Dia Kembali
“Hari ini aku ada jadwal apa aja, Nad?” Nayla mengusap mulutnya dengan tisu usai menelungkupkan sendok di piring. Ia baru saja menyelesaikan sarapan bersama Denada dan ibunya.
“Jam 9 pagi sampek zuhur ngisi workshop kepenulisan di kampus aku. Terus habis asar ke kantor buat tandatangan MOU novel-novel yang terbit bulan besok sama cek kinerja anak-anak,” jawab Denada usai meneguk segelas air putih.
“Oke-oke, makasih. Kamu hafal banget sih sama jadwal aku. Udah di luar kepala sampai gak harus liat buku agenda dulu, ya,” kekeh Nayla.
“Udah terlatih, Mbak,” sahut Denada.
“Ya udah, ayo bersihin meja makan, terus pada siap-siap berangkat. Denada juga ada jadwal ketemu dosbim hari ini, kan?” Azizah bangkit dari duduk, membereskan piring sisa makan.
Nayla dan Denada serempak mengangguk, “Iya, Ma.”
*****
“Lembaran-lembaran cerpen yang sudah ada di tangan saya ini akan saya baca satu-persatu. Nanti, tiga cerpen terpilih akan mendapatkan novel terbaru saya. Untuk pengumuman dan pengambilan hadiah, akan saya infokan ke panitia workshop, ya.” Nayla mengacungkan setumpuk kertas yang tengah dipegangnya sembari tersenyum. Seluruh peserta workshop terlihat semringah, mereka tergiur dengan hadiah yang Nayla sebutkan.
“Nah, kejutan sekali ini, Kak Nayl. Padahal kemarin-kemarin gak ada info kayak gini. Wah, para peserta harus bener-bener berdoa nih, biar cerpennya kepilih. Lumayan banget hadiahnya. Beli novelnya Kak Nayl di toko buku aja 95.000, ini dikasih gratisan. Beruntung banget gak, tuh?” Mirna sang moderator acara menanggapi ucapan Nayla dengan nada riang.
Nayla tersenyum lebar, ia senang melihat wajah-wajah antusias di hadapannya. Awalnya, ia memang tak berniat memberikan hadiah apa pun untuk acara workshop ini. Namun, melihat semangat menulis para peserta, ditambah dengan hasil tulisan yang terlihat bagus, Nayla tergerak untuk memberikan hadiah. Anggap saja ini adalah stimulus agar para generasi muda lebih semangat menghidupkan dunia literasi.
“Nah, udah setengah sebelas, nih. Saatnya penutupan. Kak Nayl ada sesuatu yang mau disampaikan sebelum acara ditutup? Semacam closing statement gitu, deh?” tawar Mirna.
Nayla mengangguk, “Cuma mau bilang, teruslah berlatih untuk menulis. Ingat! siapa pun bisa menulis. Kalian nulis materi pelajaran, nulis makalah, nulis diary, nulis lirik lagu, nulis apa pun, itu namanya menulis. Semua orang bisa jadi penulis! Menulis itu bukan bakat, menulis itu hasil kerja keras. Jadi, perbanyak latihan, tulis apa pun. Buku harian, puisi, cerpen, novel, makalah, skripsi, apa pun! Percuma mempelajari materi nulis dari puluhan buku, percuma ikut seminar kepenulisan sana-sini, kalau kalian cuma fokus sama materi menulisnya aja, gak ada praktiknya. Materi penting, tapi materi yang gak ditunjang ama praktik sama aja bohong. Jadi, mulai sekarang biasakan menulis.
“Kita bikin target. Sehari harus nulis satu lembar, apa pun itu. Mau nulis cerita, nulis kegiatan seharian, atau apa pun. Pokoknya dalam sehari harus ada sesuatu yang ditulis. Insyaa Allah, tulisan-tulisan kita akan semakin baik setiap harinya.
“Seperti kata Eyang Pramoedya Ananta Toer, ‘Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.’, jadi semangat menulis, ya.” Nayla menutup kalimatnya dengan senyuman.
“Wah, Kak Nayl semangat banget nih ngasih pesan penutupnya. Kita-kita juga harus ikutan semangat dong. Tepuk tangan buat Kak Nayl.” Seketika, ruangan riuh oleh tepuk tangan. Mirna pandai menghidupkan suasana, cocok disandingkan dengan pemateri seperti Nayla. Itulah yang membuat workshop hari ini terasa seru dan menyenangkan.
