29. GOOD OR BAD DECISIONS
29. GOOD OR BAD DECISIONS
Lengang. Ruang keluarga terasa mencekam saat Rey mulai berhadapan dengan sang ayahanda, Vano. Tangannya mulai terasa dingin saat Vano mulai menatapnya tajam sekaligus dingin. Tatapan seorang ayah yang sangat kecewa dengan kelakuan anaknya yang semakin buruk.
"Ayah sudah tahu semuanya. Apa kamu, selama ini menyukai putri dari pemilik restoran J.A?"
Rey mendongak, menatap ayahnya tidak percaya. Ia berpikir ayahnya akan mencercanya dan memarahinya setelah ketahuan tawuran dan diperiksa oleh pihak berwajib. Tangannya mulai beralih mengusap tengkuknya salah tingkah, mengingat kenapa ayahnya bisa tahu dengan gadis yang disukainya.
"Jawab Ayah atau Ayah akan memasukanmu ke pesantren!"
"I-iya, Yah. Jangan pesantren, Yah. Rey belum siap." Rey menjawabnya setengah terkejut, mengingat ia tidak begitu tertarik masuk pesantren. "Ayah tahu dari mana?"
"Julia yang kasih tahu Ayah. Dia adalah sosok wanita cerdas, kuat, dan tegar. Ayah berniat untuk menikah dengannya minggu depan."
Jantung Rey berdebar cepat, rasanya sesak dan menyakitkan, "Menikah? Minggu depan? Kenapa harus secepat itu? Yah, dengerin penjelasan Rey dulu, wanita yang bernama Julia itu adalah Ibu dari cewek yang Rey suka. Ayah, wanita itu pernah ngancem Rey buat ngejauhin Jane. Rasanya sakit, Yah! Rey gak salah apa-apa, tapi dia malah nolak Rey buat deketin Jane. Dan--"
"Rey. Dia melakukan itu karena dia sangat menyayangi putrinya. Dia tahu, kamu memang disukai banyak orang, dan kasus pembullyan yang dia ceritain itu memang sangat mengerikan. Ayah tahu, dia berusaha jauhin kamu biar kamu ngerti, anaknya memang butuh proses buat bisa jadi temen kamu lagi. Ya, temen dalam tanda kutip, pacar kamu."
"Tapi, karena dia terlalu berlebihan dan takut anaknya kenapa-napa lagi, dia mulai berlaku overprotektif. Ayah mulai menyarankannya buat dia gak lagi ngekang anaknya buat bergaul sama siapa aja. Dia pernah nangis cerita sama Ayah, anak gadisnya berubah total dan mulai berani melawannya. Ayah mulai ingat sama kamu, dulu kan, kamu yang suka ngelawan dan cari masalah."
Rey menunduk malu, "Itu karena gak semuanya salah Rey kalau Rey nakal, Yah."
"Tapi yang namanya ngelunjak sama ngelawan orang yang lebih tua itu gak boleh. Ngapain kamu sekolah tinggi-tinggi kalau masih ngelawan orang tua sampai dia nangis? Kamu nyesel sekarang Ibu gak ada?"
"Hm.. " Rey menjawab dengan gumaman penyesalan.
"Jadi, kalau memang kamu menyesal, kamu masih bisa bahagiain Ibu kamu yang baru nanti. Ayah mau minta izin lisensi dulu dari anak-anak Ayah. Apa Ayah boleh menikah lagi?"
"Tapi, Yah! Wanita itu Ibunya Jane! Ibunya cewek yang Rey suka!" Rey membantahnya kuat-kuat. Tidak mengerti dengan keputusan ayahnya itu.
Vano tertawa geli melihat reaksi putranya tersebut, "Kenapa tidak, Nak. Aku menikah dengan Ibunya, sah-sah saja. Dan jika kamu suka sama anaknya, kenapa tidak? Kejarlah! Rebut hati dia sebelum ada yang lain mengisi hatinya terlebih dulu."
Rey berdecak tidak mengerti, "Ck! Ayah kenapa sih! Udah jelas-jelas aku gak mau kayak gitu!"
