Kuncup · 23
Selin terlihat rapuh. Sungguh, ini pertama kali dalam hidup Ran melihat sahabatnya tampak separah ini.
Wajah manis Selin yang biasanya berseri kini padam dengan air muka yang lusuh, berhias peluh. Alisnya terpaut, tangannya tak henti memeluk perut, dan mata cemerlang Selin terpejam rapat-rapat.
Ran sedih memikirkan sisa liburan perayaan kelulusan mereka dari sekolah menengah pertama itu telah ambyar di hari pertama. Ditambah melihat kondisi Selin seperti ini, kesedihan Ran jadi berlipat ganda.
"Dia kayaknya kesakitan banget ya, Tante?" komentar Ran yang duduk bersimpuh dekat kaki ranjang, tak putus menatap Selin, seakan hal itu akan meringankan rasa sakit sahabatnya.
"Ya... padahal tadi pagi masih bisa ngomel-ngomel anak ini," ucap Gabriella sambil membelai pelipis putrinya.
Sang mama lantas melanjutkan, "Titip jagain Celine dulu ya, Ran? Tante sama Om mau pergi cari obat."
Ran mengangguk. "Memangnya Selin sakit apa, Tante?"
Gabriella menghela napas. "Belum tau. Mungkin nanti kalau dapat dokter panggilan, Tante bakal bawa ke sini. Kang Tatang lagi cari info katanya."
Ran mengangguk lagi, menandakan kepuasan atas jawaban itu. Puas atas respons orang tua Selin yang benar-benar peduli.
"Tante berangkat dulu." Gabriella berpamitan sebelum membuka pintu. Bertepatan dengan Ajeng yang hendak masuk dengan membawa baskom dan handuk kecil.
"Masih belum turun demamnya?" Terdengar ibunda Ran berbicara dengan nada lirih.
"Mmm-hm," jawab Gabriella. Melihat perlengkapan kompres yang disiapkan Ajeng, perempuan itu melanjutkan, "Makasih ya, Jeng. Aku titip ragilku dulu."
Ajeng mengiyakan dan lanjut berjalan menuju ranjang tempat Selin dibaringkan. Ibunda Ran itu dengan luwes mengompres dahi mulus Selin. Tak lama, peluh dan tetesan air menyatu di pelipis remaja itu. Ran tak putus memperhatikan.
"Selin sakit apa sih sebenernya, Bun?" Ran melontarkan pertanyaan yang sama dua kali.
Ajeng menjawab dengan mengangkat bahu, dan masih fokus mengompres kening Selin.
"Bunda nggak punya temen dokter, ya? Nggak bisa tanya-tanya?" Gadis ikal itu masih kukuh.
"Ya mana Bunda tau, Nduk. Boro-boro dokter, kamu tau sendiri kan teman Bunda banyaknya bukan manusia."
Jawaban Ajeng yang diselipkan nada bercanda itu sama sekali tidak membuat Ran tertawa. Alih-alih, Ran memandang lurus bundanya dengan satu tatapan pasti.
Seketika Ajeng menghentikan gerakannya.
Mata mereka bersirobok. Sebuah pikiran muncul secara bersamaan di dalam benak Ajeng dan Rantika.
Jangan-jangan...
**
"Sakit, Bu..." Anak laki-laki kecil itu memeluk perutnya. Sang ibu mengelus kepala putranya, berusaha menenangkan terlepas dia juga merasakan hal yang sama.
"Sabar ya, Nak, sebentar lagi sakitnya hilang." Ibu itu merebahkan kepala putranya di pangkuan.
Anak itu meringkuk, meringis, dan terus menangis. "Sakit... sakit...." Suaranya lirih hingga berupa gumaman.
Tak lama, terdengar suara muntahan bersamaan dengan anak itu yang menjerit dalam tangis. Bocah sekecil itu baru saja merasakan lilitan hebat dari dalam perutnya. Sisa-sisa busa putih tampak menetes dari sudut bibirnya yang pahit.
"Nggak apa, Nak... nggak apa. Sebentar lagi sudah, nggak sakit lagi." Ibu itu mengulangi kalimat yang sama, mengelus punggung putranya yang masih menangis.
Di hadapan ibu beranak itu, tampak segerombolan lelaki yang sedang menggali lubang yang cukup dalam. Dua di antara mereka melirik sekilas sambil berdiskusi.
"Cepat habisi saja itu, curut dua-duanya. Lama sekali diberi racun tidak mati-mati," ucap satu pria sambil menyerahkan golok ke rekannya.
"Manusia kau beri racun tikus, mana mempan?" balas rekannya sambil menerima golok itu, sebelum kemudian berjalan mendekat ke arah ibu dan anak tadi.
