7. TROUBLEMAKER!!!

7. TROUBLEMAKER!!!

Pagi ini Jane berangkat bersama Jimi, seperti biasa, mereka mendapat tatapan penasaran dari semua siswi perempuan yang melihatnya. Jimi memang bangga dengan ketampanan juga pesona yang diwariskan dari ayahnya, kecuali bagi Jane. Ia merasa risih saat beberapa pasang mata melihatnya tak suka.

"Kak, aku duluan ya, sayonara!" pamit Jane turun dari motor.

"Sayonara My Sister!" Jimi tersenyum, mengacak rambut Jane gemas. Jane cemberut, merapikan rambutnya meninggalkan Jimi diparkiran.

Jane mendengus kesal, rasanya ingin sekali ia mencolok semua mata yang menatapnya sinis setiap ia dekat dengan kakaknya sendiri.

Di saat bersamaan, Jane melihat Rendi baru saja memasuki ruang konseling. Senyuman Jane mulai terukir seiring jantungnya kembali berdetak lebih kencang saat mengingat Rendi pernah tersenyum padanya. Pandangannya masih tertuju pada Rendi yang baru saja keluar dari ruangan tersebut dengan tergesa-gesa. Jane mengusap dadanya pelan berusaha menetralisir detakan jantungnya.

Hayati di sini mencintaimu Bang, aku padamu.. Bisiknya dalam hati.

Jane tidak menyadari kedatangan Rey yang kini berada di belakangnya menggunakan papan skateboard yang dilajukannya dengan lihai. Rey tersenyum miring saat mengetahui si pemilik tas biru tersebut.

"Ehem, jodoh emang gak kemana, ya. Kebetulan banget bisa bareng kayak gini." ujar Rey tiba-tiba berusaha menyejajarkan langkahnya dengan Jane. Ia menarik papan skateboard ke dalam pangkuannya.

Merasa tidak mendapat respons, ia berpikir keras untuk mengalihkan perhatian gadis itu kepadanya. Tangannya mulai merangkul Jane dengan kasar, menariknya hingga Jane terbelalak kaget menoleh ke arahnya.

"Aduh.. kacang memang enak, tapi kalau dikacangin.. gak enak, kan?"

"Oh, Rey.. kemarin ke mana? Bolos ya? Awas lho dipanggil ke ruang BK."

Jane merasakan hembusan napasnya menyatu dengan aroma maskulin dari tubuh Rey. Parfum dan aroma sabun mandi yang mungkin berharga sangat mahal bagi kalangan anak muda. Dengan sekuat tenaga Jane berusaha melepas rangkulan Rey yang semakin erat. Jarak mereka sangat dekat. Hampir saja bibir mereka bersentuhan. Jane berusaha menjauhkan wajahnya, menatap sekeliling koridor sekolah yang mulai ramai oleh siswa-siswi yang berlalu-lalang melihat adegan Rey dan Jane yang tidak senonoh.

"Ternyata Jane kepo ya..."

"Lepasin Rey, malu diliat orang!"

"Sekali lagi lo berontak, gue pastiin semua orang di sini liat kita ciuman." jawab Rey santai.

Jane melotot, dengan cepat ia menginjak kaki Rey dengan keras tanpa ampun.

"Aww!! Awas lo Jane!" Rey meringis kesakitan merasakan kakinya berdenyut nyeri.

"Wlee, rasain! Emangnya enak!" Jane tersenyum puas meleletkan lidah pada Rey. Dengan langkah cepat, ia berlari menuju kelas meninggalkan Rey yang tidak terima dengan perlakuan gadis itu.

"Garis keras Jane. Lo, target gue sekarang."

***

Suasana kelas baru memang masih terlihat kondusif, banyak anak kelas yang sudah menentukan siapa pemenang voting paling banyak saat penentuan ketua kelas. Hira yang kukuh ingin menjadi ketua kelas hanya bisa menggigit jari melihat hasil voting, bahwa Adit lah yang memenangkan voting terbanyak.

