13. SURAT ANCAMAN ?
13. SURAT ANCAMAN?
"Hari ini lo pulang bareng siapa, Jane?"
Jane tersadar dari lamunannya. Ia menoleh ke arah Zenita yang sudah siap dengan tas di punggungnya. Tatapan gadis itu kosong, entah harus memikirkan apa yang akan terjadi dikemudian hari jika ia masih menjadi siswi di SMA Dharma Bangsa. Begitu tahu bahwa ponselnya sudah raib tanpa jejak saat mereka kembali ke dalam kelas. Dan lebih mengejutkannya lagi, ia menemukan secarik kertas ancaman yang tertulis di sana.
Hei! Jangan takut.. hape lo ada di suatu tempat, kok! Gue sih pengen lo jauh-jauh dari Rey, karena Rey cuma punya gue, ngerti? Kalau pun lo masih aja nempel terus sama Rey, gue gak segan-segan buat hidup lo gak tenang selama di sekolah. Apalagi dengan gosip-gosip lo yang kegatelan sama cowok famous di sekolah. Hih! Jijik banget cewek kaya lo deket-deket sama Rey. Lo bisa ambil tuh hape lo besok jam istirahat pertama tepatnya di toilet cowok paling pojok. See you! Bitch!
Jane semakin gelisah mengingat surat ancaman itu. Setahunya, semua teman di kelasnya memasuki lapang tanpa sisa. Tetapi ia juga tidak mungkin langsung menuduh temannya sembarangan tanpa mempunyai bukti. Kenapa harus Rey? Emangnya gue sebegitu deket gitu sama cowok aneh itu? Cowok yang sukses buat gue malu setengah mati? Batin Jane sebelum akhirnya berdiri menggendong tas punggungnya.
"Gue bareng lo aja." Jane tersenyum kecut saat Zenita menatapnya gemas.
"Lo jawabnya lama amat. Gue kan gemes liatnya,"
"Gue lebih gemes malah. Apalagi liat lo dengan santainya duduk di meja gue tanpa permisi."
Dua gadis itu menoleh ke arah sumber suara, ternyata Rey dengan nikmatnya menyeruput kopi menggunakan gelas air mineral menatap Zenita tajam. Kepulan asap rokok mulai berbaur seiring ruangan kelas semakin sepi, hanya ada beberapa anak pentolan di sana yang tengah asyik bermain kartu poker dan carrom ball di belakang kelas.
"Sorry, gue refleks pengen duduk-"
"Di depan gue? Tepatnya di hadapan gue tepat di atas meja gue? Untung gue cowok baik-baik. Kalau cowok lain mah, udah habis lo di tempat." Rey tersenyum miring, dagunya menunjukan bagian paha Zenita yang baru saja terekspos karena pergerakannya duduk, sebelum akhirnya ia kembali menyeruput kopi dengan nikmatnya.
"Cowok baik-baik, heh!" gumam Jane tak sadar, mengingat lelaki berengsek di hadapannya saat malam laknat yang lalu.
"Be louder please?" tanya Rey sinis, menatap Jane yang tengah berdiri di sampingnya saat Zenita refleks turun dari meja karena malu. "Gue gak denger?"
"Lo Budeg?" Jane bertanya sarkatis.
"Omongan lo Jane.. hm.. gue suka." Rey menggeleng pelan menaruh kopinya di atas meja. "Gue kangen Jane yang ketus, sinis, cuek, dan terlebih.. "
"Yuk pulang! Nggak guna banget buang-buang waktu." ajak Jane hendak berjalan mendorong Zenita untuk segera keluar dari dalam kelas. Berusaha menahan rasa marah juga malu jika terus-menerus menatap lelaki berengsek itu secara terang-terangan.
Zenita menurut. Namun saat Jane hendak berjalan, Rey menahannya lalu menariknya hendak mendekatkan bibirnya ke arah telinga gadis itu. Jane terkejut berusaha menyeimbangkan tubuhnya, ia mulai merasakan kembali hembusan napas Rey yang selalu membuatnya seperti tersengat akan sesuatu yang menggelitik hatinya. Yang membuatnya lupa diri teringat malam laknat yang lalu.
"Gue penasaran sama lo. Hubungan lo sama Rama itu apa, sih? Yang gue tahu temen lo yang masuk IPA itu yang ngebet suka sama si Alay. Tapi kenapa sekarang lo mulai terobsesi juga sama cowok sialan itu." Jane mendelik sebal mendengarnya, "Ternyata. Lo jago juga jadi musuh dalam selimut. Berusaha lembut di depan sahabat lo, berubah menjadi duri tajam di belakang sahabat lo. Sialan! Gue bener-bener bisa menyimpulkan wajah lo yang sulit gue tebak."
Rey berbisik dengan suara yang terdengar berat. Aroma kopi yang tercium membuat Jane merasakan hal yang aneh dalam dirinya. Dia menyukainya. Aroma kopi bercampur rokok yang selalu membuatnya teringat kembali saat-saat merasakan manis pahitnya mulut lelaki itu. Pikiran gadis itu tentang lelaki di sampingnya lenyap seketika saat teringat akan kelakuan berengseknya dulu kepadanya.