"Nggak bisa, Reynand. Keputusan Ayah sudah bulat. Kalaupun kamu tetep gak mau, setidaknya Ayah sudah egois demi kebaikan kamu. Kamu gak mau kan kalau sampai Ayah berzina dengan Ibunya? Bagaimana tanggapan keluarga Oma kamu di Bali kalau tahu Ayah sering bersama wanita tapi tak kunjung dinikahi? Ayah benar-benar memikirkan keputusan ini dengan matang. Setidaknya Julia sedikit demi sedikit memaafkan kamu kalau kamu setidaknya berusaha untuk berubah menjadi pribadi yang baik. Oh, iya, kamu juga bisa dekat dengan Jane karena kamu tidak terikat darah dengannya. Hanya status saudara tiri. Tapi Ayah harap kamu tidak sampai melewati batas. Itu yang ingin Ayah jelaskan sama kamu, paham?"
Tidak semua kehidupan dikelilingi oleh kegelapan, karena sekarang Rey mulai menemui titik terang kehidupannya. Telinganya mendengar jelas setiap detail perkataan ayahnya mengenai hubungannya dengan Jane. Ayahnya mendukungnya, tidak ada penghalang jika mereka bersatu walau pun mereka bersaudara. Saudara tiri. Tidak salah juga kalaupun Vano menikah, itu bisa jadi pengalihan rasa kesepian Ayahnya sepeninggal Ibunya. Terutama dijauhi dari gosip miring tetangga.
Rey menatap Vano tidak percaya. Matanya mulai memancarkan binar kejelasan dan kebahagiaan yang selama ini ia cari. Tangannya mengepal kuat, merasakan desiran aneh yang membuatnya napasnya semakin memburu ingin segera menemui gadisnya. Gadisnya yang selama ini terjerat dalam kurungan takdir yang menyelimutinya.
"Ayah gak bohong, kan? Aku bisa deket sama dia?"
Vano tersenyum, "Itu fakta, kan. Ayah tidak mungkin berbohong. Itu kebenaran yang mutlak. Tapi sebisanya kamu tidak sampai melewati batas."
Rey merasakan jantungnya berdebar hebat. Ia sangat bersyukur telah menemukan kebenaran yang selama ini ia ragukan.
"Makasih, Yah."
Vani mengernyit, "Untuk apa?"
"Bolehin Rey deketin Jane lagi tanpa ada pembatas." Rey tersenyum penuh raaa syukur.
"Sebentar, Ayah mau tanya sekali lagi. Apa Ayah boleh menikah dengan Julia? Calon Ibu kamu?"
"Kenapa harus tanya dua kali? Rey pasti setuju!" Rey tersenyum menahan haru.
"Ya sudah, malam ini, kita habiskan untuk cerita pertemuan Ayah dengan calon Ibu kamu."
"Gabung boleh?" tanya Rendi mulai menghampiri mereka.
Rey menatapnya penuh selidik.
"Gue udah tahu semuanya, Rey. Cepet, Yah, mulai ceritanya."
Vano mulai menceritakan awal pertemuannya dengan Julia.
Berawal dari pernikahan anak rekan bisnisnya di salah satu hotel miliknya di Bali, Vano bertemu dengan salah satu wanita yang tengah memerintahkan beberapa pekerjanya untuk memasak dengan sempurna di tempat pembuatan sajian masakan untuk hidangan para tamu undangan yang tidak lain mayoritas kalangan atas, seperti para pejabat dan petinggi di Bali.
Rasanya aneh melihat wanita yang tengah capek dan berkeringat karena bekerja paruh waktu masih saja terlihat anggun dan cantik di matanya. Vano berniat untuk mendekat, namun ia mulai ingat bahwa wanita itu pastilah sudah menikah dan mempunyai anak sepertinya sekarang.
Saat resepsi pernikahan diselenggarakan, Vano melihat wanita itu sudah berganti pakaian yang kini memakai gaun berwarna hijau zamrud dengan polesan make up yang membuatnya terlihat elegan dan menawan. Gaunnya yang sopan dengan warna yang cocok dengan usianya, membuat Vano tidak bisa menahan diri untuk sekedar menyapa.
"Permisi. Apa Mbak datang sendiri? Tidak bersama suami?" tanya Vano to the point saat ia sudah berada di samping wanita itu.
Julia tersenyum lembut lalu mengangguk.
Vano mengernyit, "Suami Mbak mungkin tengah bekerja, ya? Jadi tidak sempat menemani anda datang ke sini?"
"Tidak juga. Suami saya telah berpulang sebelas tahun yang lalu."
