21. DÉJÀ VU
21. DÉJÀ VU
"Rey, kamu sadar kan, apa yang kamu lakukan itu gak baik? Bahkan sampai Ibumu meninggal?"
Suara wanita tua dengan perawakannya yang masih tegap dan berwibawa tengah duduk menatap Rey tajam. Senyuman pahit mulai terukir di bibir wanita itu, "Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Ck! Itu sebabnya Oma tidak suka dengan Ayah kamu."
Lengang. Semua yang berada di dalam ruangan megah itu kembali menegang seiring suara dan cahaya petir yang menyambar-nyambar di luar rumah. Hujan semakin lebat. Vano menunduk, berusaha menahan segala omongan pedas dari mantan ibu mertuanya itu.
"Tapi, semuanya sudah menjadi pelajaran sendiri buat kamu Reynand. Kamu harusnya belajar menjadi anak yang baik dan bisa menghormati orang tua. Contoh Kakak kamu,"
Mulai lagi.. Rey berdecak kesal dalam hati, ia sama sekali tidak tahan jika terus dibanding-bandingkan dengan kakaknya.
"Rendi tidak pernah melawan orang tua, kalau pun dia nakal, dia tetap di batas wajar. Tidak pernah merugikan atau melibatkan orang lain. Dia tetap santun, dan-"
"Mana ada kata nakal sampai pake batas-batas segala, yang namanya nakal ya nakal. Telak melewati batas."
"Reynand! Berani sekali kamu jawab omongan Oma!"
Rey berdecak kesal, dengan amarahnya yang semakin menggebu, ia meraih jaket dan kunci motor meninggalkan ruangan tersebut.
"Reynand! Mau kemana kamu! Reynand!"
Hujan semakin menderas, Rey melajukan motornya kembali membelah jalanan dan menerobos hujan tanpa memperdulikan apa pun yang menghalanginya. Tujuannya kali ini adalah membutuhkan hiburan. Ia semakin melajukan motornya dengan kencang. Namun tatapannya terhenti pada dua gadis berseragam sekolah tengah duduk di depan halte dekat sekolahnya. Ia membulatkan matanya tidak percaya saat melihat rokok yang berada di genggaman tangan kedua gadis itu. Rey mendengus kasar, ia menepikan motornya ke arah halte tersebut.
Dua gadis itu merasa terkejut saat melihat motor yang menepi di hadapan mereka. Mata mereka menatap lekat seorang pemuda tampan yang barusaja melepas helm tengah berjalan ke arah mereka, "Boleh gue ikutan duduk?"
"Dengan senang hati, sini.. samping gue." sahut seorang gadis berambut cokelat menepuk kursi di sebelahnya. Mereka berdua semakin salah tingkah saat Rey menampilkan senyuman mautnya berjalan lalu duduk di samping mereka. "Kalian belum pulang?"
Rey tahu betul bahwa dua gadis itu adalah kakak kelasnya. Jika saja ia memakai baju seragam sekolah, ia pasti sudah kewalahan menanggapi fan-girling kakak kelasnya itu padanya. Sayangnya ia masih memakai kemeja hitam miliknya, juga kacamata hitam yang setia menutupi kedua matanya yang sembab.
"Eh, be-belum." jawab gadis berambut ikal.
Rey mengangguk takzim, matanya melirik ke arah rokok di genggaman kedua tangan gadis itu, "Kalian gak takut diomelin orang tua kalian? Guru kalian? Apalagi kalau gue laporin kalian lagi ngerokok kayak gini."
"MASA BODO, bukan urusan lo." jawab gadis berambut ikal menatapnya tajam, lalu tersenyum manis.
Rey kembali mengangguk, gadis berambut cokelat mengeluarkan satu batang rokok dari sakunya lalu menyodorkannya di hadapan Rey, "Lo mau? Jangan sok suci, gue tahu siapa lo. Lo lebih sering ngerokok malah. Apalagi di pojok Lab."
Rey tertegun, tersenyum samar lalu membuka kacamata hitamnya. "Kok lo tahu banget ini gue. Ngomong-ngomong jangan buka kartu juga kali."
"Eh! Rey si unyu-unyu, Aaa... Lo kok gak bilang-bilang sih, Rey... "
Gadis berambut ikal menatap Rey tak percaya, dengan cepat ia menarik temannya untuk bergantian duduk di samping Rey. "Kita turut berduka ya... Jangan merasa dunia ini akan berhenti berputar jika seseorang yang sangat berharga pergi untuk selama-lamanya. Lo masih punya keluarga yang selama ini baik sama lo."
"Ck! So bijak lo!" gadis berambut cokelat mendelik sebal mendengarnya.
"Suka-suka gue lah! Masih baik punya Kakak kelas yang udah cantik, baik, bijak lagi! Ya gak, Rey?"