"Gue gak nyangka ya, lo terlalu ngabisin waktu buat merhatiin muka gue." Jane tersenyum sinis. Dengan semua perkataannya yang tajam secara fakta, Rey dibuat tersenyum olehnya.
Detik itu pula, Zenita terlihat bingung dengan semua perkataan Jane pada lelaki di hadapannya sekarang. Rey hanya bisa tersenyum, malas menanggapi perkataan pedas Jane yang kini tengah berjalan keluar kelas.
"Barusan ada apaan, Rey?" tanya Bimo yang tengah mencari kepingan-koin carrom ball yang terlempar saat tidak sengaja mendengar perdebatan Jane dengan Rey-berada di sekitar sepatu Rey.
"Biasalah, cewek. Cerewet." Rey menjawabnya asal hendak mengikuti permainan carrom ball di bawah.
"Oh.. kirain pasutri lagi perang."
Rey terkekeh saat mendengar celetukan Bimo yang terdengar menggelikan baginya. Pikirannya kembali dibuat kacau saat gadis yang membuatnya tertarik telah meluluh lantahkan pertahanan juga perjuangannya untuk mendapatkan hatinya.
Ah! Cewek itu! batinnya frustrasi.
***
Selama perjalanan menuju gerbang sekolah, Zenita dengan luwes bercerita tentang keadaan rumahnya. Jane sempat terkejut saat mengetahui fakta keluarganya tidak seharmonis yang dibayangkan. Di balik senyum juga canda tawa Zenita, di sanalah titik kesedihan yang sebenarnya sulit untuk diungkapkan. Jane senantiasa mendengarkan curhatan Zenita, sesekali mengusap pundak sahabatnya itu perlahan.
"Gue gak tahu lagi harus gimana Jane, pusing gue kalau di rumah terus! Apalagi masalah Om Wira, ih!"
Jane menghela napas berat saat melihat Zenita mengacak rambutnya frustrasi. Raut wajah seseorang yang tertekan akan sesuatu. "Yang sabar ya, Je. Gue sih cuman ngasih saran, coba deh lo nyari sesuatu yang buat lo bahagia, ehm.. maksud gue-"
"Pacar? Gue gak minat."
"Gak selamanya pacar kali yang buat lo bahagia. Eh! Tapi kenapa lo gak minat punya pacar?"
"Gak ada yang mau sama gue!"
Jane mendengus, "Lo jangan pesimis gitu Je. Manusia itu dilahirkan berpasangan. Sepatu aja berpasangan, masa lo enggak.. pasti udah diatur sama Tuhan."
"Jane, kalau itu sih gak usah ditanya. Lah gue? Siapa aja deh yang mau sama gue! Gue terima kok! Terus... siapa juga yang mau sama gue? Udah jelek, jomblo-"
"Yah... lo jangan jual murah Je. Bisa aja tuh, gara-gara nganterin lo pulang si Adit punya rasa sama lo. Walau pun cuma sedikit, lama-lama jadi bukit kan?"
Zenita terkekeh, "Gampang Jane kalau cuma ngomong doang mah, ngarep juga gampang. Suka sama orang tuh gampang, tapi jatuh cinta itu yang gak gampang! Adit itu cowok yang kalem, pinter, datar, mana mungkin langsung jatoh cinta sama gue. Lo tahu sendiri kan tipe gue tuh kayak kak Rizki. Tapi, gue mentok sama Kak Rizki. Kecewa."
Jane berusaha menahan tawa saat melihat wajah menyedihkan Zenita di sampingnya. "Kenapa?"
"Dia. Suka. Warna. Pink."
Sedetik kemudian tawa Jane berderai mendengar pengakuan Zenita tentang kakak kelas gebetannya itu. Zenita menggeleng tak percaya saat menceritakan sesuatu yang sangat memalukan untuknya.
"Hahahah... ah! Yang bener? Serius? Masa? Hahaha.. "
Zenita mendelik sebal, menggedikkan bahunya merasa jijik. "Maka dari itu, gue ilfeel banget pas gue stalk akun Instagramnya dia. Semua caption nya pasti love you my pinky. Ih! Hira juga bukan! Hih!"
"Apa jangan-jangan.. Kak Rizki itu pacarnya Hira? Makanya setiap dia upload foto, captionnya my pinky-pinky gitu. Terus, ya gue sering banget liat mereka berduaan." Jane berusaha menebak.
"Amit-amit! Abang jutek quh.. " kata Zenita mendramatisir.
"Eh.. dibilangin malah galau.. emang bener, kan? Kebanyakan dia posting foto sama Hira. Apa... kitanya aja kali yang kudet kalau mereka itu-"
Zenita mengerucutkan bibir, "Emang beneran Jane! Faktanya! Mereka itu... pacaran..."
"Sabar... udah! Hira kan orangnya heboh, terus Kak Rizki kan cuek, mereka udah serasi banget."
"Terus gue? Sama siapa dong? Kekurangan gue itu banyak banget buat saingan sama Hira, secara.. dia kan orang kaya, cantik, pinter, terus-"
"Jeje! Setiap minus, pasti ada plus-nya lah! Emang Tuhan ciptain mahlukNya asal gitu? Enggak Je, semua manusia pasti punya kelebihan dan kekurangan, contohnya kelebihan Hira kan gak jomblo. Terus, kita-"
"Jomblo..." potong Zenita mendramatisir.