Vano terdiam, ia mulai mengingat kepergian isterinya dua bulan yang lalu. Ia cukup terpukul, tetapi Vano berusaha untuk tetap tidak terlihat sedih saat Reina meninggalkannya di hadapan anak-anaknya.
"Maaf. Saya tidak bermaksud--"
Julia menunduk, "Tidak apa-apa. Saya sudah terbiasa dengan pertanyaan seperti itu."
"Sama. Isteri saya meninggal dua bulan yang lalu. Sungguh menyakitkan dan menyedihkan bukan?"
Julia menoleh, "Dua bulan yang lalu? Kenapa?"
"Waktu itu saya dan isteri saya baru pulang dari sini ke Jakarta. Kami hendak mengajukan perceraian karena mertua saya tidak menyukai saya, walau pun saya sudah melakukan yang terbaik untuk istri saya dan anak-anak." Vano menjawabnya dengan tersenyum pahit, "Saat itu, anak kami baru saja pulang lomba, dan kami menceritakan perihal perceraian kami. Anak kami memang sulit untuk menerima kenyataan, sama halnya dengan saya dan isteri saya. Saat itu, anak bungsu kami marah, dan kabur meninggalkan rumah. Tidak disangka, anak itu melempar batu ke dalam rumah yang membuat isteri saya kembali terkena serangan jantung dan mengalami kritis. Sampai di malam itu, isteri saya berpulang dan saya sangat menyesal dan terpukul."
Julia menghela napasnya berat, "Sudahlah. Jangan menceritakan luka lama untuk masa sekarang. Itu sudah jadi pelajaran untuk ke depannya bukan?"
Vano mengangguk, "Ya, dan kali ini anak bungsuku mulai kurang ajar. Dia semakin nakal saja di sekolah."
"Memang anak Mas sekolah dimana?"
"Jakarta, SMA Dharma Bangsa. Masih kelas satu, sama kakaknya sudah kelas tiga sekarang. Saya berpikir untuk membawa kakaknya kuliah di Bali saja." jawab Vano mengusap tengkuknya salah tingkah.
Julia terkejut, "Nakal? Sekolahnya baru kelas satu, di Dharma Bangsa? Kakaknya kelas tiga? Maksud Mas, Rendi?"
Vano ikut terkejut, "Mbak tahu, anak saya Rendi? Dan Reynand?"
Seketika Julia mulai menceritakan kenakalan Rendi terhadap anaknya saat mereka masih bersahabat sewaktu SMP. Tidak lupa, Julia menambahkan kenakalan Rey sampai membuat anaknya menjadi korban penindasan di sekolah. Vano menggeleng tidak percaya, dan saat itu pun, Julia menceritakan kedekatan dan kenekatan Rey yang menyukai anaknya, Jane.
Mengalirlah percakapan itu menjadi sebuah interaksi dan komunikasi yang menimbulkan desiran aneh di antara kedua singleparent tersebut. Berkali-kali Vano mengadakan pertemuannya dengan Julia beralasan untuk kerja sama bisnis. Namun dibalik itu semua, Vano mulai melancarkan aksinya untuk segera mengenal Julia lebih dekat. Tanpa penolakan, Julia mulai menerima Vano menjadi partnernya dalam berbisnis.
Vano semakin gencar mendekati wanita itu mengetahui respon Julia yang baik dan selalu menerima. Tidak lama setelah melakukan pendekatan secara terselubung, Vano menyatakan perasaannya dan berniat untuk menikahi Julia secepatnya. Julia menerimanya dengan senang hati dan tulus mengetahui niat baik pria yang selama ini mengejarnya. Namun dengan satu permintaan tegas dari Julia, bahwa Jane tidak boleh ada hubungan selain saudara dengan Reynand maupun Rendi. Vano tidak bisa menyanggupinya, ia pikir tindakan itu termasuk egois. Akhirnya Julia mengalah dengan mempertimbangkan hubungan antara anak mereka seiring berjalannya waktu.
"Jika anakmu masih melakukan hal dan sesuatu yang bisa menyakiti Jane, aku rasa egois adalah tindakan yang baik. Seorang Ibu tidak akan membiarkan anaknya disakiti orang lain. Aku akan melakukan apapun demi anakku. Hanya itu permintaanku, Mas."
Vano mengingat jelas permintaan tegas Julia setelah mengalami perdebatan panjang perihal hubungan yang terjadi pada anak-anak mereka. Ia menghela napas, bersyukur karena rencana tulusnya berjalan dengan lancar.