Rey mengangguk takzim, tatapannya terhenti saat melihat bus barusaja menepi di depan halte. Dua gadis itu hendak berdiri, namun gadis berambut gelombang merasa enggan untuk melepaskan tangannya yang setia bergelayut manja di lengan Rey. "Yah.. busnya udah ada.. "
Gadis berambut cokelat mulai menarik tangan gadis itu dengan paksaan, "Udah! Kita balik! Rey, jangan sedih okey! Lo gak sendiri kok! Ayok... kita balik!" Rey tersenyum getir, melihat kedua kakak kelasnya barusaja memasuki bus jurusan rumah mereka.
Hujan semakin menderas, tetesan air hujan semakin menampar-nampar seiring suara gemuruh petir menyambar dengan keras. Hatinya kembali merasa kehilangan. Kehilangan akan sosok ibu yang tidak akan pernah ia temukan penggantinya. Ibunya memang cuek, tetapi selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Berusaha memperjuangkan cintanya dengan ayahnya, yang membuat neneknya semakin membenci ayahnya.
Tangannya mengacak rambutnya yang basah, wajah tampannya masih saja terlihat mempesona di setiap ekspresinya. Tidak jarang jika beberapa siswa yang barusaja keluar dari gerbang sekolah menatapnya aneh, turut berduka, dan sekaligus terpesona. Rey tidak keberatan jika kakak kelasnya atau pun teman satu angkatannya fan-girling karenanya. Rey memang ramah dan suka bergaul dengan siapa pun. Kecuali pada anak-anak tertentu. Seperti anggota Osis bidang kedisiplinan.
Halte bus tidak seramai yang ia bayangkan sebelumnya, mungkin saja siswa lain hendak menunggu bus jurusan rumahnya di tempat ini. Namun nyatanya tidak, mata hazelnya menatap lekat-lekat objek yang barusaja keluar dari gerbang sekolah dengan tergesa-gesa, seragam putihnya hampir seluruhnya basah karena terguyur hujan yang semakin lebat. Seketika jantung Rey berdetak lebih cepat saat objeknya kali ini tidak sadar saat berjalan menuju halte tanpa melirik ke arahnya. Tangan Rey semakin mendingin, hatinya mencelos penuh rasa bersalah bercampur rindu. Ingin rasanya ia menjadikan objeknya menjadi sandarannya ketika ia jatuh, mungkin itu hanya paradigma hatinya saja.
Gadis di hadapannya barusaja sampai dengan berusaha menghentak-hentakan kakinya agar air di dalam sepatunya bisa keluar. Rey membeku di tempat saat gadis itu menatapnya sedikit terkejut. Sedetik kemudian gadis itu tersenyum sinis menghampiri Rey dengan tatapan penuh kerinduan. Tepat di hadapan Rey, gadis itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menatap angkuh lelaki itu berusaha menghilangkan rasa rindu pada sorot matanya.
"Déjà vu."
Rey terdiam, hatinya terasa berdesir perih saat melihat sikap gadis di hadapannya yang kini berubah drastis, "Kenapa? Kaget?"
Gadis itu menatapnya mengejek, senyuman sinisnya tidak pernah hilang, "Did you know, ini seperti mengulang masa lalu. Dimana kita terjebak hujan di sini, dan.. lo pernah bilang kan, kalau kita gak boleh lari dari masalah? Tepat di saat hujan, Halte, pukul 15.30? Lo inget semua?"
Rey menatapnya tidak percaya. Tentu saja ia mengingatnya. Dimana ia mendefinisikan filosofi hujan pada gadis itu.
"Lo bilang, walau pun ribuan masalah datang secara tiba-tiba, kita harus mencoba menerima apa yang telah ditakdirkan Tuhan, bukan? Seperti ribuan tetes air hujan, beribu masalah harus kita hadapi tanpa menyerah gitu aja. Tapi lo? Kenapa Rey! Kenapa lo sendiri yang mencoba lari dari masalah! Lo kan bisa hadapin semua benteng hubungan kita bersama-sama! Atau tidak, kita beritahu dunia, alam semesta, bahwa kita saling mencintai! Heh? Gue sekarang sadar, selama ini lo coba buat ngejar-ngejar gue! Cari perhatian gue! Cari kepastian semu dari gue! Tapi sekarang? Gue serasa diberi harapan palsu sama lo! Lo banting! Lo jatuhin semua balasan cinta gue dengan begitu sadis! Maksud lo apa Rey?"
Amarah gadis itu sudah mencapai titik tertinggi, siap untuk meledak. Perlahan kedua tangannya meremas rok dengan kuat. Berusaha menahan butiran air mata yang bisa saja menetes di kedua pipi. Wajahnya merah padam. Matanya menatap nanar lelaki di hadapannya. Lelaki yang telak membuat hatinya hancur secara sempurna.
Rey hanya bisa diam seribu bahasa.
"Kenapa? Hm..? Apa yang gue omongin barusan itu terlalu sakit?"
Rey enggan untuk menjawab. Merasa semua omongan gadis di hadapannya memang benar.
"Dan satu hal lagi, gue paling benci kalo dibohongin. Apalagi gue baru tau, kalo Kak Rendi itu Kakak kandung lo! Gue ngerasa bersalah banget sama lo! Tapi di sisi lain, gue benci dibohongin secara terus-menerus! Gue emang cewek bodoh! Bego! Bisa-bisanya gue dibohongin satu sekolah hanya gara-gara identitas lo! Telak! Gue cinta sama lo."