“Nah, sekian workshop kepenulisan hari ini. Semoga ilmu yang kita dapatkan berkah dan bermanfaat. Saya mewakili pribadi, pemateri, dan panitia mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kehadiran seluruh peserta, serta mohon maaf jika masih banyak kekurangan dalam acara ini. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Mirna menutup acara dengan senyum semringah. Seluruh peserta bertepuk tangan sembari menjawab salam dengan serempak. Nayla dan Mirna segera turun dari panggung dan menuju ruang transit pemateri.
“Makasih ya, Kak Nayl. Keren, acaranya hidup banget tadi.” Mirna menatap Nayla degan ekspresi bangga.
“Sama-sama, Mir. Kamu juga keren kok jadi moderatornya, makanya acara bisa sehidup tadi,” sahut Nayla.
“Lancar, Mbak?” tanya Denada. Ia menunggu di ruang transit selama Nayla mengisi materi.
Nayla mengangguk, “Alhamdulillah.”
“Gak cuma lancar, Mbak Nad. Lancar jaya. Kapan-kapan bisa lah Kak Nayl ini ngisi di sini lagi,” goda Mirna.
“Tanya-tanya ke Denada aja, dia yang paham jadwal aku,” kekeh Nayla.
“Bisa diaturin lah, Mbak Nad. Kampus sendiri ini,” rayu Mirna.
“Gampang lah, yang penting amplopnya 5 cm, ya,” sahut Denada tertawa. Nayla ikut tertawa sembari memukul lengan adiknya.
“Mau langsung pulang sekarang, Mbak?” tanya Denada.
Nayla mengangguk, “Iya, mau istirahat bentar abis zuhur. Ntar abis asar baru ke kantor.”
“Oke.” Denada segera menyelesaikan beberapa hal yang terkait dengan workshop hari ini, kemudian beranjak pulang.
*****
“Gimana skripsimu? Udah selesai?” tanya Nayla sembari memiringkan tubuh ke arah Denada. Mereka tengah rebahan di kamar usai menunaikan zuhur berjamaah.
Denada meletakkan ponselnya, “Alhamdulillah selesai, Mbak. Tinggal revisi dikit di bab lima, terus daftar sidang. Doain, ya.”
Nayla mengangguk, “Semoga lancar sidangnya, lulus dengan IPK cumlaude, berkah manfaah ilmunya. Bisa bikin Mama bangga.”
“Amiin, Mbak,” sahut Denada.
“Kamu keren tahu, Nad. Bisa nyelesaiin skripsi tepat waktu, padahal masih harus ngurusin jadwal aku yang gak ada abisnya itu,” puji Nayl.
“Ngurusin jadwal kegiatannya Mbak Nayl itu hobi. Jadi, bukan masalah besar. Mbak Nayl yang lebih keren, bisa kuliah 3,5 tahun aja.”
Nayla tertawa, “Soalnya kuliahku udah telat, Nad. Kalau kelamaan keburu tua.”
“Alah, gak ngaruh, Mbak. Kalau dasarnya orang males, ya meskipun kuliah telat skripsinya tetep ikut telat.”
Nayla lagi-lagi tertawa, “Eh, hape bisnis mana? Tiba-tiba pengen cek akun medsos.”
Selain sebagai manager, Denada juga merangkap menjadi admin kantor penerbit milik Nayla. Tiga tahun yang lalu, Nayla memberanikan diri mendirikan kantor penerbit indie. Patah hatinya pada Nadhif menghasilkan sebuah novel yang laku keras di pasaran. Nama pena Kanaya Nayl mendadak terkenal di mana-mana. Orang-orang jatuh cinta pada untaian aksara serta alur cerita Nayla yang terlihat begitu hidup. Mereka tak tahu jika luka yang digambarkan secara gamblang dalam novel itu benar-benar dialami oleh penulisnya.
Melihat peluang ini, Azizah sang ibu yang juga seorang pengusaha konveksi menasihatinya untuk memanfaatkan keadaan. Ia memberi usul pada putrinya untuk membuka usaha. Pilihan Nayla kemudian jatuh pada kantor penerbitan buku. Ia membayangkan akan seru sekali berkutat dengan banyak naskah dan tetek-bengek perbukuan. Akhirnya, dengan modal royalti penjualan buku yang saat itu cukup lumayan, ia membeli mesin cetak, mengontrak sebuah bangunan, mengurus izin mendirikan kantor usaha, dan merekrut beberapa pegawai. Untuk mencapai titik ini, tentu bukan hal yang mudah. Ia harus pandai membagi waktu sebab saat itu baru saja duduk di bangku perkuliahan semester dua. Namun, saat ini kantor penerbitan itu berkembang pesat berkat keuletannya.