Anak laki-laki itu menangis sejadi-jadinya, sementara sang ibu berusaha memeluk putranya sekuat tenaga. Dia tahu, ini adalah menit-menit terakhir hidup mereka.
**
Kening Matteo Lafleur-Tan mengernyit. Malam itu ia terlelap dengan denyutan ganjil di kepala. Remaja itu membolak-balikkan badan di atas kasur beberapa kali. Tak nyaman. Demikian, tidurnya tetap berlanjut. Tidur yang dangkal.
"Ibu... Kakak, tolong aku. Sakit...."
Matt membuka mata. Rasa kantuknya sirna seketika. Potongan adegan mimpi menyeramkan tadi terasa sangat nyata, sampai-sampai dia bisa mendengar suara-suara itu di telinga.
"Tolong..."
Suara itu lagi.
Apakah Matt masih bermimpi? Tapi, suara itu terdengar sungguhan, seakan berasal dari luar kamar.
Kondisi gelap membuat Matt meraba sakelar, mencari sumber cahaya. Ketika jemari cowok itu berhasil menemukannya, ruangan terang benderang seketika. Namun, napas Matt segera tercekat.
Cahaya lampu bukan lagi putih seperti biasa, juga warna-warna perabotan yang berada di sekeliling kamar, semuanya berwarna jingga kemerahan.
Oh tidak. Ini lagi...
Matt melihat sekeliling, memastikan dia masih berada di kamar tidur. Ya, suasana seperti ini pernah dia alami sebelumnya, di mana warna sirna dan semua rona menjadi saga.
Saat itu adalah hari setelah cheng beng di Surabaya, dulu, beberapa tahun lalu.
Dan benar saja. Ketika Matt melihat ke arah ranjang, di situ tampak badannya sendiri yang masih terlelap. Dia lepas.
Namun berbeda dengan Matt yang dulu merasa melayang, kali ini semuanya terasa... solid.
Matt juga ingat bahwa saat di Surabaya, dia hanya merasakan lepas dari raga selama beberapa detik, sebelum tertarik kembali menyatu ke tubuh aslinya.
Tapi kini, semua terasa nyata bagi Matt. Terlalu nyata.
Matt mencoba menyentuh tubuhnya sendiri, berharap bisa menyatu dan terbangun dari mimpi buruk ini.
"Merde (sialan)!" maki Matt saat meraih lengan dari tubuhnya yang sedang terbaring. Gagal. Rasanya tubuh Matt hanya pajangan tembus pandang yang tak bisa disentuh.
Kepanikan segera menyambar Matt. Dan saat cowok itu mengacak kepala dengan frustasi, suara itu terdengar lagi.
"Sakit, tolong..."
Kali ini semakin jelas, bagaikan memanggil Matt. Cowok itu segera berbalik, menghadap pintu. Dia tau ini mungkin pikiran gila, tapi dari mana pun suara itu melolong, mungkin si pemilik suara bisa balik menolongnya.
Perlahan tapi pasti, Matt melangkahkan kaki ke luar kamarnya.
Sunyi. Satu-satunya suara adalah detik jam dinding yang jarumnya menunjukkan waktu tengah malam. Matt melongok ke kanan dan kiri, bertanya-tanya ke mana semua orang di vila ini.
Tapi suara minta tolong itu memanggil lagi. Kali ini jelas, terdengar dari lantai bawah.
Matt melanjutkan langkah ke arah tangga, melewati kamar-kamar yang sama sekali tak menimbulkan suara—atau tanda-tanda kehidupan. Saat cowok itu hanya berjarak dua meter dari anak tangga pertama, mendadak dia menghentikan langkah dan napasnya tercekat.
Astaga! batin Matt saat melihat sesuatu di depannya; sebuah makhluk tinggi besar—hampir dua meter—dengan bulu berwarna hitam, agak menyaru dengan tembok depan kamar mandi pojok yang gelap.
Matt menahan napas. Makhluk itu, meskipun wajahnya tak tampak, menolehkan kepala sejenak ke arah Matt. Kemudian, dengan acuh berlalu memasuki kamar mandi di sisi kanannya.
Menghela napas lega, Matt perlahan maju dan menuruni tangga. Dia sudah mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi.
Lihat saja, kelebatan di luar jendela berwarna putih yang melompat sesekali. Atau suara cekikikan yang mulai terdengar dari sudut-sudut halaman luar.
Ah, Matt berusaha untuk tidak peduli. Dia hanya berharap bisa mengakhiri semua kekacauan ini secepatnya. Juga, panggilan suara bocah asing yang sesekali melolong itu membuat langkah kaki Matt bergerak semakin cepat.
"Tolong... sakit..." Suara itu semakin jelas, semakin dekat. Matt bisa memastikan sumbernya dari ruangan sebelah. Dari dapur.
