Bagian 2
Edmund adalah seorang pria yang memiliki perawakan jangkung namun tubuhnya jelas terlihat kurus, sebuah hal yang nampak jelas dari wajahnya yang terlalu tirus untuk seorang pria.
Kombinasi yang seharusnya terasa tidak pas namun terasa menyenangkan untuk dilihat, terlebih ketika aku menyadari dia memiliki mata yang mengingatkanku pada hijau dan gelapnya sebuah hutan yang lebat.
Aku melewati rak demi rak dalam salah satu perpustakaan terbesar di universitas ini, nuansa abad pertengahan dari setiap sudut ini menandakan bahwa universitas tempatku bernaung telah berdiri jauh sebelum aku lahir.
Aku tidak pernah perduli sebenarnya, tapi setiap sudutnya selalu terlihat kokoh tidak perduli bahwa setiap sudut di negara ini memang dipenuhi dengan bangunan bernuansa gotik.
Aku akhirnya menemukan pria yang kucari tengah duduk dan terbenam di antara tumpukan buku yang terlalu tebal untuk kubayangkan akan kubaca setidaknya sekali seumur hidup.
Setelah hari itu, aku mengetahui bahwa dia selalu berada di sini, tenggelam dalam bacaan yang membuat wajahnya selalu terlihat takjub seakan apapun yang dia temukan di dalam sana adalah sebuah hal yang luar biasa untuk diketahui.
Langit sore, buku, entah apa yang selalu membuatnya takjub dengan hal-hal sesederhana ini. Maksudku, itu bukan sebuah hal spektakuler yang bisa membangkitkan raut wajah dari seorang yang seakan baru menemukan harta karun.
Terkadang aku merasa kecil karena sejauh ini, tidak pernah ada yang membuat diriku tertarik, aku hanya menjalani kehidupan hari demi hari, bekerja, belajar, dan kegiatan pada umumnya seakan aku lupa bagaimana caranya menikmati semua itu.
Hal itu membangkitkan sesuatu yang sudah perlahan mati dalam diriku, perasaan mengenai bagaimana cara untuk melihat hal-hal kecil dalam kehidupan dan menikmatinya. Seperti menikmati keunikannya.
Sebercak sinar matahari terlihat menerangi sisi duduknya dengan hangat, ia tidak terlihat ingin beranjak meskipun kerutan di matanya jelas-jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang menyilaukan.
Aku tersenyum simpul melihatnya, tidak ingat kapan terakhir kali mencoba tersenyum karena alasan-alasan sederhana atau bahkan sepele seperti ini.
"Rasanya kamu bisa membaca semua yang ada disini kurang dari satu bulan."
Edmund menyadari kehadiranku sehingga manik segelap hutan itu terarah padaku, "Tidak juga, tapi aku memang tidak tahan melihat banyak sekali buku disini, aku rasanya bisa menjual seluruh waktuku demi menghabiskan waktu di tempat ini."
"Setidaknya aku bisa menebak dimana bisa menemukanmu."
Setidaknya, aku menjadi memiliki alasan untuk memilih hidup diantara pilihan hidup atau mati yang sudah refleks kupikirkan setiap pagi sebelum memulai hari. Aku menopang dagu dengan kedua tanganku, kembali memperhatikan bagaimana dia menikmati kehidupannya.
"Apakah kamu pernah pergi ke tempat ini?"
Edmund menunjukkan salah satu tempat di dalam buku yang sedang dibacanya. Salah satu dokumentasi dari tugu peringatan untuk mengenang masa-masa perang dunia.
"Tentu saja," aku menimpali ketika teringat tempat itu berada tidak jauh dari universitas tempat kita berada, aku kerap melewatinya, "Ada banyak memorial, tapi yang itu tidak jauh dari sini."
"Kamu pernah mengunjungi tempat ini?"
Aku mengangguk, sebuah deretan tugu memorial yang terlihat dingin dan selalu kuhindari karena jiwaku yang masih terasa hampa seakan sebuah tangan mencengkram bagian yang kosong itu dengan cara yang menyakitkan, meskipun kejadian dan orang-orang yang terukir disana tidak ada hubungannya denganku, "Hanya sekali, aku tidak terlalu suka berada di tempat yang mengingatkanku pada kematian."
"Dan hal itu diucapkan oleh seorang yang sempat berniat mengakhiri hidup."
Edmund terkekeh ketika mencoba mencemoohku dengan sarkasme yang halus, meskipun dengan kalimat yang sangat tidak halus.
"Bukankah manusia selalu seperti itu? tidak begitu jelas." Imbuhku, menyadari bahwa kedua hal itu memang saling bertentangan, terkadang apa yang disukai dan tidak disukai tidak memiliki batas yang jelas.
"Sepertinya tidak ada cukup waktu untuk hari ini," ucapnya setelah melihat jam saku yang selalu dimilikinya, "Apakah kamu bisa menemaniku mengunjungi tempat ini lain kali?"
Aku lantas mengangguk pada permintaannya yang terdengar terlalu sederhana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top