"GENIUS!" Jane tersenyum gemas saat melihat Zenita meleletkan lidah padanya. Ia sangat bersyukur jika Zenita tidak terlihat menyedihkan seperti sebelumnya. Mengingat bagaimana keluarganya yang masih lengkap tetapi tidak memberi kesan bahagia pada diri sahabatnya itu. Tidak jarang anak seusia mereka mengalami tekanan batin jika mendengar atau melihat kedua orangtuanya tidak seharmonis yang mereka bayangkan. Apalagi jika bertengkar di hadapan anak.
"Jane, kita main yuk!"
"Kemana? Tumben? Yuk!" Jane mengernyit lalu tersenyum.
"Ke mall!"
"Ehem! Boleh ikut?"
Mendengar suara permintaan tersebut kedua gadis itu menoleh ke belakang. Mereka terkejut saat mendapati Rama yang tengah memasang senyum ramah. "Kak Rama, hai.. " sapa Zenita tersenyum ramah.
"Hai.." Rama membalas sapaan Zenita. Jane hanya mengangguk tersenyum saat Rama menoleh ke arahnya.
"Baru pulang Kak? Sama siapa?" tanya Jane mencari tahu.
Rama menggeleng pelan, "Sendiri. Kalian kayaknya mau main, gue boleh ikut?"
"Gue juga! Hehe.. "
Fiona tiba-tiba saja datang dengan wajah ceria, membuat mereka bertiga terkejut melihatnya. Jane sebenarnya tidak enak hati melihat tatapan Fiona padanya. Rasa bersalah mulai menyelimuti pikiran Jane.
Zenita mengangguk setuju, "Lo mau ikut Fi? Ya udah yuk! Kita berempat!"
"Aduh! Kayaknya gue ada janji deh sama Bang Jimi. Kalian bertiga aja ya, gue jemput Bang Jimi ke kelas ya! Bye!" Tanpa banyak bicara Jane kembali berlari ke dalam sekolah, meninggalkan ketiga temannya yang masih menatapnya tidak percaya.
Zenita mendengus kesal melihat kelakuan sahabatnya itu, apalagi di depan Rama. Zenita melengos panjang, menatap ke arah Rama juga Fiona yang masih tersenyum miris.
"Jadi? Ayo dong Fi.." Zenita merengek meminta kepastian Fiona untuk mengikuti ajakannya. Rama menoleh ke arah Fiona dengan tatapan sendu, kali ini usahanya untuk dekat kembali dengan Jane gagal total.
Semuanya rencana Fiona. Gadis itu sudah merencanakannya dengan Zenita untuk mengajak Jane main, dengan kehadiran Rama yang tiba-tiba ingin ikut main bersama mereka. Pasti mereka mengizinkannya. Tapi saat Fiona mengambil peran untuk menjadi teman Zenita saat Rama dan Jane bisa menghabiskan waktu bersama tanpa mereka, semuanya berbeda dari skenario.
Di balik itu semua, hati Fiona memang berdesir perih. Ia merelakan semuanya hanya untuk membuat sang pujaan hati dekat kembali dengan gadis yang dicintainya. Sudah berulang kali Fiona berjuang mati-matian untuk tidak menangis sekarang. Dengan cepat Fiona kembali tersenyum lalu mengangguk mantap.
"Maaf Kak, gagal lagi. Kak Rama mau ikut?"
"Udahlah, jangan dipikirin. Kebetulan gue gak bawa motor, jadi.. why not?"
Rama tersenyum membuat Zenita berjingkrak ria menarik tangan Fiona dan Rama bersamaan. Fiona sempat menatap Rama sesaat, ia tidak menyangka jika Rama mengikuti ajakan Zenita tersebut. Tepat di saat Fiona memalingkan muka ke arah lain, Rama balik menatap Fiona. Ia tahu, baru saja gadis di sampingnya berusaha membantunya untuk dekat kembali dengan Jane. Senyuman mulai terukir di bibirnya saat melihat tawa lepas Fiona saat Zenita mulai berceloteh yang tidak-tidak di sepanjang jalan.
***
Jane berlari ke arah lapang, berusaha menghindari ajakan Zenita yang melibatkan hati Fiona akan sakit. Jane berpikir bagaimana bisa ia berusaha membantu Fiona dekat dengan Rama, namun nyatanya Rama semakin gencar kembali mengejarnya. Jane melengos panjang, duduk di salah satu tempat duduk di depan lapang. Pemandangan yang begitu menggiurkan bagi imannya. Banyak sekali anggota eskul basket tengah latihan dengan kaus mereka yang basah karena keringat, tidak heran jika otot mereka terlihat begitu jelas. Nikmat dunia pikirnya.
Gadis itu berusaha menelan ludahnya sulit, mengingat Rama yang seharusnya mengikuti latihan eskul di depannya itu. Dengan cepat ia menggeleng berusaha mengacuhkan rasa pedulinya pada Rama. Jangan sampai gue kemakan omongan sendiri, gue itu gak boleh suka sama Kak Rama! Titik! Gue kan sukanya sama Kak Rendi! Calon suami masa depan gue! Gumamnya tidak sadar.