Dan benar saja. Saat Matt menjejakkan kaki di ruangan itu, sesosok bocah dengan pakaian kumuh terlihat di dekat kolong meja makan. Tubuhnya kurus, wajahnya tenggelam di antara dua lutut yang ditekuk. Bocah itu meringkuk sambil menangis.
Jantung Matt terasa berhenti selama sedetik sebab dia menyadari sesuatu; bocah itu adalah anak lelaki yang ada di mimpinya tadi!
"Hey...," ucap Matt hati-hati sambil mendekati bocah itu. "Kamu siapa? Kenapa bisa di sini?" lanjutnya perlahan.
Bocah itu masih menangis, membuat Matt memberanikan diri menyentuh pundaknya. Matt bisa merasakan tubuh bocah itu yang bergetar, menimbulkan harapan optimis dalam benaknya.
Bocah ini bisa disentuh!
"Dek, kamu kenapa?" Matt bertanya sambil sedikit menggerakkan pundak bocah itu.
Mendadak tangisannya berhenti.
"Kakak, tolongin ibu saya..." Bocah yang masih membelakangi Matt itu menunjuk sesuatu di bawah meja makan.
Matt menelan ludah. Butuh beberapa detik untuknya memberanikan diri melihat ke arah telunjuk bocah itu. Saat dia menoleh, tak terdapat apa pun di sana. Cowok itu pun menghela napas. Sekilas tadi dia mengira akan di-prank dengan jumpscare murahan.
"Saya nggak lihat ibu kamu," ucap Matt pada bocah yang masih menunjuk itu.
Mendadak bocah itu menangis lagi. Kali ini semakin kencang.
"Hey, Dek, sudah... cup cup. Coba sini, lihat Kakak. Kakak mau nanya sesuatu." Matt berusaha menenangkan si bocah. Matt memutar perlahan bahu satu-satunya makhluk yang bisa ia ajak bicara itu.
"Dek, coba sini kamu—HAH? CELINE?!"
Matt terperanjat tatkala sosok bocah kumuh tadi berubah wujud menjadi adik kecilnya. Celine Lafleur-Tan menangis sesenggukan sambil memegangi perut. Matanya yang berbinar tampak basah dengan air kaca yang meleleh.
"C-Celine!" Matt mengusap sisi wajah adiknya yang masih sesenggukan. Celine seperti tidak bisa mendengarnya, dan lanjut menangis dengan rengekan khasnya. Tampaknya Celine ketakutan setengah mati.
"Celine, je t'en supplie, réponds-moi (aku mohon, jawab aku)!" Matt kini menepuk-nepuk pipi adiknya.
Tiba-tiba, terdengar suara derap langkah yang mendekat.
"CELINE?! ASTAGHFIRULLAH!"
"Bun! Seline di sini!"
Sakti, Ran, diikuti Ajeng tiba dan langsung mendekat ke arah mereka. Dengan sigap Sakti membopong Celine, diikuti Ran yang mengekor tak jauh dari sana.
"Om—Om Sakti! Ran..." Matt memanggil mereka, melambai di depan wajah Ran, namun diacuhkan sepenuhnya. Seketika dada Matt mencelus.
Apa mereka tidak menyadari kehadirannya?
Matt terduduk, lemas. Satu-satunya harapan untuk berkomunikasi pupus sudah. Dia benar-benar terjebak. Cowok itu mengangkat wajah dan melepaskan pandangan pada punggung Om Sakti dan Ran yang sedang membopong Celine.
Namun pandangan Matt berhenti. Di belakang mereka, Tante Ajeng berdiri mematung. Perlahan, ibunda Ran itu berbalik dan mendekat ke arah Matteo.
"T-Tante Ajeng... bisa lihat saya?" lirih Matt dengan nada penuh harap.
Ajeng tidak menjawab. Alih-alih, dia menarik napas, lurus memandang Matt, dan mengulurkan tangan ke arah kening remaja itu.
Pada detik ibu jari Ajeng menyentuh perbatasan alis Matt, cowok itu merasakan sebuah lonjakan kuat. Tekanan, tarikan tak tertahan, dan mendadak... semuanya gelap.
Matt merasakan napasnya tertahan, lalu perlahan, dia berusaha membuka mata. Detik-detik itu, kelegaan memancar lepas dari dada saat Matt menyadari dia sudah berada di kamarnya. Berbaring di atas ranjang. Lampu kamar menyala, putih benderang.
Apa itu barusan? pikir Matt sambil buru-buru bangkit dan beranjak keluar.
Dia tau harus menuju ke mana untuk memastikan ini semua: kamar adiknya.
À Suivre.
1533 mots.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top