"Dan akhirnya, besok malam kalian harus ikut makan malam bersama kami berdua. Julia juga mengajak kedua anaknya."
"Rey pasti ikut!" kata Rey semangat.
"Bagus! Kamu Rendi?"
Rendi tersenyum lalu mengangguk
Vano menatap Rey tajam. "Rey inget, jaga sikap kamu kalau kamu mau Julia restuin hubungan kamu. Beli hatinya."
Rey mengangguk mengerti. "Pasti, Yah."
***
Lo gue undang ke acara ulang tahun gue besok malem, jam delapan di club depan J.A gue tunggu. Gue mau lurusin apa yang sebenarnya lo liat itu gak bener.
--Yussy.
Jane mengernyit, melihat pesan singkat dari Yussy. Ia tidak berniat membalas pesan tersebut kembali menonton televisi bersama Julia di sampingnya. Suasana yang sangat amat canggung. Terlebih Jane telah melukai hati Ibunya malam lalu.
"Jane,"
Jane menoleh ragu, "Ya Mih?"
Julia kembalin membenarkan duduknya menghadap Jane. "Mamih mau ngomong sesuatu sama kamu."
"Apa?"
"Apa kamu masih marah sama Mamih?"
Jane tertegun. "Marah kenapa?"
Julia mengela napas pelan, "Soal malam kemarin."
Jane meraih tangan Ibunya, dikecupnya dengan lembut. Menunduk. "Harusnya Jane yang minta maaf sama Mamih. Jane bener-bener minta maaf. Jane salah."
Dengan tangan gemetar, Jane mulai memeluk ibunya erat. Julia mengusap rambut gadis itu, berusaha memberinya ketenangan bahwa dia baik-baik saja.
"Mamih cukup sakit hati liat kamu berubah. Tapi, asal kamu tahu, mungkin setelah ini, kamu akan sadar, betapa pentingnya masa depan buat kamu kalau kamu gak lagi anggap pelajaran itu gak penting buat kamu. Bolos sekolah, itu sama sekali gak membantu jika kamu merasa gelisah karena sesuatu. Cukup dengan niat dan berusaha menjadi yang terbaik dan yang lebih baik dari sebelumnya. Kamu gak akan berubah kayak gini, Jane. Mamih gak suka."
Hati Jane merasa hangat kembali setelah lama ia menginginkan perhatian dari seorang Ibu. Perhatian khusus untuknya, hanya untuknya. Walau pun memang kenyataannya ia sangat menyesal telah melakukan hal yang sangat tidak pantas bagi seorang pelajar. Bolos sekolah, gelisah karena sesuatu dengan berlebihan, mencat rambut, sampai ia tidak sadar bahwa ia pernah merokok karena patah hati.
Julia berulang kali mengusap rambut biru putrinya itu. Warna rambutnya yang seharusnya cokelat, berubah menjadi biru. Warna kesukaan putrinya karena sang kakek yang berdarah Amerika tulen memiliki lensa mata berwarna biru.
"Sudah. Kamu sekarang kan sudah besar. Usia kamu hampir tujuh belas tahun sebelas januari nanti. Kamu bisa membedakan mana yang seharusnya baik buat kamu dan mana yang buruk buat kamu. Jadi, Mamih cuma titip sama kamu, jangan pernah melakukan hal-hal yang dapat merugikan diri kamu sendiri dan orang lain. Jangan pernah melukai perasaan orang lain, karena suatu saat nanti, balasannya pasti lebih menyakitkan. Ingat, Tuhan akan membalas kebaikan dan keburukan yang kamu lakukan, sekecil apa pun bentuk dan ukurannya, Tuhan akan membalasnya. Jadilah orang yang sangat berharga dan bisa membahagiakan orang lain. Walau pun orang lain tidak membalas kebaikan kamu, maka Tuhanlah yang akan membalas kebaikan kamu."
Jane mendongak, menatap wajah Ibunya yang sudah mempunyai beberapa kerutan di wajah anggunnya.
"Dan intinya; jika kamu disakiti, jangan pernah membalasnya dengan menyakiti kembali. Cukup balas walau dengan sebutir kebaikan, dia akan malu sendiri dan Tuhan akan membalasnya dengan kesadarannya sendiri."
Jane tersenyum. Mendengarkan semua detail perkataan Ibunya yang bijak. Ia mulai meletakan kepalanya di paha Ibunya.