"Siapa?"
Jane terkejut saat mendengar suara familiar di sampingnya, kini ia menelan ludahnya sulit untuk tetap bersikap biasa. Dalam hatinya, Jane merutuki dirinya sendiri saat mengetahui sifatnya yang selalu bergumam dengan keras.
"Bukan urusan lo."
Jane mendelik sebal saat mengetahui Rey duduk di sampingnya. Rey tersenyum sinis, "Gue denger tadi lo bilang suka sama Rama. Tapi lo suka sama Rendi. Labil banget lo jadi cewek,"
"Gue bilang, bukan urusan lo. Ngerti?"
Saat Jane menjawab pernyataan Rey yang menyebalkan, ia tak sengaja menoleh ke arah Rey yang tengah menyeruput minuman berperisa jeruk dengan nikmat. Memainkan gerakan bibirnya di setiap celah botol tersebut, berusaha menelusuri bulir jeruk yang berada di sela botol menggunakan lidah.
Tanpa sadar Jane menelan ludahnya sulit, mengingat bagaimana Rey pernah bermain lidah dengannya saat malam nista dulu. Jane menggigit bibir bawahnya saat melihat ketampanan Rey meningkat berkali-kali lipat ketika keringat mulai bercucuran di wajahnya. Ingin sekali ia mengusapnya dengan lembut, membuat Jane belingsatan melihatnya. "Bukannya lo tadi di kelas sambil minum kopi?"
Rey menoleh, "Kepo."
Jane mendengus sebal, diraihnya botol air tersebut lalu diminumnya sampai tandas. Rey terkejut melihatnya. Jane tersenyum penuh kemenangan, merasakan kepuasan tersendiri saat meminumnya.
"Kenapa diabisin? Gue haus.." Rey merengek hendak merebut kembali botol air tersebut, namun sialnya Jane membuangnya ke tempat sampah di dekatnya. "Yah.. kenapa dibuang?"
"Karena lo nyebelin! Wlee!" Jane meleletkan lidah gemas, melihat Rey yang tengah memasang wajah memelasnya.
"Kamu jahat banget sih Jane sama aku!" Rey merengek manja tidak terima.
Jane mendelik sebal melihatnya, "Ih, sebel!"
"Ih, sayang!" Rey tersenyum saat ia mengingat Jane barusaja meminum minuman bekas mulutnya. "Modus banget.." Jane menoleh heran, sebelum akhirnya Rey menatapnya jail. "Bekas gue lo minum juga."
"Lo gak punya penyakit menular kan?" Jane berusaha mengalihkan pernyataan Rey yang menjurus.
"Enggak."
"Ya udah! Santai aja.. "
Rey berdecak kagum melihat semburat rona merah di pipi Jane. Rasanya ingin sekali ia mencubit pipi chubby milik gadis di sampingnya. Namun ia justru mengurungkan niatnya. Gadis di sampingnya mungkin saja malu setengah mati jika duduk bersamanya. Mengingat syarat taruhan yang sangat mustahil mereka lakukan. Rey yang saat itu setengah sadar mengajukan syarat tersebut mulai tersadar akan tindakannya yang kurang ajar.
Jane mulai salah tingkah, berusaha memalingkan wajahnya ke arah lain hendak mencari sesuatu yang menarik perhatiaannya. Tapi sosok lelaki di sampingnya memang selalu menjadi pusat perhatian bagi batinnya kali ini. Gadis itu melengos panjang mengingat surat ancaman yang melibatkannya untuk menjauh dari mahluk Tuhan yang luar biasa sialan tampan di sampingnya.
"Jane, gue minta maaf." Rey menatap Jane terang-terangan, membuat yang ditatap mengernyit heran.
"Buat apa?"
Rey menghembuskan napas berat, berusaha menghilangkan rasa canggung yang mulai menyelimutinya. Cowok itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, berusaha melampiaskan rasa awkward moment baginya. "Em... itu, gue udah berengsek banget sama lo."
"Peka juga lo!" gumam Jane tak sadar, dengan cepat gadis itu menepuk mulutnya gemas. Duh.. mulut gue..
Rey mendengar, dengan rasa bersalah ia bangkit dari duduknya lalu berlutut di hadapan Jane. Gadis itu refleks melotot, terkejut dengan aksi Rey tersebut. Untung saja lapangan tidak seramai sebelumnya, hanya ada anak-anak basket yang acuh dengan aksi cowok itu.
Jane menelan ludahnya sulit saat melihat Rey berusaha menggenggam kedua tangannya perlahan. Membuat si pemilik tangan kelabakan melihatnya.
"Lo jangan sok gak peka soal apa yang gue maksud sekarang. Yang jelas, gue minta maaf. Gue gak sadar malam itu. Gue bener-bener teler, jadi apapun yang gue lakuin itu murni kecelakaan. Jadi, lo gak perlu malu atau nggak mau kalau tatap muka sama gue. Gue tahu lo masih canggung atau masih nggak terima sama perlakuan gue malem itu. Tapi Jane, gue mau lo jangan sungkan lagi deket sama gue. Temenan biasa lagi sama gue, jangan pura-pura ngehindar karena malu. Udahlah, yang lalu mah udah lewat. Gak usah malu-malu harimau lagi. Jangan terlalu dipikirin. Lo tetep teman gue, gue tetep teman lo. Teman sekelas, teman seperjuangan, jangan lagi lo anggap gue kayak musuh paling mematikan buat lo. Kita itu teman."