"Please deh! Jangan pada golput. Gue tahu kok, ini hasil manipulasi anak cowok supaya Adit bisa jadi ketua kelas kalian kan? Udah deh, gak usah munafik gitu. Jijik tahu gak!"

Hira berdecak kesal sambil berkacak pinggang di depan kelas. Objeknya kini hanya pada gerombolan pentolan kelas yang ikut mengumpulkan voting.

"Ra, ini itu murni. Mau anak cewek atau cowok pasti milih yang bener lah! Orang pada tahu kok mana yang bener-bener, atau mana yang cuma incer jabatan doang. Numpang nama maksudnya, kayak lo." Rey menjawabnya dengan memasukan kedua tangannya pada saku, berjalan ke arah meja Hira lalu duduk di samping Kisha.

"Lo nggak usah ikut campur, ya. Urusan gue sama mereka, bukan pentolan kayak lo. Bisanya cuma buat rusuh doang, cari sensasi, cari perhatian. Hih! Jauh-jauh sana!" Hira menatap Rey mengejek. Melipat kedua tangannya tidak mau kalah dengan tatapan mengintimidasi dari Rey.

"Lo itu calon ketua kelas Ra, harusnya lo mudah berbaur sama orang. Bukannya sama yang itu-itu aja. Dan terlebih, jangan pernah merendahkan seseorang dengan semua kelebihan yang lo punya. Lo harusnya membagi kebahagiaan pada orang lain, bukan membagi rasa kesal juga tidak terima sama orang lain. Cukup terima dengan lapang dada, semua masalah akan ringan seiring berjalannya waktu." Rey menatap Hira dalam.

"Anjir, Rey! Tumben lo bijak. Sayangnya, gak nyambung dan gue gak ngerti." sahut Hira mengejek.

"Gak ada yang gak mungkin buat calon pacar.. iya gak Bim?" Rey menatap Bimo penuh kepastian.

Bimo terkekeh, "R L H. Reynand Love Hira..."

Seketika tawa seisi kelas berderai, termasuk Jane sempat tidak percaya dengan semua ucapan yang keluar dari mulut Rey. Rey tersenyum manis pada Hira, namun Hira membalasnya dengan tatapan penuh kekesalan.

"Jadi gebetan gue yah.. " pinta Rey mendramatisir.

"Cieee..... "

Siulan juga sorakan mulai menggema di dalam kelas, Hira menatap Rey sengit.

"Najis."

Satu kata dari Hira. Rey mengerucutkan bibirnya membuat para kaum hawa gemas melihatnya. Ia menoleh ke arah teman-teman pentolannya di belakang kelas. "Gue ditolak Man.. " ia berjalan menuju kursinya seperti dirinya yang paling teraniaya.

Hira mendelik sebal mendengar pengakuan Rey. Dalam hatinya, ia justru berteriak kegirangan mengingat Rey adalah salah satu pria idamannya. Namun hatinya tetap memilih setia pada kekasihnya. Ia menarik lengan Adit untuk segera menjemput guru di ruang piket dengan paksaan.

"Ya udah, sesuai voting, gue bacakan. Ketua kelas kita sekarang adalah Raditya Ramdani. Wakil Hira Risca. Bendahara Kisha Wulandari. Sekertaris Mumut Aprilia. Seksi keamanan, Reynand."

"Gue keberatan, Rey bukannya bikin aman, malah bikin rusuh!" Bimo berceletuk keras, mengangkat tangan merasa keberatan. Rey menoleh ke arah Bimo heran, "Lo-"

"Terserah deh! Capek gue!" Mumut berdecak kesal berjalan menuju kursinya. Tepat di depan Rey.

"Mut, Mumut.. Jangan marah dong. Nama lo imut banget kayak yang punya nama. Nanti pulang bareng yuk.." Rey mulai mencolek bahu Mumut dari belakang. Mumut cukup sabar dalam menghadapi sikap Rey. Cukup untuk sabar dari hari kemarin sampai sekarang Rey selalu menggodanya, namun hari ini dan seterusnya akan menjadikan Mumut sebagai cewek tersabar menghadapi Rey nomor tujuh versi On The Spot.

