Astaga, emang surat undangan jadi pemateri gak ada tandatangan kepala sekolahnya? Kenapa kamu iya-in gitu aja!” omel Shanum.

“Denada yang ngurus semua undangan masuk, Num. Aku kan tinggal berangkat,” bela Nayla.

“Nah iya, Denada juga kenapa tinggal nge-iyain? Kenapa gak koreksi suratnya dulu? Dia kan juga paham kisah kamu sama Ustaz Nadhif. Ceroboh ih,” cerocos Shanum.

“Udahlah, bukan salah Denada. Dia kan gak cuma ngurusin jadwal aku, Num. Dia juga lagi sibuk nyekripsi. Emang udah takdirnya ketemu kali.” Nayla tersenyum tipis. Senyuman yang terlihat sendu.

Shanum mengendikkan bahu, “Pesantren mana emang?”

“Pesantren Nurul Ilmi, Batang. Kamu bayangin gak sih, Num? Lima tahun, dan aku ketemu dia lagi di Batang. Batang, Num, tetangga kota kita. Sedeket itu. Kenapa harus ketemu lagi sih?” Nayla mengembuskan berat.

“Kamu sendiri yang bilang itu takdir, Nayl.” Shanum mengusap pelan lengan Nayla.

“Entahlah.”

“Kamu... baik-baik aja?” tanya Shanum pelan.

“Kamu liat aku baik-baik aja?” jawab Nayla dengan raut masam.

Shanum tersenyum canggung, “Gimana rasanya ketemu pertama kali setelah lima tahun menghilang?”

“Sedih, marah, benci, dan... rindu.” Nayla tak tahu mengapa, tapi tiba-tiba air matanya menetes begitu saja.

“Nayl...” Shanum menggenggam erat tangan Nayla, menyalurkan ketenangan.

“Aku dosa ya, Num? Harusnya kata terakhir itu gak ada.” Nayla sesenggukan dalam tunduk.

“Hust, udah udah tenangin diri kamu dulu.” Shanum mengusap-usap lengan Nayla.

“Aku benci dia, Num. Dia ngerubah banyak hal di hidup aku. Aku berharap gak pernah ketemu dia lagi. Tapi, kenapa Allah nakdirin buat ketemu lagi? Lima tahun, Num, lima tahun aku berusaha merapikan perasaan. Dan, cuma dalam beberapa menit, usahaku hancur gitu aja. Aku baru sadar kalau di balik benci yang aku pupuk, ada rindu yang tumbuh di sana. Aku dosa, Num, dosa.” Nayla semakin terisak.

“Nayl, hust udah. Istighfar.” Shanum masih mengusap lengan Nayla. Ia memahami perasaan rapuh sahabatnya itu. Nadhif terlalu hebat menorehkan luka. Nayla sampai harus mati-matian merapikan perasaan yang telanjur berantakan. Dan, setelah perjuangan panjang itu, ia tak menyangka jika Allah kembali mempertemukan mereka berdua.

“Aku harus gimana, Num? Harus kabur ke mana lagi aku? Harus nyamarin identitas gimana lagi?”

“Mungkin emang ada yang belum selesai, Nayl. Tuntasin dulu. Baru setelah itu, kamu bisa benar-benar berbenah,” saran Shanum.

Nayla menggeleng pelan, “Apanya lagi yang belum tuntas? Aku anggap semuanya udah tuntas.”

“Kamu lupa? Kamu pergi gitu aja lima tahun lalu, Nayl. Kamu sengaja pergi dan menyamarkan keadaan. Mungkin masih ada banyak hal yang belum Ustaz Nadhif jelasin.”

“Kurang jelas apa emangnya, Num? Kurang jelas apa?” sentak Nayla.

“Kamu cuma lihat satu sisi, Nayl. Coba dengarkan dari sisi Ustaz Nadhif. Kenapa keras kepalamu itu kambuh lagi?” sungut Shanum.

“Terus aku harus gimana?”

“Temui Ustaz Nadhif, selesaikan. Aku yakin pasti masih banyak hal yang mengganjal di hati kamu, kan?”

“Banyak,” jawab Nayla lirih.

“Nah, itu. Kamu kan sekarang udah tahu Ustaz Nadhif di mana. Kamu tinggal temui, ajak dia bicara.”

“Num, masak aku yang harus temuin sih? Gimana kalau...”

“Gak usah kebanyakan gimana deh, Nayl. Ketemuan sekali aja, abis itu udah. Jangan diulang lagi,” potong Shanum.

“Tapi masak...”

“Udah gak usah pakai tapi. Pokoknya kamu harus nemuin Ustaz Nadhif, tuntasin semua hal yang masih gantung. Baru setelah itu, kamu boleh serius ama Mas Rafif.”

“Loh, kok jadi bawa-bawa Mas Rafif?” Nayla memutar bola mata.

“Terus emangnya kamu mau gantungin Mas Rafif sampai kapan? Kamu gak se-buta itu buat liat perjuangannya Mas Rafif, kan?”

Nayla mengernyitkan dahi, “Perjuangan yang mana?”

“Astaghfirullah, Nayl. Mas Rafif sering ke rumah kamu, anter kamu sana-sini. Dari jaman kamu skripsian, dia yang paling rajin nemenin kamu kemana pun. Perjuangan yang mana lagi yang gak keliatan?” Shanum menyentil pelan hidung Nayla.

Nayla mengusap hidungnya, “Kita temen, Num. Mas Rafif juga gak pernah bahas apa pun sama aku. Kita murni temenan.”

“Soalnya Mas Rafif paham kalau hati kamu itu belum utuh. Aku tahu susah buat kamu buka hati lagi. Tapi, ada satu hal yang harus kamu pahami. Gak semua kisah akan berakhir kayak kisah kamu sama Ustaz Nadhif. Gak semua laki-laki bakal ngecewain kamu. Hati kamu, kamu yang atur. Kamu yang bisa bikin dia condong ke arah mana,” ucap Shanum.

“Num,”

“Nayl, tuntasin masalah kamu. Setelah itu, jadiin Mas Rafif omnya Sabrina ya?” goda Shanum.

“Semoga Allah memberi yang terbaik ya, Num,” sahut Nayla pelan.

“Amiinn.”

“Makasih buat puluhan tahun kita ya, Num. Kamu gak bosen kan jadi sahabat aku selama ini?”

“Bosen sih aslinya, ya tapi gimana lagi. Adanya cuma kamu,” kekeh Shanum.

“Kurang ajar!” Nayla memukul keras lengan Shanum sembari tertawa.

*****

Masih ada yang penasaran? Masih ngikutin jalan ceritanya Nayla? Semoga masih, hehe.

Btw, ini pake alur maju-mundur. Semoga paham yaa.

Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top