Rey berusaha mengatur detakan jantungnya, menghembuskan napasnya kasar saat melihat gadis itu menatapnya secara terang-terangan. Sama halnya dengan lelaki di hadapannya, gadis itu sudah tidak kuat lagi memendam semua rasa dan asa yang telah meledak begitu saja tanpa aba-aba.
"Dan di saat yang sama juga, gue benci sama lo.. " gadis itu menatapnya nanar, tidak peduli jika banyak siswa-siswi yang berlalu-lalang melihat adegan dramatis di antara mereka berdua di depan halte.
Rey menatapnya sendu, "Could I lean on your shoulder?"
Gadis itu mengernyit tidak mengerti.
"briefly?"
"Bersandar? Ck! Muka lo di simpen dimana sih, Rey? Lo gak malu selama ini lo udah-"
Sebelum meneruskan perkataannya, gadis itu terkejut saat Rey memeluknya erat secara tiba-tiba. Rey sudah tidak kuat lagi dengan pernyataan gadis itu yang telak menghunus hatinya secara sempurna. Hujan semakin menderas, semilir angin dingin mulai membungkus kota. Semua siswa-siswi yang berlalu-lalang refleks meneriakan kor kekalahan saat melihat Rey semakin menelungsupkan wajahnya di tengkuk Jane.
"Rey, demi apa pun gue gak mau lo pergi. Gue tau.. lo diancam sama Kakak gue, kan? Atau Nyokap gue? Sampai-sampai lo tega hancurin harapan gue sama lo. Tapi kenapa lo nyerah gitu aja."
Mendengar suara lirih gadis di pelukannya, Rey dengan cepat kembali melepaskan pelukan eratnya lalu menatap Jane tajam.
"Denger baik-baik, bukan karena apa-apa gue sengaja menjauh dari lo. Bukan. Itu karena gue gak mau mimpi buruk lo yang udah terjadi datang kembali. Karena gara-gara gue. Gue sendiri yang bisa aja jadi racun buat lo kalo gue terus-terusan deket sama lo. Pembullyan, penindasan, gue gak mau itu terjadi sama lo!"
Jane berdecak kesal mendengarnya, "Harusnya lo jangan mikir kayak gitu Rey! Lo gak gentle banget jadi cowok! Harusnya lo tuh bisa jagain gue dari mimpi buruk itu, bukannya cuma mikir yang enggak-enggak!"
Gemuruh suara petir terdengar kontras saat Jane merasa tidak terima dengan pernyataan Rey. Lelaki itu kembali terdiam. Berusaha menetralisir emosinya.
"Gue mau, lo jangan berharap lagi sama gue, Jane. PHP itu hak. Hak paten yang bisa dilakukan demi apa pun. Gue gak mau, lo terus-terusan sakit hati. Terlebih, kita gak punya hubungan apa-apa, kan? Kita gak terikat sama sekali. Jadi, gue mau lo menghindar dari gue, dan gue sendiri bakal menjauh dari lo. Gue hidup di jalan gue sendiri, dan lo hidup di jalan lo sendiri. Dan satu hal lagi,"
Hujan semakin menderas, langit pun semakin menggelap.
"Jangan pernah jatuh cinta satu sama lain."
Petir kembali menyambar-nyambar di atas langit, ribuan tetes air hujan semakin menghujam tanah tanpa merasa berdosa. Sebutir air mata sukses mengalir di pipi gadis itu. Hatinya terasa berdesir perih mendengar ucapan Rey yang begitu pahit untuk diterima. Tanpa sadar, tangannya telak menampar keras wajah mulus lelaki berhati bengis di hadapannya.
Jane tersenyum sinis, "Thanks boy! Gue terima keputusan lo."
Jane berlari menuju bus tujuan rumahnya tanpa sedikit pun menoleh ke arah Rey berdiri.
Rey tergelak, dengan ribuan kepingan hati yang hancur bersama linangan air mata.
Bersama hujan, Jane menangis di balik kaca jendela bus, menatap Rey yang tengah berdiri di halte tanpa ada yang menemani. Ini salahnya, dan bukan semua salahnya. Ini skenario Tuhan, dimana kita harus menerimanya dengan sekuat apa pun kemampuan kita menanggung risikonya. Bukan melupakannya, menghempasnya dengan sia-sia. Tetapi menerimalah kita bisa belajar arti dari makna kehidupan. Ada kalanya kita dipertemukan, dipersatukan, lalu dipisahkan. Cinta memang karunia Tuhan yang tidak bisa kita tolak dengan sendirinya, adakalanya cinta mengharuskan kita untuk siap menerima kedatangannya dan melepaskannya. Cinta memang misteri. Siapa pun bisa merasakannya kebahagiaan cinta, namun siapa pun bisa merasakan pahitnya cinta.
"Semoga... lo gak akan pernah ngerasain sakitnya hati gue, Rey..."
_____
SEASON DUA, READY?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top