Mumut menoleh geram, "Udah gue bilang, gue udah ada yang punya. Tuh! Pinggir lo, nganggur. Dari tadi liatin lo mulu." dagunya menunjuk ke arah Jane yang tertangkap basah tengah memperhatikan Rey yang terus menggoda Mumut tanpa Rey sadari.

Rey tersenyum, "Saran lo berguna banget ya, Mut."

Refleks, Jane mengalihkan pandangannya pada ponsel di genggamannya. Rey yang baru saja menyadari bahwa sedari tadi gadis di sampingnya memperhatikannya langsung menoleh ke arah Jane dengan senyuman khasnya.

Jane merasakan ada yang aneh dengan dirinya, jantungnya berdetak hebat tidak seperti biasanya. Gadis itu berusaha menghilangkan reaksi salah tingkahnya saat tertangkap basah Mumut bahwa dia mengekori gerak-gerik lelaki di sampingnya.

"Ih, diem-diem mematikan juga lo. Makin suka gue.. "

Jane menangkap makna tersirat dalam kalimat Rey. Gadis itu berusaha tidak mendengarkannya yang jelas-jelas menjebaknya untuk mengaku. Logikanya memang menolak mentah-mentah untuk mengakuinya. Namun semburat merah di pipinya yang berkhianat. Memang, kadang logika tidak sependapat dengan suara hati. Jane mulai menatap Rey mengejek.

"Suka? Lo suka gue?"

Rey mengulum bibir bawahnya yang mulai terasa kering, jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai mengucur di pelipisnya. Gue ini kenapa sih! Aduh... harga mati cogan gue...

"Gue? Suka sama lo? Mimpi!"

Jane menelan ludahnya sulit, manik mata Rey menunjukkan kebohongan. Rey mengalihkan pandangannya ke arah sapu yang berada di samping Dea, menyuruhnya untuk melemparkan sapu tersebut padanya. "Lemparin tuh sapu, Dey!" alibi menyembunyikan kupingnya yang mulai memerah panas. Gue itu sebenernya kenapa sih! Heran gue! Batin Rey.

"Gitu aja salting, dasar!" Jane menoleh ke arah Zenita, mengusap dadanya pelan berusaha menetralisir detakan jantungnya yang semakin cepat. Aduh, kalau gini terus, mending gue pindah kursi deh! Capek jantung gue kalo deket-deket tuh cowok setan!

"Selamat siang semuanya.. tes-tes satu.. dua.. tes.."

Suara yang sudah tidak asing lagi bagi semua siswa kelas sepuluh IPS satu mulai kembali membuat rusuh di dalam kelas. Rey berdiri di atas meja Hira saat pemiliknya tidak ada di kelas. Dengan menggunakan gagang sapu ia jadikan seolah-olah microfon. Semua teman sekelas mulai berteriak heboh melihat kegilaan Rey dengan teman-teman pentolannya membuat panggung konser dadakan di dalam kelas.

"Ladies and gentlemen! Saya akan menyanyikan lagu khusus untuk kalian semua.. "

"REY!!! Jangan nginjek meja gue! Kalau lo gak mau turun, gue naikin uang kas lima kali lipat!" Kisha mulai tidak tahan dengan aksi lelaki itu. Tatapannya mulai berapi-api saat melihat mejanya dengan Hira kotor karena debu sepatu Rey. Euforia anak cowok tiba-tiba lenyap seolah-olah Kisha adalah pengganggu acara konser mereka.

"Nanti gue yang bayar, tenang aja," celetuk Bimo di samping Kisha.

"Kalian emang bener-bener ya! Dan lo, Bim, gue sebel sama lo!" amarah Kisha sudah sampai di ubun-ubun, ia menggebrak meja dengan keras lalu berjalan keluar kelas dengan menghentakan kakinya kesal. Semua penonton berkoar kembali saat Kisha keluar dari kelas.

