Mekar · 25

Liburan kelulusan yang panjang sudah dimulai.

Meskipun agenda berlibur di vila belum bisa dibilang sukses, tapi Ran tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Hari-harinya terasa lebih menyenangkan karena sahabatnya, Celine, telah pulih dengan cepat.

Juga adanya sebuah kejutan kecil yang didatangkan keluarga Jogja untuknya; yakni Bulik Jani!

"Muehehe! Siap-siap ya, ponakan-ponakanku yang udah remaja kencur ini! Masuk SMA itu masa keemasan loh, waktunya pacaran dan seneng-seneng!"

Bulilk Jani merangkul Ran dan Celine di masing-masing tangannya. Mereka sedang menikmati siang hari dengan piknik kecil-kecilan di halaman rumah Ran, sembari menyeruput es markisa yang dipetik langsung.

"Kata Mama aku belum boleh pacaran, Bulik!" balas Celine. Dia bisa cepat akrab dengan bibi Ran yang ekstra ekstrover itu.

"Yo jangan sampai ketahuan," bisik Bulik Jani sambil mengedipkan satu mata.

Ran menghela napas keras-keras. "Tuh kan, bener kata Bunda, kalau Bulik dateng pasti ngajarin yang aneh-aneh."

"Heh, kamu ini ponakan kandung tapi malah nggak dukung. Parah!" Bulik Jani menjitak Ran dengan sayang, membuat gadis itu mengaduh.

Celine pun terkikik sambil lanjut merangkai flower crown yang terbuat dari baby's breath mungil, sengaja diambil dari sisa-sisa buket di toko papanya.

Mereka menikmati minggu-minggu terakhir sebelum melanjutkan kehidupan remaja di SMA Dharma Sunya.

**

Sepulang dari sana, Celine bisa merasakan kontras yang nyata di rumahnya.

Jika hari biasa si bungsu ini bisa terdistraksi karena sekolah dan pertemanan dengan geng VIP, kini liburan terasa semakin sepi karena teman-teman satu gengnya pada liburan ke luar negeri.

Itulah yang membuat remaja ini lebih betah berlama-lama menghabiskan waktu di rumah Ran, bahkan menginap, hingga akhirnya beberapa kali merengek pada sang mama.

"Mama, please! Aku kayak nggak ngerasain liburan sama sekali. Kemarin aja pas ke vila aku baru dateng udah masuk angin sampe drop, terus diburu-buru pulang juga... nggak asik ah, Mama!"

"Ya kamu maunya gimana?" Gabriella bertanya dengan kalem.

"Liburan lagi! Minimal jalan-jalan lah, sama Ran, sama Mbak Jani.... Aku bosen di rumah terus, Mama!"

"Astaga, Celine, kamu pikir pergi berlibur itu kita nggak keluar uang?" Kali ini kesabaran Gabi sedikit terkikis.

Celine cemberut. Belakangan ini mamanya sering menyangkut pautkan segalanya dengan uang. Dan kalau keluar topik itu, biasanya taring sang mama akan keluar lebih tajam. Lebih sensitif.

"Kata Mbak Jani, di Jogja semua-muanya murah. Banyak tempat bagus juga..." gumam Celine.

"Jangan sekarang, Celine." Gabi memijit kepala sambil mengibaskan tangan di hadapan putrinya. "Mama baru pulang kerja, capek. Kamu masuk kamarmu saja, video call sama teman-temanmu atau nonton artis kesukaanmu joget-joget."

Celine mendengkus kesal. Remaja itu pun naik ke lantai dua.

Melewati kamar kakaknya, Celine memelankan langkah kaki. Dia mengintip sedikit dari celah pintu.

Matt berbaring di kasurnya sambil menggulir ponsel. Alis tebal cowok itu mengkerut tanda serius membaca sesuatu.

Merasa tidak tertarik dengan kegiatan kakaknya, Celine pun berlalu ke kamarnya sendiri. Omelan mamanya tadi sedikit membuatnya dongkol, sehingga butuh asupan suara merdu G-Dragon untuk memanjakan telinganya, meredakan hati yang sedang gondok.

**

Weton, sedulur papat limo pancer, ilmu kebatinan, ilmu rogo sukmo.

Konyol.

Guliran jemari Matt di atas search engine dengan topik-topik yang selama ini dihindarinya membuat kerutuan di dahi Matt tak kunjung licin, tanda kepalanya berpikir.

Kalau bukan karena mengalaminya sendiri, Matt pasti akan menutup semua tab hasil pencarian ini. Dan kalau bukan karena ucapan Tante Ajeng, Matt pasti masih sama seperti kemarin-kemarin; pasif dan menyembunyikan kemampuan (atau kutukan) yang dimilikinya.

"Sepertinya kita akan sering ngobrol setelah ini, ya?"

Terngiang kalimat wanita itu saat mereka hendak masuk mobil, melanjutkan perjalanan meninggalkan vila di Lembang seminggu lalu.

"Ya, Tante." Hanya itu yang bisa Matt ucapkan dengan lirih.

Kini, betapa cowok itu mengutuki mulutnya yang dengan enteng menyetujui kalimat bunda Ran tadi. Dia tidak menyadari betapa berat konsekuensi dari Tante Ajeng yang kini mengetahui kondisinya itu.

Sebab Matt paling anti jika orang asing mengetahui aibnya—kesalahan pada matanya yang bisa melihat makluk astral dan merasakan keberadaan mereka. Juga, Matt tidak suka orang asing mencampuri kehidupannya secara keseluruhan.

Tapi di balik itu semua, untuk pertama kali dalam hidupnya, Matt seperti menemukan titik terang. Seperti kemarin lusa, saat Tante Ajeng mengajaknya minum teh di teras rumah mereka, ditemani adiknya yang memperkenalkan diri sebagai Jani.