Entah apa yang membuat Jane merasa aneh dengan sebutan "Kita itu teman." saat Rey berusaha meminta maaf padanya. Teman? Masa pernah ciuman? Masa gak ada rasa secuil sama sekali? Terus maksud nya apa? Batinnya berontak. Jane merutuki hatinya sendiri, bisa-bisanya gue peduli sama hal begituan! Ih! Rutuknya dalam hati.
"Lo mau maafin gue?"
Bukannya tersenyum, Jane malah mengernyit heran, "Apanya?"
"Yang tadi, sayang!" Rey menjawab gemas.
Cuma panggilan doang Jane, jangan ngarep yang enggak-enggak. Jangan baper! Gadis itu kembali merutuki dirinya sendiri. "Oh.. em.. ya enggak lah!"
"Lah.. kenapa?" Rey terkejut, menatap Jane tak percaya.
"Maksudnya, gue gak bakal tolak permintaan maaf lo."
Rey tersenyum lega, "Thanks!" ia kembali berdiri duduk di samping gadis itu.
Jane tersenyum, "Nggak gratis!"
"What do you mean?" tanya Rey sedikit memelas.
"Gue pengen lo anterin gue pulang ke rumah. Soalnya Bang Jimi masih-eh! Lo tahu kan, kalau gue itu adiknya Jimi si ketua eskul basket?" harap-harap cemas Rey tidak menampilkan ekspresi terkejut saat mengetahui Jane adik dari cassanova sekolah itu.
"Gue tahu semua tentang lo."
Jane menggeleng, "Lo.. emang bener-bener nggak sopan!"
"Nggak sopan gimana?" tanya Rey heran.
"Nggak sopan pengen tahu tentang seluk beluk orang sembarangan." Jane mendelik sebal.
"Bukannya lo sendiri yang nggak sopan, pengen minta nope orang sembarangan yang belum tentu orangnya kenal sama lo. Mana yang lebih nggak sopan? Lo? Atau gue?" Rey tersenyum sinis.
Jane tertohok, ia menatap Rey secara terang-terangan. Berusaha membela diri bahwa dirinya yang paling benar. "Capek gue debat sama lo. Baru aja lo minta maaf ke gue. Eh, malah nyari perkara lagi. Emang susah ya debat sama lo, gak bakal menang dan gak bakal kelar!"
Rey tersenyum mendengar pernyataan Jane. Tanpa banyak bicara ia berlari ke arah Jimi yang masih memberi intruksi memainkan bola basket pada anggota eskulnya. Rey yang baru saja masuk lapangan membuat Jimi ingin sekali menyemburkan amarahnya pada anggotanya itu. Karena sedari tadi, Rey sama sekali tidak mengikuti latihan.
"Lo! Kenapa dari tadi gak-"
"Gue mau anterin adek lo ke rumah. Kasihan dari tadi nunggu lo gak peka-peka. Jangan sama gebetan mulu pekanya, sama adek sendiri juga harus peka keberadaannya."
Rey memotong amarah Jimi yang siap meledak. Jimi langsung mencari keberadaan Jane. Ternyata benar, Jane tengah setia memperhatikan Jimi di seberang lapang.
Jimi menatap tajam Rey, membuat Rey sedikit ciut melihatnya. "Lo... jangan sampe bawa adek gue kebut-kebutan. Gue bogem lo!"
Rey tersenyum miris, "Santai aja Bang, gue pastiin adek lo selamat sampai rumah. Tanpa lecet sedikit pun! Asli!"
Jimi mendengus, menepuk pundak Rey pelan, "Ya udah, hati-hati."
"PASTI!"
***
Kali ini keberutungan berada di tangan Rey. Jalanan tidak lagi kembali macet seperti biasanya. Ia melajukan motor dengan kecepatan normal, tanpa kebut-kebutan. Sesekali ia tersenyum menatap kaca spion melihat Jane berusaha membenarkan rambutnya yang berusaha menutupi penglihataannya. Rey terkekeh mengetahui gadis itu berpegangan tepat di bahu tegapnya itu. Momen yang sangat dinanti-nanti olehnya, sebelum ia benar-benar akan menyatakan perasaannya pada gadis itu, dan membuatnya menjadi kekasihnya.
"Tangan lo pindahin gih! Jangan di bahu, peluk gue aja napa. Kesannya kayak tukang ojek kalau gini mah!"
"Udah mirip kali. Bukan lagi kesan." Jane tersenyum berusaha menahan tawa. Rey yang tidak terima mengerucutkan bibirnya ke depan. Membuat Jane ingin sekali memukul wajahnya yang luar biasa tampan itu.