Rey mulai menyanyi dengan suara yang terkesan pas-pasan. Lirik kemana, nada kemana. Ancur. Semua cewek di kelas memasang wajah kecewa, berhamburan keluar kelas saat konser jadi-jadian itu semakin menjadi. Jane menarik lengan Zenita untuk ikut keluar kelas, sesaat mata Jane bertabrakan dengan mata Rey. Senyuman manis mulai terukir di bibir Rey, membuat Jane menelan ludahnya sulit serasa ingin meleleh.

"Gila tuh cowok, maunya apa sih! Buat rusuh kelas aja." Jane berdecak kesal setelah berdiri di luar kelas bersama anak-anak lain. Tidak sadar, pipinya mulai merah merona.

"Lama-lama kelas jadi gak aman aja. Berandalan kayak gitu mah kudu dibasmi." tambah Zenita dengan mengacungkan kepalan tangan ke udara.

"Dibasmi? Iya mereka itu kuman. Ini mah kan anak setan, harus banyak-banyak diruqyah kayaknya," Kisha mulai berargumen. Menatap tajam Rey yang mulai bergoyang-goyang ala bapak-bapak hajatan di atas mejanya. "Kalau aja bunuh orang gak dosa, gue udah bunuh tuh cowok di tempat."

Semua siswi di sana menatap horror ke arah Kisha yang tengah mengeluarkan pisau cutter dari tempat pensilnya. Mereka semua mengalihkan pandangannya ke arah Rey prihatin.

"Poor Rey.." ujar Dea mendramatisir.

"RIP Reynand Bima Febriand.." tambah Nopi bergidik.

"Alhamdulillah.. Tamat riwayatmu Rey.. " desis Mumut tersenyum puas jika Kisha benar-benar memuluskan rencananya.

"Wajahku ganteng.. banyak simpanan..

Sekali lirik, oh bisa jalan..

Bisnisku menjagal.. jagal apa saja..

Yang penting aku senang, aku menang..

Persetan orang susah, karena aku..

Yang penting asik, sekali lagi!-"

"Aseekk..!"

Sorakan euforia kemenangan terdengar keras dari anak-anak cowok saat Rey menyanyikan lagu Bento milik Iwan Fals. Salah satu siswi mulai mengintip dari jendela, matanya melotot saat dilihatnya meja dan kursi mulai teracak-acak dengan kepulan asap rokok yang berbaur dengan udara di dalam. Mereka asik berjoget ria merasa tiada beban.

Dari sudut kejauhan, Adit bersama Hira baru saja datang bersama guru konseling mereka. Pak Beni, tentu Adit juga Hira mengernyit heran berasal darimana suara gaduh yang terdengar di sepanjang koridor hingga kelas-kelas lain. Kening mereka semakin berkerut dengan semua anak perempuan berada di luar kelas.

"Ada apaan di dalem?" bisik Hira pada teman sekelasnya. "Rey bikin rusuh!" Jane menjawab spontan.

Adit melotot mendengarnya, ia menatap tajam ke arah sumber suara. Semua siswi perempuan mulai cemas saat Pak Beni memasuki kelas tersebut. Aroma rokok mulai menyengat penciumannya.

"Bagus ya kalian. Ditinggal sebentar aja udah buat konser gini ya.. bagus-bagus!"

Kedatangan Pak Beni mulai membubarkan semua anak cowok yang tadinya menggila sekarang mati kutu menunduk berusaha membereskan bangku-bangku yang mulai berantakan. Sisanya berusaha mematikan rokok dengan melumatkannya pada tembok atau diinjaknya sampai mati.

Hira mengintip tepat saat Rey masih menginjakan kaki di atas mejanya. Ia meringis pelan melihat mejanya yang kotor terkena debu sepatu. "Meja gue.. "

Pak Beni menatap Rey nanar. Rey meloncat dari atas meja ke arah teman-temannya berusaha menyapu beberapa puntung rokok, alibi supaya tidak ketahuan merokok di dalam kelas. Kelas kembali bersih saat Rey seolah-olah bertanggung jawab dengan menyapu teras kelas hingga bersih. Bersama teman-teman pentolannya, Rey merapikan kembali meja juga kursi dengan rapi. Sesekali terdengar suara-suara miring saat mereka merapikan meja.