“Ini, Mbak.” Denada menyodorkan ponsel bisnis pada Nayla.
“Mbak, aku ke kamar mandi dulu ya, sakit perut,” pamit Denada sembari berlari ke kamar mandi.
Nayla mengangguk sekilas sembari mengecek beberapa pesan yang masuk di whatsapp, melihat undangan-undangan yang ditolak dan diterima oleh Denada. Tiba-tiba, sebuah panggilan masuk menghentikan kegiatannya. Nayla mengernyitkan dahi, seingatnya ia tak memiliki janji apa pun terkait penulisan siang ini. Atau mungkin, undangan baru? Tapi, undangan seharusnya berbentuk pesan, bukan telepon.
“Nad? Masih lama di kamar mandinya?”
“Lumayan, Mbak. Kenapa?” teriak Denada dari dalam kamar mandi.
“Siang ini aku beneran gak ada jadwal, kan? Kok ini ada telepon masuk di hape bisnis?” tanya Nayla.
“Beneran gak ada, Mbak. Tapi, coba angkat aja dulu, siapa tau penting,” jawab Denada. Nayla baru saja hendak mengangkat panggilan, namun deringnya justru berhenti. Ia hanya mengendikkan bahu. Siapa pun yang menelpon, jika memang penting pasti akan menghubungi ulang. Tak selang lama, ponselnya benar-benar kembali berdering.
“Assalamualaikum, dengan Kanaya Nayl official, ada yang bisa dibantu?” Nayla terkekeh geli di dalam hati, ia sedang merasa menjadi Denada saat ini.
“Waalaikumsalam. Maaf, saya bisa berbicara langsung dengan Nayla-nya? Atau boleh meminta nomor telepon yang bisa langsung terhubung dengan Nayla?”
Nayla mengernyitkan dahi. Siapa pula orang tak sopan yang ada di seberang sana? Tanpa memperkenalkan diri, tanpa berbasa-basi, tiba-tiba meminta nomor ponsel pribadinya.
“Mohon maaf sebelumnya. Ini dengan siapa, ya? Kami tidak bisa memberikan info pribadi terkait Mbak Nayla kepada orang-orang tidak dikenal.”
“Saya dari salah satu lembaga yang pernah mengundang Nayla di acara seminar. Ada sesuatu yang harus dibicarakan secara pribadi dengan Nayla.”
Nayla kembali mengernyitkan dahi. Ia tak hanya menjadi pembicara di satu-dua acara, mana mungkin ia ingat siapa penelpon ini. Kenapa pula orang ini tak langsung saja menyebutkan nama lembaganya?
“Halo...”
“Eh iya, halo. Sebentar...” Nayla tergagap. Sedetik kemudian, ia merasa jantungnya mencelus. Ia seperti mengenal suara di seberang sana. Nada bicaranya, intonasinya, suaranya yang khas.
“Mbak, bisa minta nomor pribadi Nayla?” Suara di seberang kembali menanyakan hal yang sama.
“Maaf, mohon menyebutkan nama lembaga Anda terlebih dahulu,” sahut Nayla pelan. Ia mendadak resah. Hatinya sibuk merapal doa semoga prasangkanya salah.
“Saya dari Pesantren Nurul Ilmi, Batang. Saya Nadhif Kahfa Rohman, kepala madrasahnya.”
Nayla terpaku. Jantung seperti mendadak terhenti. Prasangkanya benar. Betapa ia masih mengingat dengan baik suara lelaki itu. Tangannya yang gemetar membuat ponsel jatuh di atas kasur. Pandanganya kosong. Seluruh kenangan yang mati-matian ia kubur mendadak kembali terpampang nyata di hadapannya.
Untuk apa lelaki itu meminta nomor pribadinya?
*****
Stay strong, Nayl. Jangan lemah, ayo hadapi Nadhif, hehe.
Masih pada ngikutin Nayla-Nadhif, kan?
Kuy, ramaikan komentar dan tekan bintang.
Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 💖.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top