"Lebay! Gitu aja ngambek! Sorry deh sorry... " Jane menepuk pipi Rey dari belakang. Rey berusaha mengacuhkan permintaan maaf gadis itu, lebih memilih fokus terhadap jalan di depannya. "Rey! Maafin gue, elah.. jangan ngambekkan kayak gitu. PMS juga enggak.. " Tidak ada jawaban. Jane berdecak kesal dibuatnya, "Nunggu jawaban itu capek tahu. Apalagi nunggu kepastian yang gak jelas!"
"Kayak hubungan kita, gak jelas disebut apa." batin Rey menambahkan.
Berbagai cara Jane berusaha membuat lelaki di hadapannya berbicara, karena ini murni kesalahannya sendiri. Rey sedari tadi hanya diam seribu bahasa tanpa menghiraukan rengekan gadis di belakangnya.
Tatapan Rey terhenti saat melewati gerombolan anak sekolah lain yang mengetahui keberadaannya yang barusaja melewati batas wilayah mereka. Rey berusaha menunduk dalam helm saat seseorang di antara mereka mengetahui kedok aslinya.
"WOY...! ANAK DHARMA TUH...! SERANG...!!!"
Tanpa pikir panjang Rey melajukan motornya dengan kencang, membuat Jane memeluknya dengan ekspresi terkejut. "Lo itu kenapa sih! Gue kaget, tahu!"
"Pokoknya pegangan yang erat, gue gak mau lo kena imbasnya sama anak-anak motor yang ngejar kita sekarang!"
Jane menoleh ke arah belakang, bola matanya melebar saat melihat gerombolan anak sekolah lain tengah mengejar si pemilik motor yang di tumpanginya. Jane mengeratkan pelukannya. Rey berusaha mati-matian tidak terpancing emosi untuk tidak memberhentikan motornya. Melawan mereka yang bisa saja melempar apapun untuk membuatnya berhenti mengendarai motor.
"Mereka kenapa sih! Gue takut, sumpah!" Jane benar-benar panik. Sesekali ia menepuk pundak Rey untuk mempercepat laju motor.
Rey berdecak kesal melihat ke arah kaca spion, gerombolan tadi masih saja mengejarnya. Membuat Jane risih sendiri menjadi pusat perhatian pengguna jalan yang berlalu lalang, memasang wajah penuh kekesalan juga marah karena teriakan juga gerungan sepeda motor yang mengganggu.
Tepat di jalanan sepi, Rey menepikan motornya secara tiba-tiba, membuat gadis di belakangnya terkejut bukan main.
"Turun."
Jane hanya menuruti perintah lelaki itu dengan perasaan was-was juga gelisah melihat gerombolan yang mengejarnya tadi sudah berada di hadapan mereka. Rey menepuk kedua pundak Jane lalu berbisik, "Lo diem aja di sini. Jangan ikut campur. Kalau takut, liat belakang aja."
"Lo jangan berantem Rey! Aduh! Gue demam panggung! Gue gak mau lo-"
"Pegang tas gue, awasin motor gue. Rawan maling motor."
Gadis itu merasa ketar-ketir sendiri, berusaha menghilangkan rasa takut dengan mengeratkan tas milik Rey di pelukannya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Rey sudah babak belur melawan tujuh orang pemuda bengis yang sudah siap dengan alat-alat pemukul masing-masing. Hanya dengan tangan kosong, Rey menghajar mereka tanpa ampun. Mengingat tawuran kemarin ia bersama anggota geng kelas sebelas memenangkan tawuran, membuat pihak lawan berniat membalas dendam karena tidak terima menerima kekalahan. Tubuh Rey sempat sempoyongan menerima beberapa pukulan di perut dan di kepala. Cairan merah mengalir begitu saja dari kedua lubang hidungnya saat mendapat hantaman keras dari lawan. Membuatnya semakin beringas, kalap dengan semua perlakuan lawannya itu.
"Sampah lo! Lo kira kita bakal ngalah, heh!"
"Setan lo, anjing!"
Teriakan Rey membuat Jane meringis sendiri, tangannya bergetar berusaha mencari ponselnya yang berada di saku rok. Tubuhnya melemas saat menyadari ponselnya yang hilang. Sesaat ia memantapkan hatinya untuk melihat aksi baku hantam di belakangnya itu. Ia menelan ludahnya sulit menoleh ke belakang dengan hati-hati.
"Rey!"
Matanya membulat saat melihat Rey sudah sempoyongan memukul beberapa gerombolan tadi yang sudah siap untuk pergi meninggalkan mereka. Seragamnya yang putih bersih kini menjadi kusut penuh noda debu dan darah. Mata Rey masih menyiratkan rasa marah pada lawannya yang mulai melarikan diri itu.
"Pengecut lo, monyet! Jangan kabur lo!"
Amarah lelaki itu sudah mencapai ubun-ubun, sampai tidak menyadari bahwa sedari tadi ia bersama seorang gadis yang baru saja mengetahui betapa menakutkannya amarah dari lelaki itu.
"Jane.. sorry, kebawa suasana barusan hehe.. "
Lelaki itu menghampiri Jane yang masih shocked dengan apa yang baru saja ia lihat. Jantungnya begitu berdebar saat melihat Rey tersenyum dengan beberapa luka di sekitar wajahnya. "Jangan ngelamun. Kita pulang."