"Jane,"
Jane tersenyum, "Apa?"
"Mamih mau menikah minggu depan."
Jane mengernyit, membenarkan duduknya menghadap Julia, "Menikah?"
Julia mengangguk, "Iya. Minggu depan. Kakak kamu sih setuju-setuju aja. Tinggal kamu yang belum bilang setuju."
"Sama siapa?" tanyanya hati-hati. Rasanya menyesakkan, Jane menggeleng tidak percaya mendengar kabar tersebut.
"Om Vano. Pengusaha resort di Bali."
"Ayahnya Rey?"
Julia terdiam. Rasa bersalah mulai menyelimuti pikirannya.
Jane tersenyum kecut, berusaha tetap tegar mendengar kelanjutan cerita Ibunya, "Terus?"
Julia mulai menceritakan kisah awal pertemuannya dengan Vano. Jane mendengarkannya dengan penuh selidik, teliti, dan cermat memperhatikan setiap detail kronologi kisah cinta mereka. Sampai di akhir cerita, Julia kembali menceritakan rencana pernikahannya dengan Vano. Julia sempat mengajak putrinya untuk ikut makan malam di reatorannya besok malam bersama keluarga Vano dalam ceritanya, tapi Jane enggan untuk menjawab ajakan tersebut.
Julia menatap putrinya sendu, "Jane, Mamih bisa jelasin semuanya--"
Jane tersenyum miris, bangkit dari duduknya, "Terserah. Aku udah capek. Aku kalah dari Mamih. Mamih menang sekarang."
"Jane, dengarkan dulu penjelasan Mamih."
Jane menggeleng, sebutir air mata mulai membasahi pipinya, "Ironis banget ya. Semuanya udah telat. Aku muak! Terserah! Mamih mau nikah sama dia atau enggak. Aku gak peduli!"
"Kalau boleh jujur, Mamih menikah dengan Om Vano karena Mamih sudah lama sendiri. Mamih butuh sandaran. Mamih juga capek menunggu seseorang yang siap menikah dengan Mamih. Mungkin Mamih egois karena kamu dan Rey bakal jadi saudara tiri. Tapi Mamih bakal pertimbangkan semuanya selama--"
Jane mendengus kasar, matanya mulai memerah karena tetesan air mata yang terus membanjiri pelupuk matanya, "Terus? Efeknya buat aku, apa? Kak Jimi? Apa dia setuju? Heh?"
Julia menghela napas pelan, berdiri lalu memegang kedua bahu putrinya. "Mamih sayang sama kamu. Mamih mau jadi ayah sekaligus ibu kamu. Melindungi kamu, sekali kakak kamu gak bisa melindungi kamu. Maaf, Mamih memang egois. Seharusnya Mamih memberi kamu kebebasan untuk berteman, atau berhubungan dengan orang lain. Terlebih dengan Rey. Tapi--"
Jane tersenyum kecut, "Aku bilang, aku sama sekali gak peduli sama alasan basi Mamih. Terserah. Aku gak peduli."
Jane sudah tidak kuat menahannya lagi. Ia pergi meninggalkan Julia menuju kamarnya, membanting pintu kamarnya tidak peduli dengan suara Julia yang terus memanggil namanya. Jane terlanjur sakit hati. Rasanya menyakitkan, rasanya begitu jahat, rasanya begitu menyiksa. Tak henti-hentinya ia menangis menelungsupkan wajahnya pada bantal.
"Kenapa harus nyokap gue, dan kenapa harus bokap lo. Dan kenapa harus keluarga solusinya?" Jane tertawa miris, "Gue benci hidup gue.. Gue benci kalian semua!"
__________
Eng ing eng......... gini amat punya MC. Keras kepala banget ya. Apalagi si Jane yang aduh... Jeje juga malah jadi gitu. Haduh... entahlah. Aku suka mereka menderita. Gak selamanya juga kan hidup di dunia fiksi itu selamanya happy, kan? Kan? KAN? Terkadang kita harus hidup secara realistis. Jangan terlalu ngehalu soal kebahagiaan. Nasib dan takdir gak ada yang tahu, kan? Apalagi menimpa si tokoh utama. Biar setrong dan gak menye2 kayak season 1.
Typo bertebaran ya? Maapin hehe..
--votekomeneasayy--
SAYONARA!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top