Saat itu Ran dan Celine disibukkan dengan tontonan film Korea di ruang TV keluarga Kuncoro.

"Ada berbagai macam alasan orang bisa menangkap hal-hal yang lebih 'halus', yang biasanya nggak terdeteksi sama indra manusia biasa. Kayak kita aja nih, sebabnya beda." Mbak Jani membuka sambil menyeruput tehnya.

Matt baru tahu kalau adik Tante Ajeng mengambil pendidikan formal di jurusan Metafisika—bahkan pada hari itu, Matt juga baru tahu ada jurusan seperti itu. Ternyata dukun juga perlu sekolah.

"Maksudnya?" Matt bertanya, tertarik.

"In your case, kamu jadi induk—atau bapak?—semang dari makhluk halus, yaitu roh leluhur kamu. Nah, kalau aku sama Mbak Ajeng, kami ini bawaan dari lahir. Memang sudah setelan pabriknya seperti itu. Kita sekeluarga begitu semua."

Penjelasan Mbak Jani membuat Matt melemparkan pandangan ke arah ruang TV.

"Termasuk Ran juga?" tanya Matt.

Mbak Jani dan kakaknya saling berpandangan. "Emmm... kecuali dia," ucap Mbak Jani kemudian.

"Kenapa?"

"Panjang ceritanya. Sekarang balik ke kamu lagi, deh. Selama ini, kamu udah ngapain aja sama kemampuan kamu ini?" Tante Ajeng mengambil alih pembicaraan.

Matt tidak menekan lebih jauh mengenai Ran—dan fakta bahwa gadis itu berbeda dengan keluarganya. Cowok itu hanya menyimpan rasa penasaran dalam hati. Sebab selama ini, semua yang bersangkutan dengan gadis itu Matt rasa tidak penting untuk diperhatikan. Sangat tidak penting.

"Matt? Gimana?" Suara Mbak Jani membuat Matt menggeleng sebagai jawabannya.

"Nggak ada. Saya nggak ngapa-ngapain. Malahan kemarin pas di Surabaya langsung mau ditutup kan? Cuma... yah gitu." Cowok itu bergantian memandang dua perempun Kuncoro ini.

Dia lantas melanjutkan, "Tante, saya mohon, tolong rahasiakan ini dari semua orang ya. Termasuk mama saya."

Lagi, Ajeng dan Jani bertukar pandang. Butuh satu detik sebelum Tante Ajeng mengucapkan kalimat persetujuan.

"Kalau itu artinya kamu mau membiarkan kami ngebantu, oke. Asal kamu harus ceritakan semuanya, jangan ada yang ditutup-tutupi. Demi keamanan bersama."

"Deal," balas Matt.

Dan diskusi mereka pun berlanjut. Tidak hanya menceritakan awal mula mendapatkan musibah ini di upacara cheng beng, Matt juga menceritakan kesulitannya selama ini, ketakutannya, rasa paranoidnya, dan berbagai jenis makhluk inhuman yang mengusik ketenangannya.

Uniknya, setiap Matt menyebutkan ciri-ciri makhluk halus itu di hadapan duo wanita Kuncoro ini, baik Mbak Jani maupu Tante Ajeng selalu mempunyai jawaban yang menggenapkan rasa penasaran Matt; mereka apa, jenisnya, motifnya, dan kebiasaan mereka yang menyukai beberapa hal spesifik, seperti pohon atau bau tertentu.

Rasanya, Tante Ajeng dan Mbak Jani seperti mengajari Matt tentang aneka ragam satwa liar dan habitatnya.

Perbincangan mereka pun mulai menjalar dan berakhir pada satu benda yang menyelip di dalam dompet Matt. Jimat kertas hu berwarna kuning, yang dipercaya menjauhkan cowok itu dari mahluk halus.

"Aneh, deh. Mau hantunya lokal, Jawa, Sunda... semuanya bisa terusir kalo pake kertas itu. Memangnya di kepercayaan Tante, ada juga yang begini ya?"

Matt bertanya pada Tante Ajeng, sebab Mbak Jani sedang masuk ke dalam untuk mengisi ulang poci teh. Wanita itu membalas tatapan Matt untuk kemudian menjawab dengan nada ringan.

"Sebenernya jimat di semua agama dan kepercayaan itu sama aja, sih. Yang penting energi positif, bakal ngusir yang negatif. Ditambah keyakinan penggunanya kalau benda-benda itu bener-bener works."

Matt meraba dompet di celananya.

"Terus gimana caranya saya bisa balik normal lagi, Tante?" tanya Matt.

Ajeng menyesap sisa teh di gelasnya. "Hmmm, kamu ini aneh. Dikasih kelebihan kok mau ditolak."

"Saya nggak minta ini semua."

Jawaban Matt membuat Ajeng terdiam sesaat. Setelah berpikir sejenak, wanita itu kembali berkata, "Nggak sedikit orang-orang seperti kamu yang minta mata batinnya ditutup, Matt. Tapi, untuk kasus kamu yang diberi perlindungan sama arwah leluhur, itu satu dari sejuta. Dan Tante yakin, kakek buyutmu itu ada di sini untuk satu alasan tertentu. Memangnya kamu nggak penasaran, tujuan dia hadir dan 'melindungi' kamu sampai sekarang ini apa?"

Matt membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Dia melirik cangkir teh miliknya yang sudah kosong.

"Sedikit. Terus, apa yang harus saya lakukan dengan ini semua, Tante?" tanya Matt akhirnya.

Ajeng menatap remaja itu lurus-lurus, sekan memberikan perintah alih-alih pilihan. "Kamu harus menerima kenyataan, lalu mengendalikan sikap. Take control, Matt."

**

À Suivre.
1235 mots.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top