Jane hanya menuruti kembali apa yang diperintahkan lelaki itu tanpa banyak bicara. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan gadis itu, berusaha menghilangkan rasa ketakutan yang mulai menjalar saat kembali memegang pundak lelaki itu.
"Lo nggak apa-apa Jane?"
Harusnya gue yang ngomong gitu ke elo, Reynand! Jane menggeram gemas sekaligus mengkhawatirkan kondisi lelaki di depannya sekarang. "Gue nggak apa-apa."
Rey tersenyum, melajukan motornya kembali dengan hati-hati. Di balik itu semua, Rey berusaha setengah mati menahan rasa sakit juga nyeri di seluruh bagian tubuhnya yang mungkin sudah membiru dan memar karena pukulan maut lawannya itu. Terlebih Rey mengkhawatirkan kondisi perasaan Jane. Ia mengetahui gadis itu pasti merasa ketakutan juga masih merasakan terguncang saat melihat atraksi baku hantam tepat di belakangnya sendiri. Bayangkan saja, satu lawan tujuh pemuda bengis itu tidak wajar. Terlebih masing-masing di antaranya dibekali senjata pula.
"Rey..?"
"Hm.. "
"Lo mau maafin gue?"
Rey berdecak gemas, masih saja gadis itu membahas masalahnya tadi. "Gue cuma bercanda Jane, nggak usah lebay. Gue cuma pura-pura ngambek tadi."
"Kalau gitu, lo mampir dulu ke rumah ya.."
Rey mengernyit, "Gue kan mau latihan basket, nanti abang lo-"
"Bolos sehari latihan bisa, kan?"
Rey mendengus pasrah, "Enggak."
Sesampainya di rumah, Jane menarik paksa tangan Rey untuk segera memasuki rumah. Rey terkejut melihat reaksi Jane yang terbilang agresif. Lelaki itu berusaha melepas cekalan tangan gadis itu, namun pertahanannya runtuh saat mendengar suara lirih yang begitu mengetuk pintu hatinya.
"Demi gue, ya.. "
Jane mendudukkan Rey di salah satu kursi ruang tamu. Rey hanya menuruti tanpa banyak bicara. Matanya menelusuri ruangan hendak mencari keberadaan seseorang.
"Mamih gue gak ada di rumah, dia lagi di luar kota."
Rey tersenyum, mendengar pengakuan gadis itu seperti membaca pikirannya yang bertanya-tanya keberadaan sang tuan rumah. "Lo cuma berdua sama Bang Jimi?"
"Hm.. " Jane menjawab dengan gumaman. Berjalan kesana kemari mencari kotak P3K dengan segelas teh hangat untuk disuguhkan pada tamu mendadaknya itu.
"Minum dulu, lo pasti capek banget sekarang."
Rey tersenyum kikuk, melihat gadis yang super ketus juga cuek dulu sekarang menjadi sosok yang super perhatian padanya. "Thanks.. "
"Gue obatin ya.. " Jane tersenyum hangat, tangannya berusaha mengobati luka memar di beberapa bagian wajah lelaki itu. Sesekali gadis itu meringis saat Rey mengaduh merasakan nyeri juga perih.
"Tumben perhatian-Aws! Aduh!"
"Sorry.. sakit ya..?" tanya Jane memastikan.
"Nggak apa-apa.. luka segini masa-aduh.. " Rey kembali mengaduh. Jane merasa gemas sendiri melihat ekspresi menyedihkan lelaki itu. Tanpa berpikir panjang gadis itu memukul luka yang tengah diobatinya dengan keras.
"Lembek lo, ah! Gitu aja menye-menye.. "
"Jane! Sakit coy! Lo mah!" Rey terkejut, berusaha kembali menahan sakit merasa kesal dengan tindakan gadis di hadapannya.
"Iya-iya.. sorry deh, sorry.. "
Setelah mengobati luka di bagian kening, pelipis, juga membersihkan darah yang mulai mengering di bagian hidung, tangannya berlanjut mengobati luka sobek di bagian sudut bibir lelaki itu. Entah apa yang merasuki pikiran gadis itu, ia menatap lekat bibir di hadapannya selama beberapa detik, membuat sang pemilik bibir mengerut heran.
"Kenapa Jane? Lukanya bikin ngeri, ya?"
Jane menggeleng pelan, tangannya berusaha mengobati dengan hati-hati. Sesekali Rey meringis merasakan perih. Jane menatapnya tidak tega, dengan cepat ia membereskan aksi mengobatinya tersebut untuk segera menyimpan kotak P3K tersebut ke tempat semula.
Gue itu kenapa sih! Bibirnya itu loh.. otak gue mulai error.. Jane kembali merutuki dirinya sendiri sebelum akhirnya kembali menghampiri lelaki itu yang masih merasakan perih, efek obat yang dioleskan Jane tadi.
"Makasih Jane. Lo udah buang-buang waktu banget buat ngobatin gue."
Jane mendelik, mengingat ia pernah mengatakan hal serupa pada lelaki itu sebelumnya. Rey tersenyum sinis berusaha melihat bagaiamana reaksi gadis di hadapannya sekarang. "Kenapa?"