"Kirain tuh bapak-bapak gak bakalan masuk," ujar Rey melirik kearah pak Beni sebal.

"Udahlah! Beresin aja napa!" jawab Latif menatap tajam Rey.

"Usaha kalian luar biasa, percuma. Kalian semua lari tujuh putaran lapangan sekarang!"

Bentakan Pak Beni berhasil membuat mereka berlari keluar kelas menuju lapang. Satu persatu mendapat tatapan nanar dari Adit di ambang pintu.

"Gue tunggu kalian pulang." desis Adit dengan tatapan membunuh di balik kacamatanya.

Saat Rey keluar dari kelas dengan wajah memelas, ia berpapasan dengan Jane yang sibuk memperhatikan Rendi yang tengah berjalan membawa buku dari perpustakaan. Rey meraih tangan Jane menghentakannya untuk menghadap ke arahnya, sontak Jane terkejut saat berhadapan dengan Rey.

"Perhatiin gue ya, jangan yang lain terus."

"Ck! Emang lo siapa gue?" Jane menghentakan genggaman tangan Rey hingga terlepas.

Rey terdiam, "Gue cuma temen lo."

Rey tersenyum simpul mengikuti siswa lain yang tengah berlari dengan malas-malasan. Malah keliatannya jalan, bukan lari.

"Semuanya lari! Gak ada yang jalan!"

Seperti komando, bentakan Pak Beni membuat mereka berlari terbirit-birit dengan berbagai umpatan yang keluar dari mulut mereka.

Kecuali Rey. Ia sama sekali tidak berhenti berlari walau pun kakinya sudah menolaknya untuk berlari. Rey merasakan perih juga nyeri saat mendengar jawaban gadis yang sukses menancapkan ribuan jarum di dada sebelah kirinya. Sesekali ia tersenyum berusaha menutupi semua rasa sakit hati yang ia rasakan. Wajah nelangsanya mulai menarik perhatian siswi perempuan yang kebetulan lewat di pinggiran lapang.

"Just a little bit of your heart is all I want!" Rey berteriak berlari lebih kencang melampaui anak-anak lain. Berusaha melampiaskan semua kekesalan dalam hati.

"Anjir! Rey galau Man.. "

Semua teman pentolannya mulai memasang ekspresi tak percaya, mulai bertanya-tanya penyebab kenapa Rey bisa-bisanya berteriak seperti itu.

***

Bel istirahat berbunyi, pelajaran Pak Beni membuat mereka merasa ingin dimengerti. Pelajaran bimbingan konseling pada anak seusia mereka memang harus diperdalam. Karena usia mereka memang dalam masa-masanya harus mendapat perhatian khusus dalam pembelajaran. Memberikan nasihat juga toleransi agar mereka dapat menggunakan hak mereka sebagai siswa terdidik dengan baik. Tanpa harus mengikuti zaman yang selalu mengedepankan pendidikan formal dibanding pendidikan karakter juga sikap yang seharusnya diperbaiki dalam diri setiap anak.

Jane merasa tidak enak hati setelah melihat ekspresi wajah Rey sedari tadi. Acuh, tidak memperhatikan apa yang disampaikan Pak Beni dalam materi pembelajaran. Ia lebih memilih tidur menghadap ke arah Bimo dengan jemari mengetuk-ngetuk meja karena bosan. Sesekali ia mencolek bahu Mumut, meminta tip-ex lalu membuat kreasi seni di meja belajarnya.

Jane mendengus pasrah, ia tidak peduli jika Rey marah atau tidak. Jane memutuskan untuk pergi ke kantin mengajak Zenita untuk menemaninya.

Jam istirahat. Suasana kantin memang ramai, Jane duduk bersebrangan dengan Rendi di hadapannya. Matanya siap mengekori gerak-gerik lelaki idamannya itu. Tidak mau kalah, Zenita pun ikut mengintip kegiatan temannya itu.

"Lo kayaknya naksir berat sama tuh cowok. Mainstreem banget Jane kalau lo bisa suka sama tipe cowok pasaran kayak gitu." kata Zenita melirik ke arah Adit, Rey dan teman pentolan sekelasnya yang baru saja masuk kawasan kantin. Kening Zenita berkerut saat dilihatnya Rey masih memasang wajah masam tidak bergairah saat melewati mereka.

"Jane, si setan Rey kenapa tuh? Kusut banget mukanya kayak belum pernah disetrika,"

Jane menggeleng pelan, melirik ke arah Rey malas. Rey masih diam tanpa menyentuh es jeruk yang dibelinya. Jane merasa ada yang aneh. Ia baru menyadari bahwa dia barusaja mematahkan hati orang yang jelas-jelas tahu darimana perasaan itu muncul. Rasa bersalah mulai menyelimuti pikirannya. Namun dengan cepat, ia segera membuang perasaan bersalahnya itu. Buat apa gue peduli? Bodo amat!

"Tanya aja sendiri. Eh! Ada sms!"

Hei Jane :D! Jangan lupa, nanti sore okey! See ya!

Jane mendengus sebal melihatnya, "Gue gak pelupa kali."

"Siapa Jane? Kak Rama lagi?" tanya Zenita penasaran.

Jane melengos panjang, hendak membalas pesan singkat dari Rama.

Iya, aku inget kok.

Sepersekian detik, Zenita menyikut lengan Jane gemas, seperti ingin memberitahu Jane akan sesuatu hal yang sangat penting.

"Apaan?" Jane menoleh ke arah Zenita malas.

"Tuh! Lo liat deh gebetan lo sekarang. Sama Kak Gina coy.. duduk berduaan, senyam-senyum gak jelas gitu. Bener-bener sweet moment.."

Jane melihat tepat di hadapannya. Hanya berjarak beberapa meter hatinya mulai berdesir perih saat melihat lelaki yang disukainya duduk manis dengan senyuman juga tatapan penuh arti pada seorang gadis cantik di sampingnya.

Refleks, tangan Jane menyentuh dadanya sebelah kiri. Matanya terasa panas, hatinya terasa perih. Berlebihan memang. Telinganya terasa lelah saat beberapa pengunjung kantin mulai berbisik-bisik tentang kedekatan Rendi dengan Gina-si cewek perfectionis idaman lelaki-dengan keras.

"Menurut riset penelitian ala Zenita Putri, namanya Gina Putri Kartadireja. Dia siswi terpintar atau tercerdas di sekolah yang katanya rivalnya Kak Rendi sendiri."

Jane menunduk mati kutu, kor kekalahan mulai berkoar di dalam hati. Melihat dirinya dibandingkan dengan gadis di depannya memanglah sangat jauh. Cantik, tegas, baik, pintar, terkenal, beroganisasi. Semua siswa di sekolah memanggilnya "Cewek perfectionis". Bagaimana tidak, semua kriteria sudah melekat pada diri gadis itu. Wajar saja Rendi dekat dengannya, semua siswa di sekolah memang sangat pro akan hubungannya dengan Gina. Namun semua itu hanya gosip-gosip miring. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya fakta di balik kedekatan mereka.

"Gimana? Lo siap adu tempur otak sama Kak Gina buat dapetin Kak Rendi?"

"Je, gue kalah. Kalah. Telak."

Zenita mengusap pundak Jane pelan. Merasa kasihan melihat raut wajah sahabatnya. Sahabatnya sedang patah hati.

"Udahlah, cowok mah banyak. Tipe mainstreem kayak lo malah lebih banyak dibanding tipe gebetan gue. RIZKY SI RAJA JUTEK."

Jane menunduk pasrah, lelaki idamannya telah mematahkan hatinya dengan mudahnya.

"Lo itu cantik. Wajah lo terkesan menggoda. Dari mulai tatapan mata lo, hidung mancung lo, dan pusatnya bibir lo. Semua orang pasti memuja wajah polos lo yang menggoda itu. Itupun baru pendapat gue, sebagai cewek. Gimana pendapat cowok?"

Zenita mulai menangkup wajah temannya, meneliti setiap inci bentuk wajah Jane yang memang sangatlah menggoda. Dengan cepat Jane menepis kedua tangan Zenita.