"Gue gak mau lo berantem lagi Rey. Buang-buang waktu, buang-buang tenaga tahu gak! Kasihan bokap nyokap lo nanti kalau tahu lo sebrutal itu sama orang."
Rey tersenyum remeh, mengingat kedua orang tuanya yang seakan tidak peduli dengan usahanya untuk menarik perhatian mereka melalui kenakalannya. "Bukan urusan lo."
Jane menelan ludahnya sulit mendengar jawaban ketus dan sedingin itu dari Rey. Jane kembali merutuki dirinya sendiri, seharusnya dia tidak begitu penasaran dengan urusan orang lain.
"Bokap nyokap gue mana peduli sama gue. Mau gue nakal, brutal, berandalan, bandel gak tahu aturan. Gue pikir gue itu cuma dilahirkan karena orangtua gue menginginkan gue sebagai penerus bisnisnya doang. Bukan karena cinta, tapi karena harta dan tahta." Rey mendengus pasrah, berusaha untuk tetap tegar dengan semua cobaan yang menimpa keluarganya yang sebenarnya.
"Rey.. Gue minta maaf, gue gak bermaksud-"
"Orang tua gue sampai tega menitipkan gue sama abang gue dari kecil ke Bik Yonse. Gue yakin, dulu emang berharap banget kalau kedua orang tua gue itu pulang secepatnya. Nyatanya baru gue umur sembilan tahun, mereka baru bisa pulang tanpa sedikit pun memberi kasih sayang seorang Ibu atau seorang Ayah kepada anaknya. Mereka sibuk dengan kerjaan mereka masing-masing. Gila harta, gila dunia bahkan lupa akan keberadaan anak yang masih membutuhkan kasih sayang orang tua.
Dulu gue sempet mikir, tuh Ayah sama Ibu gue balik ke rumah cuma bawa uang doang buat kehidupan gue sama Abang gue. Jadi, yang patut gue sebut orang tua itu siapa sih? Mereka yang gila kerja atau Bik Yonse yang sedari dulu merawat gue sampai sekarang? Gue bingung. Hidup ini memang seperti roda berputar, tapi nggak buat gue. Gue berusaha untuk cari perhatian habis-habisan sama bokap nyokap gue, tapi mereka anteng aja nyari duit. Gue pengen suatu saat keluarga gue harmonis, saling menyayangi, saling melindungi, kayak kehidupan orang-orang yang gue liat. Tapi nol besar buat gue."
Jane berusaha mendengarkan semua curhatan Rey yang membuatnya merasa simpatik dengan apa yang menimpa lelaki itu. Jujur, ia sama sekali tidak menginginkan apa yang dirasakan Rey sekarang menimpa keluarganya. Mungkin Jane merasa iri saat mengetahui keluarga Rey masih utuh, namun tidak harmonis. Membuat anaknya semakin gencar mencari kebebasan juga perhatian orang tuanya dengan cara yang salah. Yaitu hiburan berupa kenakalan.
"Rey, mungkin lo harus bersyukur. Orang tua lo masih ada. Mereka yang melahirkan lo, menafkahi lo, berusaha ngasih yang terbaik buat lo. Tapi dengan cara yang salah di mata lo. Tuhan masih adil sama lo, Rey. Sedangkan gue? Hampir setiap hari gue sendirian di rumah karena nyokap kerja banting tulang jadi kepala keluarga. Bokap gue udah nggak ada saat gue masih berumur lima tahun. Bayangin aja sekarang, keluarga lo lengkap tapi lo broken home, dan keluarga gue gak lengkap dan gue sama abang gue gak broken home. Tuhan memang adil, kan?"
Jane berusaha meyakinkan agar Rey tidak mudah putus asa dengan keadaannya sekarang. Sama sepertinya dulu, ia sempat merasa dunia ini berhenti seketika saat mengetahui Ayahnya meninggal dunia saat ia baru saja pulang bermain bersama teman-temannya di taman. Sementara Jimi, entah berapa kali lelaki itu mencoba untuk bunuh diri berencana hendak mengikuti kemana sang Ayah pergi. Jane berusaha menjadikan semua yang menimpa keluarganya untuk menjadi pelajaran baginya. Menjadikan Jane lebih dewasa dalam menanggapi sesuatu bencana buruk yang bisa saja menimpanya.
Tangannya kini mengusap pundak lelaki itu. Rey berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengeluarkan sebutir airmata pun saat ini.
Rey tersadar, ia mulai merasakan apa yang dirasakan gadis di sampingnya. Keduanya merasakan rasa pahit yang kembali terkuak perihal latar belakang keluarga mereka masing-masing. Menangis dalam diam. Menangis dalam sunyi. Memeluk semua perihnya takdir dengan segala kekuatan batin yang semakin lama akan meledak dengan sendirinya. Seiring waktu yang menggiring mereka menuju cahaya kebahagiaan dibalik gelapnya kenyataan.
Terlihat semu, tidak tergenggam, namun sakit. Takdir Tuhan tidak ada yang salah. Yang terjadi maka terjadilah. Tuhan akan memberimu kejutan saat kau menjadi mahlukNya yang sabar juga berprasangka baik padaNya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top