"Makasih. Mudah buat lo bilang semua cowok baik itu banyak, tapi yang sungguh-sungguh baik itu sedikit. Udah ah! Galau gue!"

Jane berdecak kesal berdiri hendak meninggalkan kantin. Zenita melengos panjang melirik ke arah Rey yang diam-diam memperhatikan mereka. Rey tersenyum mengkode Zenita untuk menghampirinya dan mempersilahkan Jane untuk kembali ke kelas terlebih dulu.

"Ada apaan?" tanya Zenita antusias.

"Gue cuma mau nanya, lo suka sama Adit?"

Zenita melotot, dipukulnya bahu Rey dengan keras. "Gak mungkin lah! Info dari mana tuh!"

"Adit." Rey menjawab polos. Menunjuk Adit yang sedari tadi meminum es jeruk milik Rey. Adit sontak menoleh ke arah Zenita yang berusaha menahan pipinya yang bersemu merah malu.

"Bercanda Je, Rey mah gak usah didenger. Ke kelas gih, bentar lagi masuk." Adit terkekeh melihat reaksi Zenita saat mendengar jawabannya. Zenita kembali memukul Rey tanpa ampun sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka dengan menghentakkan kakinya kesal.

***

Jane berencana pulang sekolah bersama Zenita. Mereka berjalan menuju kelas sepuluh IPA empat hendak menjemput Fiona. Dilihatnya Fiona masih membereskan alat tulisnya ke dalam tas. Mereka berdua memasuki kelas tersebut berjalan ke arah meja Fiona berada di jajaran paling depan.

"Pulang bareng!" dengan cepat Jane menarik tas Fiona, membuat si pemilik tas tersenyum sumringah.

"Yuk!"

Saat hendak keluar kelas, mata Jane menangkap pasangan yang tengah bercumbu mesra tepat di kursi paling belakang. Ia tidak mengenali perempuan yang berada di pangkuan lelaki itu. Namun ia sangat mengenali sosok lelaki yang pernah menginjakan kaki di hatinya.

"Gak sopan banget."

Zenita dan Fiona menoleh ke arah Jane yang tengah berdecak kesal melihat ke arah belakang kelas.

"Udah biasa kali. Yussy sama Akmal emang suka begitu-begitu.." Fiona menjawab santai.

Jane menggeleng pelan saat keluar dari kelas tersebut. Mengingat sosok Akmal yang berbeda seratus delapan puluh derajat saat ia masih kelas sembilan. Akmal yang tampan, Akmal yang baik, Akmal yang pintar, dan Akmal yang rajin lenyap seketika menjadi Akmal yang playboy dan urakan. Tapi dalam prestasi masih bisa diunggulkan. Jane masih tidak percaya dengan perubahan mantan kekasihnya itu.

Saat mereka hendak menaiki bus, terdengar suara teriakan dari arah belakang bus. Semua penumpang mulai cemas juga ketakutan saat dilihatnya gerombolan anak SMA saling baku hantam dengan membabi buta. Putaran gir motor, balok kayu, juga samurai mulai menghiasi aksi mereka saat berhadapan dengan lawan. Dengan langkah cepat supir bus tersebut langsung melajukan bus dengan cepat berusaha menghindari lemparan batu yang dilakukan para preman sekolah tersebut.

Jane yang memiliki rasa keingintahuan yang kuat, berusaha melihat ke arah belakang bus. Matanya membulat seketika saat melihat Rey bersama anak-anak kelas sebelas tengah beradu hantam dengan bibir juga kening yang mulai mengalirkan cairan merah kental. Jane meringis ketakutan saat melihat sebuah balok kayu tepat menimpa kepala Rey dengan sempurna. Rey sempat sempoyongan namun dengan langkah cepat Rey kembali menghajar mereka membabi buta dengan tangan kosong.

"Jane, udahlah." Zenita menarik lengan Jane yang mulai melemas. Mengingat kejadian yang pernah menimpa Jimi di tahun sebelumnya, di mana Jimi merupakan pentolan sekolah yang sering mengikuti tawuran hingga seringkali Julia menangis dibuatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top